Hania berada di dalam kamar pengantin bersama sang suami. Sang gadis hanya bisa duduk sambil mer3mas ujung sprei tanpa tahu apa yang harus dilakukan setelahnya.
Sang suami, William, hanya memandang dari balik cermin. Dia memperhatikan Hania. Karena merasa tidak ada obrolan, William berinisiatif untuk memulai.
"Kamu sekarang menantu keluarga William, cobalah untuk menerimanya. Toh ibumu sudah mulai menjalani operasi jantung dan keadaannya baik-baik saja kan? Apa yang kamu takutkan?" ucap William masih fokus di depan cermin sambil melepaskan jas hitamnya.
Hania masih diam. Seolah malas untuk menanggapi obrolan dari sang suami.
"Han? Kita hanya menikah selama satu tahun. Kamu akan hidup berkecukupan. Soal ibumu, aku bisa menjaminnya. Dia akan baik-baik saja selama kamu tidak melawan."
Kata-kata ini memicu pandangan sinis dari Hania. Dia mulai beranjak dari posisi duduknya lalu menatap wajah sang suami.
"Bagaimana dengan ibumu? Beliau hampir saja membuatku celaka. Dia benci padaku, Pak."
"Huft! Soal ibuku, tenang saja. Aku akan membereskannya. Dia hanya kesal karena aku menikah denganmu, bukan dengan wanita pilihannya. Zahra terlalu menempel, aku tidak suka."
"Lalu? Kenapa harus aku yang menanggung beban ini, ha? Coba jelaskan?"
"Karena kamu satu-satunya orang yang membenciku. Kamu tidak akan pernah jatuh cinta padaku meksipun setahun penuh berada di sisiku. Sudahlah, Hani. Lebih baik kamu tidur. Besok, kamu harus duduk bersamaku di meja makan untuk sarapan. Jangan hiraukan Ibu dan Weni, mereka memang seperti itu."
"Cih, menikah saja dengan dirimu sendiri, Pak! Kalau bukan karena ibuku yang sedang sekarat, mana mau aku nikah sama pria sialan sepertimu! Kontrak? 1 tahun? Ini lebih dari penjara yang bapak ciptakan karena selama 5 tahun bekerja, aku selalu menjadi yang terbaik meski harus menentang mu!"
"Hahaha terserah apa katamu, aku mandi dulu. Aku harap kamu juga mandi, apa mau mandi bersamaku?"
"Cih, jangan harap! Aku tidak sudi!"
___
Satu jam berlalu ...
Malam di kamar pengantin yang megah, tidak seperti malam sebelumnya. Hania merasa susah tidur. Meski sang bos sudah tidur, dia enggan untuk menutup mata.
"Huft, apa keputusan untuk menikah kontrak dengan Pak William adalah sebuah kesalahan?" batinnya terus berpikir. Hania merasa kalau keputusan ini terlalu cepat, hanya karena ibunya. Tapi, saat berada di situasi genting, anak mana yang tidak ingin ibunya hidup?
Hania belum bisa menerima keputusannya sendiri. Tidurnya tidak tenang.
Ponsel William tiba-tiba berdering, Hania bodo amat saat William membuka mata dan menjawab panggilan telepon itu.
"Ada apa? Kenapa telepon malam-malam? Tahu waktu gak sih?" ucap William kesal.
"Maaf Pak Will. Ada proyek yang harus ditandatangani. Saya sudah kirim lewat email, tapi kok bapak belum merespon. Jadi, saya terpaksa menelepon," jawab sang sekretaris, Pak Demon.
"Astaga, ya ya Mon. Kalau bukan karena kamu, aku udah ngamuk. Oke, ada kerjaan lain?" cetus William menunda kemarahan demi tandatangan.
"Tidak ada Pak, itu saja."
"Hm."
William melirik ke arah Hania yang memunggunginya. Dia tersenyum smrik sambil membuka email di ponselnya.
Setelah selesai tanda tangan, William mendekati sang istri. Pria itu duduk sisi lain ranjang, tidak hanya duduk, ternyata lama-lama William rebahan di samping Hania.
Seketika Hania terperanjat. "Hey! Mau apa kamu, Pak? Kalau sampai kamu berani menyentuhku, aku habisi kamu, Pak!" seru Hania dengan suara tinggi, tubuhnya spontan menegang saat merasakan ranjang berguncang karena William merebahkan diri di dekatnya.
William hanya tertawa kecil. Tawanya sinis namun tenang, seperti seseorang yang tahu dia sedang memegang kendali.
"Kamu terlalu tegang, Han. Kita ini pasangan suami-istri sekarang. Aku hanya tidur. Di atas ranjangku. Dengan istriku. Salah?" bisiknya pelan namun dingin di telinga Hania.
Hania langsung menggeliat menjauh, tapi lengan William yang kuat tiba-tiba melingkar di pinggangnya, menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Hania berontak sekuat tenaga, mendorong, menendang, mencakar, namun pelukan itu tidak longgar sedikit pun.
"Lepas! Aku bilang lepas! Dasar pria gila! Kamu pikir karena kita sudah menikah aku jadi milikmu, ya? Kamu pikir aku ini barang, ha?!"
William tidak menjawab. Ia hanya menatap wajah Hania yang penuh amarah di bawah cahaya lampu temaram. Ada senyum tipis di wajahnya. Senyum yang menyebalkan, membuat Hania ingin menamparnya berkali-kali.
"Kamu selalu berisik saat marah, seperti dulu saat kita berdebat di kantor. Tapi aku suka," katanya santai, nadanya terdengar enteng seolah mereka sedang bercakap ringan di balkon, bukan dalam situasi canggung di malam pertama mereka.
Hania mendesis marah. “Aku benci kamu!”
William tertawa pelan. Tawa yang dalam dan penuh ejekan. Suaranya menggema pelan di kamar yang sunyi.
"Hahaha... Kamu memang lucu kalau marah. Benci banget ya sampai mau cabik-cabik aku?" ucapnya sembari akhirnya melepaskan pelukannya dari tubuh Hania.
Dengan cepat, Hania langsung bangkit dari ranjang, wajahnya merah padam, bukan karena malu—tapi karena muak. Napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, jelas-jelas menahan emosi yang hampir meledak.
"Dasar psikopat! Kamu pikir semua bisa kamu kendalikan, ya?! Hidup orang! Harga diri orang!" makinya sambil meraih bantal dan selimut.
William hanya mengangkat satu alis, masih rebahan santai dengan satu tangan di belakang kepala, tubuh tegapnya tetap di atas ranjang, tak tergoyahkan sedikit pun oleh kemarahan Hania.
"Kalau kamu tidak bisa tidur denganku, setidaknya jangan buat drama, Han. Sudah larut. Besok kamu harus senyum manis depan keluargaku. Main peran kan jagonya kamu," katanya dengan suara malas namun tajam.
Hania mendengus. “Lebih baik tidur di jalanan daripada satu ranjang sama kamu, Pak!”
Tanpa menunggu respon William, Hania berbalik menuju sofa besar di sisi kamar. Ia melemparkan bantal ke sana dengan kasar lalu menjatuhkan diri, membungkus tubuhnya dengan selimut setengah hati.
Sofa itu jelas tak sebanding empuknya dengan ranjang, tapi untuk malam ini, jauh lebih baik daripada harus mendengar napas William di dekat telinganya.
William hanya mengamati dari ranjang, mata tajamnya mengikuti gerak Hania yang kini rebahan memunggunginya lagi. Lalu, ia menarik napas panjang, menutup matanya perlahan.
Dasar pria licik, dia hanya ingin tidur di ranjangnya dengan cara menyuruhku pergi tanpa mengusir! Pria aneh!"
___
Pagi harinya, meja makan ...
Hania dan William duduk berdampingan. Bu Ragna dan anak kedua bernama Weni, menatap tajam ke arah Hania.
"Peraturan pertama di rumah ini adalah menantu tidak boleh mencuci piring, memasak, menantu hanya boleh berbelanja dan mempercantik diri. Meski aku tidak suka dengan istrimu, setidaknya aku masih berbaik hati, Will."
"Lakukan sesukamu, Ibu. Tapi, jangan sampai membuat istriku merasa tidak nyaman saat tinggal di rumah ini. Istriku adalah wanita paling aku cintai. Ibu paham kan kalau aku sudah cinta? Bahkan ibu saja tidak akan pernah bisa menghentikan ku, anda paham nyonya Ragna?"
"William! Hati-hati dengan mulutmu! Bagaimana bisa kamu begitu kasar sama ibu karena cinta butamu pada gadis ini? Sadar Will! Dia lintah darat!"
***
Bersambung ...
William hanya menatap ibunya tanpa emosi. Bukan karena tidak peduli—tapi karena sudah terlalu terbiasa menghadapi dramanya sejak kecil.
Kali ini, dia memilih tidak membalas. Tanpa sepatah kata, pria itu bangkit dari kursinya dan menggenggam tangan Hania.
Hania terkejut. "Eh, kamu mau ke mana? Kita belum—"
“Ayo,” potong William datar, suaranya tak bisa dibantah.
Tanpa menunggu persetujuan siapa pun di meja, ia menarik Hania keluar dari ruang makan, meninggalkan Weni dan Bu Ragna yang masih menyala-nyala dengan emosi.
Weni mengetukkan sendok ke meja. “Bener-bener keterlaluan, Kak William tuh!”
“Diamlah, Weni,” potong Bu Ragna datar, matanya tajam mengikuti kepergian anak sulungnya.
"Ibu punya rencana lain agar Will menceraikan Hania secepat mungkin lalu menikahkan Will dengan gadis terhormat yang sudah ibu tentukan!"
"Apa bisa semudah itu Bu? Kak Zahra sudah merasa dipermalukan?"
"Zahra tidak peduli itu, kita perlu melakukan pernikahan ini agar perusahaan ayahmu bisa lebih berkembang. Kamu paham sekarang?"
___
Restoran Pinggir Kota – Pagi Hari
Sebuah restoran semi-outdoor dengan aroma kopi dan croissant yang menguar lembut.
Hania duduk dengan wajah ditekuk, masih memakai baju rumah yang dibalut jaket milik William. Di depannya, William sudah sibuk menyendok sarapan ke mulut seolah tidak ada yang terjadi.
"Ini tempat sarapanmu? Serius?" tanya Hania tak percaya, mengerutkan kening melihat suasana yang santai dan jauh dari kesan megah layaknya keluarga konglomerat.
“Kenapa? Tempat ini tenang. Nggak ada Ibu, nggak ada Weni. Dan yang paling penting,” William menatapnya sebentar, lalu mengangkat cangkir kopinya, “...ada roti keju favoritku.”
Hania menghela napas. "Kamu benar-benar aneh, Pak."
William hanya mengangkat bahu. “Aku cuma suka hal yang sederhana. Nggak suka basa-basi. Termasuk soal menikah.”
Hania mencibir. “Sederhana katanya, tapi nikahin aku pakai kontrak. Satu tahun? Kalau itu bukan manipulasi, aku nggak tahu lagi namanya apa.”
William tersenyum. Senyum itu lagi. Datar tapi dalam. Menyebalkan tapi penuh rahasia.
“Karena kamu juga nggak cinta sama aku. Kalau kamu cinta, kamu nggak akan keberatan kontraknya seumur hidup.”
Hania terdiam. Entah kenapa, kalimat itu menghujam sedikit lebih dalam dari yang ia harapkan. Ia memalingkan wajah, menatap taman kecil di pinggir restoran. Seolah lebih mudah berbicara pada bunga daripada pada pria di depannya.
“Lalu kenapa kamu bersikeras nikahin aku, Will?” tanyanya pelan. “Kalau kamu tahu aku benci kamu, kenapa kamu tetap paksakan semua ini?”
William meletakkan cangkirnya, menatapnya dalam.
“Karena hanya kamu yang berani melawanku. Semua orang takut, tunduk, atau... menjilat. Tapi kamu? Bahkan setelah aku jadi suamimu, kamu masih berani memakiku. Keren sih," ucapnya cuek.
"Dasar aneh! Padahal sangat jelas kalau bapak pengen aku menjaga sikap saat berada di meja makan. Coba lihat, siapa yang kurang ajar sekarang?"
"Aku harus sarapan, jangan berisik. Setelah ini temani aku bertemu dengan klien."
"Ogah!"
"Kamu harus menemaniku meski kamu tidak suka."
Nada suaranya tajam. Tak ada lagi kesan malas seperti saat sarapan tadi. Hania langsung menangkap perubahan aura itu.
“Aku bilang ogah, kan?! Kamu pikir aku ini apa? Boneka yang bisa kamu bawa ke mana aja sesukamu?”
William masih berdiri, mendekat lebih dekat, hingga hanya beberapa inci jaraknya dari wajah Hania. Tangannya bertumpu di meja, membentuk bayangan di wajah gadis itu.
“Kalau kamu tidak ikut,” katanya pelan, hampir seperti bisikan, “Aku bisa saja mengatur jadwal ulang operasi tahap dua ibumu. Mungkin minggu depan. Mungkin bulan depan. Siapa tahu ada ruang ICU yang penuh. Atau… mungkin aku tarik donasi yayasan yang menanggung biaya operasinya.”
Mata Hania membelalak. Napasnya tercekat.
“Kamu…” suaranya bergetar, jemarinya mengepal di pangkuan. “Kamu nggak punya hati!”
William hanya menatap balik, tenang.
“Aku memang tidak punya hati untuk orang yang menolak jadi bagian dari hidupku dengan baik-baik. Kamu bisa tetap benci aku, silakan. Tapi selama kita dalam pernikahan kontrak ini, kamu harus ikut main sesuai aturanku. Jangan bikin aku ulangi ancaman yang sama, Han. Ini bukan lelucon.”
Tubuh Hania menegang. Ia ingin membantah, ingin berdiri dan pergi. Tapi kata-kata William soal ibunya seperti belenggu tak kasat mata yang menariknya kembali ke dalam penjara takdirnya.
Dengan berat hati, ia bangkit dari kursinya.
“Baik. Aku ikut. Tapi satu hal, Pak William...”
Ia menatap pria itu tajam.
“Semakin kamu paksa aku dengan cara kotor begini, semakin aku tidak akan pernah melihatmu sebagai suami. Bahkan manusia pun bukan.”
William hanya tersenyum tipis. Lagi-lagi, senyum itu.
“Aku tidak butuh cintamu hari ini, Han. Tapi ingat, waktu satu tahun cukup panjang untuk segalanya berubah. Termasuk cara kamu memandangku.”
Tanpa menjawab, Hania meraih tas kecil miliknya dan keluar dari restoran lebih dulu. Langkahnya cepat, penuh emosi yang ditahan. William menyusul, dengan wajah datar seolah tidak baru saja memaksa istrinya dengan cara paling licik yang pernah ada.
___
Mobil William – Dalam Perjalanan
Di dalam mobil yang melaju mulus, tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir keduanya. Hanya suara AC dan dentingan jam digital yang terdengar.
Hania bersandar di jendela, memejamkan mata. Tapi bukan untuk tidur, melainkan untuk menahan air mata. Matanya basah, tapi tidak jatuh. Ia tidak ingin William melihatnya rapuh.
William, yang duduk di kursi kemudi, sempat melirik ke arah Hania. Hanya sebentar. Ia tidak berkata apa-apa. Tapi dalam dadanya, ada sesuatu yang bergerak. Entah apa itu.
Namun sayangnya, egonya masih lebih besar dari rasa yang belum ia mengerti.
___
Hotel Mewah di Tengah Kota – Pagi Hari
Mobil William berhenti tepat di depan sebuah hotel bintang lima dengan arsitektur modern dan elegan. Para porter menyambut dengan sigap saat William menyerahkan kunci mobil pada valet. Hania turun dengan langkah berat, masih memakai baju sederhana berbalut jaket William—tampilan yang jelas kontras dengan kemewahan di sekitarnya.
Matanya menyapu lobi hotel yang luas dan dipenuhi dengan orang-orang berpenampilan glamor. Ia merasa asing. Seperti orang yang salah tempat.
“Jalan, Han,” ucap William singkat, tanpa menoleh.
Hania menghela napas dan mengikuti. Mereka masuk ke dalam lift kaca yang langsung mengarah ke lantai 35—ruang eksekutif meeting.
Di dalam lift, Hania berdiri di pojok, menjaga jarak. William di sisi lain, menatap ke luar jendela. Tidak ada percakapan. Tidak ada sapaan. Yang ada hanya ketegangan tak kasat mata.
___
Lantai 35 – Ruang Pertemuan VIP
Pintu ruang pertemuan terbuka otomatis. Di dalam, aroma kopi mahal bercampur dengan bau kulit dari sofa-sofa mewah. Meja bundar besar sudah tertata rapi, lengkap dengan projector dan dokumen di atasnya. Di salah satu sisi ruangan, seorang pria berjas abu-abu berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku celana.
Begitu William masuk, pria itu menoleh dan tersenyum lebar.
“William, lama nggak ketemu! You’re always on time, huh?” ucapnya sambil melangkah maju untuk berjabat tangan.
William menyambut dengan formal. “Andra. Sama seperti biasanya, ya—selalu lebih awal.”
Hania yang baru masuk belakangan, sempat terhenti begitu melihat wajah pria itu.
Deg.
“Andra...?” gumamnya lirih.
Pria itu langsung menoleh padanya, dan matanya membesar.
“Hania... Astaga. Kamu?”
Tatapan keduanya terkunci dalam diam. Sejenak ruangan menjadi sunyi, seolah waktu berhenti berdetak.
William memperhatikan reaksi itu dengan alis sedikit mengernyit. “Kalian saling kenal?”
Andra terkekeh pelan, masih menatap Hania. “Bisa dibilang... ya. Kami pernah dekat. Dulu, di kampus.”
“‘Dekat’?” ulang William pelan. Tapi nada suaranya berubah.
Hania langsung menegakkan tubuh. “Kami cuma teman satu kelompok tugas. Itu aja.”
Andra mengangguk, meski senyum samar masih tersisa di wajahnya. “Ya, mungkin kamu lupa, Han. Tapi aku masih ingat siapa yang suka ninggalin file tugas di loker perpustakaan.”
William berjalan ke arah meja, menarik kursinya. Matanya tak lepas dari Andra.
“Silakan duduk. Kita mulai pembahasan.”
Hania mengangguk pelan dan duduk di samping William. Tapi aura di ruangan berubah. William menjadi lebih diam dari biasanya. Sorot matanya tajam, dan sikapnya mendadak jauh lebih dingin, terutama setiap kali Andra melempar senyum ke arah Hania.
Pertemuan Bisnis Dimulai...
Andra mempresentasikan proyek kolaborasi properti digital yang melibatkan pihak luar negeri. Tapi setiap beberapa menit, matanya masih sering mencuri pandang ke arah Hania.
“Maaf, Han... maksudku, Bu Hania... kamu sekarang kerja di perusahaan Will?”
Hania tersenyum tipis. “Sekarang aku... istrinya.”
Andra terdiam. Satu alisnya terangkat.
“Istri?” Dia menatap William sejenak. “Wah. Aku nggak tahu kalian...”
“Baru saja,” potong William cepat. Suaranya berat dan kaku. “Dan dia tidak bekerja di perusahaanku lagi. Sekarang, dia hanya mendampingi sebagai istri. Paham, kan?”
Andra mengangguk, meski sorot matanya tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut. Ia tersenyum miris. “Ya, paham. Selamat, Han. Meski agak sulit dipercaya, kamu menikah dengan... William.”
Hania menunduk, tidak ingin memperpanjang topik.
Namun, William memotong suasana canggung itu dengan satu kalimat dingin:
“Kalau kamu sudah selesai dengan presentasinya, kamu bisa kirim detail kontrak ke legal kami. Hania dan aku harus pergi.”
Andra mengangguk sopan. Tapi sebelum mereka pergi, ia menahan langkah Hania.
“Hania... boleh kita bicara berdua nanti? Hanya sebentar.”
William menatap Andra tajam. Sangat tajam. Tapi Hania sudah menjawab lebih dulu.
“Maaf, aku rasa tidak perlu.”
“Baiklah.” Andra mengangguk kecewa.
“Semoga kamu bahagia, Han.”
William meraih tangan Hania dan menariknya pergi, tanpa sepatah kata pun. Tapi genggamannya lebih kuat dari biasanya. Dan Hania bisa merasakan, ada sesuatu yang berubah di dalam diri suaminya.
__
Di Dalam Lift – Menuju Parkiran
Hania diam. Dia bodo amat meski harus tak bersuara selama beberapa menit di dalam lift.
Sampai dimana suara William terdengar cukup menyebalkan.
“Dia mantan kamu?”
***
Bersambung ...
Nada suara William rendah. Tenang, tapi sarat tekanan.
Hania menoleh, pelan. Sorot matanya tajam, jengkel.
“Apa urusan Bapak?” jawabnya datar.
“Seingatku, Bapak nggak pernah peduli siapa aku sebelum kontrak ini, kan?”
William menatap balik. Kali ini matanya menyala. Ada sesuatu yang berbeda—lebih dari sekadar emosi biasa.
“Aku suamimu sekarang.”
“Suami kontrak,” tegas Hania. “Jangan lupa detail kecil itu, Pak William.”
William menyipitkan mata. Ia melangkah mendekat. Langkahnya pelan, tapi cukup membuat Hania terpaksa mundur sedikit ke pojok lift.
“Aku suamimu, titik. Dan aku nggak suka kamu dapat perhatian dari laki-laki lain di depanku.”
Hania tertawa kecil, dingin.
“Lucu. Bapak bisa ancam ibuku untuk paksa aku ikut kerja, tapi nggak tahan lihat orang lain cuma menyapa aku?”
“Bukan soal sapaannya.”
“Lalu soal apa? Tatapannya? Senyumnya? Kenangannya sama aku?” Hania sengaja menekankan kata-kata itu, menantang.
William menggertakkan rahang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Tapi ia menahan diri.
“Kalau kamu masih punya urusan yang belum selesai sama dia, bilang sekarang,” katanya pelan namun tajam. “Aku bisa batalkan semua ini. Kontrak, pernikahan, bantuan ke ibumu. Selesai.”
Hania mengangkat dagu, matanya berkaca-kaca tapi tetap kuat. “Kamu pikir aku takut?”
“Bukan soal takut. Tapi aku muak kalau kamu terus-terusan bersikap seolah aku nggak punya hak atas kamu. Kamu itu milikku, Han. Dan selama kontrak ini berjalan, kamu akan tetap milikku.”
Deg.
Kalimat itu, meski menjijikkan, entah kenapa menghujam dengan berat di dada Hania. Sebagian dari dirinya ingin melawan. Tapi sebagian lagi... terlalu lelah.
"Andra adalah mantan tunanganku. Kami hampir menikah tapi sehari sebelum hari H, Andra membatalkan pernikahan lalu pergi. Ibuku syok. Dia yang bikin ibuku terkena penyakit jantung. Aku gak menyangka akan bertemu pria sialan ini, tapi lima tahun sudah berlalu. Aku bekerja ditempatmu dan aku perlahan bisa bangkit dan menerima keadaan. Puas sekarang?"
"Oh, gitu ya."
"Iya, tugasku sudah selesai untuk menjelaskan siapa Andra. Setelah ini, bawa aku ke tempat lain."
"Wah kamu ingin honeymoon sayang?"
"Sayang matamu! Belikan aku apartemen. Aku gak jadi setahun ini jadi menantu ibumu yang menyebalkan itu."
"Hahaha baiklah, nah ini ... Aku suka Hania yang Badas."
"Dasar pria aneh."
TING!
Suara lift berdenting pelan saat pintu terbuka. Aroma karpet mahal dan parfum dari ruang lobi menyambut langkah mereka.
Hania keluar lebih dulu, disusul William yang masih menyimpan senyuman tipis penuh arti.
Entah karena baru saja menang argumen, atau karena berhasil menyaksikan sisi rapuh Hania yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Mereka berjalan beriringan, tidak saling bicara. Tapi langkah William jelas lebih ringan dibanding saat masuk ke hotel tadi.
Namun saat melewati area lounge di lobi, suara tawa pelan diselingi nada bicara yang familiar membuat William spontan menghentikan langkahnya.
Zahra.
Wanita itu berdiri elegan di sisi sofa lounge, berbicara dengan seorang pria berjas formal.
Senyum Zahra mengembang, wajahnya bersinar seperti biasa. Namun seketika berubah saat matanya menangkap sosok William dan Hania yang melintas tak jauh darinya.
Zahra melangkah maju. Tatapan tajamnya mengarah langsung pada William.
“William,” panggilnya, nada suaranya dibuat seanggun mungkin, tapi sarat maksud tersembunyi.
William melirik sekilas, namun tak berniat berhenti. Ia tahu siapa yang memanggil, dan tak ingin memperpanjang urusan.
Namun sebelum Zahra sempat mendekat, Hania sudah bergerak lebih cepat. Ia berdiri di antara Zahra dan William, tubuhnya membentuk barikade tipis tapi tegas.
“Kalau kamu tahu ada istri William di sini, harusnya kamu tahu sopan santun,” ucap Hania dingin.
Zahra sempat tertegun. Wajahnya tak lagi tersenyum, namun bibirnya masih mempertahankan senyum palsu.
“Tenang saja. Aku cuma ingin menyapa,” balas Zahra, nada suaranya lembut tapi menggigit.
“Sapaannya nanti saja. Saat tidak ada aku di samping suamiku.”
Zahra menatap Hania dari atas ke bawah, menilai penampilannya yang sederhana—bahkan masih mengenakan jaket pria yang tak sesuai dengan tempat mewah ini.
“Kamu percaya diri sekali tampil begini di tempat seperti ini,” ejek Zahra halus.
Hania tersenyum. Senyum sinis yang membuat William menahan tawa kecil.
“Lucunya, dengan penampilan seperti ini pun... aku tetap bisa membuat suamiku enggan menoleh ke arah wanita lain.”
William menaikkan satu alis, melirik Hania dengan ekspresi kagum tak disembunyikan.
Zahra terdiam. Sorot matanya memudar. Tapi sebelum ia bisa membalas, William menepuk lembut bahu Hania, mengisyaratkan mereka untuk pergi.
“Sudah cukup, Han,” ucapnya ringan. “Kita masih harus cari apartemen, kan?”
Hania menoleh dan mengangguk. “Ya, Pak Suami.”
Zahra terdiam, mengepal tangan di balik gaun mewahnya.
Sementara pasangan itu berjalan pergi, meninggalkan wangi kemenangan di belakang mereka.
__
Di Dalam Mobil – Beberapa Menit Kemudian
Hania diam, dia memejamkan mata sambil bersandar di samping kemudi.
William melirik ke arah Hania." Kamu tidur?"
"Hm."
"Kenapa bisa jawab?"
"Kalau gak dijawab, bapak bakal nyerocos kek knalpot rusak."
"Cih, apa suaraku se-berisik itu?"
"Pikir saja sendiri."
"Haha dasar gadis aneh. Tapi aku mengakui kalau kamu tuh keren. Bisa-bisanya akting kek gitu di depan Zahra. Dia gadis yang sulit dikasih tahu."
"Tapi aku bisa kan? Makanya kasih aku apartemen terbaik di kota ini sebagai bayarannya."
"Tenang saja. Kita lagi otw ke tempat yang kamu inginkan."
"Cih, kamu ternyata sat set juga ya bos sialan?"
William cuma nyengir doang sambil fokus pada setir mobil mewahnya melaju dengan stabil menembus jalanan utama ibu kota.
William melirik jam tangan. “Tiga menit lagi kita sampai.”
“Hmm. Tiga menit menuju takdir jadi menantu yang merdeka, ya,” sahut Hania santai, tapi masih dengan nada dingin.
William tertawa kecil. “Merdeka katanya. Kita lihat saja nanti.”
Mobil akhirnya berbelok masuk ke sebuah gerbang besar berlapis ornamen hitam keemasan, dijaga dua petugas dengan seragam bersih dan sikap tegak. Di bagian atas gerbang, tulisan bergaya klasik menyala elegan:
“AETHER PARK RESIDENCE – Private Luxury Living”
Hania nyaris mencondongkan tubuh ke depan, melongok dari balik dashboard. Matanya membesar.
“Ini... tempat yang sering masuk majalah arsitektur itu, ya? Yang liftnya langsung ke unit, rooftop-nya ada helipad, dan katanya cuma ada 12 unit doang?”
William mengangguk santai. “Ya. Dan unit lantai 11-nya punya aku.”
Hania menoleh tajam. “Kamu... punya?”
“Tenang. Aku nggak borong semua lantainya,” jawab William dengan nada sarkas. “Satu unit aja cukup, apalagi buat satu istri yang selalu bikin pusing.”
Mobil berhenti tepat di depan lobby utama. Seorang petugas khusus sudah menunggu, membungkuk sopan sambil membuka pintu mobil untuk Hania.
“Selamat malam, Tuan William. Unit Anda sudah disiapkan. Barang-barang tambahan dari pesanan beberapa menit lalu juga sudah tertata sesuai instruksi.”
Hania melirik curiga. “Pesanan? Emangnya kamu pesan apa?”
William menyeringai. “Tunggu aja.”
Mereka masuk ke lobby bergaya kontemporer dengan sentuhan batu alam dan lampu gantung seperti butiran hujan membeku di udara. Suasana terasa hening, elegan, dan mahal. Sangat mahal.
Lift pribadi sudah menunggu terbuka dengan penjaga berdiri di sampingnya. Tanpa menekan tombol apa pun, lift otomatis membawa mereka naik. Tak ada angka di dalam, hanya panel fingerprint dan pemindai wajah.
William menempelkan jarinya. “Lantai 11.”
Dalam hitungan detik, pintu lift terbuka ke dalam sebuah ruang yang membuat Hania diam membeku.
Interiornya mewah, tapi tidak mencolok. Kesan utama adalah cozy. Sofa berwarna krem empuk, karpet wol hangat, rak buku berjejer rapi, dan meja makan marmer oval dengan bunga segar di tengahnya. Dapur terbuka tampak modern, bahkan kulkasnya sudah terisi.
Tapi yang paling mencolok adalah bingkai besar yang ada di ruang tengah. Disana terlibat jelas pasangan kontrak dalam balutan baju pengantin.
"Will, apa harus ada bingkai pernikahan kita? Bikin sakit mata gak sih?"
***
bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!