Hai aku Anna Magie (25th). Aku tidak ingin terlalu berpanjang lebar, jadi kuharap kau bisa menyimaknya. Aku memiliki ayah dan ibu yang sangat menyayangiku, mereka adalah Andrew dan Isabell. Tidak ada terlalu istimewa dan menarik tentangku dan keluargaku, kami hanya keluarga kecil yang saling menyayangi, setidaknya itu yang ku tahu.
Sampai takdir membawa ku bertemu dengan seseorang yang mengubah hidupku untuk selamanya.
.....
Hari ini adalah hari pertama Anna bekerja, disebuah perusahaan terbesar di Amsterdam, Belanda Amstel Core Group. Ia sudah sangat bersiap untuk ini, tetapi masalah besarnya adalah dia sangat gugup untuk hari pertamanya ini.
"Tenang Anna ini bukan kali pertama kau bekerja kenapa harus segugup ini. Ingat kau adalah Anna kau bisa melakukan nya." Setidaknya begitulah pikiran Anna terus berucap.
Amstel Core Group
Langkah Anna terhenti sejenak di depan gedung megah itu, sambil menghela nafas panjang, kemudian melanjutkan langkahnya kembali.
Ting Lantai 25
"Nona Anna !?." Ucap Wanita di meja panjang tepat di depan Anna berdiri.
"Ya.." Jawab Anna.
"Aku Iren...Mr Jonathan sudah menunggumu. Kenapa lama sekali !." Serunya dengan nada sedikit mengintimidasi.
"Maaf..."
"Segera masuk."
"Kemana?"Tanya Anna bingung.
“Lantai ini hanya punya satu pintu, dan ya... jelas itu kantor Mr. Jonathan. Aku sarankan kau jangan buat dia menunggu lebih lama lagi.”
Tanpa berpikir panjang Anna mempercepat langkahnya menuju ruangan boss nya itu.
"Dasar wanita cerewet, baru pertama bertemu saja sikapnya sudah seperti itu." Umpat Anna pada Iren, meskipun itu hanya suara hatinya saja.
Tok
Tok
Tok
Suara high heels Anna,
"Entah tempat ini yang sepi atau memang heels ku yang terlalu berat, sampai setiap langkah bisa terdengar jelas olehku." Suara hati Anna kembali berucap.
Tok.Tok.(Suara ketukan Anna)
Anna mendorong pintu pelan, kemudian masuk. Di sana Anna melihat ada dua pria yang sedang mengobrol, Anna terkejut apakah ia masuk di saat yang tidak tepat.
"Maaf Pak." Anna segera menunduk.
"Billy. Kau boleh keluar sekarang."
"Baik Pak." Jawab Billy.
"Dan kau yang disana segera kemari!." Titah suara berat itu pada Anna.
Anna segera menuju pada pria tinggi depannya itu.
"Anna Megie !."
"Ya Mr Jonathan. Saya Anna Megie yang akan menjadi asisten pribadi anda !." Jawab Anna formal.
"Nona Anna apa kau tahu apa tugas mu?."
"Ya ! Saya harus menyiapkan segala keperluan dan mengatur semua jadwal anda Mr Jonathan."
Jonathan menatap Anna tajam.
"Lalu apa yang harus ku lakukan hari ini?." Tanya Jonathan.
Anna buru-buru mengeluarkan tablet nya mencoba memperhatikan catatan yang telah ia terima dari perusahaan sebelum ia mulai Anna.
"Pagi ini anda memiliki waktu luang, sampai Pukul 1 Siang. Dan pukul 2 nanti anda ada wawancara dengan dengan AoTV, lalu pukul 4 ada akan menghadiri pembukaan acara sosial di pusat kota, selanjutnya pukul 8 saya sudah mereservasi tempat untuk anda dan Ms. Hellen di Luna aan de Gracht"
Jonathan langsung memotong pembicaraan
"Anna...Jelaskan tentang latar belakang mu."
"Saya lahir dan besar di sebuah kota kecil di pinggiran Amsterdam. Ayah saya, Andrew Magie, adalah seorang teknisi kereta api. Beliau sudah bekerja di perkeretaapian Belanda lebih dari tiga puluh tahun. Sementara ibu saya, Isabell, adalah ibu rumah tangga. Beliau selalu ada di rumah, mengurus kami dengan penuh cinta.”Ucap Anna mejelaskan. Sesekali ia melirik ke arah bos nya itu untuk menunggu reaksinya, tapi Jonathan hanya diam dan memperhatikannya lurus.
Memaksa Anna kembali melanjutkan ucapannya.
“Saya bersekolah di SMA negeri di Noord-Holland, lalu mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Universitas Amsterdam, mengambil jurusan Komunikasi Bisnis. Saya lulus dua tahun lalu, dan sempat bekerja serabutan, kebanyakan pekerjaan administrasi dan pengorganisasian acara.”
"Lanjutkan...." Ucap Jonathan
Anna terdiam sejenak, bahkan ia sudah mejelaskan semuanya, tapi kenapa pria itu terus memintanya menjelaskan sesuatu.
Anna kemudian kembali berbicara perlahan.
“Saya bukan siapa-siapa, Tuan. Saya hanya orang biasa yang kebetulan beruntung bisa mendapat kesempatan bekerja di perusahaan Anda. Tapi saya percaya… orang biasa pun bisa memberikan sesuatu yang luar biasa. Asalkan diberi kesempatan.”
"Apa kau sudah memiliki kekasih?."
Mata Anna terbelalak dengan pertanyaan Jonathan padanya.
"Maaf. apa urusan pribadi termasuk di sini?." Tanya Anna heran.
"Kau tidak ingin menjawabnya?." Jonathan kembali bertanya.
"Tidak ! Saya Tidak punya Mr. Jonathan!." Ungkap Anna. Yang kembali tersadar bahwa orang yang berdiri di harapannya ini adalah bosnya.
Jonathan menanggung angguk kepalanya.
"Bagus. Berarti kau bebas, kapanpun aku butuhkan."
Studio AoTV
Studio AoTV tampak mewah dan berkilau. Lampu sorot menggantung dari langit-langit, menyoroti pria berjas gelap yang duduk dengan tenang di kursi tengah. Anna berdiri di samping ruangan, menjaga jarak, matanya fokus pada layar tablet yang menampilkan rundown jadwal hari ini.
Acara pun di mulai....
“Mr. Jonathan Vanderlicht,” ucap pembawa acara dengan suara yang begitu dilatih dan manis, “CEO dari Amstel Core Group, pria di balik kejayaan bisnis teknologi dan investasi lintas Eropa. Kami merasa sangat terhormat Anda bisa hadir.”
Jonathan hanya mengangguk tipis. “Terima kasih.”
Wawancara berjalan seperti yang Anna duga—pertanyaan soal keberhasilan, strategi kepemimpinan, krisis yang berhasil diatasi, hingga pandangan Jonathan terhadap masa depan dunia bisnis. Anna mencatat beberapa hal penting, walau sebagian besar jawabannya sudah seperti yang tertulis di laporan tahunan perusahaan.
Namun suasana berubah saat pembawa acara meletakkan kartunya, lalu menatap Jonathan dengan senyum penuh rasa ingin tahu.
“Sebagai penutup Mr.Jonathan. Dan ini pertanyaan yang pasti ditunggu-tunggu oleh penonton wanita kami...”
Anna mengangkat kepala secara refleks menatap kearah Jonathan, mata mereka sempat bertemu beberapa detik, sampai Anna kembali memalingkan arah tahapannya.
“Di usia Anda yang ke-39, Mr. Jonathan... apakah Anda memiliki rencana menikah dalam waktu dekat?”
Hening.
Jonathan menatap lurus ke depan. Suaranya datar saat akhirnya menjawab, “Tidak semua orang ditakdirkan untuk memiliki rumah yang utuh. Beberapa dari kita hanya diciptakan untuk bekerja, bukan untuk dicintai.”
Anna menahan napas. Jawaban itu begitu... dingin. Jauh lebih dingin dari semua briefing yang pernah ia baca tentang pria itu.
"Anna... sebenarnya orang seperti apa boss mu ini." Anna bertanya dalam hati kecilnya.
....
Acara berikutnya berlangsung di pusat kota. Sebuah peluncuran kegiatan sosial yang menggandeng Amstel Core Group sebagai sponsor utama. Jonathan datang tepat waktu, berjalan masuk dengan langkah tegap dan wajah tanpa ekspresi. Ia disambut dengan sambutan hangat dari walikota dan beberapa tokoh masyarakat.
Anna mengikuti dari belakang, mencatat siapa saja yang sempat berbicara dengan bosnya, memastikan jadwal tetap sesuai rencana. Tentu saja Anna tidak sendiri tanpa di ketahui banyak orang dari beberapa sudut, bodyguard Jonathan sudah turun, memastikan keadaan disekitar boss mereka aman.
Dan di tengah keramaian, muncullah sosok yang tidak asing di dunia sosialita—Hellen De Vries, wanita tinggi dengan rambut pirang tergerai dan gaun merah menyala yang nyaris memaksa semua mata untuk melihatnya.
Dia menghampiri Jonathan seperti angin yang tahu ke mana harus berhembus. Menggantungkan tangan di lengannya, tertawa kecil, lalu berbicara pelan di dekat telinga pria itu.
Anna tidak tahu kenapa dia memperhatikan mereka terlalu lama.
Ia memalingkan wajah dan kembali fokus pada catatannya.
Pukul 20.00 malam, Anna mengantar Jonathan dan Hellen ke restoran Luna by the Canal. Restoran bintang lima yang berada tepat di tepi kanal Amsterdam. Tempat itu penuh cahaya lembut dan suara gesekan biola di latar belakang.
“Pesanan untuk dua orang sudah disiapkan atas nama Anda, Mr. Jonathan,” ucap Anna sambil menyerahkan catatan reservasi.
“Baik. Pulanglah.” Suara pria itu pendek.
Anna mengangguk dan berbalik, namun baru beberapa langkah ia menjauh, ponselnya bergetar.
Mr. Jonathan:
“Jangan pulang. Tunggu di sekitar restoran. Aku akan menghubungimu nanti.”
"Tapi di luar ada supir...!"
(Jonathan memotong ucapan Anna)
"Nona Anna bukankah kau adalah asisten ku!."
Anna sempat tertegun, tapi akhirnya memilih duduk di dalam mobil Jonathan yang diparkir tak jauh dari restoran. Ia menunggu. Dan menunggu. Jam di dashboard menunjukkan pukul 22.37 saat panggilan itu akhirnya masuk.
“Antar aku pulang,” ucap Jonathan, suaranya berat dan lamban. “Sekarang.” Titahnya lagi.
Parkiran belakang restoran itu remang dan sepi. Anna membuka pintu belakang mobil. Jonathan masuk lebih dulu... diikuti Hellen. Aroma alkohol langsung menyeruak ke udara.
“Saya akan duduk di depan,” ucap Anna cepat.
“Tidak,” potong Jonathan. “Duduk di belakang. Kau asistenku, bukan supir.”
Anna terdiam, lalu mematuhi. Ia masuk dan duduk di sebelah mereka. Ruangan sempit, udara hangat, dan ketegangan yang tidak bisa dijelaskan.
Mobil mulai melaju pelan. Hanya suara mesin dan denting angin luar yang menemani... hingga suara Hellen memecahnya.
“Sayang... kau terlalu tegang,” bisiknya. Lalu bibirnya menyentuh pipi Jonathan.
Anna langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Suara kecupan, lalu cengkeraman kecil di jas, lalu napas. Tubuh mereka mulai bergerak.
Hellen mendesah pelan, duduk di pangkuan Jonathan, tubuhnya melingkari pria itu tanpa malu sedikit pun. Anna menahan napas, matanya menatap gelapnya kaca luar. Yang sesekali memantulkan bayangan pasangan yang sedang bercumbu itu. Tangannya mengepal di pangkuannya.
Jonathan tidak berkata apa pun. Ia hanya menerima perlakuan Hellen—dingin, pasif, namun tidak menolak.
Anna ingin berkata untuk berhenti dan turukan saja ia di sini. Tapi bagaimana cara melakukannya.
Ia bukan siapa-siapa.
Sesampainya di apartemen Jonathan, Anna membantu membukakan pintu mobil. Jonathan setengah mabuk, perlahan-lahan mulai sadar.
“Terima kasih, Nona Magie,” ucap Hellen ringan, meliriknya penuh kemenangan.
Jonathan mencegah Hellen turun dari mobilnya.
"Pulang lah. Aku tidak menerima siapapun di apartemenku." Ujar Jonathan dingin seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Tapi..."
"Supirku akan mengantarmu. Aku sudah mengirim bagian mu. Terima kasih nona Hellen."
Jonathan menutup pintu mobil nya tanpa memberi Hellen kesempatan untuk berbicara.
"Dan kau nona Anna. Kau boleh pulang sekarang !."
Anna hanya membungkuk kecil.
Tanpa suara. Tanpa emosi.
Lalu kemudian pergi.
Malam kembali turun di Amsterdam. Langit kelam, hujan gerimis turun perlahan, seperti mengulang malam sebelumnya yang belum sempat sembuh.
Ponsel Anna kembali bergetar.
Mr. Jonathan:
“Temui aku di lobi. Sekarang.”
Tanpa bertanya, Anna turun. Di lobi, seperti malam kemarin, Jonathan sudah berdiri. Tapi kali ini, wanita di sampingnya berbeda lagi. Rambut cokelat gelap, mata tajam, dan gaun merah marun yang membungkus tubuh semampainya dengan presisi mencolok.
“Jangan tatap terlalu lama,” gumam Anna dalam hati. “Itu bukan urusanmu.”
Supir perusahaan sudah menunggu dengan mobil di depan.
Pintu dibuka.
Jonathan masuk. Wanita itu menyusul.
Dan Anna? Tanpa pilihan, duduk di samping mereka.
Ruang di kursi belakang menjadi saksi yang terlalu akrab bagi Anna—sekali lagi.
Kursi yang sama. Suasana yang sama.
Hanya wanitanya saja yang berbeda.
Mobil melaju perlahan, menyusuri jalanan basah kota Amsterdam.
Suara tawa lirih mulai terdengar.
Ciuman.
Desahan halus.
Gesekan gaun.
Napas tercekat.
Anna menatap ke luar jendela. Matanya kosong. Wajahnya diam.
“Aku hanya asisten.”
“Aku hanya asisten.”
Dan seperti sebelumnya, Jonathan tidak berkata apa pun. Tidak menolak. Tidak juga terlibat penuh. Ia hanya... membiarkan semuanya terjadi.
Namun kali ini berbeda. Ketika mobil hampir mencapai apartemennya, Jonathan membuka suara.
“Ke Hotel Vondel.”
Anna dan supir sama-sama tidak menoleh.
“Baik, Pak,” jawab supir itu pelan, melanjutkan perjalanan.
Anna menggenggam tablet di pangkuannya lebih erat. Tapi tidak berkata apa pun.
Hotel Vondel – 22.57
Hujan turun sedikit lebih deras saat mobil berhenti di pelataran hotel mewah itu.
Jonathan turun lebih dulu. Lalu wanita itu, masih dengan senyum penuh kepuasan di wajahnya. Mereka tidak saling berpegangan. Tidak ada kalimat manis. Hanya isyarat tangan Jonathan meminta Anna dan supir untuk tetap menunggu.
“Jangan ke mana-mana,” katanya pelan. “Tunggu aku di sini.”
Anna mengangguk kecil.
“Baik, Mr.Jonathan.”
Pintu tertutup.
Dan malam kembali sunyi.
Waktu terus berjalan.
Anna menatap jam tangannya. 23.45
Supir mematikan mesin dan menyandarkan kepala ke kursi.
Di luar, hotel tampak tenang. Tidak ada yang keluar. Tidak ada tanda-tanda Jonathan atau wanita itu.
Hanya hujan yang terus turun.
00.12
Pintu hotel akhirnya terbuka.
Jonathan keluar.
Sendiri.
Tanpa wanita itu.
Langkahnya tenang. Wajahnya datar. Tidak mabuk. Tidak gembira.
Hanya... Jonathan Vanderlicht.
Supir segera turun dan membukakan pintu.
Jonathan masuk ke mobil.
Diam.
Memandang lurus ke depan.
Anna tidak berani bicara. Tidak bertanya. Tidak memberi catatan.
Ia hanya duduk di samping, seperti biasa.
“Ke apartemen,” ucap Jonathan pendek.
Mobil berbelok. Lampu-lampu kota menyapu wajah mereka dengan cahaya dingin.
Dan malam pun berakhir.
Sama seperti sebelumnya.
Hening. Dingin. Dan tanpa penjelasan apa pun.
Pagi hari di rumah keluarga Magie
Dimulai seperti biasa—hangat, damai, dan penuh rutinitas kecil yang tak pernah berubah sejak Anna masih sekolah.
Rumah mereka terletak di pinggiran Amsterdam, dengan halaman kecil dan pagar kayu yang mulai memudar warnanya. Di dapur, aroma kopi dan roti panggang menyambut pagi, bersama suara radio tua yang memutar lagu-lagu Belanda klasik.
“Anna, kau tidak mau makan dulu?” suara lembut sang ibu, Isabell, terdengar dari meja makan.
Anna yang baru keluar dari kamar mandi mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. “Nanti, Ma. Aku cuma minum kopi.”
Ayahnya, Andrew, sedang membaca berita di tablet. Tapi saat melihat Anna duduk, ia langsung menyapanya dengan senyum bangga.
“Kau terlihat seperti orang penting sekarang. Sibuk sekali, ya? Anak Ayah sudah kerja di perusahaan besar.”
Anna tersenyum kecil sambil menyeruput kopinya. “Aku hanya staf biasa, Yah. Asisten pribadi.”
“Tapi bukan asisten sembarangan,” timpal ibunya, “Kau bekerja langsung dengan CEO besar itu... siapa namanya? Mr. Jonathan?”
Anna mengangguk sambil tersenyum tipis. “Jonathan Vanderlicht.” Ternag Anna
“Mama sempat lihat dia di berita. Wajahnya... dingin sekali ya. Tapi tampan,” goda sang ibu.
Ayahnya tertawa. “Dingin tapi jenius. Itu jenis pemimpin yang dibutuhkan perusahaan sekarang.”
Anna tidak membantah. Ia hanya mengangguk, menyembunyikan rasa yang tak bisa ia bagi—tentang mobil malam itu, tentang wanita yang berbeda tapi skenarionya sama, tentang kursi belakang yang seharusnya tidak pernah ia duduki.
“Perusahaan itu hebat. Tapi yang lebih hebat... adalah kamu, Anna,” ucap ayahnya sambil menepuk tangan putrinya pelan.
Anna tersenyum tulus. “Terima kasih, Yah... Ma.”
Meski senyumnya hangat, hatinya terasa aneh.
Ada dua dunia yang kini ia jalani:
Satu dunia bernama rumah—tempat ia bisa jadi dirinya sendiri.
Dan satu lagi bernama Amstel Core Group—tempat ia harus jadi bayangan pria yang sangat tak terduga-duga, dingin,misterius dan mesum.
Setidaknya itulah yang ada dipikiran Anna tentang Jonathan sekarang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!