"Kamu itu ayah sekolahkan tinggi-tinggi buat apa!" kata seorang pria paruh baya dengan suara yang sangat keras pada putrinya. "Tentu bukan untuk menjadi istri laki-laki tak berguna macam si Reza itu."
Sang putri yang bernama Rinjani itu hanya bisa menundukkan kepala. Ayahnya marah besar karena malam ini ia datang ke rumah orangtuanya untuk meminjam uang.
Sudah beberapa hari ini, Reza-suami Rinjani menganggur setelah terkena PHK dari pekerjaan sebelumnya sebagai karyawan pabrik.
"Nih, uangnya!" kata Pak Bondan ketus sambil melempar uang itu ke hadapan anak perempuannya.
Beberapa lembar uang itu berhamburan di udara dan jatuh berserakan di lantai serta kaki Rinjani. Melihat itu Rinjani lekas memungut semuanya. Sekali lagi ia menundukkan kepala dan berterima kasih pada sang ayah.
"Terima kasih, Pak. Mas Reza janji akan mengembalikan secepatnya," ujar Rinjani.
"Heleh, janji-janji. Dasar mantu tidak berguna. Lebih baik kamu ceraikan saja dia dan menikah dengan pria yang jauh lebih mapan."
Deg
Rinjani terkejut bukan main saat mendengar ucapan sang ayah yang memintanya berpisah dengan suami yang sangat dicintainya.
"Tapi...Jani masih mencintai Mas Reza, Pak. Lagipula kami juga sudah punya Dhea," sahut Rinjani.
"Memangnya ber-rumah tangga cukup hanya dengan makan cinta, hahhh! Pikir pakai otak kamu itu-- jangan bodoh jadi perempuan. Apalagi kalian sudah punya anak---butuh biaya, bukan cuma makan tapi juga biaya pendidikan anak-anakmu nantinya." tegas Pak Bondan dengan lantang.
"Mas Reza lagi usaha buat nyari pekerjaan yang lebih baik kok, Pak," ucap Rinjani membela suaminya.
"Kerja yang lebih baik apa'an! Sekolah saja enggak, paling juga jadi buruh kasar lagi," tukas Pak Bondan.
"Suami seperti itu masih saja dipertahankan," lanjutnya menggerutu dengan wajah sinis.
Ucapan itu terdengar begitu pedas, menusuk hingga ke relung hatinya yang terdalam. Terutama bagi seseorang yang saat ini berdiri di balik pintu.
Reza tertegun. Tubuhnya bahkan menegang. Niatnya hanya ingin menyusul sang istri. Namun, langkahnya tertahan ketika akan masuk ke dalam rumah mertua dan mendengar semua ucapan ayah mertuanya.
*
*
*
"Huft..." Reza menghela napas panjang, sambil menengadahkan wajahnya. Beberapa kali ia mengerjapkan mata. Kenangan masa lalu itu begitu lekat terekam dalam ingatan. Ucapan yang menyakitkan sekaligus menjadi alasan kuat bagi Reza hingga kini dirinya berada di perantauan jauh dari anak dan istrinya.
Fahreza Amry atau biasa disapa Reza, memang tengah merantau di Kalimantan. Sudah hampir setahun ini dia bekerja di perkebunan kelapa sawit guna mencari nafkah demi kehidupan yang lebih baik bagi anak dan istri tercinta.
Di sana Reza tinggal di mess bersama para pekerja yang lain. Hari-harinya diisi dengan rutinitas seperti biasa, bangun pagi, sarapan, dan berangkat bekerja. Dia bekerja selama beberapa jam, bahkan sering meminta lembur agar mendapatkan uang tambahan. Dan dengan uang itu, Reza bisa mengirimkan uang lebih pada Rinjani.
Tidak masalah jika berpisah sementara, tidak apa-apa juga jika dirinya sendiri harus berhemat. Yang penting kebutuhan anak dan istri tercukupi, dan demi kehidupan yang lebih baik. Reza ingin mewujudkan impian Rinjani untuk memiliki rumah yang indah juga kendaraan roda empat.
Meskipun Reza tidak bisa memungkiri bahwa jauh dari keluarga, membuatnya sering kali merasa kesepian dan selalu dilanda kerinduan. Reza selalu berusaha untuk tetap terhubung dengan anak dan istrinya. Dia merindukan kehangatan dan kebersamaan dengan keluarganya.
Untuk itu, dia sering menelepon Rinjani dan anaknya, guna mengusir rasa kesepiannya serta mengobati kerinduannya. Reza bahkan mengirimkan foto serta video tentang kehidupannya di rantau orang.
Namun, akhir-akhir ini ketika Reza menelpon Rinjani, dia mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Seperti sekarang, sudah berulang kali Reza menghubungi istrinya, tetapi panggilannya tidak kunjung diterima.
Reza kembali melirik ponselnya. "Mungkin dia lagi tidur," gumamnya menghibur diri sendiri. Ia lalu mengetik pesan singkat, berharap sang istri akan membalasnya nanti.
["Sayang, aku rindu. Bagaimana kabarmu dan Dhea"]
Reza pun melanjutkan kembali pekerjaannya dan akan menghubungi Rinjani lagi nanti.
Malam harinya sepulang kerja, Reza mencoba menghubungi Rinjani lagi dan terhubung.
"Hallo, Sayang. Semalam aku menelponmu tapi tidak kamu angkat. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Reza dengan khawatir.
"Maaf, Mas. Aku sedang tidak enak badan, makanya tidur lebih cepat. Uhuk...uhuk..." jawab Rinjani dari seberang telepon. Suara Rinjani terdengar pelan, tidak seperti biasanya.
"Sayang, apa kamu sakit? Suaramu terdengar berbeda?" tanya Reza lagi.
"Hanya batuk sedikit, kok. Nggak usah khawatir gitu, aku bisa menjaga diriku sendiri. Sudah ya, Mas. Kepalaku sedikit pusing, aku mau lanjut istirahat," kata Rinjani langsung memutus sambungan teleponnya.
"Aneh," gumam Reza dengan dahi berkerut. "Rinjani seperti menghindariku?" tanyanya semakin heran pada diri sendiri seraya menatap telepon yang sambungannya sudah diputuskan oleh sang istri.
Reza mencoba untuk berpikir positif dan tidak memikirkan hal itu, tetapi dia tidak bisa menghilangkan perasaan curiga yang mulai merasuki pikirannya.
Reza merasa bahwa Rinjani seolah sedang menyembunyikan sesuatu darinya, tetapi dia tidak tahu apa.
Reza tidak bisa tidur malam itu. Dia terus memikirkan tentang Rinjani dan apa yang mungkin terjadi. Dia berpikir-- mungkin saja istrinya itu sedang mengalami kesulitan atau memiliki masalah yang tidak bisa dia selesaikan sendiri.
Keesokan harinya, Reza memutuskan untuk menghubungi saudara Rinjani, yaitu Rani, untuk bertanya tentang keadaan Rinjani.
"Hallo, Za. Ada apa, ya? Tumben telepon?" tanya Rani.
"Aku mau tanya keadaan Jani, Ran. Apa keadaannya sudah membaik? Soalnya aku telepon semalam dia bilang kurang enak badan," kata Reza.
"Ah... iya. Tapi sudah baikan, kok. Sudah dikerik dan minum obat. Kamu tidak usah khawatir." Rani meyakinkan.
"Oh, ya, Ran. Apa kamu tahu-- mungkin Rinjani punya masalah atau mengalami kesulitan?"
"Maaf ya, Za. Kalau soal itu aku kurang tahu,"
"Ya sudah...terima kasih ya, Ran." Reza langsung memutus panggilan teleponnya.
Reza semakin didera rasa curiga. Rani juga sepertinya menutupi sesuatu darinya.
Reza memutuskan untuk menghubungi Dimas-temannya yang merupakan tetangga di kampung-- untuk meminta bantuan. Dimas pun setuju untuk menyelidiki Rinjani dan memberikan laporan kepada Reza.
Beberapa hari kemudian, Dimas menghubungi Reza dan memberikan laporan yang mengejutkan.
"Hallo, Za. Beberapa hari yang lalu, aku melihat istrimu bersama dengan pria lain di tempat wisata, dan sepertinya dia bukan warga kampung kita," tutur Dimas.
Duuaarrr!!!
Reza merasa seakan tersambar oleh petir di siang bolong. Dia tidak percaya sang istri bisa melakukan hal seperti itu. Namun, dia kembali bertanya untuk meyakinkan bahwa pendengarannya tidak salah.
"Apa kamu yakin, Dim? Atau mungkin orang yang mirip?"
"Oh iya... sebentar. Aku kirim foto juga video mereka yang sempat aku rekam," kata Dimas.
Ting
Begitu pesan masuk, Reza segera membuka video itu. Dia diam terpaku, tubuhnya menegang seketika dengan rahang yang mengeras. Namun kemudian matanya menyipit tajam saat mengetahui siapa pria itu. "Tidak mungkin kan, mereka tega...?
...----------------...
Gagal... Coba lagi, usaha lagi sampai mencapai retensi. Tetap semangat jangan menyerah. Tapi kalau masih gagal lagi terpaksa hapus lapak seperti sebelumnya.
Mohon kerja sama dan dukungannya ya, gaes🙏 Tolong jangan skip atau lompat bab dalam membaca cerita ini.
Bagi kami author amatir yang hanya memiliki segelintir pembaca setia, kami hanya mengandalkan pembaca yang bersedia mampir agar tetap semangat melanjutkan cerita.
Terima kasih 🫰🫶
Reza mulai dilanda dilema. Batinnya menolak mempercayai apa yang dilihatnya, tetapi tatapan mata itu mengisyaratkan sesuatu. Sebagai seorang pria dewasa yang pernah mengalami jatuh cinta, tentu ia tahu apa arti tatapan mata seorang pria yang begitu dalam terhadap lawan jenisnya.
"Nggak mungkin...! Mereka nggak mungkin menjalin hubungan, kan?" tanya Reza pada diri sendiri seraya meremat dadanya. Ia kemudian mengelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang terus menghantuinya.
Reza pergi ke toilet, dia membasuh wajah hingga kepala agar otaknya lebih segar. Dia bahkan membiarkan bajunya bagian atas basah oleh air.
Hal itu memancing perhatian rekan kerjanya dan bertanya-tanya ada apa gerangan dengan Reza. Pria yang tidak banyak bicara tetapi sangat gila kerja.
"Ada apa denganmu, Za? Kenapa kamu membasahi kepalamu macam anak kecil yang menahan rasa haus ketika berpuasa, hhhh?" tanya sebut saja Agus sambil terkekeh geli.
"Entahlah, otakku rasanya panas," sahut Reza sekenanya.
"Kalau ada masalah, nggak ada salahnya kamu berbagi sama kami di sini. Siapa tahu kami bisa membantumu," sambung Bagas.
Reza tampak menarik napas berat, sebelum mengatakannya. "Akhir-akhir ini istriku sulit dihubungi. Dia...seperti menghindariku. Entah ini perasaanku saja atau memang ada sesuatu yang dia sembunyikan."
Kedua temannya itu saling berpandangan, lalu Agus bertanya dengan hati-hati, "Apa kamu sudah menghubungi saudara kamu, atau teman istrimu?"
"Sudah... Terakhir aku menghubungi istriku, dia bilang, 'lagi nggak enak badan.' Lalu aku menghubungi sepupunya juga mengatakan hal yang sama." Reza menghela napas panjang lalu mengeluarkan dengan kasar.
"Tapi aku merasa mereka menutupi sesuatu dariku," lanjutnya menambahkan.
"Mungkin istrimu lagi sibuk atau punya kegiatan lain, sehingga tidak sempat menerima telepon darimu," respon Bagas mencoba berpikir positif.
"Sudah, Bro. Jangan terlalu dipikirkan. Inilah resiko kita mencari nafkah jauh dari keluarga. Meski terkadang pikiran-pikiran negatif selalu datang menghampiri," cetus Agus.
"Benar kata Agus, Za. Tujuan kita di sini bekerja mencari nafkah untuk keluarga di kampung. Jadi, lebih baik berpikir positif---semoga istrimu baik-baik saja," timpal Bagas seraya menepuk pundak Reza.
Obrolan ketiganya terhenti ketika melihat mandor mereka datang mendekat.
"Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini, bukannya kerja?" tanya Mandor Sobri. Tatapan matanya sangat tajam seakan ingin menerkam ketiganya.
"Tidak ada apa-apa kok, Pak. Cuma ini--- tadi ada ular, jadi kami rehat sebentar untuk mengusirnya," jawab Bagas beralasan.
"Ya sudah, kerja lagi sana. Awas kalau sampai kalian bermalas-malasan!" gertak Mandor Sobri lalu meninggalkan ketiga orang itu.
"Baik, Pak." Ketiga pria dewasa itu menjawab serentak, lalu kembali ke tempat kerja masing-masing.
Meskipun pikiran Reza masih berkecamuk, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus agar tidak membuat kesalahan yang bisa berakibat fatal.
Reza tidak menyadari bahwasannya sejak tadi ada sepasang mata yang terus memperhatikannya dari balik kaca jendela di salah satu ruangan.
Fahreza Amry, pria berparas lumayan tampan, meski terkadang harus berpanas-panasan di bawah terik matahari. Seorang pria yang menarik perhatiannya dan berhasil membuat jantungnya bergelenyar aneh, sejak pertama kali melihatnya bekerja di perkebunan. Namun sayangnya, pria itu adalah suami orang.
Sore itu selepas jam kerjanya, Reza buru-buru pulang ke mess. Wajahnya tampak lelah. Bukan badannya saja tetapi juga pikirannya.
Reza segera mandi, lalu setelah itu meraih ponselnya--berniat menelpon sang istri. Namun, kembali dia harus menelan kekecewaan karena hanya disambut oleh suara operator.
"Ada apa... apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Jani? Ya Tuhan, jangan biarkan pikiran buruk terus menghantuiku."
Reza menggigit bibirnya dengan mata terpejam. Seketika bayangan istrinya bersama pria lain berkelebat di pelupuk mata.
"Tidak...! Aku tidak bisa terus begini. Lebih baik aku minta ijin untuk pulang ke kampung sebentar. Besok aku akan menemui Bu Marisa," pikir Reza.
"Kalaupun dipaksa untuk bekerja, toh, aku juga tidak akan tenang dan fokus," imbuhnya.
*
*
*
*
*
Sementara itu, di tempat yang jauh, beribu² kilometer dan terpisah pulau dari sang suami, Rinjani bersama Dhea-anaknya, dan seorang pemuda tampak berjalan menyusuri tepian pantai yang berpasir putih sambil bergandengan tangan. Rona bahagia tampak terpancar dari wajah mereka.
Tawa renyah mengiringi langkah mereka lewat candaan kecil yang terlontar dari bibir Farhan, mampu menciptakan nuansa hangat dan menyenangkan yang mewarnai suasana pantai nan cerah di sore hari itu.
Sekumpulan awan putih menggantung di langit biru menciptakan panorama yang sayang untuk dilewatkan.
Ketiganya kemudian duduk di atas bebatuan dengan Dhea berada di pangkuan pemuda itu, menikmati keindahan senja yang menghiasi langit di Pantai Klayar sore itu.
"Dhea, seneng nggak pergi sama, om?" tanya pemuda itu.
Dhea mengangguk sambil memainkan ujung bajunya.
Pemuda itu pun menciumi pipi Dhea sambil menggelitik badannya membuat sang bocah memberontak kegelian.
Tiba-tiba ponsel Rinjani berdering, lalu ia mengambilnya dan melihat nama sang suami tertera di layar.
"Ck..."Rinjani berdecih, sambil menatap ponselnya dan memilih mengabaikan panggilan tersebut. Hingga berulang kali panggilan itu terus berlanjut, tetapi Rinjani dengan sengaja tidak berniat mengangkat panggilan telepon dari Reza-suaminya.
"Siapa yang menelpon, Sayang?" tanya pemuda itu.
"Mas Reza," sahut Rinjani singkat dengan bibir menyebik serta mengangkat bahunya.
"Sudah hampir gelap, sebaiknya kita pulang. Jangan sampai kemalaman--kasihan Dhea. Angin malam tidak baik untuk anak kecil."
Satu jam perjalanan, mereka tiba di rumah Rinjani dan Reza. Pemuda itu menghentikan motornya di halaman.
"Aku pulang, ya. Jangan terlalu banyak berpikir. Nikmati saja apa yang bisa membuatmu bahagia," ucapnya dengan lembut.
"Aku akan selalu bersamamu dan mendukungmu," lanjutnya seraya melabuhkan kecupan di kening Rinjani.
Rinjani menganggukkan kepalanya menatap sang pemuda. Keduanya saling melemparkan senyuman dengan pandangan penuh arti.
"Kamu sama dia makin dekat aja, Jan. Tapi ingat, statusmu itu istri orang. Jangan dekat-dekat sama pria lain yang bisa menimbulkan fitnah," celetuk Rani, setelah melihat pemuda yang mengantar Rinjani pergi.
Wanita itu baru saja keluar dari rumahnya dan melihat interaksi yang menurutnya tak wajar.
"Nggak usah kepo, deh. Lebih baik urus saja urusanmu sendiri," balas Rinjani dengan sewot.
"Bilang saja kamu itu sebenarnya iri sama aku. Sampai umur segitu kamu bahkan belum laku," lanjutnya sarkas.
Rani tergelak lalu berdecih, "Cih... Siapa juga yang iri. Aku itu cuma kasihan aja sama Reza."
"Dia kerja keras banting tulang sampai ke seberang pulau demi kalian. Bahkan kemarin dia menghubungiku saking khawatirnya sama kamu karena susah dihubungi, tapi ternyata..." sindir Rani seraya memutar bola matanya.
Rinjani tertegun sesaat, tetapi kemudian menguasai dirinya. "Kamu tidak tahu apa-apa tentang hidupku dan Mas Reza," kata Rinjani ketus.
"Jadi, jangan sok ikut campur urusanku. Paham!" lanjutnya menegaskan. Lalu Rinjani bergegas masuk ke rumahnya.
Rani menatap kepergian Rinjani dengan pandangan rumit, seraya menggelengkan kepala.
*
*
*
Malam ini Reza mencoba untuk tidur dengan tenang guna melepaskan beban pikirannya yang terus dibelenggu oleh pikiran-pikiran buruk. Namun, baru saja dia sedikit terlelap ponselnya berdering.
Reza tersenyum, ketika nama "My Wife" tertera di layar. Dengan antusias dia segera mengangkatnya panggilan tersebut.
"Halo, Sayang. Syukurlah kamu menghubungiku. Aku kangen sekali sama kamu juga Dhea. Apa kamu sudah sembuh? Aku sangat khawatir dari kemarin kamu susah sekali dihubungi..." cerocos Reza saking bahagianya.
"Kamu ini apa-apaan sih, Mas? Nyerocos kaya petasan rombeng!" sembur Rinjani dari seberang telepon.
Reza mengernyit bingung, 'apa ada yang salah dengan ucapannya?'
"Sayang...kamu kenapa? Maaf, apa ada ucapanku yang salah?" tanya Reza sambil mengacak kepala belakangnya.
"Kamu itu ya, Mas. Ngapain sih, pakai nelepon si Rani segala tanya kabar aku!" kesal Rinjani.
"Memangnya nggak bisa sabar, apa? Apa kamu pikir yang punya kepentingan itu kamu saja, Mas? Sehingga aku harus selalu standby nungguin telepon kamu terus?" lanjutnya masih dengan rasa kesal.
"Sayang, bukan begitu maksudku..."
"Oooh...aku tahu. Jangan-jangan kalian ada hubungan di belakangku... iya?" tuduh Rinjani yang membuat Reza membeku beberapa saat, tak mampu berkata-kata.
Keesokan harinya Reza mendatangi ruangan bosnya untuk meminta ijin. Semalam matanya benar-benar tak bisa terpejam. Kata-kata Rinjani sangat mengusik pikirannya, sehingga tekadnya untuk pulang semakin kuat. Dia harus menuntaskan kesalahpahaman ini.
Setiba di depan ruangan dia berhenti sejenak. Mengambil napas dalam-dalam, dan membuangnya perlahan, lalu mengetuk pintu.
Tok... tok... tok
"Masuk," terdengar suara lembut dari dalam ruangan.
"Selamat pagi, Bu," sapa Reza dengan sopan, lalu masuk ke dalam ruangan sambil menundukkan kepala hormat kepada makhluk cantik ciptaan Tuhan, yang duduk di kursinya dengan anggun.
"Selamat pagi, Mas Reza," jawab Marisa.
"Ada apa, ya, tumben pagi-pagi menemui saya?" tanyanya kemudian seraya melepas kacamata yang dipakainya.
"Emmm... Begini, Bu. Saya bermaksud meminta ijin pulang kampung untuk menengok keluarga di kampung," kata Reza jujur.
Marisa menatap Reza dengan lekat. Kemudian tersenyum teduh. "Baiklah, saya kasih Mas Reza ijin satu minggu, ya," kata Marisa.
"Terima kasih, Bu. Kalau begitu saya permisi," ucap Reza. Ia merasa gugup dan tidak nyaman.
Reza merasa tak sanggup jika harus berlama-lama di ruangan itu hanya berdua dengan sang bos yang auranya sangat dominan.
"Oh ya, apa Mas Reza sudah memesan tiket?" tanya Marisa.
Tangan Reza yang hampir menyentuh daun pintu terhenti seketika lalu ia membalik badan.
"Belum, Bu," jawab Reza sambil tersenyum kikuk.
"Apa Mas Reza merasa keberatan jika saya pesankan tiket?" tanya Marisa menawarkan.
"Tapi...apakah tidak merepotkan Ibu?" balas Reza dengan sungkan.
"Tentu saja tidak. Tunggu sebentar, ya." Marisa lalu fokus pada layar laptopnya sambil tangannya mengetikkan sesuatu, hingga beberapa saat kemudian.
"Nah, sudah. Tiketnya sudah saya kirim ke WA Mas Reza," kata Marisa.
Ting
Pesan masuk ke WA Reza, dan pria itu segera memeriksanya. Reza langsung tersenyum melihat tiket pesawat yang sudah dipesan oleh Marisa. Ia merasa terharu dan bersyukur atas kebaikan bosnya itu yang mau repot-repot membelikan tiket pesawat untuknya.
"Terimakasih, Bu. Nanti uang ganti tiketnya dipotong gaji saya saja," kata Reza merasa tak enak hati.
"Ahhh...itu bisa diatur." Marisa berkata dengan senyumnya yang menawan.
"Sekali lagi...terima kasih, Bu. Kalau begitu saya pamit." Reza menundukkan kepalanya sekali lagi sebagai wujud kesopanannya. Lalu dengan segera meninggalkan ruangan bosnya.
Reza berhenti di depan pintu, ia memegang dadanya sambil mengembuskan napasnya lega. Setelahnya Reza pun melanjutkan langkahnya kembali menuju mess. Ia akan segera bersiap untuk pulang kampung.
Sementara di dalam ruangan yang masih menyisakan Marisa seorang diri-- wanita itu berdiri dari duduknya dan membawa langkahnya ke depan jendela. Menatap kepergian Reza dengan pandangan yang dalam serta senyuman tipis yang tersungging di bibirnya.
*
*
*
Jika Reza tengah sibuk dengan persiapannya untuk pulang kampung, di sisi lain--Rinjani justru semakin terjerat pesona sang pemuda. Meski ia tahu bahwa ini salah, tetapi ia tidak bisa mengendalikan perasaannya. Menurutnya cinta tidak bisa memilih kepada siapa dia akan bermuara.
Rasa nyaman ketika bersama pemuda itu, lambat laun membuatnya mulai merasa ketegantungan. Dan ternyata perasaannya pun bersambut.
Tanpa canggung mereka menikmati hubungan itu, dan dari hari ke hari makin lengket layaknya suami istri. Mereka berdua mengabaikan tatapan ingin tahu dari tetangga bahkan teman.
Rani, sepupu Rinjani yang kebetulan bekerja di kantor yang sama dengan pemuda gebetan Rinjani itu pun tak mau lagi berkomentar. Sejak hari di mana dia yang hanya sekedar mengingatkan, Rinjani justru menuduhnya memiliki hubungan dengan Reza. Parah memang.
Anehnya tak seorangpun yang menegurnya atau mungkin mereka memang menutup mata? Seperti saat ini keduanya tengah berada di supermaket yang ada di kota-nya.
Hari ini Rinjani ulang tahun, malam ini-- wanita itu ingin merayakannya bersama keluarganya. Karena itu dia mengajak sang pemuda untuk menemaninya berbelanja, di supermaket yang ada di kota-nya guna membeli barang-barang yang ia butuhkan.
"Sayang...ini bagus, nggak?" tanya Rinjani sambil menempelkan sebuah gaun pada tubuhnya.
"Bagus," kata pemuda itu seraya mengangkat jempol tangan kanannya. "Dicoba saja jika kamu suka, Sayang," imbuhnya.
Rinjani tersenyum, lalu pergi ke kamar ganti. Pemuda itu menunggunya di luar. Tak berapa lama Rinjani keluar dengan memakai gaun yang dipilihnya tadi.
"Bagaimana?" tanyanya dengan senyum malu-malu.
Pemuda itu memandangnya dengan mata berbinar, lalu tersenyum. "Kamu terlihat sangat cantik, Sayang. Gaun itu sangat cocok untukmu," pujinya, membuat hati Rinjani merasa bergetar mendengarnya. Ia merasa seperti sedang melayang di atas awan.
Kemudian pemuda itupun mencoba kemeja yang menjadi couple dari gaun itu. Setelah selesai selanjutnya mereka berburu barang-barang yang lain.
Puas berbelanja mereka memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu sebelum pulang. Mereka sama sekali tidak merasa bersalah, padahal uang yang mereka gunakan adalah uang hasil kerja keras Reza di rantau orang. Akan tetapi, mereka malah mempergunakannya untuk berfoya-foya.
*Nasibmu, Za.😭
*
Reza akhirnya sampai juga di rumahnya setelah melalui perjalanan yang melelahkan baik darat maupun udara. Tak lupa pria itu menyempatkan singgah di toko kue dan bunga untuk sang istri tercinta.
Reza tersenyum melihat rumahnya yang dulu masih batu bata, kini telah berubah menjadi hunian yang layak. Dan sekarang dia sedang memikirkan untuk membelikan kendaraan roda empat sebagai hadiah ulang tahun buat istrinya itu.
Dengan pasti Reza membawa langkahnya memasuki halaman rumahnya sambil membawa kue ulang tahun serta buket bunga. Reza ingin memberi kejutan karena ia tahu hari ini adalah ulang tahun sang istri tercinta. Namun, ia langsung mengernyitkan dahi ketika melihat rumahnya tampak ramai.
Akan tetapi, langkahnya terhenti tepat di depan pintu begitu dia sampai di sana. Dengan jelas dia mendengar ucapan sarkas sang ayah mertua. Lalu pandangannya mengarah kepada istri yang sedang memejamkan matanya dilanjutkan dengan meniup lilin.
Hampir saja Reza melangkah masuk ke dalam rumah, ketika melihat sang istri tersenyum, tetapi tatapan matanya tampak mesra ke arah pria lain. Kemudian menyuapkan potongan kue pertama yang seharusnya adalah dirinya. Apalagi pemuda itu tersenyum lalu melabuhkan kecupan mesra di kening Rinjani.
Reza seolah tertampar oleh kenyataan menyaksikan pemandangan yang ada di depan matanya.
"Nggak mungkin...!" Reza masih mencoba menyangkal, tetapi melihat pakaian yang mereka kenakan seakan membuktikan bahwa ada sesuatu di antara mereka.
Reza merasa tubuhnya bergetar hebat, dadanya bergemuruh menahan gejolak amarah di dada. Dia berusaha untuk menahan diri, lalu mengambil ponselnya dan menekan nomor Rinjani.
Tampak oleh Reza, Rinjani sangat terpaksa menerima panggilan darinya lalu masuk ke dalam kamar.
"Kamu di mana?" tanya Reza.
"Ya di rumah lah, Mas. Aku lagi nonton tivi sama Dhea," jawab Rinjani.
"Apa kamu berkata jujur?" tanya Reza lagi.
"Apa maksud kamu sih, Mas? Kamu tidak percaya padaku dan mulai meragukanku?" Rinjani balik bertanya dengan suaranya terdengar emosi.
"Coba, buka gorden jendela kamarmu..." kata Reza.
Rinjani berjalan menuju jendela. Matanya membelalak sempurna ketika melihat Reza berada tepat di depan jendela sambil menggenggam ponselnya.
"Mas Re-za...." cicitnya dengan ekspresi terkejut. Ponsel di tangannya terjatuh seketika.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!