NovelToon NovelToon

Tetangga Iri

Membangun Rumah

Mobil dari toko bangunan mulai berdatangan mengantar pesanan seseorang.

Di dalam mobil terlihat, beberapa sak semen dan juga besi-besi dan beberapa alat bangunan lainnya.

Tak hanya itu, mobil pengangkut pasir juga mulai berdatangan.

Rohani, yang melihat mobil-mobil itu menurunkan barangnya tepat di samping rumahnya langsung merasa panas.

Pasalnya, sang tetangga dikenal orang tak berpunya. Kenapa sekarang, mereka bisa membeli bahan-bahan bangunan itu.

Mereka dapat uang dari mana? Karena jelas, jika dijumlahkan, barang-barang itu menghabiskan uang jutaan.

"Punya siapa?" Rohani bertanya pada sopir pengangkut pasir.

"Oo, ini punya pak Azhar," sahut sopir ramah.

"Azhar, Tari? Me-mereka yang membeli semua ini?" Rohani bertanya dengan nada sedikit terkejut.

Shock.

"Iya, katanya mau bangun rumah," sang sopir kembali menanggapi.

Rohani memengangi dadanya, dia langsung mundur beberapa langkah untuk kembali ke rumahnya, yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumah orang tua Tari.

Beberapa saat, Tari keluar dengan napan ditangannya. Dia membawakan beberapa piring berisi ubi rebus dan juga teko berisi kopi serta air sirup dingin untuk para sopir dan juga orang yang membawakan bahan bangunan.

Tak lupa, suaminya Azhar yang juga ada disana.

"Tadi, bu Rohani nanya apa bang?" tanya Azhar pada sopir. Karena dia sempat melirik sopir berbicara dengan Rohani.

"Hanya basa-basi menanyakan ini punya siapa," sahut sopir, dan Azhar manggut-manggut.

Di rumah, Rohani merasa panas di dalam hatinya. Dia masih penasaran dari mana Azhar bisa mendapatkan uang sebanyak itu, padahal sudah jelas jika Azhar hanya seorang tukang bangunan.

"Apa mereka memelihara tuyul ya?" gumam Rohani masih merasa nyeri.

Seminggu setelahnya, Azhar mulai mengali tanah untuk membuat pondasi rumah. Dan hati Rohani semakin gelisah.

Rasa penasaran masih saja bertahan dihatinya.

"Eh, kok ini dekat dengan tanah saya ya?" Rohani yang berniat melihat pembangunan rumah Tari langsung meradang, kala galian tanah yang berjarak dua meter dari pagar rumahnya.

"Itu kan, masih ada jaraknya. Lagipula, kami udah memperhitungkannya," sahut Azhar menoleh ke arah Rohani.

"Mana bisa gitu, nanti pagar saya kotor kecipratan air hujan dari atap rumahmu," keukeh Rohani.

"Gak akan lah, bu ... Lagian, itu hanya pagar bambu, jadi gak masalah," Azhar masih menanggapi dengan sabar.

"Oo gak bisa, walaupun bambu, itu tetap pagar saya," bantah Rohani.

"Tapi kan, pagar itu bang Azhar yang buat, otomatis, pagar itu milik kami dong," celetuk Tari meradang.

Azhar memelototi istrinya, dia memberi kode dengan tangannya agar jangan membuat keributan.

"Ya, gak peduli. Yang penting pagar ini, pembatas antar tanah ku dan kalian," sahut Rohani tak mau kalah.

Tari kembali hendak menjawab, namun gelengan dari Azhar membuat mulutnya bungkam.

"Aku akan melapornya pada RT, masak kalian dzolim sama saya, mentang-mentang saya udah tua, kalian pikir boleh seenaknya?" cerocos Rohani berjalan meninggalkan Tari dan Azhar yang sedang bekerja sama.

"Dasar, tetangga iri," cetusnya, masih bisa di dengarkan oleh Azhar dan juga Tari.

"Sabar," nasihat Azhar, kala melihat muka Tari yang memerah.

Benar saja, Rohani tak tinggal diam. Dia mulai melapor pada rt, jika Azhar membuat rumah di atas tanah miliknya.

Tak hanya pada rt, Rohani juga turut melaporkan kejadian itu pada beberapa perangkat desa lainnya.

Dia juga mengatakan, gara-gara Azhar membuat rumah, jalan masuk ke rumahnya agak terhalang, karena Azhar sudah merusak rencananya untuk memperbesar lorong masuk ke rumahnya.

"Mereka begitu, karena tahu aku akan beli mobil," adu Rohani di warung, kala pulang dari rumah rt dan perangkat desa lainnya.

"Tapi, bukannya lorong di depan rumah Azhar tanah mereka ya? Lagipula, mereka sudah berbaik hati loh, memberikan sedikit tanahnya untuk jalan kamu keluar-masuk," ujar seorang perempuan yang umurnya sepantaran dengan Rohani.

"Ya, jalan itu hanya cukup untuk motor saja. Sekarang, aku mau beli mobil, seharusnya mereka juga mau dong, memberikan lagi tanahnya lagi, agar nanti mobilku bisa keluar-masuk," ungkap Rohani.

"Ya, seharusnya anda membeli tanahnya. Bukan melulu minta," kekeh wanita yang tadi.

Rohani langsung menatap tajam ke arahnya, dan daftar musuh bertambah lagi di kamusnya.

Besoknya, perangkat desa mulai datang ke rumah Azhar dan Tari. Mereka ingin melihat dan meneliti laporan Rohani.

Namun, begitu tiba. Mereka semua hanya bisa bungkam, seraya menggeleng-gelengkan kepala. Sebab, tidak ada kejanggalan disana. Karena Azhar tidak sedikitpun, mengusik tanah milik Rohani. Bahkan, jika di teliti air hujan dari atap saja tidak jatuh ke tanah milik Rohani.

"Maafkan kami," pinta rt setelah menyampaikan maksudnya.

Azhar hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Sedangkan Tari malah mendengus kesal dengan sikap Rohani, yang dinilai kekanak-kanakan.

Karena merasa laporannya tidak ditanggapi dengan benar, Rohani mulai membicarakan masalahnya pada orang-orang kampung. Bahkan dia juga ikut menyeret beberapa perangkat desa, yang diduga telah di suap oleh Azhar.

Maka dari itu, para perangkat tidak menanggapi laporannya.

Beberapa orang malah membenarkan ucapan Rohani, apalagi mereka yang memang sering berhutang pada perempuan paruh baya itu.

Seolah-olah yang dikatakan Rohani ialah kebenaran. Bahkan, mereka tak segan-segan memanas-manasi Rohani. Alhasil, ucapan-ucapan mereka semakin membuat Rohani besar kepala.

Merasa mendapatkan dukungan, Rohani semakin gencar membicarakan Azhar dan istrinya. Bahkan, tak segan-segan, dia juga mengungkap dugaan tentang Azhar yang mengikuti pesugihan, agar mendapatkan uang banyak, supaya bisa membangun rumah.

"Sepertinya tuduhan Bu Rohani semakin tidak masuk akal deh, mereka gak mungkin melakukan hal keji itu, apalagi Azhar di kenal taat agama," ujar seorang wanita membantah pendapat Rohani.

"Ya, itu hanya tameng," cibir Rohani menatap wanita itu dengan remeh.

"Kamu mana paham sih Sur. Coba kamu pikir-pikir, masak mereka bisa membangun rumah secara tiba-tiba. Padahal, selama ini mereka numpang sama ibu Tari loh," bela adik adik kandung Rohani, bernama Nurma.

Perempuan yang dipanggil Sur, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu, menasehati orang berhati keras, harus secara lemah-lembut. Namun, sayangnya dia bukan orang yang sabaran.

Nasehat Yang Tidak Mempan

Sebulan telah berlalu, pondasi rumah Azhar sudah jadi.

Selain di bantu Tari, ayah mertua Azhar juga kerap kali membantu Azhar kala malam hari, semata-mata sedikit meringankan pekerjaan menantunya.

Azhari yang memang sudah menjadi kepala tukang, memilih mengerjakan rumahnya sendiri. Karena jujur, dia sedikit kendala dengan biaya.

Lagipula, bukankah uang yang seharusnya dibayar untuk tukang, bisa membeli barang-barang lainnya?

Tari meletakkan mie soto sesuai permintaan Azhar, kala ia istirahat dari kerjanya.

Karena hari ini, sedikit gerimis, makanan berkuah merupakan salah satu makan terenak yang enak di santap.

"Makasih," ujar Azhar menerima mangkok mie soto instan dari Tari.

Di tempat lain, lebih tepatnya di rumah Rohani. Akhir-akhir ini, Rohani merasa kesehatannya semakin memburuk.

Dia sempat pergi ke apotik untuk mencek kolestrol dan sejenisnya. Namun, walaupun dia sudah meminum banyak obat kolestrol serta asam urat, badannya masih saja terasa lemah tak bertenaga.

"Apa dugaan ku benar ya?" gumam Rohani menekan-nekan dadanya.

Tak lama kemudian anak Rohani yang bernama Amar pulang. Amar merupakan anak kedua dari Rohani. Anak pertamanya, udah meninggal beberapa tahun lalu, meninggal karena bunuh diri, akibat depresi.

"Emak kenapa?" tanya Amar meletakkan tas punggung di sofa.

"Dada emak sesak, dan kamu tahu kapan ini terjadi?" tanya Rohani menatap Amar dengan datar. "sejak Azhar dan Tari bangun rumah," lanjutnya meneliti ekspresi anaknya.

Hening.

"Mereka yang menyebabkan emakmu sakit," lanjutnya dengan memelas.

"Jangan fitnah mak, bagaimana caranya bang Azhar bisa membuat emak sakit?" tanya Amar dengan nada lembut.

Bagaimana pun, wanita di hadapannya ialah orang yang melahirkannya.

"Emak mau apa?" tanya Amar lagi, karena tahu alasan kenapa sang ibu mendesaknya untuk pulang.

"Belikan emak mobil," cetus Rohani.

"Astaga mak, hutang almarhum abang aja belum lunas, sekarang malah minta mobil," Amar menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ya, emak gak mau tahu ... Pokoknya emak mau mobil. Malu, emak sudah ngomong sama orang-orang, kalo emak mau beli mobil," cerocos Rohani.

"Mak, emak tahu kan, kenapa abang mengakhiri hidupnya? Dia tertekan mak, dia stres karena sikap mak, yang terlalu banyak nuntut." jelas Amar menatap ibunya sendu.

"Jangan salahkan aku, aku ini emakmu, dan sudah seharusnya bahkan kewajibanmu untuk menyenangkan aku. Dan kamu juga tahu, bahwa Nabi pun pernah berkata, jika ibumu, ibumu, ibumu secara tiga kali dalam ,,," cerocos Rohani.

"Iya mak, maaf ..." potong Amar, kembali mengalah.

"Belikan emak mobil," ulang Rohani.

"Aku tidak punya cukup uang untuk itu mak, bahkan usahaku sedikit sepi bulan ini," adu Amar.

Amar membuka sebuah bengkel las. Bukan membuka, tapi dia meneruskan bengkel las almarhum abangnya.

Dan dari situlah, Amar berusaha melunasi sedikit demi sedikit hutang yang ditinggalkan abangnya.

Karena sampai saat ini, ibunya tak peduli. Bahkan menutup mata, kala Amar menyindir akan hal itu.

Padahal, jika ditelaah, hutang yang ditinggalkan abangnya ialah semata-mata untuk menyenangkan ibunya.

Contohnya, seperti membelikan baju bermerek, dan juga emas-emas untuk di pamerkan.

Tak hanya itu, sang ibu juga sering menggonta-ganti sepeda motornya. Apalagi, kala melihat jika orang lain membeli motor baru.

"Makanya, kalo mau usahanya lancar, senangkan emaknya. Bahagiakan orang tua, jangan pelit!" seru Rohani, membuat sebuah luka di hari Amar.

Amar menghela napas, kemudian mengambil tasnya dan masuk ke kamar. Tak lupa, dia mengunci pintu kamar agar bisa mendapatkan sedikit ketenangan.

Inilah alasan Amar malas pulang ke rumah. Dia tak pernah di hargai. Karena menurut ibunya, uang ialah segalanya. Bahkan, menayakan kabar ataupun menawarkan makanan tak lagi pernah di dengarkan dari emaknya.

Malamnya, Rohani kembali mengeluh. Kepalanya terasa berdenyut, dadanya merasa nyeri yang teramat sangat. Dan Amar, mengajak emaknya ke rumah sakit. Karena jujur, dia khawatir. Apalagi, keringat dingin mulai terlihat di dahi ibunya.

Singkat cerita, mereka tiba di rumah sakit. Dan orang yang membantu Amar ialah Azhar. Azhar yang kebetulan masih kerja untuk mencor tiang rumahnya, tersentak kaget kala Amar meminta bantuannya.

Dan Azhar langsung berlari, bahkan tidak sempat mengganti bajunya yang kotor akibat terkena semen dan tanah.

"Makasih ya bang," ungkap Amar kala Azhar kembali masuk igd untuk pamit pulang.

"Iya, sama-sama ... Semoga bu Rohani cepat sembuh, kami akan kembali besok, sama Tari." ungkap Azhar sebelum melangkah keluar dari igd.

"Emak lihat sendiri kan, bang Azhar mau loh membantu kita tanpa pamrih. Bahkan dia membawa emak kesini pakai becaknya, dan dia juga menolak uang minyak saat aku kasih," tutur Amar pada emaknya yang pura-pura tidur.

Iya, Amar tahu ibunya pura-pura tidur. Karena saat melihat Azhar masuk. Rohani buru-buru memejamkan matanya.

"Itu hanya trik," sahutnya acuh.

Amar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, karena sadar ibunya tak mempan di nasehati.

Besoknya, para tetangga mulai mengunjungi Rohani, termasuk Tari.

Ya, Tari memilih datang bersama-sama dengan warga. Bukan sama Azhar. Karena suaminya lagi memotong bambu milik orang kampung sebelah.

"Jadi emak sakit apa?" tanya seorang tetangga yang rumahnya tepat di depan rumah Rohani.

"Lambung, dan ternyata lambungnya udah parah. Luka," ungkap Amar dengan prihatin.

"Aneh kan, kok bisa-bisanya aku terkena lambung. Padahal aku selalu sarapan di pagi hari," cetus Rohani melirik Tari sekilas, yang duduk di lantai beralaskan tikar.

"Namanya juga musibah," ungkap tetangga tadi.

"Musibah selalu ada dasarnya, mungkin saja seseorang iri dengan kesuksesan ku. Apalagi, yang pernah mendengar aku akan membeli mobil," cetusnya lagi.

"Mak," tegur Amar menggeleng-gelengkan kepalanya.

Namun, Rohani memutar mata malas. Dia semakin yakin, jika Tari menjenguknya ke rumah sakit, pasti ada niat tertentu.

Guna-guna

Seminggu kemudian, Rohani pulang ke rumah. Begitu melewati rumah Tari, dia berdecak kesal. Sekarang, beberapa mobil pengangkut tanah mulai berdatangan.

Karena mobil itu, membawa tanah untuk menambak rumah tersebut.

Karena di daerah mereka, rumah-rumah harus dibuat sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah. Disebabkan disana rawan banjir. Paling tidak, setahun sekali pasti ada banjir.

"Kamu lihat, begitu ibu masuk rumah sakit, mereka langsung punya uang untuk beli tanah," cibir Rohani memberitahu Amar.

"Mak, gak baik curigaan terus. Kita gak tahu, seberapa lama mereka udah menabung uangnya," keukeh Amar memperingati Emaknya.

"Ya, emang berapa sih penghasilan tukang?" cibir Rohani.

"Bukan tukang, tapi kepala tukang ..." ralat Amar.

"Eh, masak? Sejak kapan?" Rohani terkejut, sekaligus tak percaya.

"Sudah lama bu, bahkan mungkin sebelum menikah dengan Tari," ungkap Amar.

Jika berbicara tentang Tari. Tari merupakan gadis yang dulu sempat di puja oleh almarhum abangnya Amar.

Bahkan abangnya pernah meminta pada emaknya untuk melamar Tari, agar menjadi istrinya.

Akan tetapi, emaknya menolak mentah-mentah. Bahkan, dia tidak mengizinkan abang Amar menikah, jika belum bisa membahagiakan dirinya.

Dan mungkin, karena efek patah hati dan terlilit hutang, makanya anak pertama Rohani memilih untuk bunuh diri.

Dan sejak itulah, kebencian pada Tari di pupuk oleh Rohani. Karena dia beranggapan jika Tari sengaja menerima pinangan Azhar, dan melukai hati anak pertamanya.

Padahal, jika di telaah. Tari bahkan tidak tahu, jika almarhum sempat menyukainya. Karena jujur, keduanya jarang terlibat obrolan semenjak Tari dewasa.

"Bukannya dia mengatakan jika ia hanya tukang biasa? Kenapa sekarang menjadi kepala tukang?" Rohani masih heran.

Amar mengangkat bahunya, "bisa saja bang Azhar merendah," sahutnya santai.

"Tapi, walaupun begitu, penghasilan mu masih lebih jauh darinya kan?" tanya Rohani penasaran.

"Iya, tapi sampai sekarang aku tak punya sedikitpun tabungan," ungkap Amar menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

"Memangnya untuk apa sih tabungan? Sebaiknya semua uangmu ibu yang simpankan,"

Amar memilih tak melanjutkan pembicaraan. Dia meninggalkan ibunya dan pergi ke dapur, untuk memasak bubur.

"Tolong buatkan emak kopi," pinta Rohani dari pintu dapur.

"Tak ada lagi kopi, semuanya udah aku buang, dan kedepannya jangan pernah lagi, emak membeli kopi sachet jenis apapun itu," peringat Amar menatap lekat ke arah Rohani.

"Tapi?"

"Udah lah, mak ... Saat endoskopi kemarin, kenapa emak ngomong mau pantang semuanya?" tanya Amar menghentikan aktifitasnya yang sedang mencuci beras.

"Ya, karena sakit," sahut Rohani lirih, meninggalkan Amar seorang diri.

Azhar kembali mendapatkan tawaran dari orang kampung sebelah untuk membuat sebuah bangunan toko.

Orang itu datang langsung ke rumah, guna membicarakan harga dan juga waktu yang dibutuhkan Azhar agar tokonya segera bisa di tempati.

Dan Azhar langsung bertanya berapa luas dan juga berapa tinggi serta lebar bangunan yang diinginkan. Dia juga menghitung semuanya dengan detail.

"Untuk tukangnya, aku harus mencari sendiri, atau nak Azhar ada anak buah sendiri?" tanya orang itu meletakkan cangkir kopi yang sudah di minumnya.

"Jika diizinkan, maka aku akan membawa rekanku aja. Kebetulan, mereka memang lagi gak punya kerjaan," sahut Azhar lembut.

"Untuk biayanya bagaimana? Apakah, aku harus memberi dp dulu, atau gimana?" tanya lelaki itu lagi.

"Untuk itu, bagaimana enaknya aja. Tapi, jangan beri semuanya juga, takut kami bawa uangnya lari," kekeh Azhar bergurau.

Lelaki itu tergelak, menanggapi ucapan Azhar.

Besoknya, Azhar mulai bertanya sama lima tukang, yang biasa ikut bekerja dengannya. Dan salah satunya, ialah suami dari keponakan Rohani.

Dan beruntungnya, mereka semua langsung setuju dengan ajakan Azhar. Apalagi, semenjak Azhar membangun rumah sendiri, mereka semua seperti tak berarti. Karena tidak punya penghasilan setiap harinya.

Kabar tentang Azhar mendapatkan tawaran kerja lagi, sampai juga di telinga Rohani.

Karena di hari yang sama, keponakan Rohani datang berkunjung seraya membawakan pisang yang baru saja di panen dari kebunnya.

"Bilang sama suamimu, untuk hati-hati menerima ajakan Azhar, barang kali dia mendapatkan kerjaan itu dengan cara gak biasa," peringat Rohani pada keponakannya.

Dan keponakannya hanya menanggapi dengan senyuman. Karena dia tahu, jika bibinya kurang menyukai orang-orang yang dianggap saingan.

"Jadi, bibi kapan beli mobil?" tanya Juli, sengaja.

Sengaja mengalihkan pembicaraan dan juga ingin kompor ataupun menggali informasi.

"Nah itu, kamu lihat sendiri kan, gara-gara Azhar bikin rumah, jalanan depan tanahnya gak bisa di luaskan lagi, dan sepertinya dia sengaja. Kan, dia susah lihat orang senang," cibir Rohani dengan suara setengah berbisik.

Juli hanya mengiyakan dengan mengangguk-anggukan kepalanya. Dia tidak menanggapi lebih lanjut, selain malas, dan takut berkepanjangan. Apalagi jika mengingat nasehat suaminya, agar jangan terlalu mencampuri urusan bibinya itu.

Melihat keadaan emaknya yang sudah membaik, Amar kembali pamit pada emaknya untuk kembali kerja.

Padahal, bengkel las dengan rumahnya hanya berjarak sekitar lima belas menit jika menggunakan sepeda motor dengan kecepatan sedang. Dan Amar malah betah tinggal di bengkel. Karena disana, dia tidak melulu mendapatkan tekanan dari emaknya.

Begitu Amar tiada, Rohani langsung ke warung. Apalagi, sekarang keadaan baik-baik saja.

Rohani kembali membeli beberapa sachet kopi. Tak hanya itu, dia juga membeli mie instan, agar ada yang di makan saat bosan, ataupun lapar mendadak.

Tak lupa, minuman berenergi sebagai pelengkap belanjaannya hari ini.

Begitu tiba di rumah, hal pertama yang di lakukan Rohani ialah membuat minuman energi yang memang sangat di rindukannya. Tak lupa, dia menambahkan susu serta es batu, untuk menambah kenikmatannya.

Bahkan hari ini, Rohani melekatkan makan siangnya.

Malam harinya, Rohani mulai merasa begah di perutnya.

Sendawa beberapa kali terdengar dari mulutnya.

Dan sampai akhirnya, Rohani muntah. Muntah darah.

"Sepertinya, aku harus ke orang pintar. Aku gak mungkin terkena lambung, seperti kata dokter. Aku pasti di guna-guna, ya, aku pasti di guna-guna ..." gumam Rohani dengan tubuh yang lemah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!