Langkah kaki Sofia terayun santai menuruni anak tangga marmer satu per satu. Dentuman musik yang menggema dari halaman depan rumah keluarga besar itu sudah cukup membuat lantai bergetar. Kepalanya bergoyang pelan, menyelaraskan diri dengan irama lagu yang sedang viral. Bibirnya ikut menggumamkan lirik, menyambut seruan vokal penyanyi yang terdengar bombastis dari speaker raksasa.
Senyum puas tak lepas dari wajahnya. Hari itu bukan hari istimewanya, justru sepupunya yang setahun lebih muda sedang merayakan pernikahan, tapi aura bahagia Sofia tetap meluap-luap. Sofia, yang sudah berusia 21 tahun itu, sedang menikmati momen langka, yaitu reuni keluarga besar.
Perayaan ini mempertemukan hampir semua anggota keluarga. Wajah-wajah yang hanya ia lihat di grup chat keluarga kini nyata di hadapannya. Sapaan dan pelukan hangat mengalir deras. Tentu saja, seperti biasa, paket pertanyaan klise yang selalu jadi "menu wajib" tak terhindarkan.
"Kapan nyusul, Sof? Kartu keluarga kamu butuh pendamping, lho!"
"Pacar kamu mana? Disembunyiin, ya? Jangan pilih-pilih terus, nanti keduluan adek sepupu lagi!"
Ia hanya membalas serangan verbal itu dengan senyuman terbaiknya, senyum yang menyimpan seribu makna, antara "terima kasih atas perhatiannya" dan "bisakah kita bahas cuaca saja?". Dalam hati, ia masih betah melajang. Janji suci dan ikatan lahir batin? Next time, terima kasih. Ia masih sibuk dengan deadline dan fan-fiction yang harus dihindari.
"Nek, jangan jalan terus. Ini bukan lomba lari maraton, lho. Nanti lututnya ngambek kan bahaya," ujar Sofia lembut, meraih tangan sang nenek yang tampak lebih bersemangat dari para remaja yang sedang joget.
Nenek tertawa renyah. "Enggak apa-apa, Sayang. Kamu ini kelihatan cerah banget hari ini. Gimana ya, nanti kalau kamu yang nikah?" goda sang nenek membuatnya langsung auto-blushing.
"Nenek..." Sofia memeluk lengan neneknya erat.
Tepat saat itu, sebuah suara bariton yang cukup menggelegar memanggil dari belakang mereka.
"Nenek!"
Mereka menoleh serentak. Seorang pemuda, tinggi, kulit coklat, sorot mata yang tajam namun penuh kehangatan, melangkah gagah ke arah mereka. Aura wibawanya langsung terasa. Nenek langsung menyambutnya dengan senyum yang begitu tulus, seakan menahan luapan kerinduan.
"Haedar, kamu pulang juga akhirnya."
"Alhamdulillah, Nek. Gimana kabar Nenek?" Pemuda itu menyalami tangan sang nenek dengan takzim, sebuah gesture yang jarang ia lihat dari sepupu-sepupunya yang lain.
"Baik, Sayang. Alhamdulillah."
Lalu, mata pemuda itu beralih ke Sofia. Dia menyipit, wajahnya menampilkan ekspresi bingung total. Wajah itu asing, tapi ada memori samar yang berkelebat.
"Ini siapa, Nek?" tanyanya lugas.
Nenek terkekeh geli. "Kamu yakin nggak kenal lagi?"
Haedar menggeleng pelan. "Nggak nek. Apa dia sepupu baru?"
"Itu Sofia, anaknya Kak Aynur. Kamu ingat Sofia yang kalau ketemu kamu langsung nangis karena takut?"
Mata Haedar membelalak. "Sofia?" ulangnya, setengah berteriak.
Yang berdiri di hadapannya kini bukan lagi gadis kecil pemalu yang selalu bersembunyi di balik rok ibunya sambil menangis. Kini, Sofia telah menjelma menjadi perempuan muda yang, well, anggun dan menawan. Tatapan matanya yang tajam menunjukkan karakter yang kuat, jauh dari kesan cengeng masa kecil.
"Sofia... udah gede ya," gumam Haedar, suaranya terdengar seperti pengakuan dosa. "Dulu dia lebih cocok jadi maskot pemalu."
Sang nenek tertawa puas, lalu menepuk tangan Sofia. "Dia ini oom kamu, Haedar. Oom tertua setelah Pamanmu yang di jakarta."
Sofia nyaris tersedak ludah. Om? Paman? Padahal wajahnya dan penampilannya lebih cocok dipanggil Abang atau bahkan Mas Crush. Usia tak pernah berdusta, tapi genetik keluarga ini sepertinya curang.
"Serius, Nek? Oom?" tanya Sofia, memastikan.
"Iya, Oom," Haedar menimpali dengan senyum geli. "Salam kenal lagi, Keponakan. Umur itu cuma angka, ya kan?"
Tiba-tiba, suara ibunya yang familiar memanggil dari arah dapur. "Sofia! Cepat ke sini, Nak. Jangan asik nge-gibah sama Nenek terus!"
"Iya, Ma!" sahutnya. Ia lalu berpamitan pada nenek dan Haedar.
Ketika Sofia sampai di dapur, Ibunya, Bu Aynur, langsung memberinya misi. "Carikan Bang Aaryan, suruh ke dapur sebentar! Penting!"
"Bang Aaryan? Yang mana orangnya, Ma?" tanya Sofia, bingung. Ia sadar, silsilah keluarga besar ini lebih rumit daripada alur cerita novel thriller yang ia tulis.
Haedar, yang ternyata mengikutinya, terkekeh geli. Ia menyusul dan menjawab santai, "Gampang. Cari aja yang punya lesung pipi double, kiri-kanan. Terus gingsulnya juga double. Kulitnya juga lebih terang dari rata-rata. Intinya, dia yang paling glowing di antara kerumunan."
"Emangnya dia seganteng itu sampai deskripsinya sejelas itu?" Sofia bergumam, setengah menyindir Haedar, walaupun ia setengah penasaran.
Ia pun memulai pencarian "Si Glowing dengan Lesung Pipi Ganda". Ia menyusuri halaman, menelusuri kerumunan sanak saudara yang sibuk bergosip, berfoto, dan menari dengan riang yang entah sejak kapan menjadi bagian dari adat pernikahan. Tapi tak satu pun wajah yang match dengan deskripsi Haedar muncul. Ia sempat berpikir untuk menggunakan mikrofon dan mengumumkan, "Kepada Saudara Aaryan, mohon segera melapor ke dapur. Ada panggilan tugas dari Bu Aynur."
Lalu, pandangannya menangkap sosok yang familiar tapi ia tak ingat namanya. Pemuda itu berdiri di dekat Zayn, satu-satunya Paman yang paling sering ia lihat, meski interaksi mereka minim.
"Om Zayn!" panggilnya, menghampiri.
Zayn menoleh. "Kenapa, Aya sayang?"
"Aku disuruh cari Bang Aaryan. Om tahu dia di mana?"
Zayn dan pemuda di sebelahnya saling berpandangan sejenak. Lalu, keduanya tertawa keras. Tawa yang, sungguh, terdengar sedikit menyebalkan.
"Emangnya kamu nggak kenal sama dia?" tanya Zayn, tawanya masih tersisa.
Sofia menggeleng polos. "Jujur sih, nggak memang."
Zayn menunjuk ke sebelahnya, ke arah pria yang sedang tertawa. "Nah, ini dia. Makhluk yang tengah membuat gadis cantik kita pusing tujuh keliling."
Sofia menatap pria itu. Dan damn it, Haedar benar. Lesung pipinya dalam, gingsulnya mencuat manis saat ia tersenyum, dan kulitnya bersih terang. Persis seperti deskripsi yang menjengkelkan itu.
"Serius, dia?" tanya Sofia, kaget.
"Iya lah, Sofia. Masa sepupu sendiri nggak kenal? Owh ya, Kita terakhir ketemu itu udah lama banget ya," jawab Aaryan, matanya menyipit karena geli.
Sofia hanya bisa menggaruk kepala yang tidak gatal. "Maaf, Bang. Aku jarang keluar dari goa penulisan novel." Dalam hati, ia bersumpah akan membuat diagram silsilah keluarga ini lengkap dengan foto dan resume singkat setelah pesta.
"Eh, disuruh ngapain sama Mama tadi?" tanya Aaryan, sambil tersenyum menenangkan.
"Nggak tahu. Katanya suruh ke dapur aja. Tanya langsung, deh, ke mama," jawab Sofia.
Zayn ikut menimpali sambil nyengir, "Jangan-jangan disuruh nyuci piring tuh. Hukumannya karena telat datang."
Aaryan tertawa. "Kalau Bunda Aynur yang nyuruh, pasrah aja. Kita kan anak baik."
Setelahnya, Zayn menarik tangan Sofia. "Ayo, makan dulu. Om lapar nih. Energi buat ngobrol udah habis."
"Mau makan di mana? Di sana rame banget," kata Sofia, menunjuk area prasmanan yang sudah diserbu ratusan orang.
"Di dekat makam Kakek aja. Di sana sepi, sound system nggak nyampe. Kita bisa makan sambil healing sebentar," usul Zayn.
Sofia tak menolak. Ia memang lebih menyukai tempat yang tenang. Beberapa menit kemudian, Zayn kembali dengan dua piring nasi dan lauk lengkap. Di belakangnya, Aaryan dan Haedar, si "Om yang sedikit ngeselin itu", ikut membawa makanan dan kursi plastik.
"Gak jadi cuci piring, Bang Aaryan?" tanya Sofia, usil.
"Enggak. Cuma disuruh angkat rendang yang baru matang. Katanya, tanganku lebih kuat daripada otot kamu," jawab Aaryan sambil duduk.
Mereka berempat mulai makan dengan lahap, sambil mengobrol santai dengan volume suara normal, sebuah kesempatan yang jarang terjadi di tengah pesta.
"Kerja di mana sekarang, Ay?" tanya Aaryan.
"Nggak di mana-mana. Cuma jadi penulis novel full-time aja," jawab Sofia singkat.
Zayn mengangguk kagum. "Mantap itu. Jadi penulis zaman sekarang itu agak susah ya kan. Bisa dapat berapa biasanya per proyek?"
Sofia tersenyum samar. Ia memilih untuk tidak bercerita tentang hal yang sesungguhnya. "Tergantung. Kadang lumayan. Lima puluh juta per judul, kalau lagi laris."
"Buset. Keren. Lama nggak nulis satu novel?" tanya Haedar, matanya berbinar.
"Kalau fokus, dua sampai tiga bulan kelar."
Mereka mengangguk-angguk, terkesan. Tapi Sofia tidak hanya itu saja. Ia memang penulis yang sedang naik daun, beberapa karyanya sedang dalam proses adaptasi ke layar lebar, dan seorang pengusaha muda yang naik daun juga. Namun ia memilih untuk tak membeberkan semua keberhasilannya.
Sofia tidak ingin dikenal karena nominal penghasilannya. Ia ingin tetap menjadi bagian dari keluarga tanpa jarak, tanpa embel-embel kekaguman yang berbasis materi. Bagi Sofia, cinta dan penghargaan sejati bukan diukur dari berapa banyak yang ia punya, tapi seberapa tulus ia hadir dalam kebersamaan ini.
Dan hari itu, di tengah suasana hangat keluarga, di balik tawa dan canda ringan yang mengalir alami, Sofia tahu satu hal pasti, ia telah pulang. Bukan hanya secara fisik, tapi juga batin. Di pelukan keluarganya, ia menemukan bagian dari dirinya yang selama ini sempat ia lupakan.
Rumah bukan soal pondasi bangunan, tapi tentang tangan yang menyambutmu, dan senyum yang tak pernah menuntut apa-apa, kecuali kehadiranmu.
Langit sore di atas kampung ini bukan lagi kanvas polos tempat Sofia melukis masa kecil. Kini, ia seperti kain sutra tua yang lusuh, memancarkan cahaya jingga kelabu yang berat. Di bawahnya, Sofia berdiri, menjejakkan kaki untuk pertama kali setelah belasan tahun.
Dinding batu yang dulu ia kenal sebagai batas aman kini terasa asing dan angkuh. Aroma tanah basah yang bercampur dengan getah pohon mangga tua menyergap indra, persis seperti yang tersimpan di memori. Namun, kehangatan yang dulu mengikat aroma itu kini hilang, digantikan oleh kebekuan formalitas.
Sofia menarik napas panjang. Udara di sini terasa padat, mengandung debu ingatan yang nyaris menenggelamkannya. Ia telah kembali. Bukan sebagai Aya si gadis kecil yang pipinya selalu gembil, melainkan sebagai Sofia, perempuan dua puluh satu tahun yang tubuhnya sudah terbalut baju besi ketidak pedulian agar luka di dalamnya tak lagi berdarah.
Dulu, hidup adalah hamparan hijau tak bertepi. Hingga badai itu datang, badai yang meruntuhkan tiang penyangga keluarga, perceraian orang tua dan badai ekonomi yang menyeret mereka hingga nyaris tenggelam. Saat Ibu memilih pergi, meninggalkan rumah ini dan segala janji yang tergantung di dindingnya, Sofia merasa dirinya terbelah. Di sisa-sisa kehancuran, ia belajar satu hal, tidak ada tempat yang lebih menyakitkan daripada rumah yang seharusnya menjadi pelabuhan.
Ia menoleh ke pelataran, tempat rindang di bawah pohon beringin tua. Di sana, di antara gulma dan lumut yang tumbuh liar, bersemayam batu nisan kakek buyutnya. Tiga sosok lelaki sudah menunggunya.
“Aya, sini duduk. Anggap saja rumah sendiri,” ujar Haedar, pamannya. Wajahnya keras namun mata di baliknya tampak menyimpan kehangatan yang tak ia ingat.
Di sampingnya duduk Aaryan, sepupu yang wajahnya lebih ramah, dan Zayn, yang postur tegapnya jelas menunjukkan disiplin militer. Pria muda yang ia kenal hanya melalui potongan foto post-graduation SPN di Instagram.
Sofia berjalan perlahan, seolah takut menginjak sesuatu yang rapuh. Ia memilih duduk tak jauh dari batu nisan, punggungnya menghadap ke makam, namun energinya seolah terhisap oleh tempat peristirahatan terakhir itu.
“Kenapa kamu bisa kenal sama Zayn, tapi sama kita berdua enggak?” tanya Haedar, nadanya setengah menggoda.
Sofia tersenyum, senyum tipis yang
tak mencapai matanya. “Hanya kebetulan, Om. Sering lihat di Instagram, itu pun sejak Om Zayn lulus dari pendidikan. Aura kedinasannya kuat sekali, jadi mudah dikenali.”
Aaryan tergelak. “Oalah… rupanya pengagum marmut satu ini,” candanya, menepuk bahu Zayn.
Zayn mencibir, namun matanya menatap Sofia dengan rasa ingin tahu yang besar.
“Jadi rencananya mau kuliah di mana, Ay?” Aaryan bertanya, mengubah topik menjadi lebih serius.
Mata Sofia kini benar-benar fokus. Di sinilah satu-satunya cara ia bisa memperbaiki kehancuran masa lalunya, pendidikan. “Belum pasti, Bang. Kemungkinan aya mau ambil kuliah di luar negeri. Inggris atau Polandia. Sekarang lagi intensif bahasa Inggris.”
Haedar menyimak, alisnya sedikit terangkat. “Polandia? Kenapa jauh-jauh ke sana?”
“Sektor pertanian mereka maju, Om. Aya tertarik sekali. Kalau di Indonesia, aya juga akan tetap ambil jurusan pertanian. Aya ingin belajar bagaimana menumbuhkan sesuatu yang kuat dari tanah yang tandus. Mungkin seperti mencoba menumbuhkan kembali mimpi yang sempat mati,” jawab Sofia, tanpa sadar menyentuh subteks pribadinya.
Haedar dan Aaryan bertukar pandang. Mereka melihat determinasi baja yang tak pernah mereka duga ada pada gadis kecil yang mereka tinggalkan.
***
Malam itu, di ruang tamu rumah nenek, Sofia duduk sendirian. Ibunya sudah pulang, dan ketiadaan wanita itu menyisakan lubang dingin di perutnya. Ia bahkan harus mengenakan kaos Haedar yang kebesaran, pakaian dinas berwarna gelap yang jatuh di bahunya, seolah menenggelamkan dirinya.
Haedar datang membawa nampan berisi jus alpukat kental dan sepiring makanan ringan.
“Udah nggak papa, pakai aja dulu. Aaryan udah keluar beli baju buat kamu. Jangan sungkan,” katanya.
Perhatian itu menghangatkan Sofia, mencairkan sedikit beku di hatinya.
Tak lama, Aaryan kembali membawa bungkusan plastik. “Daster lowo, Ay. Kata abangnya, ini cocok buat anak gadis.”
Saat Sofia kembali dari kamar Haedar, mengenakan daster yang anggun menjuntai, suasana hening sesaat. Daster itu tidak hanya pas, tetapi juga menonjolkan keindahan alami yang selama ini ia sembunyikan di balik sikap dingin. Haedar terpaku. Ia melihat bukan lagi keponakannya yang kaku, melainkan seorang perempuan yang memancarkan pesona lembut.
Tepat saat mereka berkumpul, seorang wanita bertubuh gempal, Bu Linda, tetangga lama, datang dan langsung bergabung.
“Oalah… ini si Aya, anak Aynur,” sapa Bu Linda, menunjuk Sofia dengan dagunya. “Tapi kok sekarang sombong, ya? Datang nggak permisi ke rumah tetangga.”
Sofia tersenyum sopan. “Maaf, Bu. Baru sampai pagi tadi.”
“Lebih tua dari Dinda berarti kan?” tanya Bu Linda , membandingkannya dengan si pengantin baru.
“Iya, Buk. Saya dua puluh satu,” jawab Sofia.
“Lho? Udah punya anak berapa?”
Pertanyaan itu meluncur tanpa filter, menusuk ruang tamu yang semula nyaman.
Sofia menggeleng, berusaha mempertahankan senyumnya. “Belum menikah, Buk.”
Wajah Bu Linda langsung memanjang. “Ya ampun! Dinda aja udah nikah. Anak saya malah udah punya anak satu. Nikah sama PNS, gajinya enam juta loh per bulan. Kamu ini kapan nikahnya, Ay? Nanti keselak tua!”
Dinding pertahanan Sofia, yang telah ia bangun selama bertahun-tahun, bergetar.
Hinaan itu, ‘perawan tua’, bukan hal baru. Namun, di rumah ini, di depan keluarga yang baru saja ia temukan kembali, rasanya berbeda. Sebuah rasa sesak merayap naik, ia menelan pahit.
Haedar, yang sedari tadi diam, seketika menegang. Matanya yang gelap menatap Bu Mida dengan intensitas yang menakutkan.
“Buk Linda, setiap orang punya waktu dan jalan hidupnya masing-masing,” suara Haedar terdengar rendah, namun setiap kata dipahat dengan ketegasan. “Aya ini perempuan pintar. Dia sedang menyiapkan masa depan di luar negeri. Soal jodoh, itu bukan perlombaan lari, apalagi dengan iming-iming gaji enam juta. Biar dia yang menentukan jalannya.”
Hening.
Bu Linda terdiam, tersentak oleh nada bicara Haedar yang belum pernah ia dengar.
Sofia menutup matanya. Ia tidak menangis. Ia hanya merasakan gelombang rasa syukur yang dingin dan tak terduga. Ia terbiasa melawan omongan pedas itu sendirian, dengan kepala tegak, dan hati yang remuk. Tapi malam ini, di tengah kegelapan yang menyesakkan, ada tangan yang tak terlihat yang memegangi bahunya.
Ia membuka mata dan menatap Haedar. Bukan sebagai paman, melainkan sebagai pelindung tak terduga.
Malam itu, Sofia tahu. Pulang bukan hanya soal kembali ke aroma tanah basah. Pulang adalah saat kamu menemukan siapa yang berdiri di sisimu, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk membela, bahkan hanya dengan sepasang mata tajam dan nada bicara yang tegas. Itu adalah pertahanan paling nyata yang ia temukan setelah sekian lama mengembara.
Sofia menarik napas panjang dan menghembuskannya, mencoba menenangkan arus panas yang mendidih di dadanya. Sebuah kalimat bergetar di gendang telinganya, dingin dan menusuk.
“Dijual pun udah gak laku.”
Ia menatap Bu Linda, wanita bertubuh gempal yang baru saja mengucapkan kalimat kejam itu. Pertanyaan batin Sofia terasa menggigit lidahnya, Apakah aku ini barang, yang memiliki harga jual di pasar?
Ia tidak akan membiarkan api amarahnya terlihat. Ia harus melawan dengan air, bukan minyak. Bibirnya ditarik menjadi senyum tipis, namun matanya memancarkan ketajaman yang tak bisa dibohongi.
“Memangnya saya barang yang bisa dijual, Bu?” tanya Sofia, suaranya tenang, namun mengandung timbre yang tajam.
Dinda, yang duduk di sampingnya, tampak melongo. Ia tahu, di balik ketenangan itu, ada badai yang siap meletus.
“Perempuan umur dua puluh satu belum nikah, ya pasti karena terlalu banyak milih, jadi gak laku-laku,” kata Bu Linda lagi, nadanya meremehkan.
Sofia mengangguk pelan, seolah mengakui. “Aya memang memilih, Bu. Sangat memilih. Dan itu bukan karena takut tidak laku. Itu karena Aya tidak mau salah pilih dan malah mendapat... sampah masyarakat.”
Ruangan mendadak hening. Haedar, Aaryan, dan Zayn saling bertukar pandang, merasakan atmosfer yang mematikan.
“Kalau Aya menikah, Aya melihat bibit, bebet, dan bobot. Saya cicit Bu Haji, Bu. Masa dikawinkan dengan orang yang hanya bermodal gelar tanpa etika?” Sofia bicara lantang. “Aya berencana menikah di usia matang. Saat ini, fokus Aya adalah kuliah, dan bentar lagi akan melanjutkan studi ke luar negeri.”
Ia menatap langsung ke mata Bu Linda. Matanya tak goyah.
“Dan, dengan segala hormat, Bu. Saya tidak mau menurunkan standar hidup saya. Enam juta mungkin besar, tapi bagi saya, itu bahkan belum cukup untuk biaya perawatan diri saya selama sebulan. Untuk apa terburu-buru mendapatkan suami yang malah jadi beban finansial atau emosional?”
Bu Linda terdiam. Serangannya yang biasa mematikan kini memantul kembali padanya. Wajahnya memerah, bukan karena marah, tapi karena malu.
“Sombong banget kamu, Ay,” sela Tiara, tetangga lain dan merupakan anak dari Bu Linda.
“Saya hanya jujur, Kak Tiara. Tidak ada untungnya saya munafik. Saya punya rencana, saya punya penghasilan sendiri. Untuk apa saya mencari jodoh karena tekanan? Jodoh itu tak pernah datang karena dipaksa. Ia akan datang karena waktunya tiba, saat kita sudah selesai membangun diri kita sendiri.”
Sofia menyapu pandangan ke sekeliling ruangan, menatap semua mata yang menonton.
“Usia bukanlah patokan menikah. Di luar sana, banyak wanita karier yang menikah saat mereka sudah matang secara emosi dan finansial. Yang buru-buru menikah, biasanya bukan karena kesiapan hati, tapi karena keterpaksaan status.”
Kata-kata Sofia bukan lagi sekadar balasan, melainkan manifes seorang perempuan mandiri. Bu Linda dan Tiara tak sanggup berlama-lama di sana. Mereka beranjak, tubuh gempal Bu Linda bergerak kaku, meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, seolah tenggelam dalam rasa malu yang tak terucapkan.
Saat pintu tertutup, bahu Sofia ambruk. Ia kembali menjadi perempuan rapuh, meski hanya sepersekian detik.
Aaryan segera mendekat, menyodorkan segelas air. “Minum dulu, Ay. Tenang.”
Sofia menenggak air itu hingga tandas. Rasa panas di dadanya belum sepenuhnya padam. Zayn datang membawakan kipas. Sementara Haedar, tanpa berkata apa-apa, mendekat dari belakang dan mengikat rambut Sofia yang tergerai, membantu meredakan gerahnya.
“Kalau bukan karena dia orang tua, sudah kubuat jadi sambal tadi,” gerutu Sofia, mendengus.
Dinda tertawa kecil. “Udahlah, Kak. Mulutnya emang gitu. Anak sendiri dikira malaikat.”
Tak lama setelah ketegangan mereda, suasana rumah kembali riuh oleh tawa. Sofia mulai membuka kado-kado Dinda. Tiba-tiba, ia mengangkat sehelai pakaian tipis yang hampir transparan dari kotak.
“Din! Ini baju haram!” seru Sofia dengan keterus terangan yang polos.
Dinda langsung merebut pakaian itu, pipinya memerah padam. Aaryan dan Zayn terbahak-bahak. Haedar, yang tadinya hanya tersenyum tipis, kini tertawa renyah. Reaksi jujur Sofia adalah pemantik keakraban yang mereka butuhkan.
“Ay, sudah… tenangkan dirimu,” ujar Haedar sambil menepuk bahu Sofia.
“Makanya cepat nikah, Ay, biar gak syok lagi!” goda Aaryan.
PLETAK!
Aaryan mengaduh, mengelus dahinya yang dijitak Sofia.
“Dasar orang tua gak sadar diri! Umur udah mau kepala tiga, badan udah separuh ke liang kubur, tapi masih sibuk menyudutkan orang lain!”
Skakmat.
Aaryan bungkam, melotot kesal. Haedar dan Zayn mengacungkan jempol pada Sofia, tertawa geli, menikmati pemandangan kekalahan Aaryan.
Di tengah keceriaan itu, suara sang Nenek , yang sedari tadi menyimak, terdengar.
“Haedar, kamu sendiri kapan nikah?”
Haedar tersenyum, sempat melirik Sofia sekilas—lirikan singkat yang cepat ditarik. “Belum tahu, Nek. Tunggu yang cocok. Yang tulus.”
“Zayn?”
“Tiga puluhan, Nek. Fokus karier dulu,” jawab Zayn.
“Aaryan?”
“Cari yang cocok dulu, Nek,” jawab Aaryan, masih menggerutu.
Sang nenek menatap lembut pada Sofia. “Kamu, Ay?”
“Aya tunggu selesai S1 dulu, Nek. Mungkin enam tahun lagi. Mungkin, setelah dari Inggris, Aya siap menikah. Calonnya… Aya serahkan pada keluarga. Aya ikut saja.”
Semua terdiam. Keputusan Sofia untuk "menyerahkan" urusan jodoh kepada keluarga, terutama setelah demonstrasi kemandiriannya yang begitu tegas, terasa kontradiktif. Sebuah ironi yang hanya bisa dimengerti oleh perempuan yang lelah memilih dan terluka.
Sang nenek tersenyum haru. “Kalau begitu, tugas mencari calon sekarang menjadi tanggung jawab tiga pemuda ini. Untuk kalian carilah perempuan yang tulus, beretika, dan punya rasa hormat pada keluarga. Jangan hanya mengejar gelar atau kecantikan.”
Haedar, Aaryan, dan Zayn mengangguk serempak.
Haedar memandang Sofia, tatapannya sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Bukan lagi tatapan paman kepada keponakan. Itu adalah tatapan seorang pria dewasa yang diam-diam, tanpa disadari oleh Sofia, mulai merasa bertanggung jawab atas masa depannya. Di mata Haedar, ada janji yang tak terucapkan, Pulangmu ini, Ay, tidak akan sia-sia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!