NovelToon NovelToon

Jodoh Setelah Diselingkuhi

JSD Bab 1

Saat sedang menjalani hukuman dari sang ayah, Anggita Maharani — perempuan berusia 22 tahun tiba-tiba disenggol oleh teman kerjanya.

"Lah, itu pacar lo bukan sih?" tanya Shinta— teman kerja kantornya. Alias asisten pribadi ayahnya.

Perempuan yang bertubuh tinggi, berambut hitam panjang menoleh ke seberang jalan. Dimana ia melihat dua orang berdiri.

"Arya?"

Shinta tak kalah terkejut melihat pacarnya Anggita sedang mencium pipi seorang wanita.

Dengan langkah penuh amarah Anggita langsung memergoki sang pacar. Shinta bahkan sampai kewalahan menyusul Gita karena nekat menyeberangi jalan yang sedang ramai.

"Mas Arya!! Kamu ngapain di sini, hah!?" Napas Gita memburu, bola matanya menyorot tajam hanya kepada Arya.

Lantas, wanita lain di sebelah laki-laki itu justru berbalik tanya tak mengerti. "Maksudnya apa ini? Mbak, kamu siapa, ya? Ini bukan pacar saya, tapi kita udah mau jadi pasangan suami istri. Mas Arya, kamu kenal sama Mbak ini?"

Anggita menggeleng dengan raut kecewa. Bibirnya melengkung membentuk senyuman miris.

Sedangkan wanita tersebut masih menatap Anggita dan Shinta. Arya malah tak mampu memberi jawaban.

"Maaf, Sayang. Sebenarnya aku ingin jujur dari kema—"

"Jujur apa! Oh, kamu mau jujur kalau kamu mau kasih aku hadiah kayak gini!? Hah? Kamu menghilang seminggu setelah aku kasih kamu uang lima puluh juta!! Kamu kejam, Arya!! Setelah apa aja yang udah aku kasih ke kam—"

"Mbak, ini saya calon—"

"Lo diam!! Eh, asal lo tahu ya, dia ini calon suami gue. Dia alasan minjem uang lima puluh juta buat modal nikah, tapi apa kenyataannya? Dia udah punya istri yang udah tua!!" Anggita sampai menunjuk-nunjuk Arya dan berbicara tepat di hadapan wanita itu.

Arya kalang kabut. Sementara Shinta tak bisa apa-apa jika keadaan sudah seperti itu.

"Loh!? Kamu kok makin gak terima sih sama saya! Saya aja dari tadi udah sopan sama kamu!" Wanita itu bernama Sofie.

Anggita terbelalak saat melihat kartu identitas yang terpasang di leher wanita itu.

"Ohhh ... Lo kerja di perusahaan Anggara Group, ya? Bagus deh, lo lanjutin tuh hubungan sama laki mata duitan. Dan gue liat, kayaknya lo udah lumayan keren ya penampilannya. Jadi, gak perlu deh lo datang ke perusahaan Anggara lagi."

Wanita tersebut terkejut. Tak mengerti dengan ucapan Anggita. Kepalanya mulai menoleh ke Arya.

"Maksudnya apa sih ini, Mas? Dia siapa? Pacar kamu?"

Shinta berkacak pinggang memperhatikan drama siang hari itu. "Bukan pacar, Mbak. Teman saya ini katanya mau dijadiin istri sama si Arya. Nah, modal nikahnya minta ke Gita, eh ternyata lima puluh juta itu buat belanja sama Mbaknya," ceplos Shinta apa adanya.

Seketika Arya memberi tatapan tajam pada Shinta. Sementara yang ditatap justru mengerucutkan bibirnya remeh.

"Hah?" Wanita itu lagi-lagi tidak paham.

"Sayang, jangan dengerin mereka, ya. Mereka ini gak penting, terus dia itu cuma ngaku-ngaku aja jadi pacar aku. Padahal dia hanya ngefans aja sama aku," jelas Arya berusaha membohongi calon istrinya.

Anggita memutar bola matanya. Kedua tangannya masih terlipat di depan dada. "Gue tunggu duitnya balik. Totalnya semua sembilan puluh juta, lo harus ganti. Dan buat Mbaknya, makan tuh cowok gue. Tapi, besok lo gak usah kerja di perusahaan Anggara."

Tanpa menunggu tanggapan lagi, Anggita langsung pergi kembali ke lapak Es Dawetnya. Karena itu masih awal-awal ia berjualan.

Arya masih melindungi calon kekasihnya. Sedangkan sang wanita pun masih bingung. "Permisi ya, Mbak. Jangan lupa dicatat, lo berani cari masalah sama Gita, jangan harap hidup lo tenang," celetuk Shinta lalu ikut pergi.

ΩΩΩΩ

Matahari mulai terbenam. Anggita menggandeng tangan Shinta masuk ke dalam rumahnya secara sembunyi-sembunyi.

"Git, lo beneran mau ngelakuin kayak gini?" bisik Shinta yang kepalanya menoleh ke segala arah di rumah Anggita.

Tak tak tak

"Shut, kaki lo jalannya gak usah kayak orang ngepel dong. Gue harus bisa dapetin berkas data itu."

Shinta membungkukkan badannya sambil meringis bukan karena kesakitan. Namun, karena ia takut ketahuan oleh satpam dan asisten di rumah tersebut.

Langkah demi langkah akhirnya mereka sampai ke anak tangga menuju lantai kedua. Ketika Shinta sedang berusaha tenang, tiba-tiba salah satu penghuni rumah itu datang dari arah ruang tengah.

"Eh, Mbak Shinta sama Non Gita mau ngapain?"

Sontak Shinta terperanjat, dan Anggita langsung membalikkan tubuhnya gugup. Setelah melihat itu siapa, Gita baru menarik napas lega.

"Aduh ... Tuh, beneran kan Git, gue gak mau kayak gini ...." gumam Shinta takut.

"Pak Ragil yang ngapain? Saya sama Shinta mau naik ke kamar lah, emangnya dikira mau apa?"

Sikap Anggita yang tegas dan dingin, apalagi sambil melipat kedua tangan di depan dada membuat Pak Ragil si supir pribadinya bingung setengah merasa bersalah.

"Oh, iya, Non. Tapi, kamar Non Gita kan di sebelah sana. Biasanya gak lewat tangga depan sini, lebih sering pakai tangga lewat ruang kedua."

Mampus. Shinta mengepalkan kedua tangannya greget. Sedangkan Anggita menelan ludahnya sendiri.

Gila, kok gue bisa lupa sih letak kamar gue. Ini kan mengarah ke ruang pribadi ayah. Mampus, Pak Ragil gak boleh ember. batin Gita merutuki kesalahannya.

"Ya udah sih, Pak Ragil mending kerja deh. Beliin makanan dulu sana, aku mau makan enak. Ditunggu cepetan," perintah Anggita hasil menuruti kata otak.

Lagi-lagi Shinta hanya ingin tepuk jidat. "Duitnya mana, Non? Uang saya kan belum dikasih sama bos,"

Perempuan itu memutar bola matanya. "Ya udah, minta duit nih ke Shinta dulu. Shin, kasih duit lah buat beli makan. Nanti gue ganti."

Kali ini yang disuruh nurut tanpa komentar apa pun. Sang supir pun menerima tugasnya, kemudian pergi.

Kedua perempuan itu kembali berjalan menapaki anak tangga yang baru setengah perjalanan. Tak sampai beberapa menit Anggita berhasil membuka sebuah ruang pribadi ayahnya. Dimana ruang tersebut tidak boleh sembarang orang memasuki tanpa izin.

Decitan pintu terdengar kecil. Shinta sempat memejamkan matanya karena takut gerak-geriknya dicurigai. Apalagi ia bekerja sebagai asisten sekaligus kerja di perusahaan ayahnya Anggita.

"Tutup cepet pintunya, Shin."

Hendak melangkah lebih dekat, Anggita baru ingat jika dalam ruangan itu ada kamera tersembunyi.

"Mampus. Shin, lo tutup itu CCTV lah," bisiknya.

Shinta pasrah melakukan hal cukup berisiko. Apalagi bersama Anggita yang sedang berada dalam masa dihukum oleh sang ayah.

"Udah, Git. Sekarang lo mau apa?"

"Lo jagain pintu sama liatin tuh kamera. Gue mau buka lemari berkas dulu."

Dengan gerakan cepat Anggita mengobrak-abrik berkas data perusahaan milik ayahnya yang tersimpan di lemari ruang pribadi.

Dan suatu kesialan pun menimpanya begitu tiba-tiba.

"Anggita, kamu ngapain?"

Sang anak terkejut sampai nyaris keseleo. Sedangkan Shinta langsung berlari ke jarak tak begitu jauh yaitu di belakang rak buku milik Anggara Bagaskara— ayahnya Anggita.

"Ah, Ayah. Kok udah balik aja," Sambil cengengesan Anggita menutup kembali pintu lemari dengan tangan kosong alias belum mendapatkan apa pun.

"Jangan banyak alasan. Kamu ngapain di ruang pribadi ayah?" Pertanyaan itu membungkam anaknya. Anggara berjalan mengarah lemari tersebut. Sementara sang anak berdiri merutuki dirinya sendiri.

"Oh, kamu buka nama orang yang kerja di perusahaan ayah? Ada apa?"

Ketika mendapat kesempatan untuk menjawab, Gita bergegas mendekati ayahnya. "Iya, Yah. Di perusahaan Ayah ada yang namanya ... Sofie Ayumi, gak?"

​Tidak perlu berpikir Anggara mengangguk. "Iya memang ada. Kenapa? Kamu baru tahu kalau Sofie itu adalah pacarnya Arya?"

Gita mengernyit tak paham. "Ayah udah tahu?"

"Besok ayah akan pecat dia."

JSD BAB 2

Ingatan hari kemarin masih terus terputar di kepala Anggita. Perempuan berumur 23 tahun itu masih belum rela diputuskan oleh Arya— pacarnya.

Bahkan lebih menyakitkannya lagi, Arya memilih wanita yang tak secantik dirinya hanya karena hartanya. Anggita pikir, dirinya sudah cukup sempurna meski hubungannya dengan mantan pacarnya selama tiga tahun memang tidak mendapat restu dari orang tuanya.

"Udah lah, Ta. Lo ngapain sih mikirin Arya? Udah syukur lo bisa putus dari dia, kalo enggak? Gimana nasib lo nanti ah," ucap Shinta, teman kerjanya yang diperintah ayahnya untuk bekerja di warung pinggir jalan raya.

Anggita mendengkus sambil menyeruput es dawet buatan dirinya sendiri yang tak begitu manis rasanya. Hal itu memang disengaja karena sesuai dengan perasaan hatinya yang sedang tidak manis.

"Tapi, Shin, gue tuh sayang sama Arya! Dia tuh dari zaman gue gak pernah disukai sama cowok."

Shinta mengerucutkan bibirnya.

"Justru itu, Anggita! Lo mikir gak? Lo cinta sama Arya, sedangkan dia cuma cinta sama duit lo! Masih untung lah bapak lo gak kasih fasilitas full sewaktu lo pacaran sama si Arya!"

Gelas berisi es dawet diletakkan dengan kesal ke meja.

"Dan kenapa juga gue harus jualan es dawet? Padahal aslinya kan gue—"

"Shut ... Eh, jangan kenceng-kenceng ngomongnya, Gita! Lo mau apa identitas lo kebongkar?"

Anggita menggeleng seperti anak kecil polos.

"Makanya mulut lo ini mending diem aja deh, lo minum nih es dawet sampe akar atau sama gelasnya juga gak papa. Daripada bikin masalah, yang ada gue kena imbasnya," cerocos Shinta membungkam mulut Anggita dengan sedotan es dawet.

Beberapa detik kemudian Anggita melepas sedotan dari mulutnya.

"Cuih, lo kan bawahan gue. Siapa lo ngatur-ngatur gue?" Sindir Anggita melirik sinis pada Shinta.

Perempuan yang umurnya hanya berbeda beberapa bulan saja dengan Anggita, kini merenges tanpa merasa salah.

Mereka bukan saudara bukan juga kerabat. Shinta hanyalah karyawan kantor di perusahaan ayahnya Anggita. Yang tugasnya di empat tahun ini menjadi seorang penjual Es Dawet.

Memang terdengar tidak cocok. Namun, apalah daya jika bayarannya saja membuat Shinta bisa bekerja sekaligus membantu biaya sekolah adik-adiknya di kampung.

Uhuk!

"Uh, mampus kan lo keselek. Makanya minum tuh jangan sambil ngaca, orang udah jomblo aja masih mikirin penampilan," ucap Shinta asal ceplos.

"Apa? Kalo iri mah bilang aja, mendingan gue jomblo masih jaga penampilan, sedangkan lo? Plis, perasaan lo dibayar gede banget sama ayah gue. Kenapa penampilan lo gini sih? Kayak beneran penjual Es."

Shinta membalas dengan menyipratkan tangannya yang baru saja dicuci.

"Aduh! Shinta!! Lo seenak jidat banget nyipratin air ke muka gue!!" pekik Anggita.

"Nih, makan nih roti tawar. Ngomel mulu, berisik."

Kalau Shinta sudah begini, Anggita tidak bisa mengomel lagi. Karena jika tidak ada Shinta, siapa lagi yang bisa membantunya jadi penjual Es Dawet?

"Ya udah, sekarang kita balik aja. Tapi inget, untuk hari ini sampai selanjutnya entah sampai kapan lah ya, lo sama gue harus pulang dan datang naik ojek!!"

"Hah!?"

"Hah, hoh, udah buruan kita kemas warungnya!"

...ΩΩΩΩΩ...

Sementara tak jauh dari itu, dua laki-laki berumur 23 tahun tengah sibuk berbicara di perjalanan. Mereka mengendarai motor melewati warung Es Dawet milik Anggita.

"Eh, Wid! Gue balik duluan ya! Mau mancing!" teriak laki-laki bernama Ridho, hendak menancap gas motornya tapi dicegat oleh Shinta.

"Weh, Mas! Mas nya tukang ojek kan? Kalau gitu mending sekarang Mas anterin kita ke rumah ya! Ini udah sore soalnya, kita buru-buru," cerocos Shinta tanpa rasa malu.

Anggita sampai tepuk jidat menahan malu. Sementara Ridho malah bingung sendiri. "Aduh, Mbak. Maaf banget ini ya, saya gak ngojek. Lagian saya ini abis kerja mau langsung mancing. Tuh, kalau mau minta dianterin mending sama orang belakang saya. Dia gak ada kerjaan setelah kerja seharian," tunjuk Ridho sambil terburu-buru ingin kabur dari Shinta.

Widianto, teman Ridho yang motornya di belakangnya beberapa meter itu mengangkat tangannya memberi kode menolak ucapan Ridho. Sedangkan Shinta terus saja menarik jaket Ridho agar tidak kabur darinya.

"Git! Udah lo naik aja tuh ke motornya Mas samping lo! Biar kita bisa balik cepet!!" pekik Shinta semakin menjadi-jadi.

Matahari sudah hampir tenggelam. Keributan empat orang tidak jelas itu mendapat teguran dari pengendara mobil yang melintas.

"Eh, Mas, Mbak! Kalau mau ribut tuh di rumah aja, jangan di sini!! Lagian masalah rumah tangga dibahas di jalanan. Apa dapet jodohnya di jalan? Mending kayak pasangan yang belakang tuh, akur terus harmonis. Kayak artis aja ribut dikira gak ada yang keganggu." ucap salah seorang bapak-bapak.

Shinta melongo dan mendelik. Satu tangannya langsung menggeplak pundak Ridho cukup keras. "Eh, Pak! Jangan sembarangan kalau ngomong ya. Enak aja, itu mulut mohon maaf ya kalau niat ngasih tau buat gak ribut tolong difilter dulu lah! Orang gak saling kenal tapi ngomongnya sampe jigongnya muncrat!"

Anggita seketika tertawa sambil memegangi kedua lututnya. Sedangkan Widi menahan diri agar tidak menertawakan keadaan yang tengah membingungkan ini.

"Lagian ya, Pak. Siapa juga yang udah suami istri? Kita ini kenal aja baru pas bapak dateng nih, udah kayak hama tau gak, Pak? Bikin rencana saya hancur!" sahut Ridho kesal.

Si bapak tersebut terkejut. "Loh, kok jadi salahin saya? Kan kalian yang salah karena ribut di jalan!" tutur orang itu ikut tegas.

Dengan terpaksa Anggita berusaha menengahi keadaan. "Pak, maaf ya. Ini jalanan raya, banyak pengendara lain yang buru-buru juga. Tolong jika kepentingan bapak hanya untuk mengurusi keadaan kami lebih baik bapak pergi melanjutkan perjalanan dikarenakan semua di belakang bapak udah pada klakson semua," kata Anggita pelan.

"Hah!? Ngomong apa kamu, saya gak denger!"

Shinta sampai terbawa emosi. "Bapak cepet jalan, Pak!! Di belakang udah pada klakson!!" teriak Shinta dekat telinga bapak-bapak itu.

Lagi-lagi Anggita menahan diri untuk tidak ngakak. Dalam kesempatan itu pula Ridho hendak kabur, namun gagal lagi.

"Eitss, lo mau ke mana, Mas? Anterin kita dulu lah! Plis, kita ini cewek loh. Apa gak kasian?" Shinta memelas, Ridho memalingkan wajahnya.

"Cewek cakep tapi mulutnya kayak sambel kecap, manis tapi juga pedes," gerutunya. Shinta mendengar langsung menggeplak punggung Ridho.

"Duh, iya-iya. Ampun dah, mimpi apa gue bisa ketemu cewek model rongsokan gini," gumam Ridho.

"Lo ngomong pake bahasa ghaib pun gue masih denger ya, awas aja lo nolak lagi. Motor lo bakal gue jadiin rongsokan," jawab Shinta.

Berbeda dengan Gita dan Widi yang saling tidak tahu harus apa. Karena sama-sama diam, Widi akhirnya memilih membuka obrolan.

"Barang-barang taruh di depan sini aja, Mbak. Yaa ... Kalau gak mau capek bawa sih," ujarnya.

Gita sedang dalam mode lelah, jadi ia hanya menurut saja tanpa berkomentar apa-apa.

Perjalanan yang terjadi setelah melewati drama dari Shinta, kini telah berakhir sampai di rumah Anggita.

JSD Bab 3

Sampai di depan sebuah rumah mewah, Ridho melongo heran. Sedangkan Widi hanya menatap sambil menghela napas. Gerbang rumah itu dibuka oleh satpam yang bekerja.

"Udah gitu aja kan, Mbak? Saya pamit."

"Eh, tunggu. Bentar lah, lo gak mau buat masuk dulu? Yaa ... Bukan maksud gimana ya, cuma kan lo baru nganter gue sama Shinta tuh, emang gak capek?" tawar Anggita masih dengan mode kalem.

Shinta yang mendengar diam-diam mengulum senyum. Berbeda dengan Ridho ingin kabur sebelum Shinta menyadarinya. Widi belum mampu menjawab, Anggita malah memberi kode.

"Shin, mau kabur tuh."

Orang yang dipanggil pun seketika mendelik. Geplakan keras langsung mendarat di lengan Ridho. "Mau ke mana lo!? Main kabur aja, mau duit gak? Kalau enggak juga gak papa sih, gue jadi untung."

"Eitss, enak aja. Bayar lah, lo kira motor gue rongsokan apa."

Usai debat tak bermanfaat itu, seorang pria berjas hitam datang menghampiri Anggita. Ridho dan Widi bersamaan memundurkan posisi motor mereka.

"Siapa mereka berdua?" Wajahnya datar, terlihat seram bagi Ridho yang bergumam di dalam hati.

Sedangkan Widi tetap diam saja dengan kalemnya masih duduk di atas motor.

"Dia ini Ridho sama ... Eum, lo namanya siapa?" Gita menoleh ke Widi, membuat Shinta tepuk jidat.

"Gila lo, Git. Dari sore boncengan berduaan masa gak kenalan nama." Itulah suara hati Shinta.

"Saya Widianto, Pak. Tadi—"

"Ah, oke. Kalau begitu besok kamu harus bisa jadi pacar Anggita ya. Saya tidak mau tahu, karena kamu berani datang ke rumah saya. Apalagi habis boncengin Gita 'kan?"

Setelah mengatakan itu, pria sang Ayahnya Gita yang bernama Anggara Bagaskara berjalan masuk ke rumahnya.

Seketika Gita menghela napas sambil meraup wajahnya. Dinginnya malam di pinggir jalan membuat Ridho dan Widi berpamitan.

"Ya udah, Shin, Git. Gue sama Widi balik dulu ya. Soalnya udah malem, gak baik kelamaan nanti diliatin tetangga." Ridho mulai berpamitan.

Shinta memicingkan matanya. "Yeuu, udah dari tadi kali lo berdua diliatin tetangga."

  ••••

Pukul 23.00 mata Anggita belum terpejam. Pikirannya masih berputar-putar tentang mantan pacarnya. Sosok Arya dimatanya adalah laki-laki penyayang, walau kata Shinta ternyata hanya sayang pada hartanya.

Dua tangannya mengepal di atas jendela kayu yang sengaja masih dibuka. Wajahnya diterpa angin malam hingga menusuk kulit membuatnya kedinginan.

"Gue heran deh, kenapa sih gue harus pura-pura hidup sok gak punya gini. Padahal kan kerjaan gue enak gitu, kayak tinggal tidur aja duit gue masih ada. Nih, ini semua tuh gara-gara Ayah."

Anggita merebahkan diri ke kasur. Napasnya tenang, tetapi tidak dengan kondisi pikirannya. Sejenak menatap atap kamar, Anggita kembali duduk.

"Kalau dipikir-pikir lagi, ngapain Ayah nyuruh gue jadi pacarnya Widi? Kenal aja baru sekali, beda banget sama gue waktu bareng Arya," dumelnya berbicara sendiri.

Sedangkan di lokasi lain ada Ridho dan Widi yang tiba-tiba dihadang oleh seseorang. Masih berada di tengah jalan, mereka berdua turun dari motornya.

"Weh, mana janji lo? Katanya mau nemenin gue belanja? Udah malem gini dihubungin susah, ngapain aja sih lo?" Seorang perempuan seumuran dengan mereka berdiri dengan gaya sok galak.

Ridho memijat pelipisnya pusing. Sementara Widi hanya diam menyimak sambil sesekali tersenyum tipis.

"Mau lo apa sih, Jul? Terus ngapain lo nagih janji jalan-jalan sama gue pake petantang-petenteng gitu. Mau jadi preman?"

Juliana, perempuan berumur 23 tahun yang sering dipanggil 'Jul' oleh Ridho itu memajukan bibir bawahnya.

"Yeuh ... lo tuh yang kerjanya gak cakep. Masa selain ngojek kerjanya ngurusin or—"

"Heh, diem! Lo mau gue tinggalin di sini, hah? gak usah bahas-bahas soal kerjaan."

Saking lamanya Widi sampai kembali menaiki motornya. "Udahan ributnya, kemaleman nanti gak dikasih izin masuk rumah mampus."

Setelah mengatakan itu, Widi langsung menancap gas meninggalkan satu temannya yang melongo.

"Tuh kan, Widi aja muak sama lo," Ridho mencibir, lalu kabur membawa motornya.

Kini tersisa Juliana berdiri di tepi jalan sambil menunggu pacarnya datang. Yah, Ridho dengan Julia hanyalah teman sekolah dulu.

  ••••

Rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan anyaman bambu itu dimasuki oleh Widianto. Usai memarkirkan motornya di garasi sederhana sebelah rumahnya, Widi berjalan masuk.

"Assalamualaikum, Bu. Gimana kabarnya? Ibu gak kenapa-kenapa kan?" tanyanya khawatir.

Sang ibu yang umurnya sudah 50 tahun itu tinggal sendiri di rumah kecil tersebut. Widi menghela napas sambil mengusap punggung ibunya.

"Waalaikumsalam, Nak. Kamu habis dari mana? Kok pulangnya malam?" jawab Sarah, Ibunya Widi.

Sang anak pun tersenyum tipis. "Tadi ada mampir dulu sama Ridho, Bu. Oh iya, Bapak belum pulang?"

Ketika anaknya menanyakan hal tersebut, wanita itu menarik napas berat. Tatapannya berubah pilu, ada raut kecewa juga.

Widi mencoba memahami diamnya sang Ibu. Satu tangan bergerak menarik ibunya ke dalam pelukan.

"Ibu yang sabar ya, Widi janji akan cari Bapak sampai ketemu."

Sarah mengangguk paham. Percaya dengan ucapan Widi. Malam yang tenang justru tidak bagi seorang Widi. Hari-harinya hanya sibuk menjaga ibunya serta bekerja kadang menjadi tukang ojek, kadang pula melakukan tugas dari pekerjaan sampingan yang berkali-kali mendapat teguran dari sang ibu untuk berhenti.

Kembali ke sebuah rumah mewah milik keluarga Anggara Bagaskara, di suatu ruang rahasia dekat tangga menuju lantai dua ada pembicaraan serius.

"Kalau bisa besok langsung menikah saja. Supaya ada yang gantikan saya nantinya. Intinya kamu harus bisa persiapkan semuanya," tutur Anggara, ayahnya Anggita.

Beliau sedang berbicara dengan salah satu karyawan kantornya. Sembari duduk di kursi, tangannya mencatat nama seseorang.

"Maafkan Ayah ya, Anggita. Ayah melakukan ini demi hidup kamu."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!