Hujan sore itu menempel di kaca kamar kos Amara seperti sidik jari. Meja lipatnya penuh kabel, sketsa, dan cangkir teh yang sudah dingin. Di layar, ilustrasi kelinci memeluk payung tinggal render terakhir. Fee proyek itulah yang ia andalkan untuk bayar listrik dan uang kos yang sudah seminggu menunggak. Jam digital menunjuk 16.47; dua jam lagi deadline.
Ketukan keras menghantam pintu.
“Amara Kirana?” suara berat menembus kayu. “Kami dari pihak penagihan. Buka.”
Jantungnya menukik. Ia mematikan lampu, menahan napas, merapat ke dinding. Ketukan kedua lebih keras, lalu gumaman kesal, dan langkah-langkah menuruni tangga kos. Ponselnya berdering: Ibu.
“Ma, aku di kos,” bisiknya.
“Ra… dua orang datang lagi ke rumah. Katanya kalau Papa tak melunasi sampai Jumat, toko disegel. Mereka tinggalkan surat,” suara ibunya serak. “Papa keluar cari pinjaman. Ponselnya mati.”
Amara menutup mata. Di kepala, angka-angka mengapung: sisa utang, listrik, obat Ibu, cicilan kulkas. “Kunci pagar. Jangan buka pintu untuk orang tak dikenal. Aku selesaikan gambar, lalu pulang.”
Ia meraih stylus yang terjatuh, memaksa tangan stabil. Garis-garis terakhir dituntaskan. Notifikasi masuk: Selvia.
Ra, bisa ke Tower Atmadja jam enam? Papa butuh orang untuk retouch visual panggung. Aku bilang kamu cepat.
Amara menimbang. Atmadja itu berita nasional: proyek, CSR, merger. Dan Selvia, sahabatnya sejak SMA, anaknya satu-satunya. Mereka makin jarang bertemu setelah kuliah; jarak dan kelas sosial jadi tembok. Ia mengetik:
Aku ada deadline jam lima. Bisa nyusul paling cepat 18.30. Feenya?
Tenang, aku urus. Fast job, fast pay. Tolong ya. Penting buat Papa.
“Buat Papa.” Dua kata itu mengetuk sisi hatinya. Ia kirim file ilustrasi ke editor, menulis: Final. Revisi ringan masih bisa. Notifikasi bank bergetar: fee masuk. Napasnya sedikit lapang. Ia menyambar jaket, payung, dan map kosong, lalu berlari menembus gerimis.
Lobi Atmadja Tower memantulkan cahaya seperti danau kaca. Orang-orang bersetelan gelap mengalir tanpa suara. Amara berdiri di dekat pilar, merapikan rambut yang lembap, mencari Selvia.
“Amara!” Selvia memeluknya cepat. Wangi parfumnya tajam, bibirnya merah anggur. “Maaf mendadak. Papa di lantai 46. LED panggung perlu dikalibrasi—logonya kurang hangat. Kamu bisa?”
“Bisa,” Amara menahan canggung. “Acara apa?”
“Peluncuran beasiswa dan press conference. Media banyak,” Selvia menekan tombol lift. “Sekalian Papa mau umumkan hal penting.”
Lift memantulkan wajah mereka di empat sisi. Amara menangkap refleksi sendiri: mata kurang tidur, pipi tanpa bedak. Di sampingnya, Selvia seperti poster film—sempurna. Pintu terbuka. Koridor karpet tebal menyambut, lampu-lampu langit-langit seperti cincin tipis. Auditorium sibuk: teknisi merunduk di balik konsol, lighting test, layar LED menampilkan dummy visual.
“Ini Amara,” kata Selvia kepada supervisor. “Beri akses.”
Pass tamu dikalungkan. “File kami kirim email,” ujar supervisor. “Butuh warm tone tanpa kehilangan identitas brand.”
Amara duduk di konsol, membuka preset. Warna demi warna ia rawat: merah yang dingin jadi bersahabat, oranye yang norak diturunkan. Logo yayasan tampak seperti matahari yang akhirnya tahu cara menyinari tanpa membakar. Ketika ia mengunci keyframe, pintu samping terbuka. Seorang lelaki berhenti di ambang, memindai ruangan seperti dirigen menakar tempo.
Ia tidak perlu bertanya. Wajah itu ada di koran, billboard, siaran ekonomi. Bagas Atmadja.
Ia memberi instruksi singkat pada tim, kemudian—sekejap, namun panjang—pandangannya tertahan di arah Amara. Mata itu menilai, bukan meremehkan, melainkan kebiasaan orang yang terlalu sering mengambil keputusan mahal.
“Pa,” Selvia menjemputnya, “ini Amara. Dia bantu visual.”
“Terima kasih sudah datang,” suara Bagas seperti besi dipanaskan seperlunya: keras, namun tak menusuk. Tatapannya turun ke layar. “Kau ubah temperatur warna. Bagus.”
“Terima kasih, Pak,” Amara menjaga suaranya stabil.
Seorang staf berbisik di telinga Bagas. Ada kilat kesal sekilas di matanya, cepat seperti bayang burung di air. “Selesaikan. Undang wartawan pukul tujuh tepat,” katanya, lalu pergi.
Ponsel Amara bergetar: Ibu.
“Ra, mereka datang lagi,” suara ibunya bergetar. “Bilangnya malam ini terakhir.”
“Bu, tarik napas. Pak RT ada di rumah?”
“Ada. Tapi mereka ancam surat dari legal besok.” Napas Ibu berat. “Ibu pusing.”
“Minum air hangat. Aku selesai sebentar, lalu pulang,” Amara menutup telepon. Auditorium mendadak seperti meredup; dunia menyempit antara panggung dan rumah.
“Semua oke?” Selvia memperhatikan raut Amara.
“Masalah keluarga sedikit. Tapi aku selesaikan ini dulu.”
Ia render set terakhir, mengunci profil warna. Supervisor mengacungkan jempol. Jam mendekati tujuh. Amara melepas pass, melangkah ke lift. Dua lelaki berjas—bukan staf—tiba-tiba menyilang langkahnya.
“Amara Kirana?” Lelaki pertama menahan pintu lift agar tak tertutup. “Ada urusan keluarga. Mohon tanda tangan.”
“Maaf, saya sedang kerja,” Amara menegang.
“Kami juga,” lelaki kedua tersenyum tipis. “Sebentar saja, Nona. Ini penting.”
Sebuah suara tenang memotong, tanpa memberi ruang bantah. “Ada masalah apa dengan karyawan kami?”
Bagas berdiri tak jauh. Dua lelaki itu refleks merapikan jas.
“Urusan pribadi, Pak,” ujar yang pertama. “Kami hanya minta tanda tangan. Tidak terkait perusahaan.”
Bagas menoleh pada Amara. “Kau mengenal mereka?”
“Mereka datang ke rumah untuk Papa,” Amara menelan ludah.
Bagas menatap kedua lelaki itu. “Kalau pribadi, selesaikan di luar gedung saya. Auditorium penuh tamu. Saya tidak ingin keributan.”
“Kami mengerti, Pak,” kata mereka, tetapi sempat menatap Amara tajam. “Malam ini juga, Nona. Jangan menghindar.”
Mereka menghilang di belokan. Lift menutup tanpa Amara. Udara di koridor jadi berat seperti hujan yang hendak jatuh lagi.
“Kau baik-baik?” tanya Bagas. Di mata menilai itu kini ada sesuatu yang lain: kalkulasi yang lebih dalam.
“Saya… harus pulang setelah acara mulai,” Amara memegang strap tas.
“Lima menit saja,” kata Bagas, berbalik. “Ikut saya.”
Ia berjalan tanpa menoleh, dan entah bagaimana, kaki Amara mengikuti. Mereka masuk ruang briefing kecil di samping auditorium: meja meeting, rak berkas, jendela menatap kota yang berkilau basah. Bagas berdiri di seberang meja, membuka laci, mengeluarkan map hitam tipis. Ia tidak duduk.
“Aku minta maaf atas kejadian barusan,” katanya to the point. “Aku tidak suka orang luar mengganggu acara, apalagi seseorang yang sedang bekerja untukku.”
“Bukan salah Bapak,” Amara menunduk. “Keluargaku… terjerat.”
“Ya.” Bagas menutup map, mengetuk permukaannya ringan. “Setiap nama yang masuk ke gedung ini kami cek. Standar keamanan. Jadi aku tahu garis besar masalahmu.”
Pipi Amara hangat oleh malu. “Maaf kalau menyusahkan.”
“Kau membawa kemampuan, bukan masalah,” katanya datar. “Visualmu menyelamatkan panggung.” Ia menarik napas pendek, seperti baru memutuskan sesuatu. “Dan kebetulan, aku sedang butuh seseorang yang mampu—dan berani.”
“Maaf?” Amara mengernyit.
“Aku butuh solusi cepat untuk dua hal: sorotan media beberapa minggu ke depan, dan perseteruan internal yang menuntut stabilitas keluarga—di atas kertas.” Pandangannya menancap. “Aku bisa menolong keluargamu. Utang, rumah, keamanan ibumu. Bersih dalam dua puluh empat jam.”
Dunia di dalam dada Amara menahan napasnya sendiri.
“Sebagai gantinya,” lanjut Bagas, “aku minta satu hal yang terlihat sederhana di surat, tapi sulit dijalani di hidup.”
Ia mendorong map hitam melintasi meja. Berhenti tepat di depan Amara.
“Menikah denganku.”
Kata-kata itu jatuh pelan, tapi menghantam keras. Amara menatap map seolah benda itu bisa menggigit. Di luar, suara soundcheck berganti opening jingle, penonton sorak. Di dalam ruangan kecil, detak jam menonjok ruang hening.
“Ini… gila,” suaranya nyaris tak terdengar.
“Gila itu mengulangi kesalahan yang sama,” jawab Bagas tenang. “Aku tidak mengulang. Aku menghentikan badai sebelum menabrakku—dan menabrakmu.”
“Selvia…” nama itu lolos refleks dari bibir Amara, lalu menggantung getir di udara.
“Selvia akan membencimu,” Bagas menyatakan tanpa ornamen. “Mungkin juga membenciku. Tapi aku terbiasa dibenci saat memutuskan hal yang menyelamatkan banyak hal.”
Amara memeluk tas. Wajah Ibu melintas, pagar rumah, ancaman surat legal, angka-angka di layar ponsel. Lalu tawa Selvia di kantin SMA, janji-janji kecil yang tak pernah ditulis. Dan di hadapannya: lelaki yang menawarkan tali keselamatan dengan ujungnya terikat pada karang.
“Tidak sekarang,” bisiknya. “Aku harus pulang.”
“Bawa map itu,” kata Bagas. “Baca pasal-pasalnya. Perjanjian ini tidak menyakitimu secara hukum. Ada jalan keluar jika syarat terpenuhi.” Ia melirik jam. “Acara mulai satu menit lagi.”
Ia menoleh ke pintu, lalu berhenti sepersekian detik. “Aku tidak memaksa orang yang tak mau dipaksa. Tapi aku tahu kapan waktu menawar. Malam ini—waktunya.”
Pintu tertutup. Amara memegang map itu; kulitnya dingin, ujungnya tajam di telapak. Tangannya gemetar. Ia menempelkan dahi pada punggung map, mengambil napas panjang. Sorak penonton meledak di luar, lampu panggung menyapu langit-langit. Hujan di luar mungkin mereda, tetapi di dadanya, badai baru saja tumbuh.
Ia memasukkan map ke dalam tas, meraih payung, dan melangkah keluar ruangan. Koridor berkilau basah oleh refleksi lampu, lift memantulkan wajahnya berkali-kali—wajah seorang perempuan yang baru saja ditawari keselamatan yang berharga… dengan harga yang bisa menghancurkan segalanya.
Di lobi, ia berhenti sejenak, menatap hujan tipis di balik kaca. Ponsel bergetar: pesan dari nomor tak dikenal.
Nona Amara. Jangan lupa tanda tangan malam ini. Kami menunggu.
Amara menekan tombol power, mematikan layar. Ia membuka payung, melangkah ke gerimis. Setiap tetes jatuh seperti hitungan mundur. Dan di tasnya, map hitam itu terasa makin berat—seberat kata “ya” yang belum diucapkan… dan “tidak” yang tak sanggup ia pilih.
Amara terbangun dengan mata sembab. Malam tadi hampir tidak ada tidur yang benar. Map hitam yang dibawa dari Tower Atmadja masih tergeletak di meja belajarnya. Setiap kali ia memejamkan mata, kalimat Bagas berulang: Menikah denganku.
Di rumah, suasana lebih menekan daripada hujan semalam. Surat penagihan terlipat di meja makan, Ibu duduk dengan wajah pucat, dan Papa sibuk menyalakan rokok yang sudah entah keberapa. Asapnya menyesakkan.
“Ra, kamu ketemu orangnya?” tanya Ibu, suaranya pelan.
Amara mengangguk pelan. “Aku ketemu Pak Bagas. Dia bilang bisa membantu. Tapi…” ia ragu melanjutkan.
“Tapi apa?” Papa menatap tajam, seolah jawaban itu bisa jadi penyelamat atau racun.
Amara menunduk. “Syaratnya aku harus menikah dengannya.”
Ruangan hening seketika. Hanya suara korek api yang gagal menyala. Ibu menutup mulut dengan tangan gemetar. “Ya Allah, Ra.”
Papa terbatuk, lalu berdiri. “Kamu jangan asal bicara. Itu orang siapa? Masa segampang itu minta nikah?”
“Dia tidak main-main, Pa. Dia kasih map berisi perjanjian.” Amara mengeluarkan map hitam dari tas. Kertas di dalamnya masih rapi, tanda tangan Bagas ada di halaman akhir.
Papa membuka lembar demi lembar. Alisnya mengernyit. “Ini perjanjian sah. Semua utang dilunasi besok pagi. Rumah aman. Tapi… pernikahan ini bukan mainan, Ra.”
Ibu menatap Amara, matanya berkaca-kaca. “Kamu yakin? Dia ayahnya Selvia. Bagaimana kalau sahabatmu tahu?”
Nama itu menusuk seperti jarum. Selvia. Sahabat yang selalu ada sejak SMA. Bagaimana ia bisa menjelaskan?
“Aku belum jawab apa-apa,” Amara akhirnya berkata. “Aku… aku butuh waktu.”
Sore itu, Amara memutuskan bertemu Selvia di sebuah kafe kecil dekat kampus. Ia ingin mencari kekuatan, mungkin juga kejujuran.
Selvia datang dengan gaun sederhana, tapi tetap terlihat anggun. Rambutnya dikuncir tinggi, wajahnya sumringah. “Ra! Lama sekali kita tidak nongkrong begini.”
Amara tersenyum kaku. “Iya, Sel. Aku kangen juga.”
Mereka memesan minuman. Kopi latte untuk Selvia, teh chamomile untuk Amara. Obrolan awal ringan: tentang dosen, teman lama, gosip artis. Tapi hati Amara berat, ia tahu cepat atau lambat harus bicara.
“Sel,” Amara mulai, “kemarin aku bantu acara ayahmu.”
Selvia mengangguk. “Iya, aku lihat. Papa bilang kamu cepat sekali menyelesaikan desain. Dia jarang memuji orang, lho. Selamat, Ra.”
Amara menelan ludah. “Dia… menawarkan sesuatu padaku.”
“Apa?” Selvia mendekat, penasaran.
Amara membuka tas, memperlihatkan map hitam itu. “Dia ingin aku menandatangani ini.”
Selvia meraih map, membaca cepat. Saat sampai pada halaman terakhir, wajahnya seketika berubah. Gelas latte hampir terjatuh dari tangannya. “Ini… pernikahan? Dengan Papa?!”
Kafe yang tadinya penuh suara sendok dan obrolan, mendadak terasa sunyi bagi Amara. Ia hanya bisa menunduk.
Selvia meletakkan map dengan kasar. “Ra, kamu gila? Kenapa kamu? Papa masih sehat, masih punya kehidupan sendiri. Kenapa kamu tiba-tiba terlibat?!”
“Sel, aku tidak mencari ini. Aku bahkan tidak bisa percaya. Tapi Papa dan Ibu… utang mereka menumpuk. Kalau tidak ada yang membantu, rumah disita. Aku tidak tahu harus bagaimana.”
Selvia menggertakkan gigi. “Jadi kamu mengorbankan persahabatan kita untuk menyelamatkan rumah? Kamu pikir aku bisa terima kalau sahabatku sendiri jadi istri ayahku?”
Air mata Amara menggenang. “Aku belum tanda tangan, Sel. Aku hanya… bingung.”
Selvia berdiri, kursinya bergeser keras. “Bingung? Kamu seharusnya menolak! Aku tidak akan pernah memaafkan kalau kamu lakukan ini. Ingat baik-baik, Ra. Kalau kau jadi istri Papa, kau bukan lagi sahabatku.”
Ia pergi meninggalkan Amara sendiri. Map hitam itu tertinggal di meja, seolah menjadi bukti dosa yang belum terjadi.
Malamnya, Amara duduk di kamar, lampu kecil menyala. Ia membuka map itu sekali lagi. Pasal-pasal di dalamnya jelas: semua utang dilunasi, keluarganya aman, sebagai gantinya ia harus menikah dengan Bagas dalam waktu sebulan.
Di luar kamar, Papa dan Ibu berdebat pelan. Papa ingin menerima tawaran itu—baginya, ini jalan keluar. Ibu ragu, ia takut anaknya hancur masa depannya.
Amara menutup mata, kepalanya berat. Dalam kegelapan, ia melihat wajah Selvia penuh amarah, wajah Ibu penuh takut, dan wajah Bagas yang dingin tapi tegas.
Pikirannya bising: Jika aku menolak, keluarga bisa hancur. Jika aku menerima, persahabatan lenyap, hidupku berubah selamanya.
Ketukan pelan terdengar di pintu kamar. “Ra,” suara Ibu, parau. “Kamu tidak sendirian. Apa pun keputusanmu, Ibu ada di pihakmu.”
Air mata Amara jatuh tanpa suara. Ia meraih map itu, menatap halaman terakhir. Tanda tangan Bagas sudah ada di sana, menunggu miliknya.
Tangannya gemetar. Pena siap menari.
Tapi jiwanya belum siap berkata “ya”… dan terlalu takut berkata “tidak.”
Amara menutup map hitam itu dengan cepat, seolah kalau ia biarkan terbuka lebih lama, kata-kata di dalamnya akan melompat keluar dan mengikat lehernya. Suara debat Papa dan Ibu dari ruang tengah masih terdengar samar.
“Ini kesempatan langka!” suara Papa meninggi. “Bagas Atmadja bukan orang sembarangan. Kalau dia mau menolong kita, kenapa harus menolak?”
“Tapi ini hidup anak kita, Pak,” balas Ibu dengan suara bergetar. “Amara masih muda. Dia punya masa depan. Bagaimana mungkin kita menyerahkannya begitu saja?”
Amara menutup telinganya dengan bantal. Hatinya perih. Baginya, kedua orang tuanya sama-sama benar, tapi juga sama-sama salah.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Nona Amara. Waktu Anda tidak banyak. Saya sarankan membaca kembali pasal dua dan tiga. Jika setuju, hubungi nomor ini. Kami akan menyiapkan segalanya.
Amara menatap layar ponselnya. Tangannya gemetar. Ia tahu pesan itu berasal dari orang kepercayaan Bagas.
Keesokan harinya, Amara berangkat kuliah dengan hati kosong. Matanya bengkak, tubuhnya letih, tapi ia tetap berusaha tampil normal. Di gerbang kampus, beberapa temannya menyapanya, namun ia hanya membalas dengan senyum tipis.
Di kelas, ia duduk paling belakang, memandangi papan tulis yang kabur di matanya. Kata-kata dosen berkelebat seperti suara asing, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Saat jam istirahat, ia ke kantin. Tidak lama, sebuah bayangan menutup meja makannya. Ia mendongak.
Davin Surya.
Sudah lama ia tidak melihatnya. Rambutnya kini lebih rapi, tubuhnya lebih tegap, senyum yang dulu membuat Amara merasa aman kini terasa asing.
“Amara,” sapa Davin. “Lama tidak bertemu.”
Amara tercekat. “Davin? Kamu… kamu sudah kembali?”
“Ya. Baru seminggu. Aku dengar keluargamu sedang dalam masalah,” katanya lembut, duduk tanpa diminta. “Aku ingin menolongmu.”
Amara menggeleng cepat. “Tidak perlu. Aku bisa urus sendiri.”
“Tapi aku serius,” Davin menatapnya dalam. “Kamu tahu aku masih peduli padamu. Kalau ada masalah, biarkan aku bantu.”
Amara merasa kepalanya berputar. Bagas menawarkan bantuan dengan syarat pernikahan. Davin tiba-tiba muncul, menawarkan sesuatu tanpa syarat—setidaknya sejauh ini.
Namun ia tahu, hidup tidak pernah sesederhana itu.
Sore itu, Amara pulang lebih awal. Di depan rumah, sebuah mobil hitam mewah terparkir. Tubuhnya langsung tegang.
Bagas Atmadja berdiri di teras rumah, bersama dua asistennya. Papa dan Ibu duduk di ruang tamu dengan wajah campur aduk—antara cemas dan lega.
“Selamat sore, Amara,” sapa Bagas tenang, suaranya dalam dan berwibawa. “Aku datang bukan untuk memaksa, tapi untuk menjelaskan.”
Amara berdiri kaku. “Kenapa harus saya, Pak? Dari sekian banyak orang, kenapa harus saya?”
“Karena kau berbeda,” jawab Bagas singkat. “Kau bukan bagian dari lingkaran kami. Kau tidak punya kepentingan dengan nama besar Atmadja. Justru itu yang kubutuhkan.”
Ia menatap Papa dan Ibu Amara. “Aku tahu keluarga ini dalam kesulitan. Aku bisa menyelesaikan semuanya. Tapi aku juga butuh sesuatu: stabilitas. Media menyorot kehidupanku. Aku butuh seorang pendamping resmi untuk meredam semua spekulasi. Pernikahan adalah solusi tercepat.”
Papa menunduk, Ibu meneteskan air mata.
Amara menggenggam jemarinya sendiri. “Dan kalau aku menolak?”
“Tidak ada ancaman,” kata Bagas datar. “Aku tidak memaksa. Tapi jika kau menerima, keluargamu aman, dan kau tidak akan kekurangan apa pun. Keputusan tetap di tanganmu.”
Ia menyodorkan sebuah kartu nama. “Pikirkan baik-baik. Jawab sebelum akhir pekan. Waktu tidak banyak.”
Bagas berdiri, menyalami Papa, lalu melangkah keluar rumah. Mobil hitam itu pergi, meninggalkan udara berat yang menekan dada Amara.
Ibu menatapnya dengan mata penuh harap sekaligus takut. “Ra… apa yang akan kamu lakukan?”
Amara menunduk. Map hitam masih ada di tasnya, dan kartu nama Bagas kini menambah beban.
Di kepalanya, wajah Selvia, Davin, dan keluarganya silih berganti. Tidak ada jalan keluar yang tidak melukai seseorang.
Malam itu, Amara menulis di buku hariannya:
“Jika aku berkata ya, aku kehilangan sahabatku. Jika aku berkata tidak, aku kehilangan keluargaku. Lalu, mana yang harus kupilih?”
Tangannya berhenti, tinta pena menetes di halaman. Air matanya jatuh, bercampur dengan noda tinta itu.
Bagi Amara, malam itu adalah malam pertama ia merasa benar-benar terpojok, tanpa ruang untuk bernapas.
Amara berdiri di depan cermin kamar, menatap wajahnya sendiri yang tampak lebih tua dari usianya. Lingkar hitam di bawah mata seakan menjadi saksi malam-malam tanpa tidur. Map hitam masih ada di atas meja, kini ditemani kartu nama Bagas Atmadja. Dua benda itu seperti dua mata setan yang terus mengawasinya.
Ibu mengetuk pintu. “Ra, turun sebentar. Ada tamu.”
“Siapa, Bu?”
“Pak Bagas.”
Amara terdiam. Perutnya mengeras. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu.
Di ruang tamu, Bagas duduk tenang dengan setelan abu-abu. Wajahnya sama seperti semalam: dingin, penuh kontrol. Papa duduk di sampingnya, tampak kikuk, sementara Ibu menunduk menahan gelisah.
“Selamat pagi, Amara,” sapa Bagas. “Aku tidak ingin membuang waktumu. Aku ingin memperjelas niatku di hadapan keluargamu.”
Amara menelan ludah. “Apa maksudnya, Pak?”
Bagas menatap langsung, suaranya tegas tapi tidak meninggi. “Aku ingin menikahimu. Bukan sebagai permainan, bukan sekadar perjanjian. Aku butuh istri, dan kau yang kupilih.”
Kata-kata itu jatuh seperti palu. Ruang tamu mendadak sesak.
Papa menatap Amara, matanya penuh harap. “Ra, dengar dulu. Pak Bagas serius. Kalau ini terjadi, semua utang lunas, kita bisa mulai dari awal.”
Ibu menggenggam tangan Amara, dingin dan bergetar. “Nak, ini hidupmu. Ibu tidak bisa memutuskan untukmu. Tapi kau tahu keadaan kita…”
Amara berdiri terpaku. “Kenapa saya, Pak? Banyak perempuan lain yang lebih pantas.”
“Karena kau berbeda,” jawab Bagas. “Kau tidak mengejarku untuk harta atau nama. Kau bekerja dengan tanganmu sendiri. Aku menghargai itu.”
Ia mencondongkan tubuh, suaranya lebih rendah. “Dan aku butuh seorang pendamping yang bisa meredam gosip media sekaligus menjaga kestabilan keluargaku. Kau pilihan yang tepat.”
Amara menatap mata lelaki itu. Di sana tidak ada keraguan. Bagas benar-benar serius.
Sore itu, kabar sudah sampai ke telinga Selvia.
Ia datang ke rumah Amara dengan wajah merah padam. Begitu masuk, ia langsung menampar meja ruang tamu. “Ra, apa benar kau akan menikah dengan Papa?!”
Amara terkejut. “Selvia—”
“Jawab aku!” Selvia menatapnya dengan mata berair. “Aku percaya kau sahabatku. Tapi kau malah menusuk dari belakang!”
“Tidak! Aku belum memutuskan apa pun. Aku… aku tidak punya pilihan.”
“Tidak punya pilihan?!” Selvia hampir berteriak. “Kau bisa menolak! Kenapa harus setuju pada hal gila ini? Kau tahu apa artinya bagiku? Kau akan jadi ibu tiriku, Ra! Kau akan menghancurkan segalanya antara kita.”
Air mata Amara jatuh. “Aku tidak ingin ini terjadi. Tapi keluargaku—”
“Cukup!” Selvia berbalik, suaranya pecah. “Mulai sekarang, anggap aku bukan lagi sahabatmu. Kau musuhku.”
Ia pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Amara yang terkulai di sofa.
Malam itu, Bagas mengirim pesan singkat.
Besok jam sepuluh pagi, aku akan mengundang keluargamu ke rumah. Aku ingin membicarakan pernikahan ini secara resmi.
Amara menatap layar ponselnya lama sekali. Rasanya dunia berputar lebih cepat daripada semestinya.
Keesokan paginya, rumah megah keluarga Atmadja berdiri angkuh di hadapan Amara dan orang tuanya. Gerbang besi terbuka, memperlihatkan taman luas dengan air mancur. Amara merasa langkahnya berat.
Di ruang tamu besar yang penuh lukisan, Bagas sudah menunggu. Kali ini ia tidak sendiri. Ada beberapa anggota keluarga besar Atmadja, termasuk Meylani, istri kedua Bagas. Wanita itu menatap Amara dengan tatapan tajam penuh sinis.
“Jadi ini calon istrimu, Mas?” suara Meylani dingin. “Seorang gadis miskin yang kau pungut begitu saja?”
Bagas menoleh singkat. “Jaga bicaramu, Meylani. Aku sudah memutuskan.”
Papa Amara menunduk malu, sementara Ibu meremas tangan anaknya.
Amara ingin membuka mulut, tapi suaranya tercekat.
Bagas berdiri. “Saya ingin memperkenalkan Amara Kirana sebagai calon istri saya. Pernikahan akan diadakan secepatnya setelah persiapan selesai.”
Keluarga Atmadja yang lain saling berbisik, sebagian terkejut, sebagian mencibir. Meylani tersenyum sinis.
“Kalau begitu, selamat. Mari kita lihat berapa lama gadis ini bisa bertahan jadi istrimu.”
Amara menunduk, wajahnya panas. Ia merasa seluruh dunia menertawainya. Tapi saat menoleh ke arah Bagas, lelaki itu tetap berdiri tegak, wajahnya tak berubah.
Dalam hati Amara, badai semakin besar. Ia baru saja kehilangan sahabat, dan kini ia dilempar ke dalam lingkaran keluarga yang penuh racun.
Apakah ini awal dari penyelamatan… atau awal dari kehancuran?
Amara menunduk, wajahnya panas, telinganya berdenging karena sindiran Meylani. Baginya, setiap tatapan orang-orang di ruang tamu itu seperti belati. Ada yang menatap meremehkan, ada yang tertawa kecil, ada yang berbisik sambil melirik ke arahnya.
Namun Bagas tidak goyah. Dengan suara dalam, ia menutup semua bisikan. “Keputusan sudah kuambil. Tidak ada diskusi.”
Papa Amara mengangkat kepala, matanya berbinar seolah hidupnya kembali diberi harapan. “Terima kasih, Pak Bagas. Kami berhutang budi…”
“Tidak perlu berbasa-basi,” potong Bagas tegas. “Yang perlu hanya komitmen. Pernikahan akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Aku tidak ingin tarik ulur.”
Ibu Amara menelan ludah, menggenggam tangan Amara lebih erat. Gadis itu hanya bisa menatap map hitam di pangkuannya, seolah jawaban hidupnya terkunci di sana.
Setelah acara singkat itu, keluarga Amara dipersilakan pulang. Sopir mengantar mereka sampai depan rumah sederhana yang terasa semakin sempit dibanding istana Atmadja.
Begitu masuk, Papa langsung menepuk bahu Amara. “Nak, ini kesempatan. Kamu harus terima. Bayangkan, semua utang lunas. Kita bisa hidup tenang lagi.”
“Tenang?” suara Amara pecah. “Bagaimana aku bisa tenang kalau harus mengorbankan hidupku? Bagaimana dengan Selvia? Dia sudah membenciku!”
Papa terdiam. Ibu memeluk Amara, air matanya jatuh. “Nak, Ibu tahu ini berat. Tapi kita terjepit. Kalau kamu tolak, besok rumah ini bisa disita.”
Amara menutup wajah dengan kedua tangan. Semua pilihan sama buruknya.
Keesokan harinya, kampus gempar. Kabar rencana pernikahan Bagas Atmadja dengan seorang mahasiswa menyebar cepat seperti api di ladang kering. Amara berjalan di koridor dengan kepala tertunduk, telinganya dipenuhi bisik-bisik.
“Itu dia, calon istri Pak Bagas?”
“Serius? Ayahnya Selvia?”
“Berarti dia jadi ibu tiri sahabatnya sendiri? Gila…”
Amara menggigit bibir, menahan perih. Ia ingin menjerit bahwa semua ini bukan pilihannya.
Saat keluar dari kelas, Davin sudah menunggunya di depan pintu. “Kita perlu bicara.”
Mereka berjalan ke taman belakang kampus. Davin menatapnya dengan sorot khawatir. “Amara, aku dengar kabar itu. Jangan bilang kau benar-benar setuju?”
Amara menunduk. “Aku… belum menandatangani apa pun.”
“Kalau begitu jangan pernah lakukan!” Davin meraih tangannya, hangat tapi memaksa. “Aku bisa bantu. Aku punya tabungan, punya koneksi. Kita bisa cari jalan lain. Kau tidak perlu menyerahkan hidupmu.”
Amara menarik tangannya, suaranya bergetar. “Davin, kamu tidak mengerti. Ini bukan hanya soal uang. Ini soal keselamatan keluargaku. Mereka sudah ditekan setiap hari. Kalau aku bisa hentikan itu, apa aku harus diam?”
Davin menatapnya lama. “Kalau begitu, kau akan jadi korban selamanya. Kau pikir Bagas benar-benar akan mencintaimu? Dia hanya butuh nama, butuh perisai. Kau bukan istri, kau pion.”
Kata-kata itu menusuk. Amara tidak menjawab, hanya menatap tanah.
Malamnya, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Bagas turun, ditemani asistennya. Ia masuk dengan wibawa yang membuat ruang tamu sederhana itu terasa semakin sempit.
“Amara,” katanya langsung, “aku butuh jawaban. Besok media akan menyorot. Aku tidak ingin menunggu lebih lama.”
Papa langsung berdiri. “Pak Bagas, kami sepakat. Amara siap. Betul, Ra?”
Amara terpaku, jantungnya memukul keras. Ia menatap wajah Ibu yang penuh air mata, Papa yang penuh harap, lalu tatapan dingin Bagas yang menunggu tanpa ragu.
“Jika kau terima,” lanjut Bagas, “besok pagi semua utang keluargamu lunas. Aku pastikan tidak ada lagi yang berani mengganggu kalian. Tapi jika kau menolak, aku tidak akan menekan. Aku hanya akan mundur, dan keluargamu akan menghadapi konsekuensinya sendiri.”
Hening panjang menyelimuti ruang tamu. Jam dinding berdetak keras, seolah menghitung mundur.
Amara akhirnya menarik napas panjang, suaranya lirih namun tegas, “Baik. Saya… menerima.”
Ibu menutup mulut dengan tangis. Papa menjatuhkan badan ke kursi, lega sekaligus terharu.
Bagas berdiri, mengulurkan tangan. “Mulai malam ini, kau adalah calon istriku. Persiapkan dirimu. Dalam dua minggu, kita menikah.”
Amara menatap tangan itu. Dunia di sekelilingnya berputar, dan ia tahu, sejak saat itu, jembatan masa lalunya terbakar. Tidak ada jalan kembali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!