Hujan deras mengguyur jalanan berbatu di pinggiran hutan. Suara derap langkah kaki beradu dengan gemuruh guntur yang memecah langit malam.
Wēi Qiao berlari sekuat tenaga. Nafasnya terengah-engah, napas dingin bercampur uap panas keluar dari mulutnya. Hatinya tahu—bukan sekadar hembusan angin yang mengikutinya, tapi kematian yang sedang mengejarnya.
Dari balik pepohonan, bayangan-bayangan hitam melesat, langkah mereka ringan seperti hantu, mata mereka dingin, tanpa ragu. Assassin. Kiriman seseorang yang tak ingin dirinya mencapai Istana Langit untuk mengikuti pelajaran bela diri.
“Jangan biarkan dia lolos!” salah satu dari mereka berteriak.
Wēi Qiao menoleh sekilas. Lima, enam… tidak, tujuh orang. Masing-masing bersenjata, wajah mereka tertutup kain hitam. Dia tak punya pedang, tak punya ilmu bela diri, hanya naluri bertahan hidup yang memaksanya terus berlari.
Namun, langkahnya tersendat saat sebuah tebing curam menghadang. Tidak ada jalan lagi.
Ia membalikkan badan.
Para assassin sudah mengepung.
“Akhir dari darah kotormu… ada di sini.”
Suara itu dingin, menusuk.
Wēi Qiao menggenggam sebatang kayu patah yang ia temukan di tanah. Jantungnya berdetak kencang. Ia tahu ini bodoh—melawan pembunuh terlatih tanpa ilmu bela diri. Tapi menyerah berarti mati.
Serangan pertama datang cepat. Wēi Qiao menangkis dengan kayunya, tapi pergelangannya terpelintir. Pedang lain menebas, menggores bahunya. Rasa sakit membakar, namun dia tetap mencoba memukul, menendang, mengelak sebisanya.
Itu tidak cukup.
Sebuah pedang menembus perutnya. Nafasnya tercekat.
Wēi Qiao terjatuh, pandangannya kabur.
Tiba-tiba… Craaack!
Langit meledak. Cahaya biru menyambar dari atas, menghantam tanah di sekitarnya. Petir itu bukan milik alam biasa—ia berdenyut, berputar, dan dalam sekejap, semua assassin yang mengepungnya terjerembab, tubuh mereka hangus oleh kilatan biru yang menyala bagai api hidup.
Dari dalam cahaya itu, seseorang melangkah keluar. Sosok tinggi berjubah hitam dengan mata menyala biru, wajahnya samar tertutup kabut listrik.
Tanpa banyak bicara, ia berlutut di samping Wēi Qiao. Sebuah jarum kristal biru muncul di tangannya. Dengan satu tusukan cepat ke leher, cairan berwarna gelap mengalir masuk ke tubuh Wēi Qiao.
“Kamu harus kuat… wahai leluhurku,” suara pria itu dalam, bergaung seperti petir di lembah. “Belajarlah menggunakan para Bots yang kusuntikkan. Kamu akan terbiasa.”
Kilatan biru melesat, dan sosok itu menghilang secepat ia datang.
Wēi Qiao sempat ingin bertanya—Siapa kau? Mengapa menyebutku leluhur?—namun rasa panas menjalar di seluruh tubuhnya. Pandangannya menghitam, dunia memudar.
Yang terakhir ia rasakan hanyalah suara petir yang terus berdentum… seakan langit sendiri sedang memanggil namanya.
Satu minggu telah berlalu sejak malam itu.
Wei Qiao perlahan membuka matanya. Cahaya redup menembus jendela kayu di sudut ruangan, menimpa wajahnya. Pandangannya buram, tapi ia segera menyadari dirinya sedang terbaring di atas sebuah ranjang sederhana. Nafasnya terasa berat, seolah baru saja kembali dari perjalanan yang sangat panjang.
Ia memiringkan kepala, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna kusam. “Aku… masih hidup?” gumamnya pelan.
Namun saat mencoba bangkit, tubuhnya terasa lengket. Tatapannya jatuh pada kulitnya yang tertutup cairan hitam pekat, mengkilap, dan berbau busuk menusuk hidung. Wei Qiao spontan meringis dan menahan mual. Bau itu begitu tajam hingga seolah menusuk otaknya. Rasa polos dan kebingungan di wajahnya perlahan menghilang, digantikan tatapan resah.
Tiba-tiba—
"Micro Bots Active. Nomor seri 256990, generasi ke-9."
Suara itu bergema… bukan di telinganya, tapi di dalam kepalanya. Wei Qiao sontak tersentak kaget. “Siapa di sana?!” teriaknya, matanya menyapu sekeliling ruangan, tapi ia tak menemukan siapa pun.
Suara itu kembali terdengar, tenang dan datar, "Tidak perlu panik, Master. Aku adalah sistem yang kini hidup di dalam tubuhmu."
Wei Qiao mematung. Master? Suara itu terdengar seperti berbicara langsung ke pikirannya. “Kau… kau bisa telepati?” tanyanya dengan nada waspada.
"Jika itu istilah di zamanmu, anggap saja begitu," jawab suara itu. "Aku adalah Micro Bots. Aku terhubung langsung dengan tubuhmu. Dan mulai saat ini, kau adalah pengendali kami."
Wei Qiao masih bingung, keningnya berkerut. “Aku… masih tidak mengerti.”
Seolah memahami, suara itu berubah nada, lebih menyesuaikan dengan gaya bicara di zamannya. "Baiklah, tuanku. Aku adalah segerombolan robot kecil yang kini tinggal di dalam darah dan otot-ototmu. Aku bisa memperkuatmu… jika kau mengizinkan."
Wei Qiao terdiam. Robot? Ia tidak paham benar apa itu, tapi rasa penasaran dan sedikit keyakinan mulai muncul. “Kalau begitu… tunjukkan padaku.”
"Izinkan aku menanamkan informasi ke dalam ingatanmu. Proses ini akan… sedikit tidak nyaman."
Wei Qiao menghela nafas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Lakukan.”
Begitu izinnya diberikan, sebuah rasa panas mengalir cepat dari tengkuk hingga ke seluruh tubuhnya. Sekejap kemudian, ia merasa seperti disambar petir—seluruh ototnya menegang, matanya berkunang-kunang, dan napasnya memburu. Mulutnya tiba-tiba memuntahkan cairan kuning kental yang menyisakan rasa pahit luar biasa.
Tubuhnya bergetar hebat, dan di tengah rasa sakit itu… ia mengerti. Gambar-gambar, tulisan aneh, dan penjelasan teknis membanjiri otaknya—Micro Bots adalah sekumpulan unit kecil tak kasat mata, berjumlah 6.897.556 butir, masing-masing memiliki kemampuan perbaikan, peningkatan fisik, dan bahkan… pembunuhan.
Wei Qiao terduduk di ranjangnya, keringat bercucuran. Tangannya bergetar, tapi sorot matanya kini berbeda—ada api kecil yang mulai menyala di sana.
Kini, mata Wei Qiao terlihat begitu tajam dengan wajah serius. Dalam hatinya, ia bertekad:
“Aku pasti akan menemukan pembunuh ibuku… dan akan kubalaskan dendamku.”
Pintu kamar tiba-tiba didobrak keras.
Wēi Qiao sontak kaget, tubuhnya menegang. "Micro Bots, diam!" perintahnya panik.
Namun suara itu tetap terdengar tenang di kepalanya.
"Master, hanya Anda yang bisa mendengar saya. Tidak ada orang lain."
Meskipun diyakinkan begitu, Wēi Qiao tetap kekeh. "Pokoknya diam dulu!" bentaknya dalam hati.
Ia menoleh cepat ke arah pintu, dan di sana berdiri seorang wanita dengan mata berkaca-kaca, hampir menangis. Rambut hitam panjangnya berantakan karena berlari tergesa-gesa.
Itu adalah Ling Yue Lan, penjaga pribadi Wēi Qiao sejak kecil.
"Putri! Anda baik-baik saja, kan?!" seru Yue Lan sambil berlari menghampiri, suaranya penuh kekhawatiran.
Wēi Qiao terdiam sejenak, lalu tersenyum samar untuk menenangkan. Ia meraih tangan Yue Lan, lalu menariknya ke dalam pelukan.
"Aku baik-baik saja, Yue Lan. Jangan khawatir."
Namun Yue Lan belum puas. Ia menatap mata Wēi Qiao, bertanya dengan nada serius, "Malam itu… sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang mengalahkan para assassin itu?"
Wēi Qiao menarik napas panjang, lalu menyusun cerita palsu dalam sekejap.
"Aku… yang mengalahkan mereka. Semua assassin itu tumbang karena pedangku."
Yue Lan menatapnya lama, matanya seakan berkata "Aku tidak percaya", namun bibirnya hanya mengeluarkan kata lembut, "Baiklah, kalau begitu."
Begitu mendekat, wajah Yue Lan langsung berubah. Ia menutup hidungnya dengan tangan. "Putri… bau sekali…"
Wēi Qiao memutar bola mata, lalu tersenyum tipis. "Ya ampun… sampai segitunya, ya?"
Mereka berdua pun akhirnya tertawa kecil, mencairkan ketegangan. Yue Lan kemudian mendorong pelan bahu Wēi Qiao sambil berkata, "Cepatlah mandi, sebelum seluruh istana pingsan karena bau ini."
Dengan tawa yang masih tersisa, Wēi Qiao melangkah ke arah ruang mandi, menyembunyikan semua rahasia yang baru saja ia dapatkan—dan tekad membara yang kini ia simpan di dalam hati.
Wu Lan Cho…
Sebuah negeri yang dibangun di atas lautan darah dan dinding-dinding yang disemen oleh dendam. Negeri ini adalah tempat di mana setiap tetes air hujan membawa aroma besi, dan setiap angin malam membawa bisik-bisik kematian.
Di tanah ini, perebutan kekuasaan bukan sekadar perebutan kursi… melainkan perebutan nyawa. Kota-kotanya dipenuhi lorong-lorong sempit yang menguarkan hawa mencekam, desa-desanya menyimpan kisah-kisah lama tentang keluarga yang dibantai demi sepetak tanah, dan di setiap wilayahnya, senjata diasah bukan untuk berburu hewan—melainkan manusia.
Namun, di balik kabut misteri yang menyelimuti negeri ini, berdiri sebuah kerajaan yang paling ditakuti: Negeri Naga.
Pemimpinnya, Wēi LongYan, adalah kaisar yang kejam dan bengis, pria yang tidak mengenal kata ampun, bahkan terhadap darah dagingnya sendiri. Bagi Wēi LongYan, kemanusiaan hanyalah kelemahan. Segala cara dibenarkan, asalkan tujuan tercapai.
Ambisinya sederhana namun mengerikan:
Menaklukkan seluruh Wu Lan Cho dan mengukir namanya di atas sejarah dengan tinta darah.
Di negeri ini, setiap orang menguasai seni bela diri. Namun, bela diri di Wu Lan Cho bukan sekadar teknik bertahan hidup—melainkan alat pembunuhan yang unik di tangan masing-masing klan. Ada yang menguasai seni racun yang membunuh perlahan, ada yang menggunakan suara untuk melumpuhkan musuh, ada pula yang bermain di wilayah ilusi untuk membuat lawan memotong dirinya sendiri.
Klan-klan itu tersebar dari perbatasan utara yang beku hingga pesisir selatan yang panas membara. Setiap klan memiliki kebanggaan, rahasia, dan dendam masing-masing. Semakin besar klan, semakin besar pula harga yang harus dibayar untuk mempertahankan nama mereka.
Dan kini… Kaisar Wēi LongYan tengah mencari penerus.
Seseorang yang mampu melanjutkan ambisinya.
Pemilihan ini tidak dilakukan di istana, melainkan di sebuah tempat yang namanya saja sudah membuat jantung para prajurit berdebar:
Kastil Kaki Naga Langit.
Bukan sembarang Kastil—tempat ini adalah neraka yang dibungkus disiplin. Di sini, kekuatan ditentukan bukan oleh nama keluarga, melainkan oleh seberapa lama seseorang bisa bertahan hidup. Aturan tidak tertulisnya sederhana: bertahan atau mati.
Setiap tahun, anak-anak terbaik dari klan besar, klan kecil, dan bahkan klan cabang dari klan besar dikirim ke Kastil ini. Tidak semua pulang. Mereka yang bertahan akan menjadi legenda. Mereka yang gagal… akan dilupakan seperti debu yang terhapus hujan.
Kini, Negeri Naga berada di ambang sebuah peristiwa langka yang hanya terjadi sekali dalam dua puluh tahun—saat para putra dan putri kaisar siap Memasuki Kastil Kaki Naga Langit. Sebuah fenomena perebutan lencana "Pemimpin Klan" akan dimulai. Untuk meraih lencana itu, mereka harus melalui enam ujian mematikan, di mana nyawa menjadi taruhan. Tidak ada belas kasihan, tidak ada kompromi. Mereka yang lolos akan mengukir namanya dalam sejarah. Mereka yang gagal… akan menjadi kisah yang dilupakan.
Di antara mereka… ada satu yang paling dipandang rendah: Wēi Qiao, si darah kotor.
Anak yang tidak diperbolehkan belajar apa pun sejak lahir, anak yang menjadi bahan ejekan keenam kakaknya, anak yang bahkan keberadaannya dianggap noda dalam sejarah keluarga.
Tapi di dalam dirinya kini ada sesuatu yang tidak dimiliki siapapun di Wu Lan Cho.
Dan di balik tatapan polosnya, tersembunyi tekad yang akan mengguncang takdir seluruh negeri.
Kembali Wēi Qiao, ke kamar pribadinya di Istana Wēi Qiao, pemuda itu duduk di tepi jendela, membiarkan angin sore menyapu wajahnya. Tatapannya kosong, namun telinganya fokus mendengarkan suara dingin yang bergema di dalam kepalanya — suara milik Micro Bots, teknologi misterius yang menjadi rahasianya.
"Informasi tambahan tersedia. Apakah kau ingin mendengarnya?"
Wēi Qiao menunduk, matanya teralihkan oleh sosok di halaman depan. Penjaga Yue Lan, wanita berparas dingin dengan sorot mata setajam bilah pedang, sedang berlatih jurus pedang kembar miliknya. Setiap tebasan mengiris udara, meninggalkan gema angin yang menusuk telinga.
"Apakah kau ingin aku memindai teknik itu dan mempelajarinya untukmu?"
Suara itu kembali bergema, tenang namun penuh kepastian.
Wēi Qiao terperangah. “Kau bisa melakukan itu?” bisiknya.
"Ya. Semua pergerakan, setiap detail, tak akan ada yang terlewat."
Ia menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan. “Lakukan.”
Sekejap kemudian, pandangannya menjadi seperti bidikan elang. Gerakan Yue Lan melambat dalam persepsinya, setiap ayunan, rotasi pergelangan, hingga tekanan kaki, terekam dengan sempurna. Sepuluh menit berlalu, dan suara itu kembali berbicara di kepalanya.
"Pindai selesai. Apakah kau ingin informasi ini ditanamkan langsung ke otak dan tubuhmu?"
Ada sedikit keraguan, namun Wēi Qiao akhirnya menjawab, “Tanamkan.”
Sekonyong-konyong, tubuhnya tersentak. Rasa panas menyambar otot dan syarafnya, seolah kilat menyambar dari dalam. Wēi Qiao mengerang, jantungnya berdegup liar. Kilatan-kilatan memori baru membanjiri kepalanya — gerakan, tekanan, dan pola napas dari jurus pedang kembar Yue Lan.
Ketika rasa mual mereda, ia membuka mata. Tangannya langsung bergerak, meniru teknik tersebut. Suara angin bergemuruh setiap kali bilah pedang khayalannya menebas udara. Pijakan kakinya menorehkan retakan di lantai kayu. Namun, rasa puas belum hadir di wajahnya.
"Analisis selesai. Gerakanmu hanya mencapai 72% presisi. Hambatan terbesar: kekuatan otot tidak sebanding dengan teknik ini."
“Nggak sebanding?” gumamnya.
"Aku bisa memodifikasi jaringan ototmu. Proses ini… akan sangat menyakitkan."
Ia terdiam sejenak, lalu menutup mata. “Lakukan.”
Hanya dalam satu detik, rasa sakit itu datang. Seperti ribuan petir menyambar tulangnya, membakar otot-ototnya dari dalam. Wēi Qiao berteriak keras, tubuhnya kejang-kejang. Darah mendesak ke pelipisnya, wajahnya memerah, lalu… gelap. Ia terkulai pingsan, napasnya terengah.
Di kepalanya, sebelum kesadarannya lenyap, suara itu bergema terakhir kali:
"Adaptasi otot: 37%… Proses berlanjut saat kau tidur."
Teriakan Wēi Qiao menggema nyaring di seluruh penjuru Kastil Kaki Naga Langit, bergema di lorong-lorong batu yang dingin. Getarannya membuat burung-burung gagak di halaman depan beterbangan panik.
Penjaga Yue Lan yang sedang berlatih pedang kembar langsung menghentikan gerakannya. Nafasnya tercekat, instingnya memerintahkannya untuk berlari. Pedangnya masih tergenggam ketika ia bergegas menembus pintu kamar Wēi Qiao.
Begitu masuk, matanya terbelalak.
Wēi Qiao terbaring di ranjang, tubuhnya bergetar lemah, wajahnya pucat seperti kehilangan seluruh darahnya.
"Putri!" Yue Lan panik, menjatuhkan pedangnya ke lantai dan segera mengguncang bahunya dengan hati-hati.
Tak ada respons.
Ia Memeriksa nadinya—stabil. Tak ada luka, tak ada tanda serangan. Hanya… tak sadarkan diri.
Tiba-tiba, Wēi Qiao menggumam pelan dalam tidurnya, suaranya lemah namun jelas terdengar,
"…ayam panggang… tambahin madu… jangan gosong…"
Yue Lan terdiam sejenak, lalu tak kuasa menahan tawa kecil. Wajah tegangnya berubah menjadi senyum lega.
“Jadi cuma mimpi makan,” gumamnya sambil menggeleng.
Dengan hati-hati, ia membaringkan Wēi Qiao dalam posisi yang lebih nyaman, merapikan selimutnya.
“Kalau begitu, biar aku masakkan yang sungguhan,” katanya lembut sebelum meninggalkan kamar.
Pintu menutup perlahan, meninggalkan Wēi Qiao yang tetap pingsan
Malam hari tiba.
Tiga jam telah berlalu sejak Wēi Qiao tak sadarkan diri. Perlahan, kelopak matanya terbuka, disambut suara lembut yang bergema di dalam kepalanya:
"Proses penyesuaian otot telah selesai."
Sekejap, Wēi Qiao langsung duduk. Tatapannya jatuh pada tubuhnya sendiri—masih feminin, namun kini terlihat berotot indah, setiap garis siluetnya membentuk lekukan yang sempurna. Ia terkejut, lalu tanpa sadar mengagumi dirinya di cermin.
"Badanku… menjadi luar biasa," gumamnya berulang kali, jemarinya menyentuh otot lengan dan perutnya yang kini padat berisi.
Di sela kekagumannya, suara itu kembali bergema dalam kepalanya:
"Cobalah pergerakan ilmu bela diri tadi."
Wēi Qiao mengangguk tanpa ragu. Ia mengambil posisi, lalu mulai bergerak. Suara angin yang terbelah terdengar jelas setiap kali tangannya menghujam ke depan. Hentakan kakinya menghasilkan dentuman keras, meninggalkan bekas retakan halus di lantai kayu kamar. Gerakannya makin cepat, makin terarah.
Namun, ia tak menyadari bahwa seseorang memperhatikannya dari awal—Penjaga Yue Lan.
Begitu Wēi Qiao berbalik menghadap pintu, matanya terbelalak kaget. Ia hendak meminta maaf, tapi belum sempat kata-kata itu keluar, Yue Lan berlari menghampirinya dan memeluknya erat.
“Jangan meminta maaf, Putri,” ucap Yue Lan sambil tersenyum hangat. “Semua orang berhak untuk belajar.”
Dari balik jubahnya, Yue Lan mengeluarkan sebuah gulungan kertas dan menyerahkannya.
“Ambil ini. Ini adalah pergerakan lengkap dari ilmu bela diri Pedang Kupu-Kupu Kembar. Pelajarilah,” katanya sambil menatap penuh keyakinan.
Air mata pun menetes di pipi Wēi Qiao. Ia memeluk Yue Lan dengan erat.
Seketika, di dalam kepala Yue Lan, sebuah kenangan muncul—hari pemakaman Ibu Wēi Qiao. Saat itu, Wēi Qiao kecil berdiri tegak, menahan tangis, dan berjanji: “Aku tidak akan menangis lagi.”
Yue Lan memandang Wēi Qiao yang kini menangis di pelukannya, lalu berkata dalam hati:
"Nyonya… Putri kita pasti akan menaklukkan negeri ini."
Dua minggu telah berlalu sejak malam ketika Wēi Qiao memulai latihan bersama suara misterius di kepalanya. Dalam waktu singkat, ia menaklukkan seluruh gerakan dari Pedang Kupu-Kupu Kembar—ilmu bela diri yang rumit dan hanya diwariskan pada mereka yang benar-benar terpilih. Lima hari. Hanya lima hari. Dan kini, gerakannya sudah sehalus aliran air namun secepat kilat menyambar.
Malam itu, bulan purnama menggantung sempurna di langit. Udara dingin menyelimuti seluruh istana.
Di depan gerbang besar berlapis baja hitam, Wēi Qiao berdiri tegak. Matanya menyala, tatapannya tajam bak pedang yang baru diasah. Dalam hati, hanya satu tujuan: menemukan pembunuh ibunya… dan merebut kembali tahta Negeri Naga.
Langkah pelan terdengar dari belakang. Penjaga Yue Lan menghampiri, tangannya terulur membenarkan lipatan jubah Wēi Qiao. Senyum hangat menghiasi wajahnya, namun di balik itu terselip rasa khawatir.
“Jaga dirimu baik-baik, Putri,” ucapnya lembut. “Ingat, keberanian harus ditemani kebijaksanaan. Dan jangan pernah menunjukkan semua yang kamu miliki di awal.”
Bagi Wēi Qiao, suara itu seperti suara ibunya yang kembali.
“Aku mengerti, Yue Lan. Terima kasih… untuk segalanya,” balasnya dengan suara yang nyaris bergetar.
Mereka berbincang sebentar, membicarakan hal-hal kecil, seolah ingin memperpanjang waktu sebelum berpisah. Lalu, tanpa kata lagi, Wēi Qiao menunduk hormat, membalikkan badan, dan berjalan meninggalkan istana.
Perjalanan menuju Kastil Kaki Naga Langit memakan waktu tiga hari dua malam. Wēi Qiao menunggang kuda hitam pemberian Yue Lan, melintasi hutan berkabut, lembah curam, dan desa-desa kecil. Di sepanjang jalan, ia bertemu rombongan pemuda dari berbagai daerah. Beberapa menatapnya penasaran, sebagian lain bahkan mencoba mengukur kekuatannya hanya dengan pandangan.
Namun Wēi Qiao tetap diam, pikirannya terus berputar memikirkan wajah ibunya… dan enam klan besar yang ia curigai terlibat.
Pada hari ketiga, menjelang sore, gerbang raksasa Kastil Kaki Naga Langit menjulang di hadapan matanya. Bangunan itu bagai seekor naga yang sedang berbaring, kaki-kakinya menopang awan, punggungnya membelah langit. Dindingnya terbuat dari batu hitam yang memantulkan cahaya matahari sore.
Di depan gerbang, ratusan pemuda dan pemudi mengantri untuk mendapatkan nomor dada. Suasana riuh, langkah kaki bercampur dengan teriakan panitia.
Wēi Qiao ikut mengantri. Namun ketika gilirannya tiba, petugas yang berjaga memeriksa daftar, lalu menggeleng.
“Nomor untukmu… tidak ada.”
Dahi Wēi Qiao berkerut.
“Tidak ada? Bukankah semua peserta seharusnya sudah terdaftar?”
Petugas itu mengangkat bahu dengan senyum tipis yang menyebalkan. “Mungkin hilang. Mungkin belum dikirim. Atau…” ia berhenti, memandang Wēi Qiao dari ujung kepala hingga kaki, “…mungkin memang tidak ada tempat untukmu di sini.”
Dasar enam klan besar busuk! Wēi Qiao mengumpat dalam hati. Pasti ini ulah mereka. Selalu ingin menginjak-injakku. Tunggu saja… satu hari nanti, kalian akan sujud di hadapanku!
Ia berdiri di samping gerbang, kedua tangan terlipat di dada, matanya mengawasi proses pembagian nomor sambil terus menggerutu dalam hati. Enam klan besar ini benar-benar seperti racun. Menghisap semua yang mereka bisa, lalu membuang orang yang mereka anggap tak berguna. Menjijikkan!
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya seorang panitia lain datang membawa sebuah kain merah kecil. Nomor dada berwarna merah darah, dengan angka 7 yang terpatri jelas di tengahnya.
Petugas itu menempelkannya di dada Wēi Qiao.
“Nomor tujuh. Anak terakhir Kaisar Negeri Naga,” ucapnya dengan nada yang sulit dibaca—antara hormat dan sinis.
Wēi Qiao melangkah masuk ke halaman utama kastil. Pemandangan di dalam membuatnya tertegun. Hampir seribu peserta berdiri berbaris rapi, dan di barisan paling depan berdirilah enam sosok yang sangat ia kenal—keenam kakak tirinya.
Wēi Longzhen, kakak pertama dari Klan Pedang Besar, seorang pria tinggi dengan mata setajam bilah yang ia bawa di punggung.
Wēi Jianhua, kakak kedua dari Klan Kipas Besi, wanita anggun namun memancarkan aura dingin.
Wēi Ruyao, kakak ketiga dari Klan Rapier Racun, pria berwajah tampan namun senyumnya licik.
Wēi Xiàolán, kakak keempat dari Klan Tombak Panjang, wanita dengan tatapan tajam bak tombaknya.
Wēi Hanfeng, kakak kelima dari Klan Pedang Kembar Petir, tubuhnya berotot, gerakannya memancarkan energi listrik halus.
Wēi Yuqi, kakak keenam dari Klan Peluit Perang, wanita cantik yang dikenal memimpin pasukan hanya dengan siulan.
Dan di belakang mereka, sendirian, berdirilah Wēi Qiao—nomor tujuh.
Tiba-tiba, udara di lapangan berubah. Aura menekan datang dari aula pusat kastil. Satu per satu, pengawal pribadi Kaisar keluar.
Pertama, Liang Tianyu—Langit Perkasa, empu senjata terhebat Negeri Naga.
Kedua, Zhao Wenqian—Kebijaksanaan dan Kekuatan, seorang jenderal perang yang telah menaklukkan tujuh kerajaan kecil.
Ketiga, Han Longwei—Naga Perkasa, penjaga yang mampu mengalahkan sepuluh pendekar hanya dengan tangan kosong.
Ketiganya berjalan memasuki lapangan, langkah mereka memancarkan aura yang membuat banyak peserta menelan ludah.
Lalu, suara langkah yang berbeda terdengar. Berat, namun teratur. Setiap hentakan seolah mengguncang tanah. Dan kemudian, ia muncul.
Wēi Longyan—Kaisar Negeri Naga. Tingginya menjulang, matanya tajam, wajahnya memancarkan wibawa sekaligus kebengisan.
Kerumunan menjadi riuh, namun terpotong oleh teriakan lantang Liang Tianyu.
“SEMUANYA DIAM!!”
Hening.
Kaisar melangkah maju, suaranya pelan… namun entah bagaimana terdengar hingga sudut terjauh kastil.
“Selamat datang di Kastil Kaki Naga Langit. Tingkatkan Ilmu Bela diri Kalian disini, Ikuti semua pelajaran yang kalian bisa. Dan jadilah Kekuatan Bagi Negara Naga, Karena masa depan negara kita ada di tangan kalian.”
Itu adalah pertama kalinya Wēi Qiao melihat ayahnya dari dekat. Dalam hatinya, ia terkejut—begitu pelan, namun setiap kata seolah bergema di tulang.
Tatapan mereka bertemu. Mata Kaisar menatapnya—tajam, dingin, penuh penilaian.
“Akan kutanyakan soal ibu padamu… A-Y-A-H.”
Wēi Qiao mengeja kata itu dalam hati, setiap hurufnya penuh amarah yang ia pendam.
Setelah Kaisar berkata demikian, seluruh calon murid Kastil Kaki Naga Langit sontak bergemuruh, meneriakkan,
"HIDUP KAISAR NAGA!"
Suara mereka bersatu dengan dentuman terompet tanduk yang ditiup panjang, menggetarkan udara di halaman utama.
Kaisar menatap mereka sejenak, bibirnya melengkung tipis, lalu berbalik dan melangkah pergi diiringi para pengawal istana.
Begitu sosoknya menghilang dari pandangan, semua kepala mulai menoleh ke arah belakang—ke arah Wēi Qiao. Desis-desus segera menyebar, tajam bagaikan anak panah yang dilumuri racun.
"Itu kan… anak haram kaisar?"
"Darah kotor seperti dia, bagaimana bisa ada di sini?"
"Hmph, memalukan. Bahkan bayangan ibunya saja membawa aib."
"Dia pikir bisa menjadi murid Kastil Kaki Naga Langit? Menjijikkan."
Semua kata-kata itu sampai jelas di telinga Wēi Qiao. Tatapannya tetap ke depan, tapi rahangnya mengeras. Di sudut matanya, ia menangkap sosok kakaknya—Wēi Xiaolan—yang menyeringai puas.
"Aku tidak perlu repot-repot menyewa pembunuh bodoh itu untuk menghabisimu…" kata Xiaolan dengan nada rendah, penuh racun. "Aku bisa membunuhmu di sini… kapan saja aku mau."
Tatapannya penuh kesombongan, sementara senyum licik mengembang di wajahnya.
Di dalam dada Wēi Qiao, amarah membuncah seperti api yang hampir meledak. Tangannya sedikit bergetar, dan untuk sesaat ia membayangkan menebas semua mulut yang berani menghina ibunya. Namun, dalam hati ia berbisik pada dirinya sendiri:
"Bukan itu tujuanmu. Kau di sini bukan untuk membalas dendam mereka… tapi untuk sesuatu yang jauh lebih besar."
Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan amarah itu mengendap seperti bara yang tersimpan. Tatapannya tetap dingin, tapi di balik mata itu, sebuah janji terbentuk—janji bahwa semua penghinaan ini akan terbayar, namun dengan cara dan waktu yang ia tentukan sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!