11 Tahun Lalu
Hujan deras mengguyur kota kecil. Payung biru polkadot milik Anya yang berusia sembilan tahun hampir terbalik diterpa angin. Gadis kecil itu berlari menyusuri gang sempit, berniat pulang setelah membeli roti keju kesukaannya.
Di ujung gang, ia melihat seorang remaja laki-laki sekitar lima belas tahun, Adrian, berlari dengan wajah pucat dan napas tersengal. Di belakangnya, dua pria asing berbadan besar mengejar.
Refleks tanpa pikir panjang, Anya berlari ke arah Adrian.
“Hei! Cepat ikut aku!” serunya lantang.
Adrian, terkejut tapi tak punya pilihan, mengikuti langkah kecil itu. Anya membukakan pagar rumah kosong milik tetangganya, lalu menariknya masuk ke gudang belakang. Mereka bersembunyi di balik tumpukan karung beras.
Pria-pria itu lewat, tak sadar mereka bersembunyi di sana. Adrian menghela napas lega… sampai menyadari lutut Anya berdarah karena tergelincir di lantai licin.
“Kamu luka!” ucapnya panik.
Anya hanya meringis sambil mengibaskan tangan. “Ah, cuma gores. Yang penting kamu nggak ketangkep.”
Adrian menatap gadis kecil yang baru saja menolongnya, lalu melepas kalung perak dengan liontin bintang dari lehernya.
“Simpan ini. Kalau kita ketemu lagi… kamu akan tahu siapa aku.”
Anya tersenyum lebar. “Oke! Tapi inget, aku suka roti keju!”
"Tentu aku akan mengingatnya" ujar Adrian
Hujan mereda. Mereka berpisah, tanpa tahu butuh waktu sebelas tahun untuk bertemu kembali.
11 Tahun kemudian
Pagi itu, cahaya matahari memantul lembut di kaca etalase toko roti mungil bernama Sweet Anya. Aroma manis roti yang baru keluar dari oven menyeruak ke udara, memanggil siapa saja yang lewat untuk mampir. Di atas pintu, lonceng kecil cling! berbunyi setiap kali pintu terbuka.
Anya, gadis 20 tahun dengan rambut cokelat gelap yang dikuncir tinggi, berlari kecil di balik meja kasir sambil membawa dua loyang roti keju yang masih mengepulkan asap. Pipinya memerah karena panas, tapi senyumnya tidak pernah pudar.
“Panas, panas… hati-hati ya, Bu Narti, rotinya masih baru keluar!” serunya sambil menyerahkan kantong kertas kepada pelanggan langganannya.
Bu Narti, seorang ibu-ibu ramah yang selalu datang jam segini, terkekeh. “Nggak apa-apa, Nak. Biar rotinya anget pas sampe rumah. Lihat kamu kerja begini, Tante pengen ngenalin kamu ke keponakan Tante, lho.”
Anya tertawa sambil mengipas wajahnya dengan tatakan roti. “Aduh, Tante… saya udah kenyang dikenalin sama keponakan orang. Lagian nanti keponakannya naksir sama roti saya, bukan sama saya.”
Beberapa pelanggan yang sedang mengantre tertawa mendengar jawabannya. Anya memang seperti itu—blak-blakan, ceplas-ceplos, dan selalu bikin suasana hangat.
Di sudut ruangan, radio kecil memutar lagu ceria. Suasana toko roti ini seperti rumah kedua bagi para pelanggan tetap. Ada bangku panjang di dekat jendela tempat anak-anak sering duduk sambil menunggu orang tua mereka, ada juga rak penuh selai dan toping yang dijual bebas.
Sementara itu di pusat kota…
Di lantai tertinggi gedung kaca berkilau, Adrian Aurelius Bramasta duduk di balik meja kerjanya. Jas hitamnya rapi, dasi biru tua terikat sempurna, dan wajahnya seperti terpahat—tenang, dingin, dan sulit terbaca.
Namun, matanya kini menatap sebuah foto kecil di tangannya: potret kalung perak berbentuk bintang yang pernah ia berikan sebelas tahun lalu.
“Sudah hampir putus asa, ya?” ujar Jordan, asisten pribadinya yang masuk sambil membawa berkas.
Adrian mengangkat pandangan. “Aku nggak akan berhenti sampai ketemu. Dia menolongku saat tak seorang pun mau… aku berhutang nyawa padanya.”
Jordan menghela napas. “Tapi, bos, petunjuknya cuma dua: dia suka roti keju dan punya kalung itu. Kota ini besar, nyarinya kayak cari jarum di tumpukan jerami.”
Adrian hanya tersenyum tipis. “Kadang… jarum itu yang akan menunjukkan dirinya sendiri.”
Fase Pencarian
Sudah bertahun tahun ini Adrian secara diam-diam mengirim tim kecil untuk mencari gadis berkalung bintang yang suka roti keju. Mereka menyusuri pasar, festival kuliner, bahkan kafe-kafe roti di pinggiran kota.
Sampai suatu sore, laporan baru datang.
“Bos, ada toko roti kecil di distrik barat, namanya Sweet Anya. Pemiliknya perempuan muda, selalu pakai kalung perak… dan menu andalannya roti keju,” kata salah satu anggota timnya.
Adrian terdiam beberapa detik. “Sweet Anya…” gumamnya, seperti mencicipi namanya di lidah.
Jordan menyeringai. “Sepertinya jackpot.”
“Bisa jadi. Tapi… aku nggak mau langsung muncul sebagai ‘Adrian Aurelius si CEO kaya’. Aku mau lihat siapa dia sebenarnya. Aku mau tahu apakah dia masih orang yang sama… atau tidak.”
Jordan mengerutkan kening. “Maksud bos…?”
“Aku akan datang sebagai orang biasa. Melamar jadi pegawainya.” jawab Ardian
Kembali ke Toko Roti
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi ketika lonceng pintu cling! berbunyi lagi. Anya sedang sibuk memotong roti gandum saat seorang pria tinggi masuk. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, celana jeans gelap, dan sneakers. Tidak ada jas mahal, tidak ada arloji mewah hanya kesan rapi yang entah kenapa memikat.
“Selamat pagi! Mau beli roti apa?” sapa Anya sambil tersenyum.
Pria itu, yang sebenarnya adalah Adrian, menatap Anya lekat jantungnya pun tiba tiba berdetak cepat, lalu pandangan ketempat lain sebelum menjawab, “Sebenarnya… saya lihat papan lowongan di luar. Saya mau melamar kerja.”
Beberapa pelanggan yang masih antre langsung pasang telinga. Jarang ada pria setampan itu melamar kerja di toko roti.
Anya memandangnya dari atas sampai bawah. “Kamu yakin kuat? Ini toko roti, bukan kafe estetik, tapi Kita angkat karung tepung, bukan gelas kopi cantik dan toko ini bukan cari model iklan roti ”
Adrian menahan senyum. “Saya kuat.”
“Bangun subuh bisa?”
“Bisa.”
“Bersihin loyang gosong?”
“Bisa.”
“Bisa tahan sama bos cerewet?”
“…Bisa.”
Anya mengangkat alis, lalu mengulurkan tangan. “Oke, mulai besok. Namamu siapa?”
“Raka,” jawab Adrian, memberikan nama samaran tanpa ragu.
Interaksi Kocak
Begitu Adrian keluar, Bu Narti langsung nyeletuk ke Anya, “Nak, kalau pegawai baru ini jomblo, Tante siap jadi mak comblang!”
Anya terkekeh. “Bu, jangan. Nanti pegawainya malah kabur karena takut sama bosnya.”
Di meja kasir, dua anak kecil Mika dan Rani menarik apron Anya.
“Kak Anya, pegawai baru itu kayak pangeran di TV!” bisik Rani.
Anya pura-pura serius. “Pangeran apaan? Kalau dia pangeran, aku suruh dia nyapu halaman dulu, biar kakinya nggak sakit jalan di dunia nyata.”
Anak-anak itu cekikikan.
Malam Sebelum Hari Pertama
Di apartemennya, Adrian membuka laptop, mempelajari resep roti dari internet. Jordan yang datang membawakan dokumen hanya bisa geleng-geleng, “Bos, ini konyol. Anda belajar bikin roti jam segini?”
Adrian menatap layar sambil berkata, “Kalau aku mau tahu siapa dia sebenarnya, aku harus masuk ke dunianya. Kalau dia terima aku meski aku cuma ‘pegawai roti biasa’… berarti dia tulus.”
Bersambung
Jam 5 pagi, distrik barat masih berkabut. Adrian berjalan menuju Sweet Anya dengan ransel sederhana, jeans, dan kemeja flanel. Tidak ada jas mahal, tidak ada parfum mewah—hanya aroma sabun yang bersih.
Begitu pintu terbuka, lonceng kecil cling! berbunyi. Anya sudah berdiri di balik meja, rambutnya dikuncir tinggi, apron penuh tepung, dan tatapan “aku sudah bangun dari jam 4 pagi” di wajahnya.
“Pagi, Raka!” sapa Anya ceria. “Kamu datang tepat waktu. Plus satu poin.”
Adrian tersenyum kecil. “Terima kasih, bos.”
“Panggil aku Anya aja. ‘Bos’ bikin aku berasa tua.”
Ia langsung menyerahkan apron dan sepasang sarung tangan. “Pertama, kamu bantu aku angkat karung tepung 25 kilo itu ke rak atas.”
Adrian melirik karungnya. “Baik.”
Lima detik kemudian…
Dug! Karungnya nyaris jatuh menimpa meja.
Anya menahan tawa. “Kamu kuat, tapi tekniknya nol. Nih, lihat ni angkat pakai kaki, bukan punggung. Kalau kamu sakit punggung di sini, aku nggak punya asuransi pegawai.” ujar Anya sembari mengangkat karung tepung itu dengan muda
Adrian atau Raka yang melihatnya pun sangat kaget menatap Anya dengan kagum.
Setelah menata tepung, Raka diberi tugas menggulung adonan roti.
“Lihat nih caranya,” ujar Anya sambil mempraktikkan gerakan memutar adonan hingga halus. “Gampang, kan?”
Raka mencoba. Hasilnya… adonan malah terlempar sedikit ke lantai.
Anya menatapnya, lalu meletakkan tangan di pinggang.
“Wah, ini prestasi. Baru lima menit kerja udah bikin roti jadi korban.” ujar Anya dan itu membuat Raka malu
---
Kedatangan Pelanggan Pagi
Jam 7, pelanggan pertama mulai berdatangan. Bu Narti, tentu saja, menjadi yang pertama.
“Nak Anyaaa…” seru Bu Narti sambil melirik Adrian. “Wah, pegawai barunya tinggi, ganteng, dan… jomblo nggak, Nak?”
Anya memutar mata. “Bu Narti, ini toko roti, bukan biro jodoh.”
Adrian menunduk sopan. “Pagi, Bu.”
Bu Narti tersenyum lebar. “Pagi, Nak. Kalau kamu betah kerja di sini, Tante traktir roti keju sebulan penuh.”
Anya cepat-cepat memotong. “Bu, jangan goda pegawai baru saya. Dia bisa kabur.”
Dua anak kecil, Mika dan Rani, datang sambil berbisik-bisik. “Kak Anya, pegawai baru itu kayak pangeran di drama TV!”
Anya pura-pura serius. “Kalau pangeran, berarti dia harus belajar nyapu dulu. Biar kakinya terbiasa sama lantai dunia nyata.”
Anak-anak cekikikan, Adrian menahan senyum di balik meja.
Tidak lama toko mulai ramai. Seorang remaja perempuan datang bersama temannya, pura-pura melihat-lihat roti padahal matanya ke Raka terus.
“Mas, roti keju ini enak nggak?” tanya salah satunya sambil menunduk malu-malu.
“Enak banget,” jawab Raka sopan.
Anya langsung nyelutuk dari belakang, “Kalau mau beli, beli aja. Jangan ganggu pegawai saya, nanti dia grogi dan roti saya gosong.”
Suasana toko pecah oleh tawa pelanggan lain. Raka menggeleng pelan—Anya benar-benar tidak ada filter.
---
Sepanjang hari, Adrian bekerja sambil memperhatikan Anya. Ia melihat bagaimana gadis itu tertawa pada pelanggan, memotong roti dengan cekatan, dan selalu mengingat pesanan orang. Tidak ada jarak antara dirinya dan orang-orang di sini.
Saat seorang kakek datang dengan uang pas-pasan, Anya diam-diam memasukkan dua roti ekstra ke kantongnya. “Bonus buat cucu di rumah,” katanya sambil tersenyum.
Adrian menatap pemandangan itu dengan rasa hangat di dada. Dia… masih sama.
---
Menjelang siang, Anya menyuruh Adrian memanggang roti keju. “Timer-nya 15 menit. Kalau gosong… kamu yang makan semuanya.”
Adrian mengangguk mantap. Tapi kemudian, Bu Narti datang lagi sambil mengajak ngobrol panjang. Adrian lupa waktu.
Hasilnya? Aroma gosong memenuhi toko.
Anya menatap oven, lalu menatap Adrian dengan ekspresi “aku sudah menduganya”. “Selamat, Raka. Kamu bikin roti rasa arang. Inovasi yang… tidak akan pernah dijual di sini.”
Semua pelanggan tertawa. Adrian ikut tersenyum, meski diam-diam malu.
---
Saat toko agak sepi, Anya dan Adrian duduk sambil makan roti yang gagal.
“Gosong… tapi masih lumayan,” gumam Adrian.
Anya menatapnya. “Kamu nggak nyerah kan? Banyak pegawai baru yang kabur setelah hari pertama.”
“Aku nggak gampang kabur,” jawab Adrian singkat.
Mata mereka bertemu sebentar, tapi Anya buru-buru berdiri. “Oke, pangeran roti gosong, waktunya lanjut kerja.”
-----
Setelah jam makan siang, Anya memberi kesempatan Raka membuat roti sendiri.
"Raka kemari, aku akan memberi kamu tantangan untuk di coba di hari pertama" ujar anja sembari menyiapkan bahan adonan roti
"Akan aku coba sebagai ujian" jawab kara
“Tentu saja anggap ini ujian. Kalau rotimu layak jual, kamu lulus tahap satu,” katanya sambil menyilangkan tangan di dada.
Raka mulai mencampur bahan. Ia mengikuti instruksi, tapi karena belum terbiasa, ia menakar garam terlalu banyak.
Begitu roti matang, Anya mencobanya… lalu langsung minum air putih.
“Raka… ini roti atau camilan laut? Asinnya kayak air pantai,” komentarnya.
Raka menggaruk kepala. “Saya ulang lagi.”
Anya tersenyum geli. “Santai aja. Semua orang juga pernah gagal. Tapi kalau gagal dua kali, saya bakal nyuruh kamu jadi kasir aja.”
Mereka pun tertawa bersama
---
Sore harinya, setelah toko mulai sepi, Anya duduk di meja dekat jendela sambil menghitung pemasukan.
Raka duduk di seberangnya, pura-pura sibuk merapikan buku catatan, padahal ingin mengajak bicara.
“Kamu udah lama buka toko ini?” tanyanya.
Anya mengangguk. “Dari umur empat belas. Dulu punya orang tua, tapi enam tahun lalu mereka kecelakaan. Sekarang semua aku urus sendiri.”
Raka menatapnya, mencoba menyembunyikan rasa kagumnya. “Kamu hebat.”
Anya tertawa kecil. “Hebat apanya? Ini cuma toko roti kecil. Yang penting aku bisa bikin orang senang lewat makanan.”
Menjelang tutup, Bu Narti kembali untuk membeli roti terakhir.
“Eh, pegawai baru masih di sini. Bagus, belum kabur,” candanya.
Anya menjawab sambil tertawa, “Bu, doain aja besok dia nggak kapok.”
"Tapi Tante yakin, dia gak akan kabur" ujar Bu Narti
"Kenapa Bu?" tanya Anya
"Bosnya cantik walau cerewet" jawab Bu Narti sembari tertawa
"Gak papa Bu cerewet saya suka " jawab Raka spontan dan itu membuat Bu Narti dan Anya memandang Raka cepat
Raka yang di pandang pun jadi gugup dan tersenyum kaku, " maksudnya saya suka kerja di sini" jelas Raka
"
---
Setelah toko tutup, Anya menyerahkan sebotol air dan berkata, “Kamu lulus hari pertama. Besok jam 5 lagi, oke?”
Adrian tersenyum. “Oke.” Raka tersenyum. Dalam hati, ia tahu satu hal hari pertamanya di sini jauh lebih berarti daripada semua rapat megah di gedung tinggi. Dan ia tidak sabar untuk kembali besok.
Begitu ia berjalan pulang, ia memegang kalung berbentuk bintang di sakunya. Satu langkah lebih dekat… pikirnya.
Bersambung
Malam itu, setelah pulang dari Sweet Anya, Raka alias Adrian duduk di apartemen kecilnya yang ia sewa di distrik barat. Meja kerjanya kosong, hanya ada satu mug kopi dan sebuah kalung berbentuk bintang yang ia keluarkan dari saku. Jemarinya menyentuh permukaannya, mengingatkan pada masa sebelas tahun lalu yang mengubah hidupnya.
Senyum samar muncul.
“Masih sama, ya…” gumamnya.
Ia meletakkan kalung itu kembali, lalu memandang jam dinding. Hampir pukul sepuluh malam. Ia tahu kalau ingin besok kuat bangun jam empat pagi, ia harus tidur. Tapi otaknya tetap memutar kembali momen tadi sore—senyum Anya, tatapan seriusnya saat memanggang roti, bahkan cara gadis itu mengomel sambil tersenyum.
Bahkan gumaman “roti rasa air laut” itu membuatnya tertawa pelan di tengah keheningan.
---
Di Pagi Hari Kedua
Jam 4.30 pagi, kabut distrik barat masih tebal. Raka melangkah keluar dari pintu apartemen, membawa ransel dan hoodie sederhana. Tak ada mobil mewah, ia bahkan berjalan kaki sambil menghirup udara pagi.
Baru kali ini ia merasakan hidup santai tanpa harus memikirkan hal yang tidak penting, jadi Adrian sangat menikmatinya. Ia sedang menjemput jodohnya
Begitu sampai di depan Sweet Anya, lampu toko sudah menyala. Dari balik kaca, ia melihat Anya menata loyang di meja besar. Gadis itu menguap lebar, lalu menepuk pipinya sendiri agar segar.
Adrian yang melihat itu tersenyum lucu lalu ia membuka pintu toko
Cling...! Lonceng kecil berbunyi saat ia membuka pintu.
“Pagi, Anya,” sapanya.
Anya menoleh sambil mengikat ulang kuncir rambutnya. “Pagi, Pangeran Roti Gosong. Siap ujian hari kedua?”
Raka terkekeh. “Siap, Bos.”
“Aku bilang, jangan panggil bos. Aku Anya. Dan kali ini, coba jangan sampai roti berubah warna jadi batu bara.”
“Baik, Anya.” jawab Adrian dengan senyum kecilnya lalu memulai aktivitas nya
---
Anya memberikan apron baru. “Hari ini kita bikin donat. Simple, tapi butuh telaten. Aku mau lihat apakah kamu lebih cocok jadi pembuat roti atau model di majalah tepung.”
Raka mengerutkan kening. “Model di majalah tepung?”
“Ya, model yang mukanya penuh tepung karena ceroboh,” jawab Anya sambil mengedip.
"Ada ada saja" ujar Adrian atau Raka sembari tersenyum lagi
Mereka mulai bekerja. Anya menunjukkan cara membuat lubang di tengah adonan donat. “Harus pas ukurannya. Kalau terlalu kecil, nanti nutup pas digoreng. Kalau terlalu besar, malah jadi… cincin tepung.”
Raka mencoba mengikuti. Donat pertamanya… bentuknya mirip hati, donat kedua malah mirip bintang.
“Hmm… unik, tapi pelanggan kita mau donat, bukan kue Valentine,” komentar Anya sambil menahan tawa.
Raka tertawa kecil. “Kalau unik, bisa mahal, kan?”
“Kalau unik karena gagal, namanya diskon besar-besaran,” balas Anya cepat.
---
Jam 7, Sweet Anya mulai dipenuhi pelanggan. Bu Narti tentu datang lagi, kali ini membawa kucingnya di dalam keranjang.
“Nak Anyaaa..., Tante mau beli roti pisang, sama titip kucing bentar ya. Tante mau belanja ke pasar,” katanya santai.
Anya mengangkat alis. “Tante sebenarnya mau di panggil ibu atau Tante jadi bingung setiap hari ganti ganti,dan lagian ini toko roti, bukan penitipan hewan.”
“Hehehe, apa saja boleh atau mau mama mertua juga boleh, dan untuk kucing ini dia nggak ribet, kok. Dia cuma tidur,” jawab Bu Narti sambil meletakkan keranjang di meja kasir.
"Mertua dari mana Tante, saya mau cari uang bukan cari jodoh" jawab Anya
Raka tersenyum mendengar jawaban Anya lalu menunduk, melihat kucing itu menguap. “Namanya siapa, Bu?”
“Namanya Bubu. Kamu jagain dia ya, Nak. Tante balik sebentar.” ujar Bu Narti
Anya hanya bisa menghela napas. “Oke, Bubu, jangan makan adonan kami, ya.”
Tak lama, datang segerombolan anak sekolah. Mereka heboh memesan donat sambil bercanda.
“Kak Anya, donat ini buatan Kak Raka?” tanya salah satu anak.
Anya nyengir. “Iya, tapi kalau rasanya aneh, itu percobaan ilmiah.”
Anak-anak itu tertawa. “Kalau gitu, kami mau coba lima biji!”
---
Saat Raka menaburkan gula bubuk ke donat, tangannya terlalu kuat mengguncang saringan. Hasilnya, gula beterbangan seperti salju… tepat ke rambut Anya yang sedang lewat.
“Rakaaa!” seru Anya, menepuk kepala sendiri yang sekarang putih.
“Ups. Maaf. Sekarang kamu terlihat seperti peri salju,” ujar Raka sambil menahan tawa.
Pelanggan yang melihat ikut tertawa, sementara Anya menatapnya tajam. Tapi bibirnya juga melengkung tipis. “Oke, peri salju akan membalas dendam. Selesai shift, kamu yang bersihin semua meja.”
“Deal.”
--
Menjelang siang, seorang nenek datang dengan langkah pelan. Anya langsung keluar dari belakang meja untuk membantunya duduk.
“Nenek mau roti gandum yang biasa?” tanya Anya lembut.
“Iya, Nak. Tapi uang nenek agak kurang…” jawab si nenek ragu.
Anya tersenyum. “Sudah, simpan saja uangnya. Hari ini gratis. Anggap saja hadiah.”
Raka memperhatikan dari jauh. Anya tidak pernah mengumumkan kebaikan itu, ia melakukannya seolah hal biasa. Dan itu membuat Raka semakin yakin, ia datang ke tempat yang tepat.
--
Jam 3 sore, hujan deras turun. Pelanggan berkurang, tapi aroma roti memenuhi udara. Anya duduk sambil mencatat stok, sementara Raka membereskan loyang.
Tiba-tiba listrik berkedip sebentar. Anya mengangkat kepala. “Kalau mati lampu, kita bisa nyanyi bareng.”
“Nyanyi bareng atau kamu nyuruh aku bikin roti di kegelapan?” tanya Raka.
“Dua-duanya.”
Hujan membawa suasana tenang. Raka duduk di kursi seberang meja Anya. “Kamu nggak pernah libur?”
Anya menggeleng. “Jarang. Kalau aku libur, toko tutup. Dan… aku nggak mau orang kecewa nggak bisa beli roti mereka.”
“Berarti kamu nggak punya waktu buat jalan-jalan?”
“Punya… kalau dihitung belanja bahan ke pasar sebagai jalan-jalan,” jawabnya sambil tertawa.
---
Di tengah percakapan, pintu terbuka. Pak Tono, tetangga yang suka ikut campur urusan orang, masuk.
“Wah, wah, wah… ini pegawai baru ya? Cocok banget sama Anya. Tingginya pas, mukanya juga enak dilihat,” komentarnya.
Anya menghela napas. “Pak, ini toko roti, bukan biro jodoh, bagian dua.”
Pak Tono malah tertawa. “Ya ampun, Anya… kalau nanti ada undangan nikah, jangan lupa undang saya.”
Raka hanya bisa tersenyum kaku, sementara Anya menepuk jidat.
---
Hujan reda menjelang sore. Beberapa pelanggan terakhir pulang, meninggalkan aroma roti yang masih hangat. Anya menyapu lantai, sementara Raka mengepel.
“Kamu lumayan hari ini,” komentar Anya sambil melihat hasil kerja Raka.
“Lumayan… artinya belum bagus?” tanya Raka
“Lumayan… artinya aku nggak menyesal nggak memecatmu,” jawab Anya sambil tersenyum miring.
Raka tertawa kecil. “Terima kasih, Anya.”
---
Setelah semua selesai, Anya duduk sambil menyeruput teh. “Besok kita coba resep baru. Siap?”
Raka mengangguk. “Selalu siap.”
Anya menatapnya sebentar, lalu tersenyum. “Oke. Sampai besok, Pangeran Donat Bentuk Aneh.”
Raka keluar toko dengan hati ringan. Di sakunya, kalung bintang itu kembali ia genggam.
Satu hari lagi bersama dia… satu langkah lagi mendekat, pikirnya.
Bersambung…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!