Sore itu, langit pesantren Nurul Falah diselimuti warna jingga keemasan. Suara adzan Ashar baru saja berkumandang dari masjid utama, merambat lewat udara yang hangat bercampur aroma kayu dan tanah basah. Para santri perempuan bergegas menuju tempat wudhu, kain kerudung mereka berkibar tertiup angin. Suara sandal beradu dengan lantai semen terdengar di sepanjang lorong menuju mushala.
Dilara berdiri di gerbang, memeluk tas ranselnya yang sudah agak lusuh. Matanya mengamati halaman pondok pesantren yang luas, dengan pohon asam besar di tengahnya. Di sana, beberapa santri duduk sambil membaca kitab, wajah mereka serius. Ia menarik napas panjang, mencoba menelan rasa gugup yang sejak tadi membuat dadanya sesak.
Sejak kecil, ia tidak pernah membayangkan akan menghabiskan waktu di pondok pesantren. Hidupnya dulu berputar di sekolah umum, les musik, dan rumah yang penuh tawa—hingga sebuah fitnah menghancurkan segalanya. Ibunya yang sakit-sakitan tidak sanggup menahan beban dan berakhir meninggal, dan ayahnya memilih pergi meninggalkannya. Kini, ia hanya punya satu tujuan, bertahan. Dan pondok pesantren ini adalah satu-satunya tempat yang bersedia menerimanya. Karena pamannya bahkan tidak mau mengurusnya. Bibiknya malah menyuruhnya ke pondok pesantren ini.
“Assalamualaikum.”
Suara berat namun hangat menyentaknya.
Dilara menoleh. Seorang pria muda dengan gamis putih dan peci hitam berdiri tak jauh darinya. Wajahnya tegas, mata hitamnya tajam tapi tidak menyeramkan. Ada sesuatu di dalam tatapan itu—paduan wibawa dan keteduhan.
“Waalaikumsalam…,” jawab Dilara pelan.
“Kamu Dilara?” tanya pria itu sambil mendekat. Langkahnya mantap, tidak tergesa tapi penuh keyakinan.
“I-iya,,” jawabnya gugup.
Gus Zizan tersenyum tipis. “Selamat datang di Nurul Falah. Saya Gus Zizan, pemilik pondok pesantren ini. Bibik kamu sudah menghubungi kami sebelumnya. Oiya mari tasnya sini, biar saya bantu bawa.”
“Oh… nggak usah, Gus. Berat,” ucap Dilara spontan.
“Kalau berat, justru saya yang harus bawa. Santri baru itu tamu, dan tamu harus dimuliakan.” Gus Zizan mengambil tasnya dengan mudah, seolah tidak peduli meski ransel itu penuh buku dan pakaian.
Mereka berjalan beriringan melewati halaman. Dilara bisa merasakan tatapan beberapa santri lain yang memperhatikannya—ada yang sekadar ingin tahu, ada pula yang berbisik-bisik. Ia menunduk, mencoba mengabaikan.
“Mulai malam ini kamu tinggal di asrama putri sebelah utara. Ada Ustazah Rohmah yang akan membimbing,” jelas Gus Zizan sambil menuntunnya ke arah bangunan berlantai dua. “Kalau ada yang kamu butuhkan, bilang saja ke ustadzah. Dan kalau ada masalah…” ia berhenti sejenak, menatap ke depan sana, “…kamu boleh langsung temui saya.”
Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa membuat hati Dilara sedikit hangat. Sudah lama tidak ada orang yang berkata seperti itu padanya.
Ia hanya menganggukkan kepalanya singkat, tidak menjawab apapun, dan Gus Zizan berjalan ke asrama yang di maksud olehnya tadi.
Asrama putri penuh dengan suara riuh. Beberapa santri duduk di lantai, merapikan buku, sebagian lagi melipat mukena. Dilara berdiri di depan pintu kamar barunya, memandangi tiga ranjang susun yang sudah terisi. Seorang gadis berkerudung biru muda menoleh dan tersenyum ramah.
“Kamu santri baru, ya? Aku Salsabila. Panggil aja Salsa,” katanya sambil berdiri menghampiri. “Kamu sekamar sama aku, Mita, sama Dewi.”
Dilara membalas senyumnya. “Iya… terima kasih. Nama aku Dilara.”
"Hai Dilara?" Dewi dan Mita datang, lalu berkenalan dengan Dilara. Mereka saling berbicara dan menyambut kedatangan Dilara dengan baik.
Salsa membantu menunjukkan tempat tidur kosong di pojok dekat jendela. Dari sini, Dilara bisa melihat cahaya matahari yang mulai redup di balik pepohonan pondok pesantren. Ia mulai mengeluarkan barang-barangnya, berusaha tidak mengganggu yang lain.
Tapi suasana hangat itu tidak bertahan lama. Seorang santri berkerudung hitam masuk, membawa ember berisi pakaian basah. Tatapannya langsung berhenti pada Dilara.
“Eh, ini yang santri baru itu, ya?” suaranya terdengar setengah ketus. “Kamu taruh tas di situ? Nggak tau kalau itu biasanya tempat aku naro ember?”
Dilara buru-buru memindahkan tasnya. “Maaf… aku nggak tahu.”
Santri itu hanya mendengus lalu pergi begitu saja. Salsa menggeleng pelan. “Itu Wulan. Mulutnya emang agak… gitu. Nanti juga kamu terbiasa.”
"Iya jangan di ambil hati, Wulan mah memang begitu galak." Celetuk Dewi.
"Husss, nggak boleh ngomong begitu, kita nggak boleh berbicara buruk. Dosa." Timpal Mita.
Dilara hanya tersenyum hambar. Dalam hati ia bergumam, Sepertinya di sini pun aku harus siap menghadapi tatapan dan omongan orang.
Malam itu, setelah isya, para santri berkumpul di aula untuk pengajian kitab. Dilara duduk di barisan belakang, mencoba menyimak penjelasan Gus Zizan yang duduk di depan dengan kitab tebal di tangannya. Suaranya mantap, penjelasannya jelas. Sesekali ia melontarkan humor ringan yang membuat para santri tertawa.
Tapi di balik senyumnya, Dilara merasa seolah sedang diuji. Matanya berkali-kali bertemu dengan tatapan Gus Zizan—bukan tatapan mengintimidasi, melainkan seakan ingin memastikan bahwa ia memperhatikan. Dilara jadi salah tingkah, jantungnya berdebar.
Ketika pengajian usai, semua santri beranjak. Dilara ikut berjalan menuju asrama, tapi di tengah lorong, suara panggilan membuatnya berhenti.
“Dilara.”
Ia menoleh. Gus Zizan berdiri di dekat tiang kayu, menunggu.
“Kamu tadi paham penjelasan tentang bab thaharah?” tanyanya.
“Sedikit, Gus… tapi aku masih bingung soal najis mutawassithah,” jawab Dilara jujur sambil menundukkan kepalanya.
Gus Zizan mengangguk. “Besok habis subuh, datang ke perpustakaan. Kita bahas berdua. Biar kamu nggak ketinggalan pelajaran.”
Dilara tertegun. Ia mengangguk pelan, lalu melangkah pergi dengan langkah ringan—tidak menyangka bahwa di antara ratusan santri, Gus Zizan mau meluangkan waktu khusus untuknya.
Namun, di sudut lorong, sepasang mata memperhatikan percakapan itu. Wulan, dengan senyum tipis di bibirnya, berbisik pada temannya, “Lihat kan? Baru masuk udah dekat sama Gus Zizan. Pasti ada apa-apanya.”
Kata-kata itu akan menjadi awal dari gosip yang pelan-pelan menyebar di antara para santri. Dan tanpa sadar, langkah pertama Dilara di pesantren ini sudah mulai menapaki jalan yang akan penuh ujian.
Malam itu, udara pondok Nurul Falah terasa lebih dingin dari biasanya. Angin membawa aroma daun asam yang lembap, menembus celah jendela kayu asrama putri. Lampu-lampu neon di lorong luar memantulkan cahaya pucat ke dalam kamar, membuat bayangan ranjang dan lemari terlihat samar.
Dilara sudah berbaring di kasurnya, tapi matanya sulit terpejam. Pikiran tentang pertemuannya dengan Gus Zizan berulang-ulang muncul di kepalanya. Ia memandangi langit-langit kamar yang dicat putih kusam, telinganya samar-samar menangkap suara tawa santri dari kamar sebelah.
"Kenapa tadi dia perhatian sekali? Apa dia begitu ke semua santri baru, atau hanya ke aku?" batinnya bertanya.
Di sisi lain kamar, Salsa yang masih duduk di ranjangnya memandang Dilara. “Lara, kamu nggak tidur?”
“Belum ngantuk,” jawab Dilara singkat.
“Besok bangun subuh lho. Jam setengah lima udah harus siap-siap ke masjid. Nanti kalau kesiangan bisa kena teguran ustadzah.”
Dilara tersenyum tipis. “Iya, aku tahu.”
Salsa menghela napas, lalu merebahkan diri. “Yaudah, istirahat. Kalau nggak, kamu nggak akan kuat ikut kegiatan seharian penuh.”
Dilara mencoba memejamkan mata lagi, kali ini memaksa dirinya untuk tidur.
Adzan subuh berkumandang, membangunkan seluruh santri. Suara langkah kaki berdesakan di lorong, sandal-sandal berderit di lantai. Dilara buru-buru bangun, mencuci muka, lalu mengenakan mukena. Ia ikut berjalan bersama barisan santri menuju masjid. Udara subuh begitu segar, tapi juga dingin menusuk kulit. Salsa, Mita dan juga Dewi sudah pergi duluan, karena Dilara meminta ketiganya pergi dahulu.
Shalat subuh berlangsung khusyuk. Setelah itu, para santri biasanya mengikuti sedikit kajian singkat dari ustadz atau Gus Zizan. Pagi itu, Gus Zizan hanya memberikan tausiyah ringan tentang pentingnya menjaga adab kepada guru dan teman.
Selesai kajian tadi, para santri bubar menuju asrama atau dapur untuk sarapan. Namun Dilara tidak ikut arus itu. Ia mengingat janji tadi malam, lalu melangkah pelan menuju perpustakaan.
Perpustakaan pondok terletak di sisi timur, sebuah bangunan sederhana dengan pintu kayu lebar dan jendela kaca besar. Dari luar, tampak rak-rak buku memenuhi dinding. Aroma khas kertas dan kayu menyeruak begitu Dilara membuka pintunya.
Di tengah ruangan, Gus Zizan sudah duduk di meja panjang, kitab tebal terbuka di depannya. Ia menoleh ketika Dilara masuk.
“Duduklah,” ucapnya sambil menunjuk kursi di seberangnya.
Dilara duduk dengan hati-hati. “Maaf kalau saya telat, Gus.”
“Kamu tepat waktu,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Sekarang kita bahas soal najis mutawassithah.”
Ia mulai menjelaskan perlahan, suaranya tenang dan jelas. Dilara menyimak, sesekali mengangguk atau bertanya. Di sela-sela penjelasan, Gus Zizan kadang memberi contoh praktis, bahkan mengambil buku kecil untuk menunjukkan referensi.
“Kalau begini, termasuk mutawassithah ringan atau berat?” tanya Dilara sambil menunjuk catatan di kitab.
“Itu ringan. Pembersihannya cukup dengan membasuh hingga hilang sifat-sifatnya. Ingat, yang membedakan ringan dan berat bukan hanya bentuknya, tapi juga penyebabnya.”
Dilara menulis cepat, takut melupakan penjelasan itu.
Sampai-sampai ia tidak menyadari ada sepasang mata yang mengintip dari celah pintu. Wulan, berdiri di luar dengan temannya, memperhatikan mereka. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
“Pagi-pagi udah berduaan sama Gus Zizan di perpustakaan. Wah, wah…” bisiknya pelan.
Temannya menanggapi, “Ah, mungkin lagi belajar.”
“Belajar bisa di aula, nggak harus berduaan. Ini sih aneh,” sahut Wulan.
Mereka berdua pergi sambil tertawa kecil, meninggalkan bayangan gosip yang akan segera menyebar.
Selesai belajar, Gus Zizan menutup kitabnya. “Kamu cepat paham, itu bagus. Tapi jangan segan bertanya kalau ada yang belum jelas.”
“Terima kasih, Gus. Saya senang bisa belajar langsung begini,” ucap Dilara tulus.
Gus Zizan mengangguk. “Baik, sekarang kamu sarapan dulu. Jangan sampai lemas di kelas nanti.”
Dilara berdiri, merapikan bukunya, lalu keluar dari perpustakaan. Udara pagi terasa lebih hangat sekarang. Ia berjalan menuju dapur umum sambil memikirkan betapa ramahnya Gus Zizan.
Namun begitu sampai di dapur, ia merasakan tatapan aneh dari beberapa santri. Ada yang membisik-bisik, ada pula yang langsung memalingkan wajah.
Salsa yang sedang menyiapkan piring melihatnya dan memanggil, “Lara, sini duduk sama aku.”
Dilara mendekat, duduk di bangku panjang. “Kenapa semua orang kayak… lihat aku aneh?” tanyanya pelan.
Salsa mengangkat bahu. “Ah, biarin aja. Nanti juga mereka lupa.” Tapi dari raut wajahnya, jelas ia tahu sesuatu.
"Dewi sama Mita?"
"Mereka udah makan, aku memang sengaja nungguin kamu. Udah yuk, makan dulu, nanti ke buru masuk kelas." Ucap Salsa sambil menyendok makanannya.
Dilara tak banyak tanya lagi, gadis cantik itu sibuk dengan makanan yang ada di depannya.
Tak lama kemudian, Wulan lewat sambil membawa nampan. Ia berhenti sebentar di depan Dilara, lalu berkata dengan suara yang dibuat-buat manis, “Wah, rajin banget ya, pagi-pagi udah belajar sama Gus Zizan sendirian.”
Beberapa santri yang duduk di sekitar langsung menoleh. Dilara menahan napas, mencoba tidak terpancing. “Itu cuma belajar kitab, Wulan,” jawabnya datar.
Wulan terkekeh. “Iya, iya. Belajar kitab. Tapi kok harus di perpustakaan, nggak di aula?”
Salsa menatap tajam ke arah Wulan. “Kalau nggak ada urusan, jangan ganggu orang lagi sarapan, Wulan.”
Wulan mendengus lalu pergi. Tapi jelas sekali bahwa kata-katanya tadi sudah cukup menyalakan percikan gosip.
Salsa menghela nafasnya kasar. "Udahlah ngga usah di dengerin tuh orang." Kata Salsa yang agak kesal dengan Wulan.
Dilara menundukkan kepalanya, ia tak berbicara lagi, namun hatinya merasa gunda..
Hari-hari berikutnya, gosip itu mulai menyebar. Beberapa santri mulai memanggil Dilara dengan julukan-julukan aneh di belakangnya. Ada yang bersikap dingin, ada pula yang terang-terangan menatap sinis.
Meski begitu, Dilara memilih diam. Ia menenangkan diri dengan mengingat bahwa ia ke sini untuk belajar, bukan mencari masalah. Tapi jauh di lubuk hati, ia tidak bisa menolak rasa tertekannya.
Sore hari, ketika ia sedang menjemur pakaian di halaman belakang asrama, Salsa mendekat.
“Lara, kamu nggak usah ambil hati, ya. Wulan memang suka begitu. Dulu juga pernah ada santri baru yang dia gosipin.”
Dilara tersenyum hambar. “Aku nggak apa-apa. Aku cuma takut kalau ini bikin Gus Zizan kena omongan juga.”
Salsa terdiam sejenak, lalu berkata, “Kalau soal itu, Gus Zizan udah biasa. Tapi kamu harus hati-hati. Gosip bisa jadi besar kalau kita nggak waspada.”
Malamnya, pengajian kembali diadakan. Kali ini Dilara sengaja duduk agak jauh di pojok, berusaha menghindari perhatian. Tapi entah kenapa, beberapa kali Gus Zizan tetap melihat ke arahnya.
Saat pengajian usai, dan para santri mulai bubar, Gus Zizan memanggilnya lagi. Kali ini bukan hanya Wulan, tapi hampir semua santri yang lewat menoleh.
“Dilara, besok pagi kamu ikut saya ke pasar pondok. Ada beberapa perlengkapan yang perlu dibeli untuk asrama putri.”
Dilara mengangguk pelan. “Iya, Gus.”
Ucapan itu singkat, tapi cukup membuat bisik-bisik kembali muncul. Dan tanpa disadari Dilara, gosip yang tadinya hanya beredar di lingkup kecil kini mulai merambat ke seluruh pondok.
Pagi berikutnya, udara pondok Nurul Falah kembali terasa segar namun menusuk tulang. Kabut tipis masih bergelayut di atas tanah, menyelimuti pepohonan mangga dan asam yang tumbuh di pinggir halaman. Suara kokok ayam bercampur dengan derit gerbang kayu yang dibuka oleh santri putra yang bertugas piket.
Dilara sudah siap sejak sebelum adzan Subuh. Mukenanya terlipat rapi di ujung ranjang, rambutnya ia kepang longgar, dan tas kecil berisi dompet serta buku catatan ia genggam erat. Meski mencoba terlihat tenang, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Bukan hanya karena akan pergi bersama Gus Zizan, tetapi juga karena membayangkan tatapan-tatapan santri yang pasti akan mengikuti langkahnya.
Salsa sempat menghampirinya di depan kamar.
“Kamu yakin mau ikut? Kalau nggak, bilang aja kamu sakit. Biar ustadzah lain yang gantiin.”
Dilara menggeleng pelan. “Kalau aku nggak ikut, malah kelihatan aneh, Sal. Lagipula, ini perintah langsung Gus Zizan.”
Salsa mendesah, menepuk pelan bahu temannya itu. “Yaudah, tapi hati-hati. Jangan terlalu dekat sama Gus, biar nggak ada yang bisa ngomong macam-macam.”
Mereka berjalan bersama menuju gerbang depan pondok. Di sana, Gus Zizan sudah menunggu, mengenakan sarung biru tua dan baju koko putih. Sorot matanya teduh seperti biasa, senyumnya tipis namun hangat.
“Assalamualaikum, pagi, Dilara,” sapanya.
“Waalaikum salam, pagi, Gus,” jawab Dilara pelan, menundukkan pandangan.
Tanpa banyak bicara, mereka berjalan keluar pondok menuju pasar yang tak terlalu jauh. Jalan setapak itu dipenuhi tanah merah yang sedikit becek karena hujan semalam. Sesekali, sepatu Dilara terperosok sedikit, membuatnya harus memperlambat langkah. Gus Zizan memperhatikan, lalu menoleh.
“Hati-hati, jalannya licin.”
“Iya, Gus,” jawab Dilara, kembali menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya.
Pasar pondok terletak di ujung desa, tidak terlalu besar, namun ramai setiap pagi. Bau rempah-rempah, sayur segar, dan ikan asin bercampur menjadi aroma khas. Para pedagang sudah memanggil-manggil pembeli, menawarkan dagangan dengan suara lantang.
Gus Zizan berjalan mendahului, sesekali memberi isyarat pada Dilara untuk mendekat agar ia bisa menyerahkan catatan belanja. “Ini daftar perlengkapan asrama putri. Kamu yang pilih, nanti aku yang bayar.”
Dilara menerima kertas itu, matanya membaca deretan barang: sabun cuci, ember, keset, dan beberapa perlengkapan mandi. Ia mulai berkeliling dari satu lapak ke lapak lain, mencoba fokus pada tugasnya.
Namun, bahkan di pasar pun, bisik-bisik itu seakan mengikuti. Seorang ibu pedagang sempat bertanya ramah, “Santri baru ya, Nak? Kok bisa ikut Gus Zizan belanja?”
Dilara tersenyum kaku. “Iya, Bu… diminta bantu saja.”
Ibu itu mengangguk, tapi tatapannya penuh rasa ingin tahu.
Di sisi lain pasar, seorang santri putra yang sedang membeli sarung melihat mereka dan tersenyum miring. “Eh, itu kan yang katanya dekat sama Gus Zizan,” bisiknya pada temannya.
Bisikan itu terdengar samar di telinga Dilara, membuatnya memegang erat kantong plastik di tangannya.
Selesai belanja, mereka berjalan kembali ke pondok. Matahari mulai naik, mengusir kabut, namun justru membuat kepala Dilara terasa panas. Ia tak banyak bicara sepanjang jalan, hanya sesekali menjawab singkat pertanyaan Gus Zizan.
Sesampainya di gerbang, beberapa santri putri yang baru selesai mencuci baju langsung menghentikan aktivitasnya, menatap mereka berdua. Salah satunya bahkan berbisik sambil tertawa kecil, lalu melirik tajam ke arah Dilara.
Gus Zizan tampaknya tidak mempedulikan itu. Ia membantu Dilara menurunkan barang-barang belanjaan di teras aula, lalu berkata, “Terima kasih sudah membantu. Kalau ada yang bertanya, bilang saja ini tugas dari saya.”
Dilara mengangguk. “Baik, Gus. Terima kasih juga…”
Namun begitu ia masuk asrama, situasinya berubah. Dewi dan Mita sedang duduk di ranjang mereka, dan Salsa berdiri di dekat pintu. Wajah Salsa terlihat tegang.
“Lara… kamu tahu nggak, gosipnya sekarang udah sampai ke telinga beberapa ustadzah,” kata Salsa dengan suara pelan namun penuh tekanan.
Dilara menatapnya kaget. “Apa? Kok bisa cepat sekali?”
“Ya itu… Wulan yang ngomong. Katanya kamu berduaan di pasar sama Gus Zizan, belanja barang-barang pribadi. Dia muterbalikkan cerita, Lara.”
Dilara merasa perutnya mual. Ia ingin membantah, tapi lidahnya kelu. Ia hanya duduk di tepi ranjang, memegang kepalanya yang berdenyut.
“Lara…” Salsa mendekat, menatapnya penuh kekhawatiran. “Kalau ini makin besar, takutnya ada yang lapor ke Kyai. Dan kalau sampai begitu…”
Salsa tak melanjutkan kalimatnya, tapi Dilara bisa menebak akhirannya.
Malam itu, saat pengajian berlangsung, Dilara benar-benar merasa semua mata tertuju padanya. Bahkan ketika Gus Zizan memulai ceramahnya, ia merasa sorot mata sebagian santri lebih sering mengarah padanya ketimbang kitab di pangkuan.
Dan saat pengajian selesai, sesuatu yang tidak ia duga terjadi. Seorang ustadzah senior memanggilnya dari dekat pintu, wajahnya datar dan suaranya tegas.
“Dilara, setelah ini ikut saya ke kantor ustadzah. Ada yang ingin saya tanyakan.”
Suara itu menggema di telinganya, membuat langkahnya goyah. Ia tahu, badai yang selama ini hanya berputar di antara bisik-bisik gosip… kini mulai bergerak ke pusat kekuasaan pondok.
*
Dilara mengikuti ustadzah senior itu dengan langkah berat. Setiap ayunan kakinya terasa seperti menyeret beban yang tak terlihat. Lorong menuju kantor ustadzah begitu sunyi, hanya terdengar suara sandal ustadzah beradu dengan lantai semen.
Setibanya di depan pintu kayu cokelat itu, ustadzah mengetuk tiga kali sebelum membukanya. Aroma wangi kayu manis bercampur bau kertas tua langsung menyeruak. Kantor itu sederhana—sebuah meja besar di tengah, rak kitab di dinding, dan kursi-kursi kayu di sisi ruangan.
“Duduk, Dilara,” ujar ustadzah itu tegas.
Dilara menuruti, tangannya ia letakkan di pangkuan agar tidak terlihat bergetar.
Ustadzah duduk di kursinya, menatap lurus ke arah Dilara. “Saya mendengar kabar kurang menyenangkan tentang kamu dan Gus Zizan.”
Dilara menelan ludah. “Kabar… apa, Ustadzah?” suaranya hampir tak terdengar.
“Bahwa kamu berduaan di luar pondok tanpa pendamping, pergi ke pasar, dan… membeli barang-barang pribadi dengan uang Gus Zizan.” Nada suaranya tidak meninggi, tapi dingin dan tajam.
Dilara buru-buru menggeleng. “Tidak, Ustadzah. Saya diminta membantu membeli perlengkapan asrama putri. Semua yang kami beli untuk pondok.”
Ustadzah itu menghela nafasnya. “ Kalau begitu, siapa yang menyebarkan cerita berbeda? Dan kamu ini santri baru, kenapa bisa melakukan hal ini?”
Dilara terdiam. Ia tidak mau menyebut nama Wulan, meski hatinya ingin sekali. Tapi sebelum ia sempat menjawab, pintu diketuk lagi.
Seorang ustadzah lain masuk—dan di belakangnya, Wulan berdiri dengan wajah datar, bibirnya mengerucut seperti menahan senyum.
“Ustadzah, ini Wulan. Katanya dia yang tahu kejadian itu,” ujar ustadzah yang baru masuk.
Ustadzah senior menoleh. “Benar, Wulan?”
Wulan melangkah maju, menundukkan kepalanya seolah sedang sopan, tapi matanya melirik ke arah Dilara. “Saya tidak bermaksud memfitnah, Ustadzah. Saya cuma cerita ke teman-teman. Soalnya saya lihat sendiri Gus Zizan dan Dilara keluar pondok pagi-pagi, lalu pulang berdua dari pasar. Kan aneh, Ustadzah… biasanya kalau belanja ada ustadzah atau santri lain yang ikut.”
Dilara menatapnya tak percaya. “Itu tugas dari Gus Zizan untuk saya, Wulan. Kenapa kamu putar-balik ceritanya?”
Wulan mengangkat bahu. “Saya cuma bilang apa yang saya lihat. Kalau orang lain mengartikan lain, itu bukan salah saya. Apalagi kalau berita ini sampai ke telinga Ummi Latifah, pasti kamu kena masalah.”
Ustadzah senior mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. “Cukup. Saya tidak mau ada gosip seperti ini di pondok. Dilara, mulai besok kamu tidak pergi berdua dengan Gus Zizan lagi. Kalau ada tugas keluar, harus ada ustadzah yang mendampingi. Mengerti?”
Dilara menunduk. “Mengerti, Ustadzah.”
Pertemuan itu selesai, tapi rasa panas di dada Dilara belum reda. Saat ia keluar, Wulan berjalan di belakangnya sambil berbisik lirih, cukup keras untuk membuat darahnya mendidih.
“Lain kali hati-hati, Dilara. Orang di sini gampang salah paham.”
Dilara tidak membalas. Ia hanya mempercepat langkah, kembali ke asrama.
Malam itu, ia sulit tidur. Kata-kata ustadzah bergema di kepalanya, begitu juga tatapan puas Wulan. Ia merasa seperti orang yang diseret ke pusaran gosip tanpa bisa melawan.
Keesokan harinya, saat sedang menyapu aula, suara langkah pelan mendekat. Ia menoleh, dan di sana Gus Zizan berdiri.
“Dilara,” panggilnya dengan nada serius. “Saya dengar ada yang memanggil kamu ke kantor ustadzah tadi malam. Apa yang mereka katakan?”
Dilara ragu sejenak. “Hanya… gosip, Gus. Mereka pikir saya dan Gus—”
“Saya tahu,” potong Gus Zizan, suaranya pelan namun mantap. “Jangan khawatir. Saya akan bicara dengan ustadzah.”
Dilara ingin mengucapkan terima kasih, tapi kata-kata itu tercekat. Ia tahu, pembicaraan itu justru bisa memancing gosip baru. Namun, tatapan Gus Zizan saat itu memberi sedikit kelegaan—seakan ia tidak sendiri dalam badai ini.
Yang tidak mereka tahu, di balik pintu aula, Wulan kembali menguping… dan bibirnya membentuk senyum penuh rencana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!