NovelToon NovelToon

Renjana

Malioboro

...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...

..."Mandiri itu perlu karena tidak semua orang bisa membantu. Tak usah ragu, semoga Allah senantiasa menyertai setiap langkahmu."...

...°°°...

Kereta Api Argo Wilis mengantarkan Anin ke kota Yogyakarta tepat pukul setengah tiga sore, setelah lelah menempuh perjalanan kurang lebih enam jam, perempuan itu akhirnya bisa beristirahat dengan tenang di sebuah hotel yang berjarak sekitar 300 meter dari stasiun.

Hotel Unisi Yogyakarta menjadi pilihannya, bukan tanpa alasan karena hotel ini berada tepat di pusat kota. Fasilitasnya cukup lengkap, ada kolam renang, WiFi di setiap lantai, hingga layanan resepsionis selama 24 jam.

Hotel ini pun dekat dengan beberapa destinasi terbaik di Yogyakarta. Mulai dari Malioboro, Tugu Yogyakarta, Pasar Beringharjo, dan Titik Nol Yogyakarta. Bahkan, beberapa di antaranya bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja.

Anin akan menghabiskan waktu sekitar dua hari di sana, dia berencana untuk menjajal beragam tempat wisata dan mengabadikannya lewat lensa kamera. Dia memang sangat suka traveling, dan dia pun cukup berani bepergian ke kota orang hanya seorang diri saja.

Me time itu perlu, dan mandiri dengan tidak bergantung pada orang lain itu harus. Maka dari itulah dia selalu membiasakan diri untuk ke mana-mana sendiri. Semula memang tidak mendapatkan izin dari orang tua, sebab dia adalah anak satu-satunya. Sebagai orang tua mencemaskan sang putri adalah sebuah kewajaran, bukan?

Namun, lambat laun akhirnya izin pun didapatkan, dan hal itu jelas disambut suka cita olehnya. Jika ada waktu dan kesempatan Anin pasti akan melancong ke kota orang, hanya untuk sekedar menikmati segala destinasi yang ditawarkan.

Tepat saat kumandang azan ashar menguar Anin terbangun dari tidurnya, dia bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan segera merapikan barang-barangnya. Saat ini perempuan itu tengah kedatangan tamu bulanan, maka dari itu dia terbebas dari kewajibannya.

"Ish, novel aku ke mana coba? Jangan sampai ketinggalan di kereta, mana itu novel kesayangan lagi," gerutunya seraya mengobrak-abrik isi tas selempang beserta kopernya.

"Allahuakbar! Gak ada!" Dia menggeram frustrasi.

Kehilangan novel baginya adalah bencana, malapetaka, dan dia sangat tidak suka. Secinta dan sesayang itu Anin pada buku, sampai dia pun pernah menangis karena bukunya ketumpuhan air pada saat dipinjam orang lain.

Hanya sekadar lembar halamannya terlipat saja dia akan bad mood bukan main, apalagi sekarang, bukunya hilang entah di mana. Kepala perempuan itu rasanya pusing seketika, ini bukan hanya tentang nominal uangnya, tapi tentang tanda tangan penulisnya, karena tidak semua buku bisa mendapatkan itu.

Anin merebahkan diri di kasur dan menatap langit-langit kamar, suasana hatinya benar-benar dibuat hancur berantakan. Dasar ceroboh! Baru hari pertama di Yogyakarta, dia sudah dibuat merana.

"Buku itu emang bukan rezeki kamu, Anin. Ikhlaskan, mungkin ada orang yang lebih membutuhkan, dan melalui kehilangan kamu itu dia mendapatkannya," gumamnya berusaha untuk membesarkan hati.

"Sepulang dari sini aku harus beli buku itu lagi, dan aku harus bisa mendapatkan tanda tangan penulisnya," ucap Anin penuh semangat.

...°°°...

Malioboro di malam Minggu penuh sesak oleh pengunjung dari berbagai tempat, wisatawan mancanegara, lokal, bahkan pribumi pun ada. Lampu-lampu yang menyala terang menjadi pemanis di tengah kegelapan, jajaran kursi-kursi kayu yang dipadati orang, bahkan becak dan delman pun setia berjajar di pinggir jalan.

Sungguh pemandangan yang sangat sayang untuk dilewatkan, sedari tadi Anin tak pernah lelah memotret setiap sudut Malioboro. Kamera yang menggantung di leher itu setia menemani langkahnya, Anin benar-benar menikmati suasana seperti ini. Mungkin jika novelnya tidak hilang, dia akan menjadikan buku itu sebagai objek utama di setiap jepretannya.

Mendapati kursi kosong, tanpa membuang banyak waktu dia pun segera duduk di sana. Kakinya terasa sedikit pegal karena sudah berjalan cukup jauh, dan berisitirahat sejenak seraya menikmati kendaraan yang berlalu lalang adalah hal yang menyenangkan.

Tangannya bergerak mengambil botol minum yang sengaja dia bawa, bahkan tak lupa dia pun membawa biskuit Nissin Lemonia, camilan manis dengan sedikit rasa asam itu tak pernah absen berada dalam tasnya. Sesekali dia pun memotret, dan melihat hasil jepretannya yang entah sudah berjumlah berapa, yang pasti sampai puluhan.

"Ikut duduk boleh, Mbak?" tanya seseorang sebelum akhirnya Anin iyakan.

Tak ada alasan untuk menolak, toh kursi yang saat ini dia tempati adalah fasilitas umum, walau tak dapat dipungkiri rasa tak nyaman di hati itu ada, sebab dia tak terbiasa duduk di samping seorang pria.

"Kalau pakai jasanya berapa, Mbak?"

Anin seketika menoleh, dahinya mengernyit heran. "Maksud, Mas?"

Pria yang tidak Anin ketahui namanya itu menunjuk ke arah kamera dan berkata, "Jasa foto, Mbak."

Anin tersenyum samar dan berujar, "Saya bukan fotografer, Mas, ini hanya hobi saja."

Dia hanya manggut-manggut paham, lantas tak lama dari itu berucap, "Bolehkah saya meminta tolong?"

"Apa?"

Dia sedikit menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, rasa gugup dan malu bercampur jadi satu. "Fotokan saya, itu pun kalau Mbaknya tidak keberatan. Menolak pun tak apa," katanya sungkan.

Mereka tidak saling mengenal, bahkan keduanya pun tidak tahu nama masing-masing. Masa iya, di awal pertemuan sudah merepotkan. Sungguh memalukan sekali, bukan?

Anin mengangguk setuju. "Boleh, Mas."

"Serius?" Pria itu menatap tak percaya ke arah Anin. Dia pikir, penolakanlah yang akan diterimanya.

"Iya."

Keduanya berdiri, dan Anin mengarahkan pria tanpa nama itu untuk bergaya, tapi yang dia lakukan justru hanya sekadar berdiri dengan sebuah senyuman terbingkai. Terlihat sangat kaku, di mata Anin pria itu seperti tidak pernah terjamah oleh kamera, sangat kentara jelas dari gestur tubuhnya.

"Terima kasih banyak, Mbak. Maaf merepotkan," katanya setelah Anin menyerahkan gawai milik sang pria.

Semula Anin menawarkan diri untuk memotret sang pria dengan kameranya, tapi pria itu lebih memilih untuk menggunakan gawai miliknya. Kamera Anin terlalu bagus, dan sayang jika digunakan untuk memotret dirinya. Takut pecah dan rusak.

Anin menarik lepas kedua sudutnya bibirnya dan berkata, "Sama-sama, Mas."

"Kalau bukan mama saya yang minta, tidak mungkin saya mau berfoto di depan umum. Tidak biasa saya," ungkapnya tanpa diminta.

Anin tertawa kecil. "Sudah saya duga, pantas saja kaku seperti robot," kekehnya yang disambut gelak tawa oleh sang lawan bicara.

"Saya ini anti kamera, Mbak. Musuhan sama benda yang saat ini menggantung di leher, Mbak," tuturnya.

"Kenapa?" tanya Anin penasaran.

Jika dilihat dari kacamata manusia, pria di sampingnya ini bisa dikatakan bagus rupa dengan alis tebal, mata bulat hitam, hidung bangir, serta bibir yang tipis nan kecil. Tubuhnya pun jenjang, sangat cocok jika menjadi model. Namun, anehnya pria ini mengatakan anti kamera. Sungguh tidak habis pikir.

"Karena saya merasa tidak percaya diri saat di depan kamera, dan lagi untuk apa juga senang dipotret toh tidak akan saya panjang juga, apalagi dipasang menjadi baliho, kan tidak mungkin yah?" jawabnya diakhiri dengan kekehan kecil.

"Zaman sekarang, kan musimnya sosial media. Apa, Mas tidak tertarik untuk memajangnya di sana?" seloroh Anin.

Pria itu menggeleng cepat dan berucap, "Tidak tertarik."

Anin hanya manggut-manggut dan tak lagi memperpanjang obrolan.

"Mbak mau saya fotokan?" tanyanya setelah hening beberapa saat.

Refleks Anin pun menoleh. "Tidak, saya memang hobi fotografi, tapi untuk menjadikan diri sebagai objek foto bukanlah hal saya gemari."

Pria itu mengangguk paham. "Terima kasih untuk hasil fotonya, dan terima kasih juga untuk waktunya karena berkenan berbincang dengan orang yang tidak dikenal."

Anin tersenyum dan berujar, "Iya, sama-sama, Mas."

"Permisi," pamitnya yang hanya Anin balas anggukan serta sunggingan.

...—BERSAMBUNG—...

Pantai Indrayanti

...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...

..."Sekejap tapi akan kembali walau tak menetap, begitulah senja yang keindahannya mudah sekali lenyap."...

...°°°...

Pantai Indrayanti Gunung Kidul, Yogyakarta itulah namanya. Tidak hanya berhiaskan pasir putih, bukit karang, dan air biru jernih yang seolah memanggil-manggil wisatawan untuk menceburkan diri ke dalamnya, pantai ini juga dilengkapi restoran dan cafe serta deretan penginapan yang akan memanjakan wisatawan.

Terlihat dua ekor siput laut bergerak pelan di sebuah ceruk karang, tak peduli dengan deburan ombak yang menghempas. Segerombol remaja asyik bercengkerama sambil sesekali bergaya untuk diambil gambarnya.

Di sebelah barat nampak beberapa orang sedang berlarian mengejar ombak, sebagian lainnya bersantai di tengah gazebo sembari menikmati segarnya kelapa muda yang dihidangkan langsung bersama buahnya.

"Masya Allah, Tabarakallah," gumam Anin terkagum-kagum akan keindahan yang terpampang nyata di depan matanya.

Beberapa penginapan yang dikonsep back to nature berdiri dengan gagah di bawah bukit, sedangkan rumah panggung dan gubug yang menyerupai honai (rumah adat Papua) berdiri di dekat pantai. Jet ski kuning teronggok di sudut restoran.

Beragam menu mulai dari hidangan laut hingga nasi goreng bisa dipesan di restoran yang menghadap ke pantai. Pada malam hari, gazebo-gazebo yang ada di bibir pantai akan terlihat cantik karena diterangi kerlip sinar lampu. Menikmati makan malam di cafe dengan ditemani desau angin dan alunan debur ombak akan menjadi pengalaman romantis yang tak terlupakan.

"Maha Besar Allah dengan segala keindahannya yang telah menciptakan ini semua," imbuhnya benar-benar dibuat terpana.

Anin begitu menikmati keindahan alam yang begitu menyejukkan mata, membuat rasa kagum pada Sang Pencipta semakin menggebu-gebu tiada terkira. Tadabbur alam memang sangat penting, agar kita senantiasa bersyukur dan berterima kasih atas kebesaran Sang Pencipta dalam menciptakan alam semesta.

"Silakan, Mbak," ucap seorang pramusaji setelah memindahkan sepiring nasi goreng dan kelapa muda di atas meja.

"Terima kasih," sahut Anin ramah dengan senyuman manisnya.

Sepertinya dia akan menghabiskan hari di pantai ini, terlebih sebentar lagi waktu senja akan datang. Sudah bisa dipastikan dirinya tidak ingin pulang. Berburu sunset ataupun sunrise kala tengah berada di pantai adalah hal yang tidak pernah dilewatkan.

Setelah menyelesaikan ritual makannya, Anin pun beranjak menuju bukit di sisi timur. Berhubung tidak ada jalan, menerobos semak dan perdu sembari memanjat karang pun tak menjadi masalah besar, sebab Anin yakin bahwa menikmati senja di atas bukit pasti akan jauh lebih indah.

Sesampainya di atas bukit, pemandangan laut yang berbatasan dengan Samudra Hindia terhampar. Beberapa burung terbang sambil membawa ilalang untuk membangun sarang. Suara debur ombak dan desau angin berpadu menciptakan orkestra yang indah dan menenangkan.

Anin pun melayangkan pandangan ke arah barat. Beberapa pantai yang dipisahkan oleh bukit-bukit terlihat berjajar, gazebo dan rumah panggung terlihat kecil, pun sama dengan orang-orang yang berada di bawah sana.

Benar saja, saat senja datang, tempat ini menjadi spot yang bagus untuk menyaksikan mentari yang kembali ke peraduan. Rasanya Anin tak ingin bergegas pulang. Menyaksikan senja yang indahnya bukan kepalang dengan pesona Pantai Indrayanti terpatri di hati.

...°°°...

Sepulangnya dari pantai, Anin memutuskan untuk sejenak mampir ke Teras Malioboro 2. Tempat para PKL yang dulu menjajakan dagangannya di trotoar Malioboro yang kini telah dipindahkan ke tempat khusus bagi para pedagang. Sebenarnya terbagi menjadi dua yakni, Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2.

Di sana terdapat banyak sekali pedagang, dari mulai pakaian sampai dengan makanan. Yogyakarta benar-benar mengukir kisah indah yang tak dapat dilupakan. Tidak hanya memanjakan mata dan bisa mengenyangkan perut saja, tempat ini pun ramah anak karena terdapat sebuah play ground.

Anin melipir ke blok belakang, di sana tempat khusus bagi para pedagang makanan berkumpul. Beragam jenis makanan khas Yogyakarta bisa ditemukan dengan sangat mudahnya. Dengan mengusung tema lesehan, tempat ini terasa cocok untuk bersantai dan bercengkrama dengan sanak keluarga.

Anin memesan seporsi gudeg. Gudeg merupakan makanan khas Yogyakarta yang terbuat dari nangka muda dan dimasak dengan santan. Seporsi nasi gudeg disajikan lengkap dengan krecek, ayam kuah santan, serta telur.

Tak lupa untuk menghangatkan tubuh, dia pun memesan wedang ronde. Minuman yang biasa dinikmati saat cuaca sedang dingin ini berisikan ronde yang terbuat dari beras ketan, dan air yang dibentuk bulat kemudian direbus hingga matang. Biasanya ronde berisikan kacang tanah cincang, kacang hitam, atau wijen. Ronde kemudian disajikan dalam kuah jahe hangat dan gula.

Perpaduan yang apik bukan?

"Hai!"

Anin yang tengah asik menikmati setiap suap gudeg pun terhenti sejenak. Dia mendongak dan tersenyum samar kala matanya mendapati sosok pria yang semalam dia temui di Malioboro.

"Gabung boleh, Mbak?" izinnya.

Anin mengedarkan pandangannya, tempat ini terlihat sangat penuh sesak pengunjung, dan dia tak mungkin egois serta membiarkan orang lain makan dalam keadaaan berdiri.

"Silakan, Mas."

"Terima kasih, maaf jika kehadiran saya membuat Mbak tidak nyaman," katanya setelah duduk berhadapan dengan Anin.

"Tak apa," singkat Anin lantas kembali melanjutkan acara makannya.

Tidak ada perbincangan di antara keduanya, mereka sibuk dengan makanan masing-masing. Hiruk pikuk pengunjung lain dengan teriakan ibu-ibu serta tangisan anak-anak menjadi backsound.

"Asal dari mana, Mbak?" tanyanya saat telah selesai makan.

"Bandung," jawab Anin.

Dia mengangguk singkat dan berucap, "Saya dari Cimahi, Mbak. Sama-sama orang Sunda ternyata."

Anin menatap tak percaya. Dia mengira pria di depannya pribumi, bukan pelancong seperti dirinya. Ternyata dia sudah salah duga.

"Jauh-jauh dari Sunda, ketemunya di Yogyakarta," cetus Anin setelah memasukan sesendok wedang ronde.

Udara malam dengan sedikit rintik hujan membuat tubuh perempuan itu kedinginan, beruntung dia menggunakan gamis yang tebal dan juga kerudung yang cukup lebar. Anin sangat anti mengenakan pakaian hangat, dia tidak nyaman dengan baju-baju sejenis itu.

"Oh ya sampai lupa, sudah dua kali bertemu tapi tidak bertukar nama. Nama Mbak siapa?" ucap pria itu seraya mengulurkan tangannya.

Anin tersenyum dan menangkup kedua tangannya. "Mohon maaf, Mas bukan mahram," katanya sehalus mungkin. Dia tak ingin menyinggung perasaan orang lain hanya karena mereka berbeda pandangan.

Pria itu tersenyum kikuk, dia merasa tak enak hati dengan lawan bicaranya. "Mohon maaf atas kelancangan saya yang membuat Mbak tidak nyaman."

Anin mengangguk maklum. "Tak apa."

"Saya Haidar," katanya memperkenalkan diri.

"Salam kenal, Mas, tapi mohon maaf saya tak biasa memperkenalkan diri pada seseorang, terlebih pada seorang pria," terang Anin mencoba memberi penjelasan.

Tanpa diduga pria yang mengaku bernama Haidar itu pun justru menarik lebar kedua sudut bibirnya. "Saya paham, Mbak."

Anin mengembuskan napas lega. Ternyata pria di depannya cukup bisa menghargai keputusan orang lain. Terbukti dia tidak memaksa ataupun men-judge prinsip yang dipegangnya.

"Kalau begitu saya pamit, mohon maaf selalu mengganggu Mbak."

"Silakan." Hanya satu kata itu yang menutup pertemuan keduanya.

Bukan bermaksud sombong ataupun menutup diri terhadap lelaki, tapi hal itu dia lakukan untuk menjaga dirinya agar tidak mudah ditaklukkan pria. Dia tidak ingin menjadi wanita yang mudah untuk diluluhkan, lantas ditinggalkan kala rasa penasaran sudah hilang.

Perempuan memang harus berprinsip kuat dalam memegang syariat, setidaknya bisa menghindari maksiat dan berusaha menjadi hamba yang taat.

...—BERSAMBUNG—...

Pulang

...بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم...

..."Seindah apa pun kota orang, tanah kelahiran akan tetap menjadi tempat untuk pulang."...

...°°°...

Rumah sederhana berlantai satu dengan konsep modern minimalis, serta mengusung tema open space menyapa netra. Pada saat pintu terbuka, semua yang berada di dalamnya terekspos begitu saja.

Ruang tamu dan ruang keluarga yang menjadi satu padu, di sisi sebelah kiri terdapat sebuah kamar yang diperuntukkan bagi Anin, bersebelahan langsung dengan mushola plus tempat wudu yang dibiarkan terbuka, dan tepat di sampingnya terdapat sebuah kamar mandi.

Sedangkan di sisi lainnya terdapat kamar orang tua Anin yang bersandingan dengan mini perpustakaan, di sana terdapat rak buku yang sengaja didesain menyatu dengan meja dan satu buah kursi, tak ketinggalan sebuah ayunan yang terbuat dari rotan pun sengaja disimpan sebagai pemanis ruangan.

Semua itu terekspos tanpa sekat, kecuali kamar tidur dan kamar mandi yang terdapat pintu dan tidak bisa diakses oleh sembarang mata. Tak lupa sebuah dapur yang sedikit tersembunyi berada di pojokan menjadi bagian terakhir dari rumah ini.

"Gudeg pesanan Mama gak kelupaan, kan?"

"Bakpia pathok pesanan Ayah ada, kan?"

Dua pertanyaan itu menyapa rungu Anin kala dirinya baru saja membuka pintu dan mengucapkan salam. Orang tuanya ini ada-ada saja, anaknya pulang bukannya disambut atau dipeluk, ini malah bertanya perihal oleh-oleh.

"Gak ada yang nanyain kabar Anin selama di sana? Anin ngapain aja? Apakah semua berjalan baik-baik saja? Perjalanan dari Yogyakarta ke Bandung itu jauh lho, Ma, Yah," katanya setelah menjatuhkan diri di karpet yang berhadapan langsung dengan sebuah televisi.

Kedua orang tuanya terkekeh pelan, dan dengan lembut Arini menciumi seluruh wajah sang putri yang tengah merajuk. "Bagaimana liburannya, Neng?"

Anin mendelik, dia tak suka dipanggil dengan sebutan tersebut. Terdengar risi di telinga. "Panggil Anindira, atau cukup Anin aja, Ma. Gak usah pake embel-embel Neng segala."

"Ya udah Nyai aja kalau gitu," serobot sang ayah yang kini sudah ikut duduk bergabung, beliau begitu bersemangat membuka koper Anin. Hendak mencari bakpia pathok pesanannya.

"Gak lucu, Yah!"

Kedua orang tuanya menggeleng dan tertawa kecil, hal itu jelas membuat Anin jengkel. Mama dan ayahnya memang senang berguyon, lain hal dengan Anin yang terlalu serius dan sedikit susah jika diajak bercanda.

"Ini rasa apa aja?" tanya sang ayah saat mendapati dua box bakpia pathok.

"Cokelat sama original, sesuai pesanan Ayah, kan?" sahut Anin.

Sang ayah mengangguk seraya mengacungkan jempolnya.

"Gudeg pesanan Mama mana?" tagih sang ibu.

"Nih," kata Anin seraya memberikannya.

"Wihhh, sama nasi hangat enak tuh," cetus sang ayah dibuat ngiler karena aroma dan rupanya yang begitu menggoda.

"Pastilah, kan gratis," timpal sang ibu yang dihadiahi gelengan pelan oleh putrinya.

"Anin capek, mau istirahat dulu," ungkap Anin seraya bangkit dari duduknya untuk bergegas ke kamar.

Kedua orang tuanya hanya mengangguk sebagai jawaban, mereka tengah sibuk dengan oleh-oleh yang dibawa sang putri. Bahkan kini sebakul nasi sudah tersaji, siap memanjakan lidah dan mengenyangkan perut masing-masing.

...°°°...

"Keren-keren, kan hasil jepretan Anin."

Sebuah kalimat dengan intonasi penuh rasa percaya diri diungkapkan Anin pada ibunya. Kini mereka tengah asik bercengkrama seraya menonton televisi.

"Tumben gak ada foto novel, biasanya itu yang jadi bintang utama," cetus Arini saat sang putri tengah menunjukkan ratusan foto yang ada di dalam kameranya.

Wajah sendu seketika ditampilkan. "Novel Anin hilang, Ma. Ketinggalan di kereta," adunya.

Arini mengerutkan keningnya. "Kamu itu bukan seorang pelupa, kecuali kalau sedang gugup, kamu pasti grasak-grusuk. Gugup kenapa emang?"

Anin tak langsung menjawab, dia memikirkan kalimat yang pas agar sang ibu tidak berpikir ke mana-mana tentang kejadian di kereta beberapa hari lalu. Bisa malu tujuh hari tujuh malam kalau ibunya tahu tragedi itu.

"Astagfirullah, Anin! Sejak kapan kamu berani ambil foto cowok kayak gini. Allahuakbar ini siapa? Meni kasep kieu Gusti! [1] Punya pacar kok gak bilang-bilang, Mama," cerocos Arini kala mendapati bingkai seorang pria yang tengah duduk di kursi kereta.

Walau hanya terlihat dari sisi samping dan tidak begitu jelas wajahnya karena jarak pengambilan gambar yang cukup jauh. Tapi dia yakin, bahwa pria misterius itu cukup tampan.

Mata Anin membola tak percaya, dengan cepat dia merebut kamera tersebut. Seingatnya dia tak pernah memotret seorang pria, pasti itu hanya sebuah ketidaksengajaan saja.

Anin menggigit bibir bawahnya saat melihat foto yang ditunjukkan sang ibu. Debaran di dadanya seketika berdetak tak seirama. Kenapa bisa dia memotret seorang pria tanpa izin? Dan parahnya dia tak menyadari akan hal itu.

"Kamu ke Yogyakarta sama pacar kamu?"

"Astagfirullahaladzim, Mama ini ngaco! Anin gak punya pacar!" belanya.

"Bohong!" cerca sang ibu tak percaya.

Anin menggeleng kuat dan berucap, "Beneran, Anin gak bohong, Ma. Mungkin itu gak sengaja kebawa saat Anin ngambil gambar."

Arini mendelik tak percaya. Menelisik tajam kedua bola mata sang putri yang terlihat memutar resah ke sana-kemari.

"Apa jangan-jangan kamu naksir dia yah? Makanya kamu diam-diam ambil gambarnya?"

"Astagfirullahaladzim, buat apa Anin ngelakuin itu coba, Ma? Serius itu pasti gak sengaja masuk kamera. Anin cuma mau ambil pemandangannya aja, coba deh Mama perhatiin lebih jelas lagi," terangnya memberi penjelasan.

Di sana memang terlihat jelas hamparan persawahan yang hijau dan luas, sedangkan pria yang ikut serta dalam foto hanya sebagian kecil saja, itu pun tampak samping dan sedikit buram.

"Gagal punya mantu kasep atuh kalau kayak gini ceritanya mah," oceh sang ibu yang dihadiahi putaran bola mata malas dan dengkusan kasar.

"Anin masih muda, belum ada niatan buat nikah," katanya tegas.

"Masa?" Alis sang ibu terangkat satu.

Anin mengangguk mantap. "Iya, Anin masih mau mengembangkan kafe Anin. Belum kepikiran ke sana."

Terhitung sudah dua tahun Anin merintis sebuah kafe yang berada di jalan Braga, berjejer rapi dengan pelaku usaha lainnya. Setelah lulus kuliah dia tidak berminat untuk bekerja di perusahaan orang, dia lebih tertarik untuk membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Meskipun kecil, tapi dia yang bertindak sebagai pemiliknya, bukan karyawan yang harus tunduk patuh terhadap atasan.

"Gak kabita gitu lihat temen-temen kamu yang udah nikah, punya anak, dan hidup bahagia bersama keluarga kecilnya?"

"Anin lebih kabita lihat mie ayamnya Mang Darsa," sahut Anin acuh tak acuh.

"Makanan mulu yang ada di otak kamu."

"Biarin, daripada Mama, calon mantu mulu yang ada di pikirannya. Kayak gak ada yang lain aja!"

"Mama sama Ayah itu khawatir sama kamu, kamu itu anak gadis satu-satunya tapi hobi banget buat orang tua cemas karena hobi trapeling kamu. Setidaknya kalau udah ada suami, ada yang bisa dampingi dan jagain kamu," tutur Arini seraya mengambil kedua tangan Anin dalam genggaman.

Rata-rata orang Sunda kesulitan dalam melafalkan huruf f dan v, mereka menyebut kedua huruf itu sebagai p, hal itu pun berlaku bagi Arini. Travelling saja disebut trapeling, terdengar sangat lucu di telinga.

"Jangan mulai dong, Ma," sela Anin sembari melepaskan genggaman sang ibu. Dia tak nyaman jika ibunya sudah membahas perihal pasangan.

"Pergaulan zaman sekarang itu mengerikan, apalagi kamu gemar pergi ke kota orang, sendirian pula. Kalau Mama temani kamu selalu menolak, dan keukeuh pergi seorang diri, mana kalau liburan hape sengaja kamu matikan lagi. Mama gak bisa mantau kamu selama 24 jam, Anindira Maheswari," jelas Arini selembut mungkin.

Anin bukan termasuk pribadi yang selalu menghabiskan waktunya bersama dengan benda pintar persegi panjang tersebut. Bahkan saking tak pedulinya, dia bisa membiarkan gawai itu tergelak di sembarang tempat.

Ponsel hanya dipergunakan kala dia hendak bertukar pesan saja, itu pun tidak setiap saat. Terkadang jika ada pesan masuk, dibalas dua hari berikutnya atau bahkan lebih. Bukan sengaja mengacuhkan, tapi memang Anin jarang memegang gawai.

"Ya udah nanti kalau sempat Anin cari di shopee yah, Ma, siapa tahu bisa pre-order calon mantu plus gratis ongkir di seluruh Indonesia."

...—BERSAMBUNG—...

Note :

[1]. Meni kasep pisan \= Ganteng banget.

[2]. Neng/Nyai \= panggilan untuk anak perempuan.

[3]. Kabita \= Memiliki arti mau.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!