Langkah Laras gontai, saat menyusuri lorong menuju ruang kerja suaminya.
Map berisi dokumen penting dipeluk erat di dada, seakan ingin melindungi hatinya yang sejak lama rapuh dan luka.
Ada senyum di wajahnya, senyum tipis yang menyembunyikan kehampaan.
Saat sampai di depan pintu yang sedikit terbuka, tangannya sempat terangkat untuk mendorongnya. Namun, suara dari dalam membuatnya membeku.
"Erik... apa ini tidak masalah? Bagaimana kalau istrimu tahu?"
"Tidak perlu khawatir. Laras tidak akan pernah tahu apa yang kita lakukan."
"Tapi... ahhh..."
Desahan yang terdengar jelas menusuk ulu hatinya.
Jari-jarinya mencengkeram gagang pintu dengan kuat, matanya menatap kosong ke celah sempit di depannya. Ia mengenali suara itu.
Dewi.
Sahabatnya sendiri. Perempuan yang ia tolong saat tak punya apa-apa. Da membujuk Erik agar menolong Dewi dan memberinya pekerjaan.
Tapi kini, Dewi tengah mencumbu suaminya di ruangan itu.
Laras, wanita berusia 28 tahun.
Sudah dua tahun menikah dengan Erik, pria yang tak pernah mencintainya. Ia tahu betul, cinta Erik bukan untuknya tapi untuk Diana, mantan kekasihnya yang telah menjadi istri orang.
Laras hanya pelarian. Dia adalah tempat pelampiasan bagi Erik karena kekecewaannya ditinggalkan oleh Diana.
Pernikahan mereka jauh dari kata bahagia, pernikahan yang dipaksakan karena sebuah perjodohan. Sejak awal dia sudah tahu, tapi dia menerima perjodohan itu karena cintanya pada Erik.
Dia tidak pernah dicintai, tidak pernah dipedulikan dan kini, Dewi, yang katanya sahabat, ikut menikamnya dari belakang.
"Ah... Erik, jangan di sana!"
Suara Dewi menggema lagi, penuh desahan palsu yang menjijikkan.
Dengan pelan, Laras mendorong pintu sedikit lagi. Dari celah kecil itu, ia melihat segalanya—Dewi dan Erik, di atas meja kerja, saling melekat dalam gairah yang hina.
Ini bukan pertama kali.
Sudah berkali-kali ia memergoki Erik berselingkuh, bahkan dengan wanita berbeda. Tapi tak satu pun yang menyakitkan seperti kali ini. Karena kali ini, pengkhianatannya datang dari orang yang ia percaya sepenuh hati.
Ia bahkan pernah memberitahu ibu mertuanya, tapi tak dipercaya. kebencian ibu mertuanya terhadap dirinya, lebih besar dibandingkan dengan kebencian Erik.
Mereka menganggapnya memanfaatkan situasi untuk mendapatkan uang padahal dia tidak pernah memeras mereka. Dia bekerja sepenuh hati di perusahaan itu walaupun pernikahan mereka dirahasiakan karena Erik tidak mau ada yang tahu akan hubungan mereka berdua.
Laras berusaha tegar, dan menahan air mata. Tangannya gemetar saat merogoh saku dan mengeluarkan ponsel.
Ia mulai merekam. Tidak ada emosi di wajahnya, hanya kekosongan. Beberapa detik cukup. Bukti telah ia dapatkan meski dia tidak tahu apakah bukti itu berguna atau tidak.
Ponsel ia masukkan kembali ke dalam saku. Ia menegakkan tubuhnya, memeluk map dokumen lebih erat, dan menarik napas panjang. Waktunya bersikap anggun... seolah tak terjadi apa pun. Walaupun hatinya sudah hancur berkeping-keping.
Tok... Tok... Tok...
Kehadiran itu mengejutkan mereka.
Erik dan Dewi seketika panik, tubuh mereka berpisah dalam kekacauan kecil. Dewi buru-buru merapikan blus yang terbuka, menyisir rambutnya dengan jemari. Erik pun membenahi bajunya dan berdiri kaku.
"Masuk," suara Erik terdengar serak tapi tegas.
Laras melangkah masuk dengan wajah datar dan langkah ringan seolah tidak melihat sesuatu yang salah.
Pandangan matanya tak menunjukkan amarah, hanya ketenangan yang menyimpan badai.
"Maaf mengganggu," ucapnya pelan, lalu meletakkan map di atas meja.
"Aku hanya ingin menyerahkan dokumen ini. Sudah ditandatangani oleh tim legal, kau bisa memeriksanya."
Erik hanya meliriknya, seolah ingin melihat reaksinya. Sedangkan Dewi tersenyum, manis tapi palsu.
Ia bersandar di sisi meja, masih memainkan ujung rambutnya dengan jari, seolah ingin menarik perhatian Erik kembali. Tatapannya menyapu Laras dari kepala hingga kaki, sinis namun terbungkus senyuman manis dan penuh ejekan.
"Oh, Laras... kau datang terlalu cepat. Aku pikir kau sudah pulang untuk menyiapkan makan malam. Jangan sampai ibu mertuamu memarahi dirimu," katanya ringan.
Nada bicaranya seolah ingin menyampaikan: Kami tak terganggu oleh kehadiranmu.
Laras menoleh ke arah Dewi, menatap wanita itu tanpa ekspresi. Namun, senyumannya terbit dengan perlahan.
"Aku harus melakukan tugasku sebagai sekretaris direksi. Dan tentu saja... sebagai istri direktur utama. Urusan makan malam, dapat dilakukan oleh pelayanan." Senyumannya tipis, tapi matanya menusuk.
Erik tak banyak bicara. Ia hanya menunduk sedikit, mengambil map, membukanya, lalu menandatangani satu berkas tanpa membaca.
Dingin. Canggung. Tapi Laras tetap anggun.
"Kalau tidak ada yang perlu aku lakukan lagi, aku permisi."
"Eh, Laras..." Dewi memanggil, suaranya dibuat manja, "Kau tidak keberatan kan kalau aku bekerja agak lembur dengan Erik malam ini? Banyak laporan yang harus dibahas."
Laras menoleh, memandangi Erik. Pria itu pun menatapnya, dengan ekspresi rumit. Dia yakin, Laras pasti tahu apa yang dia lakukan dengan Dewi. Selama ini, Laras selalu marah, berteriak tidak karuan sehingga membuatnya malu tapi kali ini dia lebih tenang. Tidak menunjukkan ekspresi marah.
Sikapnya tidak seperti biasanya. Apakah Laras memang tidak tahu apa yang dia lakukan dengan Dewi, ataukah Laras pura-pura tidak tahu dan tidak mau mencegahnya?
Laras tersenyum. Sekarang hatinya terasa hampa dan dingin. Dia tidak mau marah lagi seperti yang biasanya dia lakukan. Dia sadar, selama ini dia mempermalukan dirinya sendiri.
Mulai sekarang, dia tidak mau peduli lagi dengan apa yang mereka lakukan karena sudah cukup rasa sakit yang dia dapatkan selama ini. Terserah Erik mau dengan siapa, toh cintanya tidak akan pernah dia dapatkan karena semua itu untuk Diana dan para wanita yang menghabiskan waktu dengannya, hanyalah pelarian seperti dirinya.
"Tentu saja tidak, Dewi," jawabannya membuat wajah Erik berubah menjadi dingin dan kelam. Mana sikap manjanya? Mana rengekan yang selalu memintanya untuk pulang?
"Wah, Jadi kau tidak keberatan?" Dewi pun tersenyum. Laras benar-benar wanita bodoh yang mudah ditipu.
"Tidak!" Senyumannya semakin lebar tapi dingin, "Aku percaya kau tahu batasannya. Sebagai pegawai dan sahabat baikku, bukan yang lain."
Sekilas tatapan mereka saling bertemu. Dingin. Menyimpan perang yang belum dimulai.
Laras lalu melangkah pintu, dia akan memberikan waktu bagi mereka untuk kembali bercumbu. Silakan saja, Dewi akan merasakan rasa sakit yang dia rasakan karena dipermainkan oleh Erik.
"Diam di sana, Laras!" Erik akhirnya angkat bicara. Laras berbalik, menatapnya dengan dingin. Erik terkejut dengan ekspresi yang dia tunjukkan.
Entah apa yang terjadi, Laras tidak seperti biasanya. Bahkan ekspresinya itu baru pertama kali dia lihat setelah 2 tahun pernikahan mereka.
"Apa ada yang lainnya, Erik?" Suaranya tak kalah dingin dengan tatapan matanya.
"Tinggal bersama denganku di sini, aku membutuhkanmu!"
"Aku rasa bukan aku yang kau butuhkan!" Kini tatapannya tertuju pada Dewi, "Dia lebih pandai membantumu dibandingkan aku!" Dia kembali melangkah, keluar dari ruangan dan menutup pintu dengan tenang. Tapi di balik ketenangan itu, air mata mulai jatuh.
Dia menghapusnya dengan terburu-buru. Kenapa Erik tidak pernah mencintainya padahal sudah 2 tahun mereka bersama?
Kenapa selalu orang lain yang lebih menarik dibandingkan dirinya?
Erik kembali duduk, tangan mengepal di atas meja. Ada apa dengan wanita itu?
Dewi tersenyum licik, dia akan mengambil apa yang dimiliki oleh Laras dan dia yang akan menjadi nyonya Wijaya setelah ini.
"Erik, ayo kita...,"
"Keluar!" Bentak Erik.
"Hei, apakah kita tidak mau melanjutkannya?" tanyanya dengan tidak tahu malu. Namun, dia mendapatkan tatapan tajam yang tidak menyenangkan dari Erik.
Dewi mengumpat, akhirnya dia memilih keluar tapi itu belum selesai karena dia akan mendapatkan Erik.
Ruang tamu rumah keluarga Wijaya malam itu dipenuhi keheningan yang menyesakkan.
Laras duduk di hadapan ibu mertuanya yang tiba-tiba datang. Ratna Wijaya, wanita paruh baya dengan penampilan elegan, duduk tegak dengan tatapan tajam dan angkuh. Segelas teh diatas meja tetap tak tersentuh.
"Mana Erik, kenapa dia belum kembali?"
"Aku rasa lebih baik mencari Erik di rumah Dewi!" Jawab Laras dingin.
"Apa maksudmu? Kenapa harus mencarinya di rumah Dewi?" Ibu mertuanya kembali menatapnya dengan sinis.
"Tidak perlu berpura-pura tidak tahu apa yang Erik lakukan, Ma!"
"Hng, emangnya apa yang Putraku lakukan? Apakah kau ingin menuduhnya sedang berselingkuh dengan Dewi?"
"Bukankah memang seperti itu? Mama pasti tahu apa yang dia lakukan selama ini di luar sana dengan beberapa wanita yang dia kenal!" Ekspresinya masih dingin. Dia lelah dengan pernikahan itu.
"Lalu kau mau apa? Jika kau sudah tidak tahan lagi, pergilah dari kehidupan Erik. Tinggalkan dia karena dia pantas mendapatkan yang jauh lebih baik daripada dirimu!"
Kedua tangan mengepal di atas pangkuan, dia sudah menduga Ibu mertuanya tidak akan mempermasalahkan perselingkuhan yang dilakukan oleh Erik. Tapi apakah dia harus pergi dalam keadaan seperti itu?
"Kenapa diam? Jika tidak ada bukti perselingkuhan yang dilakukan oleh Erik sebaiknya jangan asal bicara!"
"Aku memiliki buktinya. Aku merekam apa yang dia lakukan dengan Dewi!"
"Apa kau bilang?" Ekspresi wajah Ratna tampak berubah,
"Kau merekam suamimu sendiri?" suaranya pelan, tapi tajam seperti belati.
"Memalukan."
Laras tercengang. Meski itu bukan yang pertama kali.
"Ma, aku rasa kau harus menasehati Erik."
"Cukup, Laras!" suara ibu mertuanya meninggi. Tatapannya kini menusuk.
"Dari awal aku sudah ragu padamu. Kau hanya perempuan tak tahu malu yang menginginkan uang kami. Sekarang kau merekam apa yang Erik lakukan, apakah kau ingin menggunakan rekaman itu untuk memeras kami?"
"Aku tidak?"
"Tidak apa?" Bentaknya, "Bukankah sejak awal yang kau inginkan memang uang? Kau lihat keluargamu? Saat mendapatkan uang dari Erik, mereka langsung pergi dan kau bertahan juga untuk mendapatkan uang!"
Laras tercekat.
Hatinya terasa seperti diremas. Tapi ibu mertuanya belum selesai.
"Apa kau pikir, aku akan membelamu dan mempercayai video murahan itu? Dari pada dirimu, Dewi lebih pantas dipercaya daripada kamu!"
"Dewi?" Laras hampir tertawa getir. "Dia hanyalah sahabat tidak tahu diri yang menusukku dari belakang. Wanita murahan sepertinya, apakah bisa dipercayai?"
"Jangan sok suci, Laras. Apa bedanya kau dengan Dewi? Dia mendekati Erik karena uang begitu juga dengan dirimu yang menikahi Erik karena uang. Kau tahu, Erik menikah denganmu karena terpaksa dan semua orang tahu itu!"
Tangan Laras semakin mencengkeram erat. Dia mau menikah dengan Erik karena dia mencintai pria itu, bukan karena menginginkan uangnya tapi gara-gara keluarganya yang serakah membuat Ibu mertuanya dan Erik salah paham.
"Seharusnya Diana yang menjadi menantuku!" Desis ibu mertuanya, "Dia wanita yang lemah lembut, cantik, dan dari keluarga terpandang. Tapi dirimu?" Tatapan menghina itu kembali didapatkan oleh Laras.
Ratna menyilangkan kaki, wajahnya begitu tenang tapi suaranya menghujam.
"Dua tahun menikah, rahimmu bahkan tak mampu memberikan satu cucu pun untukku. Kau pasti mandul, Laras. Kau hanya wanita tidak berguna yang tidak layak menjadi menantu keluarga Wijaya!"
"Jangan asal bicara sedang Mama tidak tahu apa yang terjadi?" Kesabaran di ambang batas, nada bicara pun meninggi.
"Apanya yang tidak tahu. Apa kau tidak tahu kenapa Erik lebih memilih wanita yang ada di luar sana?" Ratna memandangi menantunya dari atas sampai ke ujung kaki, "Itu karena kau tidak pernah memuaskan dirinya dan kau hanya menjadi bebannya saja. Kau pun tidak seperti Diana!"
Laras menggigit bibir. Hatinya benar-benar sakit mendengar hinaan demi hinaan yang diberikan oleh ibu mertuanya.
Dia tahu dia tidak pantas menjadi bagian dari keluarga itu dan dia tidak bisa dibandingkan dengan Diana yang terlahir begitu sempurna tapi apakah ibu mertuanya boleh menghinanya seperti itu?
"Aku sudah tahu sekarang!" Laras berdiri perlahan. Tubuhnya gemetar.
"Mau ke mana, Laras? Kita belum selesai!"
"Tidak ada yang perlu kita bahas lagi, Ma! Selamat malam!"
"Ada!" Ibu mertuanya membali berteriak lantang, "Aku ingin kau meninggalkan Erik, Laras. Aku akan menjodohkan Erik dengan wanita lain. Dia harus menikah dengan wanita sempurna, bukan wanita mandul seperti dirimu."
Laras tak menjawab. Dia melangkah pergi dengan kepala tegak. Air mata jatuh satu per satu di pipinya, tapi ia menolak untuk menangis di depan ibu mertuanya.
Ratna tampak kesal, karena Laras mengabaikan dirinya begitu saja.
"Sekalipun kau bertahan, kau tidak akan mendapatkan apapun. Dan lihat saja, sebentar lagi Erik akan mencampakkan dirimu dari hidupnya!" Wanita tua itu melangkah pergi.
Tidak akan dia biarkan, Laras harus keluar dari kehidupan Erik Karena dia sudah tidak tahan. Dia pun tidak mau Erik dimanfaatkan oleh wanita itu begitu lama.
Ratna keluar dari rumah. Dia memutuskan untuk menghubungi Erik. Dia ingin tahu apakah yang dikatakan oleh Laras benar atau tidak jika Erik sedang bersama Dewi.
"Erik, di mana kau?"
"Aku di kantor karena banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kenapa?"
"Jadi kau tidak sedang bersama Dewi?"
Erik melirik ke arah Dewi yang sedang memperbaiki penampilannya.
"Kenapa tidak menjawab, apa kau sedang bersama Dewi?"
"Tidak. Aku sedang menyelesaikan pekerjaanku. Kenapa Mama bertanya demikian?"
"Seseorang menuduhmu sedang berselingkuh, sungguh menggelikan!" Nada bicara ibunya penuh dengan cibiran. Erik tahu, siapa yang dimaksudkan oleh ibunya.
"Apa Mama baru dari rumah?"
"Ya, aku muak melihat istrimu yang tidak tahu diri itu!"
"Ma, bagaimana dengan keadaan Laras?"
"Untuk apa kau menanyakan keadaannya? Dia hanyalah wanita yang tidak berguna sama sekali dan sebaiknya kau segera menceraikan dia!"
"Mama tidak berhak ikut campur dalam rumah tangga ku. Jangan mengganggu Laras, dan jangan mengucapkan perkataan yang menyakiti hatinya!"
"Kau lebih membela istrimu yang tidak berguna itu dibandingkan ibumu?"
"Aku tidak membela. Please, Ma. Jangan ikut campur dengan permasalahan kami." Dia tahu, ibunya selalu mengucapkan perkataan yang menyakitkan setiap kali bertemu dengan Laras.
"Kau akan menyesal nanti, Erik. Sebaiknya segera menceraikannya karena dia bukan wanita yang pantas untukmu! Dia pun tidak akan pernah bisa memberikan kebahagiaan untukmu apalagi memberikan anak. Daripada membuang waktu lebih banyak dengan wanita seperti dirinya, sebaiknya cari wanita yang sepadan dengan keluarga kita!"
Erik menarik nafas. Dia tahu, tapi dia tidak bisa melepaskan Laras.
Ratna menoleh, melihat ke arah kamar Laras. Tunggu saja. Dia akan segera menyingkirkan menantu tidak bergunanya itu.
Laras memandangi kepergian Ibu mertuanya sambil mencengkram gorden dengan kuat.
Penghinaan hari ini, dan pengkhianatan Erik, akan dia balas nanti tapi dia tidak mau pergi sekarang, mulai hari ini dia harus lebih cerdik dibandingkan Ibu dan Anak yang Licik itu
Erik berdiri di sisi ranjang, memandangi istrinya yang masih terlelap. Entah kenapa, rasa cinta tak pernah benar-benar tumbuh di hatinya untuk wanita itu.
Mungkin karena Laras terlalu penurut. Mungkin pula karena sifat manjanya yang sejak awal tak pernah ia sukai. Namun, memikirkan perceraian belum pernah benar-benar ia lakukan.
Ia tahu, ucapan ibunya ada benarnya. Tapi selama ini Laras sudah cukup menjadi istri yang baik, setidaknya secara formal. Lagi pula, ia masih membutuhkan peran wanita itu, dan tentu saja, reputasinya harus tetap terjaga.
Erik berbalik, melepas dasinya sambil melangkah menuju kamar mandi. Ia tidak bisa berlama-lama; ada janji yang harus ia tepati pagi ini.
Suara pintu kamar mandi yang menutup pelan membangunkan Laras. Ia membuka mata perlahan, menoleh ke arah sumber suara. Jam menunjukkan pukul enam pagi.
Sepertinya Erik sudah pulang. Sungguh luar biasa, Laras tak perlu menebak ke mana suaminya menghabiskan malam. Dia sudah tahu di mana suaminya bermalam.
Dewi. Nama itu berputar di kepalanya seperti racun. Dan sebentar lagi, cibiran pedas akan dia dapatkan dari sahabat tidak tahu dirinya itu.
Ia membereskan tempat tidur dengan gerakan datar, membiarkan jas Erik tergeletak begitu saja. Dulu, ia akan sigap melipatnya, menyiapkan pakaian bersih, bahkan membuat sarapan meski tahu hidangan itu tak pernah disentuh.
Dulu… ia akan menyambut Erik dengan senyum hangat, memeluknya, pura-pura tak peduli pada tatapan sinis dan sentuhan yang selalu ia tolak.
Kini, senyumnya hanya tipis, senyum yang penuh pengasihan pada dirinya sendiri. Betapa bodohnya ia, membuang dua tahun hidup hanya untuk pria yang tak pernah menghargai dan mencintainya.
Erik keluar dari kamar mandi, mengeringkan rambutnya. Langkahnya terhenti saat melihat Laras yang sedang membereskan ranjang.
“Apa yang Ibu katakan padamu?” tanyanya dingin.
Laras menoleh. Tak ada senyum. Tak ada tatapan manja seperti dulu. Tak ada langkah kecil yang akan membawanya memeluk pria itu sambil mengadu apa yang telah ibunya lakukan.
Meski Erik akan mendorongnya, dan memarahinya, tapi dia akan tetap bersikap manja. Mengingat apa yang pernah dia lakukan, rasanya sangat memalukan.
Pantas saja Erik muak dengannya, dia sendiri malu mengingat apa yang telah dia lakukan tapi sekarang Laras yang manja sudah tidak ada lagi. Dia benar-benar lelah dengan semuanya.
Erik mengerutkan dahi. Laras hanya menatapnya lama, datar dan dingin. Sikap itu, tidak pernah dia lihat sebelumnya.
“Kenapa diam?” Nada Erik merendah, tapi matanya mengawasi tajam.
Dia mengira Laras hanya sedang tersinggung oleh ucapan ibunya. Ia yakin, besok semua akan kembali seperti semula. Rengekan, sikap manjanya, serta wajah memelas yang selalu membuatnya kesal akan ditunjukkan oleh Laras kembali.
“Aku tidak melakukan apa pun dengan Dewi,” Erik berkata sambil mendekat, hendak mengambil pakaian dari ranjang. Tapi tidak ada.
Laras tersenyum tipis, kali ini dengan sinis. Ia berbalik, melangkah meninggalkan Erik tanpa sepatah kata.
“Laras, aku belum selesai denganmu!” teriak Erik.
Langkah Laras terhenti. Tangannya saling mencengkeram. “Apa lagi, Erik. Jika ada yang kau perlukan, pergilah cari Dewi. Dia pasti akan melayani mu dengan senang hati bahkan memuaskan dirimu di atas ranjang sekalipun.”
“Cukup! Aku sudah bilang, tidak ada apa-apa antara aku dan Dewi!”
“Hanya orang bodoh yang percaya… dan aku tidak mau jadi orang bodoh itu lagi.”
Erik menghela napas panjang. Dia menghampiri Laras lalu menggenggam bahunya, memutarnya agar menghadap ke arahnya.
"Terserah kau saja, aku malas menjelaskan. Mengenai perkataan ibuku, tidak perlu kau dengarkan!"
"Perkataan mana yang tidak perlu aku dengar?" Laras bersedekap dada, "Coba katakan padaku, perkataan mana yang tidak perlu aku dengarkan? Apakah tentang permintaannya agar kita bercerai, ataukah tentang pujiannya akan Diana karena dia menganggap Diana lebih pantas menjadi menantunya?"
“Itu tidak benar! Dan jangan coba-coba pikirkan perceraian. Aku tidak akan melakukannya!”
“Oh…” Laras mengangkat dagu. “Jadi kau masih membutuhkanku? Meski sudah ada Dewi, Mita, Sarah… mau aku lanjutkan daftarnya?”
“Jangan asal bicara kalau tidak punya bukti!” suara Erik meninggi.
“Bukti? Kau mau bukti?” Tatapan Laras semakin menusuk.
Erik berbalik, hendak meninggalkan ruangan. “Tidak perlu melakukan hal yang tidak perlu. Nikmati saja hidupmu sebagai Nyonya Wijaya. Kau bebas melakukan apa saja… selama tidak melibatkan lelaki lain.”
Laras tersenyum, kali ini penuh perhitungan. “Baiklah. Aku tidak akan meributkan semua perselingkuhanmu. Aku akan diam, menikmati peranku sebagai istri yang patuh. Aku akan membantumu menutupi aib, jika sampai ada yang tahu perselingkuhan yang kau lakukan. Tapi kau harus melakukan satu hal untukku.”
Erik berhenti. “Apa?”
“Setiap kali kau tidak pulang, kau harus membawakan hadiah. Kalau tidak sempat, kau harus mengabulkan satu permintaanku. Atau… kau transfer satu miliar ke rekeningku. Jika kau memenuhi permintaanku, maka aku akan diam, berani?”
Erik menatapnya lama, dingin. Permintaan itu tidak masuk akal, tapi tidak mengherankan. Sejak awal, ia tahu Laras menikahinya karena uang.
“Kenapa diam? Jangan bilang kau takut?” Laras memancing. “Kalau kau setuju, aku akan tutup mulut. Bahkan hinaan ibumu pun tak akan kudengar lagi.”
“Baiklah,” Erik akhirnya berkata, melangkah menuju lemari. “Watakmu memang tidak berubah. Sejak kita menikah, hanya uang yang kau inginkan.”
“Bagus kalau kau sadar. Jadi kau tidak akan terkejut lagi. Ingat, yang aku mau hanya uang dan perhiasan atau properti. Aku tidak mau tas, semahal apapun benda itu.” Laras menegaskan sebelum keluar dari kamar.
Ia tak peduli lagi pada pandangan suaminya. Biarlah Erik berpikir dirinya serakah. Terlanjur basah, sekalian saja ia bermain di dalamnya.
Erik menggenggam pintu lemari erat-erat. Ibunya benar, wanita itu hanya menginginkan uang. Rahangnya mengeras. Pernikahan macam apa ini? Hatinya… masih milik Diana. Dan itu tak pernah berubah. Tapi menceraikan Laras, dia tidak bisa.
Tapi sikap Laras yang dingin, dia tidak suka. Walaupun sikapnya yang manja sangat memuakkan tapi rupanya sikap itu jauh lebih baik.
Laras masuk ke kamar lain, membasuh wajahnya. Dia memandangi dirinya dari pantulan cermin cukup lama. Sorot matanya penuh dendam, kebencian membara di dalam hatinya.
Dia benar-benar bodoh. Tapi tidak apa, mulai sekarang dia harus cerdik. Erik atau ibunya, dia tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya apalagi Dewi atau wanita selingkuhan Erik yang lain, selama dia masih menjadi istri sah, jangan harap mereka dapat menang.
Terutama Dewi, dia yang paling spesial karena dia adalah sahabat yang telah dia tolong dan dia angkat derajatnya tapi rupanya begitu tega mengkhianati dirinya.
Laras akan pastikan, Dewi kembali ke titik terendah, sepert dulu, sebelum dia menolongnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!