"Bangsat ...!" Lelaki berjenggot tebal yang sudah dikuasai emosi bergerak cepat menyerang Ranu. Temannya pun ikut menyusul memberikan serangan dengan gencar.
Sambil menyunggingkan senyum, Ranu menghindari serangan mereka berdua dengan mudah. Namun meskipun begitu, Ranu sedikit berhati-hati dengan jurus yang mereka pakai. Dia tidak ingin terkena racun lagi seperti ketika berada di daratan Walidwipa.
"Kau jangan kuatir dengan racun mereka, Ranu!" ucap Geni tiba-tiba.
"Tidak boleh kuatir bagaimana maksudmu? Apa kau lupa aku pernah terkena racun parah," jawab Ranu. Tubuhnya bergerak menyamping untuk menghindari telapak tangan lawan yang mengarah kepadanya.
"Yang menyembuhkan racun di tubuhmu saat itu adalah energi Dewa api yang ada di tubuhmu. Aku melihat sendiri ular api membersihkan racun itu!" jawab Geni, "Lagi pula racun lawanmu kali ini tidak terlalu kuat."
"Jadi begitu. Terima kasih, Geni."Ranu bergerak lebih cepat untuk segera melumpuhkan mereka berdua.
"Langkah Angin!"
Ranu melesat di antara mereka berdua dan memberikan dua pukulan beruntun yang mengena dengan telak di perut keduanya hingga terjengkang.
"Cepat sekali! Bahkan aku tidak melihat gerakannya."gumam lelaki berjenggot tebal.
Mereka berdua langsung bangkit dan menghunus pedangnya masing-masing. Mereka tidak menghiraukan darah yang sudah mengalir dari sudut bibir mereka.
"Kalian hanya membuang waktuku saja!" Ranu mendegus kesal.
Dia kembali melesat untuk memberikan serangan dengan begitu cepat. Dalam dua gebrakan saja, keduanya kembali terjengkang jauh ke belakang. Rusuk mereka berdua patah setelah pukulan Ranu menghajarnya. Keduanya memuntahkan darah segar karena tulang rusuk yang patah menancap di hati mereka. Sesaat kemudian, keduanya menghembuskan nafas terakhir
Pemuda itu berjalan menuju ruangan Wismoyo. Belum sempat dia masuk, Ranu langsung meloncat ke samping karena sebuah energi besar yang berasal dari dalam ruangan sudah mengancamnya.
Wismoyo melesat keluar dan berhenti tepat di depan Ranu, "Setahuku kita tidak pernah punya masalah, Anak muda. Tapi kenapa kau menyerang perguruanku.
"Aku memang tidak punya masalah denganmu. Tapi kau telah membantu Panca membunuh ayah temanku!"
"Oh, aku paham sekarang yang kau maksud. Suliwa yang penyakitan itu memang pantas mati, dan Panca sudah menguasai perguruan itu!"
Ranu tertawa mengejek, "Dan Panca pun sudah mati dengan mengenaskan. Sekarang giliranmu yang menyusulnya menemui raja neraka!"
"Hahaha... kau bisa membunuh Panca, bukan berarti bisa membunuhku!" Wismoyo tergelak menyembunyikan keterkejutannya.
"Silahkan kau tertawa sekarang. Tapi nanti tawamu itu akan ikut mengantarmu ke neraka!"
"Bajingan ... akan kurobek mulutmu itu!" teriak Wismoyo. Dia langsung memasang kuda-kudanya dan bersiap menyerang.
Dalam satu tarikan nafas, Wismoyo melesat menyerang Ranu dengan tangan kosong. Ketua Perguruan Tapak Iblis itu cukup yakin dengan kemampuan jurus beracunnya.
Tangan Wismoyo mengepulkan asap hitam menandakan dia sudah menggunakan jurus-jurusnya yang mengandung racun Ranu terus bergerak menghindari serangan Wismoyo yang berangsur cepat. Meski Geni sudah mengingatkannya bahwa racun yang dimiliki perguruan itu bukan termasuk racun kelas tinggi, Ranu tidak mau gegabah dengan membiarkan serangan lawan mengenai tubuhnya.
Diakui atau tidak, Ranu masih merasakan sedikit rasa trauma akibat racun kalajengking putih yang dulu sempat bersarang di tubuhnya.
Kesal karena setiap serangannya hanya dihindari terus-terusan oleh Ranu, Wismoyo mengumpat dengan keras, "Bajingan, serang aku! jangan menghindar saja seperti pengecut!
Wismoyo merapalkan mantra untuk mengeluarkan jurusnya yang lebih tinggi lagi. Kepulan asap hitam yang keluar dari tangannya semakin tebal.
Ranu menarik sedikit energi dewa api untuk melindungi tubuhnya jika serangan Wismoyo mengenainya.
"Mati kau!" teriak Wismoyo sebelum kembali melesat memberikan serangan.
"Pukulan Tapak Racun!"
Ranu tidak mau kalah, dia mengeluarkan Pukulan Tapak Emas pembunuh untuk menahan serangan Wismoyo.
Blaaar!"
Dua telapak tangan keduanya beradu dengan energi besar hingga menimbulkan ledakan yang membuat debu mengepul tebal. Wismoyo yang tidak menduga serangannya bisa dipatahkan lawannya, menambah lagi kekuatannya
Tidak berhenti sampai di situ, keduanya kembali bertarung dengan jarak dekat. Ledakan kecil terdengar berulang kali setiap kali telapak tangan keduanya beradu.
Hingga pada suatu ketika, Ranu yang terlambat menghindar harus merelakan dadanya terkena sambaran telapak tangan Wismoyo yang mengandung racun.
"Mati kau!" Wismoyo tertawa terbahak-bahak.
Meski terdorong ke belakang, Ranu tidak merasakan ada racun yang masuk ke tubuhnya. Ternyata ucapan Geni benar adanya, pikir Ranu.
Dia juga merasa beruntung sudah membuat pelindung dari energi Dewa Api sehingga serangan Wismoyo tadi tidak berpengaruh apa-apa di tubuhnya.
"Tidak mungkin!" pekik Wismoyo. Dia sangat tidak percaya melihat pemuda di depannya baik-baik saja.
"Racun kelas rendah seperti itu masih kau pakai saja, Orang Tua!" cibir Ranu.
"Kau boleh sombong saat ini, Anak Muda! Tapi kesombonganmu itu akan berakhir hari ini juga!" Wismoyo menarik pedang yang tergantung di pundaknya. Dia yakin pedangnya akan bisa membunuh lawannya kali ini, karena dia melihat Ranu tidak membawa senjata apapun.
"Oh, ternyata kau mau bermain-main dengan pedang, Orang tua. Baiklah, aku tidak akan segan membakarmu dengan cepat."
Ranu menarik pedang Segoro Geni dari Ruang Pemusnah
dan mengarahkan ujung bilah pedangnya ke arah Wismoyo, "Ayo kita mulai sekarang!"
Ranu mengalirkan tenaga dalamnya ke bilah pedangnya.
Seketika, pedang di tangannya berkobar hebat.
"Sihir ...!" Wismoyo meloncat jauh ke belakang karena saking terkejutnya.
"Terserah kau mau bilang apa, tapi yang pasti, aku akan segera membakarmu hingga menjadi abu!" cibir Ranu membalas ucapan Wismoyo.
Meski kaget dengan pedang di tangan Ranu yang mengeluarkan kobaran api, Wismoyo cukup yakin jika api itu hanya tipuan mata saja. Sebab dia tidak melihat lawannya kepanasan akibat kobaran api itu.
"Jangan kau kira ilmu tipuan seperti itu bisa membuatku takut, Anak Muda!"
Ranu hanya tertawa kecil dan tidak menyahuti ucapan Wismoyo.
Sementara itu di tempat lain, Mahesa dan Bawono mengamuk bagai banteng yang terluka. Kombinasi yang mereka ciptakan dengan mendadak terbukti berhasil membuat hampir dua ratus anggota Perguruan Tapak Racun meregang nyawa.
Dengan saling memunggungi, mereka berdua melancarkan serangan kepada kurang lebih seratus orang yang masih mengeroyok mereka berdua.
"Paman, jika mendengar kode dariku, segeralah meloncatlah setinggi mungkin," kata Mahesa dengan sedikit keras.
Mahesa mengalirkan tenaga dalamnya lumayan besar ke dalam bilah pedangnya. Dia hendak memberikan serangan beruntun kepada lawan yang mengeroyok mereka berdua.
Pedang di tangan Mahesa bersinar semakin terang, "Sekarang!" teriaknya.
Bawono meloncat ke atas setinggi sekitar 7 meter. Di saat bersamaan, Mahesa berputar dua kali dengan cepat sambil melesatkan jurus Pedang Penebas Embun.
Teriakan kematian terdengar bersamaan ketika kurang lebih 40 orang mati mengenaskan, dengan tubuh terpotong menjadi dua.
Anggota perguruan yang tersisa tidak berani mendekat lagi. Bahkan sebagian dari mereka berlari keluar dari perguruan untuk menyelamatkan diri.
Bawono yang tadi sempat melihat ke bawah hanya bisa terpesona. Dilihatnya sebentuk energi berwarna hijau melesat keluar dari bilah pedang Mahesa dengan begitu cepat menerjang lawan-lawannya.
***
Maaf ya teman teman belum cerita LEGENDA PENDEKAR DEWA API BELUM BECUS.Karena noveltoon ini belum kasih saya kontrak. mulai sekarang ceritanya di sini aja di lanjutin ya teman teman. sekian terimakasih.
"Kalian berdua dari daratan Jawata mempunyai jurus yang benar aneh." Bawono berkata pelan sesaat setelah mendarat.
"Di sini sebenarnya ada, tapi belum ketemu saja sama orangnya," balas Mahesa sambil tetap memasang sikap waspada. Matanya menatap sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada lagi anggota Perguruan Tapak Iblis yang akan menyerang mereka lagi.
***
Pertarungan Wismoyo dan Ranu kembali berlanjut, dalam gebrakan pertama, Wismoyo dibuat kaget dan meloncat mundur karena api yang dikiranya hanya permainan ilusi, ternyata terasa benar-benar panas. Tangannya hampir saja terbakar andai dia tidak segera menarik pulang serangannya.
"Edan ...! Kekuatan pemuda itu masih jauh di atasku," gumam Wismoyo. Pandangan matanya tertuju kepada tumpukan ratusan mayat anggotanya yang berserakan tidak karuan. Dan yang membuatnya semakin miris, sebagian mayat anggotanya terpotong menjadi dua bagian.
Melihat rasa takut di wajah Wismoyo, Ranu tersenyum kecil. "Aku akan melepaskanmu jika kau memberi informasi di mana pendekar berjuluk Racun Utara?"
"Apa kau berjanji akan melepaskanku jika aku memberimu informasi itu?" senyum licik terkembang di bibir Wismoyo.
"Aku berjanji tidak akan membunuhmu. Dan janji seorang pendekar itu pantang untuk diingkari."
"Di puncak gunung Soputan ada sebuah perguruan besar. Namanya Perguruan Jiwa Darah. Di sanalah Racun Utara berdiam," jawab Wismoyo.
"Mampus kau!" ucap Wismoyo dalam hati. Akal liciknya langsung bekerja. Selain untuk menyelamatkan dirinya sendiri, juga untuk mencelakakan pemuda yang ada di depannya itu.
"Apa ucapanmu bisa dipegang?"
"Bukankah kau bilang janji seorang pendekar itu pantang untuk di ingkari?" ejek Wismoyo.
"Baiklah."
Ranu kemudian bertepuk tangan memanggil Mahesa dan Bawono yang sudah menyelesaikan pertarungannya.
"Ada apa, Ranu?" tanya Bawono
"Kalian boleh membunuhnya!" jawab Ranu singkat.
Wismoyo terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan Ranu. Keringat dinginnya langsung keluar dan lututnya bergetar.
"Tunggu! Kau bilang tidak akan membunuhku jika aku sudah memberimu informasi. Apa kau sudah lupa janji seorang pendekar itu pantang untuk diingkari?"
"Aku tidak pernah mengingkari janji dan selalu menepatinya," Sambil tersenyum tipis, Ranu menjawab pertanyaan Wismoyo.
"Lalu tadi...?" sahut Wismoyo cepat.
"Aku sudah berjanji tidak akan membunuhmu, dan aku menepatinya," Ranu kembali tertawa kecil, "Tapi mereka yang akan membunuhmu!"
"Bajingan tengik!" umpat Wismoyo sebelum menyerang saking putus asanya.
Pedangnya berkelebat cepat ke arah Ranu. Namun dia dibuat terkejut karena serangannya hanya menerpa ruang kosong. Pemuda itu sudah tidak berada di tempatnya semula.
Perhatian Wismoyo beralih kepada Bawono dan Mahesa yang berada di dekatnya.
Secepat kilat Wismoyo menghujamkan pedangnya ke tubuh Mahesa. Namun lagi-lagi Wismoyo dibuat terperangah karena pedangnya menerpa Perisai Giok Salju yang dipasang Mahesa.
"Tidak mungkin!" Wismoyo tersurut mundur.
Bawono pun senada dengan Wismoyo. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Berkali-kali dia dibuat terkejut dengan kemampuan dua pemuda dari daratan Jawadwipa itu.
"Apakah sudah selesai seranganmu?" cibir Mahesa.
Wismoyo tidak menjawab, dia langsung berlari dengan kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Mahesa tidak tinggal diam, dia menarik Pedang Giok Iblisnya dan menyabetkannya ke arah Wismoyo yang sudah berlari cukup jauh. Beberapa pisau es yang berukuran cukup besar melesat mengejar Wismoyo.
Kecepatan pisau es yang dilesatkan Mahesa melaju hampir tidak terlihat. Tiba-tiba saja Wismoyo terjungkal, setelah sebuah pisau es menancap di punggungnya hingga tembus ke depan.
Ranu dan Labosi berjalan mendekati Mahesa dan Bawono, setelah melihat Wismoyo terkapar meregang nyawa.
"Mari kita kembali ke perguruan!" ucap Ranu.
Setelah sampai di Perguruan Pedang Emas, mereka berempat berbicara di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar.
"Labosi, untuk ke depannya biar Paman Bawono yang menjadi ketua perguruan ini. Berikanlah kitab milik ayahmu biar dipelajari Paman Bawono semuanya, agar nantinya bisa diajarkan kepada semua anggota perguruan ini," kata Ranu.
Labosi mengangguk, kemudian berdiri menuju sebuah lemari dan mengambil beberapa kitab.
"Ini semua kitab berisi jurus Perguruan Pedang Emas.Aku harap Paman juga bisa mengajarkan jurus-jurus yang Paman miliki." Labosi meletakkan beberapa kitab itu di meja.
Bawono meraih salah satu kitab dan membaca sampulnya sebentar, "Baiklah, tapi pemilik perguruan ini tetap kamu. Aku menjadi ketua hanya sampai kau siap menjadi ketua."
"Apakah kalian tahu di mana letak gunung Soputan?"tanya Ranu tiba-tiba.
"Jaraknya dari sini tidak terlalu jauh, Ranu. Besok aku akan mengantarkan kalian ke sana?" jawab Bawono.
"Jangan, Paman! Sebaiknya Paman tetap di perguruan ini saja untuk menata mulai dari awal. Kami akan berangkat ke sana besok pagi," sergah Ranu. Dia berpikiran untuk tidak melibatkan orang lain setelah mengetahui lokasi Racun Utara.
***
Keesokan paginya, setelah mendapat petunjuk arah menuju gunung Soputan dari Bawono, Ranu dan Mahesa memacu kudanya perlahan menuruni gunung Klabat.
Bawono dan Labosi memandang kepergian keduanya dengan rasa haru. Mereka bersyukur pernah mengenal kedua pemuda yang sudah menunjukkan bahwa umur bukan menjadi ukuran tingkat kemampuan seorang pendekar.
Sesampainya di kaki gunung Klabat, mereka berdua memacu kudanya dengan cepat.
Setelah keluar dari hutan, mereka di sambut sebuah desa yang cukup besar. Ranu dan Mahesa memutuskan untuk berhenti sebentar di sebuah tempat makan untuk beristirahat.
Di dalam tempat makan itu, Ranu tidak menemukan satu pun meja yang kosong. Mereka akhirnya menuju sebuah meja yang ditempati seorang laki-laki tua berbaju hitam dan memakai caping bambu. Di sampingnya berdiri sebuah tongkat kayu yang disandarkan di bibir meja.
"Mohon maaf, Kek. Bolehkah kami berdua duduk di meja ini?" tanya Ranu dengan sopannya.
Lelaki tua yang sedang menikmati makanan itu mengangkat wajahnya sedikit lalu mengangguk pelan, "Silakan!" jawabnya singkat dan kembali melanjutkan aktifitas makannya.
"Orang yang aneh!" gumam Ranu dalam hati.
Sambil menunggu pesanan makanan mereka diantar, Ranu dan Mahesa berbicara dengan pelan.
"Apa kau yakin dengan ucapan Wismoyo kalau Racun Utara ada di gunung Soputan?" tanya Mahesa.
Ranu mengangkat kedua bahunya, "Antara yakin dan tidak. Di dunia persilatan, kita tidak boleh percaya sepenuhnya kepada siapapun. Semua orang berpotensi untuk menusuk dari belakang, meskipun itu sahabat sendiri."
Mahesa terhenyak sebentar, "Berarti kau tidak percaya sepenuhnya kepadaku?"
"Bisa ya, bisa tidak. Kadar kepercayaanku tidak bisa sepenuhnya kepada seseorang, kecuali kepada orang tua dan guruku."
"Belum juga kenal, tapi sudah bilang aneh kepada orang lain," ucap lelaki tua itu pelan.
Ranu dan Mahesa menolehkan kepalanya bersamaan ketika mendengar lelaki tua itu berbicara.
Mahesa bahkan dibuat kaget karena ucapan di hatinya tadi bisa dibaca lelaki tua itu. Buru-buru dia meminta maaf karena telah salah menduga, "Maafkan aku, Kek. Bukan maksudku bicara seperti itu."
Ranu heran dengan Mahesa. Kenapa dia minta maaf kepada lelaki tua itu?
"Tidak usah heran, Anak muda. Temanmu itu mengatakan aku orang aneh, hanya karena aku menjawab pertanyaanmu dengan satu kata saja," lelaki tua itu kembali berucap.
"Kapan kau bilang seperti itu, Hesa?"
"Tadi, dalam hati," jawab Mahesa.
Ranu terkejut dengan jawaban Mahesa. Berarti lelaki tua yang duduk semeja itu bisa membaca hati orang lain, pikirnya.
"Maafkan temanku ini, Kek. Dia memang sering sulit untuk mengendalikan dirinya."
Lelaki tua itu tersenyum memandang Ranu, "Nampaknya kau harus sering berjibaku untuk menyelamatkan temanmu ini, Anak Muda."
Ranu bisa menduga kalau lelaki tua misterius di depannya itu bukan orang sembarangan.
Itu. Mahesa menunduk karena dibaca aibnya oleh lelaki tua
"Tapi kalau tidak ada temanku ini, aku juga akan kesulitan, Kek. Intinya, kami adalah sepasang sahabat yang tak terpisahkan," cetus Ranu membela Mahesa.
"Aku sudah melihat semua perjalanan yang sudah kalian lalui. Dan kau khususnya, sudah beberapa kali kau mengalami situasi hidup dan mati." Lelaki tua itu memandang Ranu cukup tajam.
"Pemuda ini memiliki sesuatu yang tidak bisa aku lihat. Siapa dia sebenarnya? Bahkan ada beberapa kejadian yang tidak bisa aku lihat, seperti ada yang sengaja menutupinya," tanya lelaki tua itu dalam hati.
"Maaf, Kek. Kalau aku tidak salah menduga, Kakek ini bukan orang sembarangan. Bisakah Kakek memberi kami suatu petunjuk?"
Lelaki tua itu tersenyum. Dia sudah bisa membaca arah pertanyaan Ranu.
"Hati-hati di gunung Soputan, Anak Muda! Kalau bisa, batalkan rencana kalian yang hendak naik ke sana Aku sekedar memberi saran saja, bukan mencegah kalian berdua," jawabnya.
Ranu semakin penasaran dengan lelaki tua yang duduk semeja dengannya itu. Sebelum dia melanjutkan pertanyaannya, pelayan tempat makan itu sudah berada di meja mengantarkan pesanannya.
"Kalian makanlah dulu, tidak sopan bicara sambil makan," cegah lelaki tua itu ketika melihat Ranu hendak bertanya kembali.
"Maaf, Kek. Kami yang muda ini masih perlu banyak bimbingan dari Kakek."
Lelaki tua itu mengangguk pelan. Dia tidak menjawab karena tahu kalau pembicaraan akan terus berlanjut jika tidak diputus terlebih dahulu.
"Sebenarnya ada apa di gunung Soputan, Kek?" Ranu melanjutkan pertanyaannya ketika sudah menyelesaikan makannya.
Lelaki tua itu berdehem pelan sebelum menjawab pertanyaan Ranu, "Aku akan memberi tahu kalian tentang situasi yang ada di gunung Soputan. Setelah itu terserah kalian tetap melanjutkannya ke sana atau tidak!" ucapnya.
Dia kemudian meneguk air dalam gelas yang berada di meja.
"Di gunung Soputan, ada sebuah misteri yang tidak semua orang mengetahui kebenarannya. Ada sebuah gerbang gaib yang tersembunyi," lanjutnya.
Ranu mengernyitkan dahinya. Dia menduga kalau gerbang yang dimaksud itu bisa jadi seperti yang ada di gunung Kawi.
"Kemunculan gerbang itu tidak teratur waktunya seperti pintu gerbang yang ada dalam pikiranmu."
Ranu tersentak karena lagi-lagi lelaki tua itu sudah membaca pikirannya.
"Tolong jelaskan dengan lengkap, Kek. Biar kami bisa berhati-hati ketika di sana."
"Oleh masyarakat sekitar, gerbang itu dinamakan Gerbang Menuju Langit. Sebab bagi orang yang pernah menemui gerbang itu, mereka melihat ada manusia bersayap yang terbang melewati gerbang tersebut."
"Apakah mereka sebangsa dengan siluman, Kek?" Ranu semakin tertarik dengan cerita lelaki tua itu.
"Antara iya dan tidak, aku tidak berani memastikannya, Anak Muda. Tapi guruku pernah berkata jika gerbang itu adalah jalan menuju alam Dewata. Dan dari beberapa orang yang mengaku pernah melihat gerbang itu, mereka tidak berani memasukinya karena takut tidak bisa kembali."
"Kenapa mereka tidak berani memasukinya? Padahal kan suatu keistimewaan bagi manusia bisa masuk ke alam Dewata?"
"Mungkin belum rejeki mereka sepertinya," jawab lelaki tua itu singkat.
"Terima kasih atas wejangan yang kakek berikan, kami akan melanjutkan perjalanan sekarang." Ranu berpamitan kepada lelaki tua itu.
"Jadi kalian akan tetap ke sana?"Ranu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum hangat.
"Baiklah, berhati-hatilah. Semoga apa yang menjadi tujuan kalian bisa terlaksana dengan baik."
"Terima kasih, Kek. Kami yang akan membayar makanan Kakek tadi!" Ranu menundukkan kepalanya memberi hormat dan kemudian berdiri dari kursinya. Dia berjalan diikuti Mahesa di belakangnya menuju kasir untuk membayar makanan mereka bertiga.
Setelah membayar, Ranu menoleh ke arah meja yang tadi ditempatinya. Namun alangkah terkejutnya dia, setelah kakek tua itu sudah tidak terlihat lagi di tempatnya semula.
Ranu mengambil napas panjang dan menghembuskannya. Dunia ini memang penuh dengan misteri, pikirnya.
"Ayo kita lanjutkan perjalanan. Menurut perhitunganku, sebelum malam kita sudah sampai di kaki gunung Soputan. Nanti kita bermalam di sana saja. Syukur-syukur kalau ada kampung untuk kita menginap."
***
Sedikit lebih lama dari perkiraan Ranu, perjalanan mereka berdua sampai di kaki gunung Soputan setelah malam tiba. Ranu segera membuat perapian untuk menghangatkan suhu udara yang mulai dingin.
Sampai menjelang pagi, tidak ada kejadian apapun yang kedua pemuda itu alami. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju Perguruan Jiwa Darah.
Bukan satu hal yang mudah bagi mereka mendaki gunung tersebut. Jalanan yang terjal dan berbatu serta di samping kiri dan kanan terdapat jurang menganga, membuat mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan saja.
Semakin naik ke atas, Ranu dan Mahesa mulai merasakan hawa mistis. Meski tidak seperti gunung Kawi ataupun gunung Arjuno yang benar-benar kuat hawa mistisnya, namun mereka berdua tetap bersikap waspada.
Pengalaman telah membuktikan, bahwa situasi yang tenang saja bisa menjadi berbahaya, apalagi yang sudah memancarkan hawa seperti yang mereka rasakan saat ini.
Perjalanan mereka telah sampai di sebuah tanah lapang yang luas, berumput hijau tebal dan rapi, seolah ada yang khusus merawatnya.
"Sebentar lagi kita akan sampai. Paman Bawono bilang jika setelah padang rumput ini, kita akan mencapai puncaknya."
"Apa kita tidak beristirahat di sini saja dulu?" tanya Mahesa yang sudah merasa lelah.
"Sebaiknya seperti itu. Kita bisa memulihkan stamina dulu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya, entah kita bisa bicara baik-baik atau harus melalui pertarungan."jawab Ranu.
Mereka berdua berjalan menuju sebuah pohon besar dan rindang, yang bisa dibilang sebagai pembatas antara hutan belantara dan padang rumput.
Mahesa menghempaskan punggungnya di tanah yang beralas rumput, ketika sudah berada di pohon besar itu. Tak berapa lama, dia sudah terlelap dalam tidurnya.
Ranu menggeleng melihat Mahesa yang bisa dengan begitu mudah tidur di sembarang tempat.
Setelah melihat Mahesa yang sedang tertidur, Ranu mengalihkan pandangannya ke arah padang rumput yang menghijau di depannya.
Seketika matanya menyipit untuk memperjelas pandangannya. Sekilas dia melihat sosok seperti manusia yang memiliki sayap besar melesat dengan sangat cepat. Bahkan matanya tidak sanggup mengikuti lesatan manusia bersayap itu.
"Apa mungkin itu halusinasiku saja? Tapi kenapa seperti terlihat nyata?" tanyanya dalam hati. Ranu berpikir, mungkin saja pikirannya masih terbawa oleh cerita lelaki tua tadi tentang manusia bersayap dan jalan menuju alam dewa.
Setelah satu jam beristirahat, Ranu membangunkan Mahesa untuk melanjutkan perjalanan menuju Perguruan Jiwa Darah.
***
"Apa itu perguruan yang dimaksud Wismoyo?" tanya Mahesa sambil memandang bangunan besar yang terbuat dari batu gunung dan ditata rapi.
Ranu yang juga sedang mengamati bangunan tersebut bisa menilai, jika penghuninya pasti sangat memperhatikan keamanan, itu bila ditilik dari struktur bangunan yang begitu kokoh. Bisa dari angin besar ataupun dari faktor alam lainnya.
"Bisa jadi. Kau tunggu di sini, aku akan mengawasi sekeliling!" jawab Ranu.
Dengan mengerahkan Langkah Angin, Ranu melesat mendekati bangunan besar itu dan memutarinya. Kecepatan yang ditunjukkan pemuda itu membuat para penjaga tidak bisa melihat kedatangannya.
Setelah berada di bagian belakang perguruan yang penjagaannya tidak terlalu ketat, Ranu merapat ke dinding agar tidak terlihat para penjaga yang berada di pos pantau. Dalam sekali lompatan, Ranu bisa melewati dinding yang lumayan tinggi itu dan sudah berada di bagian dalam bangunan tersebut.
"Luas sekali perguruan ini!" gumamnya dalam hati.
Pandangan pemuda itu melihat ke sekeliling untuk memastikan keadaan sebelum bertindak. Namun baru saja dia melangkahkan kaki, sebuah teriakan membuatnya terkejut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!