Hospital.
Seorang gadis berjalan tertatih, kedua lengannya digenggam erat oleh dua pria berbadan tegap yang mengenakan setelan hitam. Di belakang mereka, seorang wanita paruh baya melangkah cepat dengan tatapan penuh tekanan, diiringi seorang pemuda berkacamata yang wajahnya dingin tanpa ekspresi.
Mereka bergegas menyusuri koridor rumah sakit, langkah-langkah kaki terdengar tergesa di lantai putih mengilap. Wajah gadis itu memucat, matanya basah oleh air mata, napasnya terengah.
"Tolong lepaskan aku! Aku tidak mau!" jerit gadis itu, suaranya memecah kesunyian koridor. Tangisnya bercampur dengan isak tertahan, namun kedua pria itu tetap menyeretnya menuju ruang operasi.
Begitu pintu didorong terbuka, terlihat seorang dokter dan dua suster yang sudah menunggu dengan alat-alat medis yang siap digunakan. Bau antiseptik menusuk hidung.
Wanita paruh baya itu melangkah masuk tanpa ragu, pemuda berkacamata mengikutinya dari belakang.
"Nyonya Chen, semua sudah disiapkan," ucap dokter dengan nada formal namun tegas. "Setelah operasi berhasil, kita akan langsung melakukan transplantasi ginjal."
Wanita itu—Nyonya Chen—menatap dokter dengan mata berkilat, mencengkeram tas tangannya erat-erat. "Dokter Sun, tolong lakukan segera… selamatkan nyawa putri saya," katanya, suaranya bergetar antara panik dan mendesak.
"Baik, Nyonya Chen," jawab Dokter Sun sambil memberi isyarat pada suster untuk bersiap.
Cherry, gadis itu, diangkat ke atas ranjang operasi. Tubuhnya meronta keras, matanya membelalak menatap ibunya. "Ma… aku juga putrimu! Kenapa kau begitu kejam padaku?!" jeritnya, suaranya pecah.
Mike, pemuda berkacamata yang sejak tadi berdiri di dekat ibu Cherry,, menghela napas seolah kesal melihat perlawanan itu. "Cherry, menyelamatkan adikmu sendiri tidak ada salahnya. Kau adalah kakaknya… dan kewajibanmu menyelamatkan dia," ucapnya datar, seakan itu hal paling wajar di dunia.
Cherry menoleh tajam pada Mike, air mata jatuh membasahi pipinya. "Mike, kau sangat egois dan tidak berperasaan! Aku adalah tunanganmu… tapi kau malah mengorbankan aku demi Celia!" suaranya serak, penuh amarah bercampur luka.
Mike hanya menatapnya tanpa rasa bersalah, sedangkan Nyonya Chen melangkah mendekat, suaranya terdengar seperti perintah. "Cherry, jangan membuat perhitungan dengan adikmu. Kau juga tahu kalau kondisi Celia sangat buruk. Dia butuh darah dan ginjalmu. Sebagai kakak, ini adalah tanggung jawabmu membantunya."
Cherry memejamkan mata, seolah mencoba menahan rasa sakit yang lebih menusuk daripada jarum operasi.
"Ma… sejak kecil darahku sudah sering diambil untuk Celia. Bahkan ketika aku sakit dan pingsan, kalian tetap memaksaku. Sebenarnya… saat itu kau menjemputku tinggal bersamamu… apakah hanya demi ingin aku menyelamatkan putrimu itu?" tanyanya lirih, penuh kekecewaan yang menyesakkan dada.
"Cherry, kondisimu berbeda dengan Celia," ucap Nyonya Chen, suaranya meninggi namun terdengar seperti menasihati. Wajahnya tegang, kedua matanya menatap tajam putrinya yang meronta di ranjang. "Dia sudah sering sakit-sakitan sejak lahir. Kalau kau tidak menyelamatkannya, siapa lagi yang bisa menyelamatkan dia? Kau dan dia adalah kakak adik. Apakah kau tega melihat dia hancur begitu saja karena penyakitnya?"
Cherry menatap ibunya dengan mata membelalak penuh amarah dan kepedihan. "Lalu bagaimana denganku?! Bukankah hidupku juga hancur kalau bahkan ginjal satu-satunya milikku kalian ambil juga? Apakah aku masih bisa bertahan hidup tanpa ginjal? Ini tindakan kriminal! Kalau tersebar, kalian akan ditangkap oleh pihak kepolisian!" jeritnya, suaranya bergetar.
Mike yang berdiri di samping ibu Cherry melipat tangan di dada, tatapannya dingin. "Cherry, jangan manja. Kau memiliki tubuh yang kuat. Celia sudah menderita sejak kecil. Jangankan darah dan dua ginjalmu… bahkan jantung dan hatimu juga harus kau berikan padanya kalau dia butuh," ucapnya dengan nada ketus, seolah apa yang ia katakan adalah hal wajar.
Cherry menatap tunangannya itu dengan tatapan tidak percaya. "Kalian bukan manusia… ucapan seperti ini bisa kalian ucapkan begitu saja," suaranya parau, dadanya sesak.
Nyonya Chen maju selangkah, menatap putrinya dari atas ranjang operasi. "Cherry, kau dan Celia adalah putri mama. Celia memiliki impian ingin menjadi pengacara. Kau harus membantunya," katanya.
Air mata Cherry jatuh membasahi pipi. "Dan hidupku akan berakhir kalau hari ini ginjalku kalian ambil…" ucapnya lirih, kecewa dan pasrah bercampur jadi satu.
Mike mengangkat dagunya sedikit, suaranya datar tanpa emosi. "Cherry Yang, hanya berikan ginjal. Apa yang perlu dipermasalahkan?"
—
Di sisi lain, sebuah mobil mewah melintas di jalan utama kota. Di dalamnya, seorang pria berwibawa duduk di kursi belakang dengan punggung tegak, matanya fokus pada layar laptop yang menyala di pangkuannya. Aroma parfum maskulin yang mahal memenuhi kabin mobil.
Seorang pria muda yang duduk di kursi depan, Roby, melirik melalui kaca spion. "Tuan, besok ada pertemuan dengan klien dari Korea," ucapnya hati-hati.
"Hm…" jawab pria itu singkat, suaranya dingin, jemarinya tetap menari di atas keyboard.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar, pria itu bertanya, "Bagaimana hasil penyelidikan? Sudah delapan tahun… masih belum ada hasil?"
Roby menarik napas sebelum menjawab. "Tuan, Cherry Yang menghilang begitu saja. Sangat aneh. Andaikan dia masih di Shanghai, seharusnya kita bisa menemukannya. Tapi sepertinya dia tidak berada di Shanghai lagi."
Pria itu, Wilber Huo, menghentikan ketikan di laptopnya. Sorot matanya tajam, penuh tekanan. "Roby, sampaikan pada mereka… kalau sampai akhir tahun Cherry Yang masih belum ditemukan, gaji dan bonus mereka akan dipotong!" ucapnya dengan nada dingin yang membuat suasana kabin langsung berat.
"Baik, Tuan," jawab Roby cepat, menatap jalan di depannya dengan fokus, tidak berani menambahkan kata lain.
Wilber Huo bukan pria sembarangan. Ia adalah pendiri perusahaan elektronik raksasa yang jaringannya meluas ke berbagai negara Asia, termasuk Korea, Jepang, dan Taiwan. Wajahnya tenang, namun tatapan matanya menyimpan ketegasan yang membuat lawan bicara sulit bernapas.
Namun, siapa Cherry Yang sebenarnya? sehingga seorang Wilber Huo mencarinya selama delapan tahun.
Wilber menghela napas perlahan sambil menyandarkan punggung ke kursi mobil. Dari saku jas hitamnya, ia mengeluarkan selembar foto. Foto itu menampilkan seorang gadis muda berwajah cantik dengan senyum manis, memegang sebuket bunga mawar putih. Tatapannya di foto begitu murni, seolah membawa kembali kenangan yang sudah lama terkubur.
"Cherry Yang… delapan tahun berlalu, namun keberadaanmu masih belum bisa aku temukan. Ke mana kau selama ini?" gumamnya. "Aku tidak peduli butuh berapa lama lagi… aku akan tetap mencarimu sampai dapat."
—
Sementara itu, di dalam ruang operasi yang dingin dan berbau antiseptik, Cherry berusaha mengatur napas. Matanya bergerak cepat, menatap dokter dan dua suster yang sibuk menyiapkan alat operasi—gunting bedah, selang infus, dan suntikan berisi cairan bening yang pasti adalah obat bius.
Jantungnya berdetak keras hingga terasa di telinganya. "Aku harus lari dari sini sebelum mereka menyuntik obat bius… kalau tidak, semuanya akan berakhir," batinnya, mencoba melawan rasa pusing yang mendera.
Perlahan, ia menggeser tubuhnya, menahan nyeri di pinggang. Tangan kanannya mencengkeram tepi ranjang, menarik selimut yang menutup kakinya. Dokter dan suster, terlalu fokus pada persiapan operasi, tidak menyadari bahwa pasien mereka mulai bangkit.
Dengan napas terengah dan tubuh lemas, Cherry menurunkan kedua kakinya ke lantai dingin. Otot-ototnya protes, tapi ia memaksa diri untuk melangkah cepat ke pintu.
Begitu keluar, ia terperangah—di depannya berdiri Nyonya Chen, ibunya. dan Mike, keduanya menoleh dengan ekspresi terkejut.
"Cherry! Kembali ke dalam!" seru Nyonya Chen, tangannya terulur untuk menarik putrinya.
Namun Cherry, dengan sisa tenaga yang ia punya, mendorong tubuh ibunya hingga wanita itu terhuyung dan tersungkur ke lantai. Suara benturan membuat beberapa orang menoleh.
"Cherry!" pekik Mike, wajahnya berubah pucat. Ia langsung mengejar tunangannya itu, langkah kakinya cepat dan agresif. Dari belakang, dokter dan suster yang tadi di ruang operasi berhamburan keluar, ikut mengejar.
"Tangkap dia! Jangan sampai lolos!" teriak Nyonya Chen dari lantai, suaranya penuh kepanikan.
Kejar-kejaran pun dimulai. Lorong rumah sakit yang luas bergema oleh langkah kaki dan teriakan. Beberapa pasien dan pengunjung menyingkir, menatap bingung pada pemandangan yang tidak biasa itu.
Petugas keamanan rumah sakit segera mendapatkan instruksi melalui handy talkie. "Perhatian semua unit, ada pasien melarikan diri dari ruang operasi! Nama Cherry Yang! Segera amankan!"
Cherry terus berlari, napasnya semakin memburu. Saat melewati tikungan, ia melihat pintu bertanda "Tangga Darurat". Tanpa pikir panjang, ia mendorong pintu itu dan mulai menuruni anak tangga dua-dua, berharap bisa mencapai lantai dasar sebelum para pengejarnya menyusul.
Namun dari bawah, suara langkah kaki lain terdengar mendekat…
Cherry, yang sama sekali tidak punya persiapan, mendorong pintu darurat di lantai dua. Nafasnya memburu, tubuhnya terasa lemah, tapi dorongan untuk bertahan hidup membuatnya terus bergerak. Begitu sampai di koridor rumah sakit, ia melihat seorang gadis berdiri sambil memegang jaket dan topi di tangannya.
Tanpa berpikir panjang, Cherry langsung menarik jaket dan topi itu, lalu melesat lari.
"Hei! Jaketku!" teriak gadis itu, refleks mengejar, tapi Cherry sudah lebih dulu menghilang di tikungan.
Meski seluruh tubuhnya nyeri, Cherry tidak menyerah. Ia mengenakan jaket tersebut dengan cepat, menutupi wajahnya dengan topi, lalu melirik ke ujung lorong. Dari kejauhan, beberapa staf rumah sakit dan tim media yang berada di sana tampak mencarinya, bersama dokter yang tadi hendak mengoperasinya.
Cherry segera berjongkok di sudut koridor, pura-pura sedang mencari sesuatu di lantai, berusaha menghindari tatapan orang-orang itu.
"Tadi aku melihatnya di sini! Cepat cari lagi, dia pasti belum jauh. Tubuhnya sudah lemah, tidak mungkin bisa lolos," perintah sang dokter dengan nada mendesak.
Cherry mengepalkan tangan. "Aku harus bisa keluar dari sini. Keluarga Chen hanya ingin memanfaatkanku… Ma, jangan salahkan aku melawan. Hidup-mati putrimu bukan urusanku," batinnya dengan penuh tekad.
—
Di luar, malam begitu dingin. Salju turun tipis-tipis, membuat udara semakin menusuk tulang. Cherry, pucat dan menggigil, melangkah terpincang-pincang sambil memegangi pinggangnya.
"Kemana aku harus pergi…?" gumamnya lemah.
Saat melihat sebuah mobil mewah mendekat dari kejauhan, harapan kecil muncul di matanya. Tanpa pikir panjang, ia berlari tertatih ke tengah jalan.
"Semoga saja mobil itu bisa menyelamatkanku… aku tidak sanggup lagi untuk berlari," ucapnya lirih, lalu tubuhnya hampir roboh.
Mobil itu melaju cepat namun tiba-tiba berhenti mendadak. Ban berdecit di atas aspal licin, hampir saja menabraknya.
Roby, sang sopir, menginjak rem sekuat tenaga. "Gawat… sepertinya aku menabrak seseorang," ujarnya panik.
Di kursi belakang, Wilber menutup laptopnya dengan tenang, suaranya datar tanpa emosi. "Coba periksa. Kalau masih hidup, antar dia ke rumah sakit. Kalau sudah mati, cari dokter untuk periksa penyebab kematiannya. Kalau karena mobil kita, biayai saja pemakamannya." Ucapannya terdengar seperti sedang membahas urusan bisnis, bukan nyawa manusia.
"Iya, Tuan," jawab Roby cepat. Ia keluar dari mobil dan bergegas menghampiri sosok yang tergeletak di jalan. Begitu melihat wajahnya di bawah sorot lampu jalan, matanya terbelalak.
"Nona, apa kau baik-baik saja?" tanyanya sambil berlutut dan mengangkat tubuh gadis itu.
Cherry membuka mata setengah, bibirnya bergetar. "Tuan… tolong aku…" suaranya lemah, sebelum akhirnya ia pingsan di pelukan Roby.
Setelah memperhatikan wajah gadis itu, Roby membelalakkan mata, napasnya tercekat. "Cherry Yang…?" gumamnya tak percaya. Gadis yang selama ini dicari Wilber. Dan kini, gadis itu ada tepat di hadapannya.
"Tuan, gadis ini… adalah Cherry Yang," seru Roby, napasnya memburu karena keterkejutan.
Wilber, yang awalnya duduk tenang di kursi belakang mobil, langsung menoleh cepat. Matanya membulat, ekspresinya sulit terbaca. Tanpa banyak bicara, ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Sepatu kulitnya menginjak aspal basah yang bercampur salju tipis, menimbulkan suara berat di tengah udara malam yang dingin.
Ia menghampiri Roby, dan saat pandangannya jatuh pada gadis yang terkulai pingsan di pelukan sang sopir, suara Wilber terdengar pelan namun penuh emosi. "Cherry Yang…" gumamnya, nyaris seperti bisikan pada dirinya sendiri.
Sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, teriakan terdengar dari arah rumah sakit. "Dia ada di sana! Cepat bawa dia masuk!" perintah Mike, yang berlari keluar bersama beberapa staf rumah sakit. Nafas mereka terengah, mata mereka tertuju pada Cherry.
Roby menoleh ke arah mereka, "Siapa kalian, dan apa yang ingin kalian lakukan?" tanyanya, nada suaranya tajam, penuh kewaspadaan.
Wilber melangkah maju, lalu tanpa ragu meraih tubuh Cherry dari pelukan Roby. Dengan satu gerakan tegas namun hati-hati, ia mengangkat gadis itu ke dalam gendongannya, menatap wajah pucat itu seolah memastikan dirinya tidak sedang bermimpi.
"Lepaskan dia!" bentak Mike, suaranya penuh amarah.
Roby langsung maju selangkah, berdiri di depan Mike seperti perisai. "Diam! Berani sekali kau meninggikan suara pada bosku," ketusnya, matanya menatap tajam.
Wilber menatap Mike dengan sorot dingin yang menusuk. "Kalian ingin membawanya pergi? Jangan berharap," ucapnya dengan nada datar namun penuh ancaman.
Mike mengepalkan tangan, nadanya keras. "Cherry adalah tunanganku! Kau tidak berhak membawanya pergi!"
"Tahan mereka," perintah Mike kepada stafnya.
Dalam sekejap, beberapa staf rumah sakit dan petugas keamanan mencoba mengelilingi Wilber dan Roby.
"Serahkan Cherry, kalau tidak aku akan menghajar kalian!" kecam Mike dengan nada mengancam.
Wilber hanya tersenyum sinis, seolah meremehkan mereka. Ia mengangkat gadis itu—Cherry—dan membaringkannya di kursi mobil, lalu menutup pintu dengan tenang. Tangannya menarik dasi, melonggarkan kancing kerah, matanya tajam menatap Mike.
"Tidak peduli kalian siapa, gadis ini akan kubawa," tantangnya.
"Sepertinya kau pecundang yang tak tahu diri," bentak Mike, matanya melirik mobil Wilber. "Mobil ini keluaran terbaru… hanya dua orang di negara ini yang punya. Siapa sebenarnya dia?" gumamnya penuh curiga.
Roby ikut maju. "Sepertinya rumah sakit ini mencari masalah. Jangan menyesal."
"Tangkap mereka!" perintah Mike.
Namun sebelum staf bisa mendekat, suara Nyonya Chen terdengar. Ia bergegas menghampiri. "Apakah Cherry sudah ditemukan? Cepat bawa dia masuk, Celia harus segera dioperasi!"
"Bibi, Cherry ada di dalam mobil itu," jawab Mike tegang.
"Tahan mereka!" seru Mike lagi.
Para staf langsung menyerbu. Wilber melayangkan pukulan ke wajah salah satu staf, menendang lawannya hingga terkapar. Rico juga tak tinggal diam; ia memelintir tangan lawan ke belakang, lalu menendangnya mundur.
"Aahh!" teriak salah satu staf kesakitan.
Mike sendiri mendekati mobil Wilber dan membuka pintu. Namun, sebelum sempat menyentuh Cherry, Wilber menutup pintu itu dengan cepat dan menghantamkan tinjunya ke wajah Mike.
Bruk!
"Aahh!"
Wilber menghajar lagi, pukulannya telak membuat bibir Mike pecah dan darah menetes.
Bruk!
"Aahh! Kau berani menyentuhku… aku tidak akan tinggal diam!" geram Mike sambil terhuyung.
Wilber menatap dingin, lalu sekali lagi melayangkan pukulan keras. "Kalau tidak puas, silakan lapor saja!"
“Kau siapa sebenarnya, apa hubunganmu dengan Cherry?” tanya Mike dengan nada menantang, matanya menyipit curiga.
Wilber menoleh perlahan, sorot matanya dingin menusuk. “Kau tidak layak bertanya padaku. Kau mengatakan kau adalah tunangannya?”
“Benar!” sahut Mike cepat sambil melangkah maju. “Dia harus ikut denganku, aku lebih berhak atas dia.”
Wilber mendengus sinis, lalu melangkah setapak ke depan. “Mulai hari ini pertunangan kalian dibatalkan.” Ucapannya keluar pelan tapi penuh tekanan, membuat suasana seketika menegang.
“Kau tidak punya hak membuat keputusan sendiri!” Mike membalas dengan suara meninggi. “Cherry sangat mencintaiku, dan kami akan segera menikah bulan depan.”
Ucapan itu seperti menusuk telinga Wilber. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal, lalu tanpa pikir panjang ia melayangkan pukulan telak ke wajah Mike. Suara benturan terdengar jelas, membuat beberapa orang di sekitar terperanjat.
Pukulan keras itu membuat Mike jatuh terkapar di lantai, menahan nyeri di pipinya. Darah segar merembes dari sudut bibirnya.
“Mike!” teriak ibu Cherry histeris
“Kalian kenapa membawa Cherry pergi? Dia adalah anakku!” bentak sang ibu, nadanya penuh cemas.
Roby melangkah maju, menatapnya tajam. “Melihat gerak-gerik mereka, sepertinya mereka bukan ingin menyelamatkan Cherry, tapi lebih mirip ingin menyakitinya. Jadi, Nyonya, Cherry akan kami bawa pergi. Dan sampaikan pada pihak rumah sakit ini, untuk lebih berhati-hati,” ucapnya tegas, nyaris seperti peringatan.
“Cherry tidak akan aku serahkan begitu saja! Aku akan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kalau ada sesuatu yang tidak baik kalian lakukan padanya…” suara Wilber merendah, tapi tajam seperti pisau. “…tunggu saja akibatnya!”
First Affiliated Hospital – Guangzhou
Wilber membawa Cherry ke rumah sakit terbaik di Guangzhou.
Seorang profesor kedokteran, yang sudah lama mengenal Wilber, akan menangani kondisinya.
“Lakukan pemeriksaan menyeluruh. Aku ingin tahu semua detail tentang kondisinya!” perintah Wilber dengan nada tegas.
“Apakah dia gadis itu?” tanya sang dokter sambil menatap Wilber penuh arti.
“Benar! Karena itu, apa pun yang terjadi… pastikan dia tetap selamat!” jawab Wilber mantap.
Dokter itu mengangguk lalu segera melangkah menuju ruang perawatan Cherry.
Sementara itu, Wilber berbalik ke arah Roby.
“Roby, cari tahu semuanya—tentang rumah sakit itu, tunangannya, dan semua yang berhubungan dengannya. Aku ingin semua informasi ada di tanganku dalam dua puluh empat jam,” ucapnya dengan tatapan tajam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!