NovelToon NovelToon

Perbatasan Dunia : Hukum Pemburu

Bab 1: Retakan di Langit Malam

Langit di seluruh dunia kini hanyalah kanvas retakan. Malam tanpa bintang. Dua puluh tahun yang lalu, peradaban manusia berubah selamanya. Sebuah lubang dari retakan dimensi yang menganga seperti luka di angkasa, memuntahkan makhluk-makhluk dari mimpi buruk.

Mereka datang dari dunia lain, tanpa nama dan tanpa belas kasihan. Mereka menghancurkan gedung pencakar langit, meratakan jalan, dan menyebarkan kepanikan di mana-mana. Separuh populasi musnah, dan peradaban manusia berada di ambang kehancuran total.

Namun, di tengah-tengah keputusasaan itu, harapan muncul. Beberapa manusia, entah bagaimana, mulai bangkit dengan kekuatan luar biasa. Seorang remaja bisa membangkitkan badai api dari tangannya. Seorang perawat bisa menyembuhkan luka-luka yang seharusnya fatal. Seorang tukang las bisa memanipulasi logam sesuka hati. Mereka menjadi Pemburu. Dengan kekuatan yang setara dewa, mereka berjuang, jatuh, dan bangkit kembali. Mereka adalah pahlawan yang mengorbankan segalanya, berhasil mengusir monster-monster dan mengembalikan keseimbangan yang rapuh.

Dua puluh tahun telah berlalu sejak perang besar itu. Kini, lubang-lubang retakan kecil masih muncul di seluruh dunia, tetapi tidak lagi mengancam peradaban. Mereka hanyalah luka-luka yang perlu ditutup. Tugas itu jatuh pada para Pemburu, yang sekarang menjadi pilar masyarakat, dihormati dan ditakuti.

Namun, di balik layar, rumor mulai beredar. Retakan-retakan kecil yang seharusnya stabil mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan. Seolah-olah mereka adalah mata-mata dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang sedang menunggu di sisi lain.

Arka, seorang Pemburu muda dengan kemampuan unik yang memungkinkannya merasakan energi monster, merasa tidak nyaman. Kemampuannya yang istimewa seperti sebuah lonceng alarm yang terus-menerus berdering di otaknya. Ia merasa ada sesuatu yang akan datang, sesuatu yang jauh lebih buruk dari mimpi terburuknya.

Dunia telah melupakan kengerian dua puluh tahun lalu. Mereka hanya melihat para Pemburu sebagai pahlawan, tanpa menyadari bahwa perdamaian yang ada hanyalah ilusi. Perbatasan antara dunia kita dan dunia lain tidak pernah benar-benar tertutup, dan di balik retakan yang stabil itu, sebuah kekuatan kuno menunggu untuk kembali.

°°°

Malam itu, langit Jakarta tidak seperti biasanya. Seolah semesta berpihak pada kedamaian kota, ribuan bintang bertebaran, membentuk galaksi gemerlap yang terlihat jelas tanpa terhalang polusi cahaya. Pemandangan langka ini menemani seorang pemuda, Arka, yang duduk di sebuah bangku taman. Dengan kemeja putih yang sedikit lusuh dan kaleng soda di tangan, ia menghela napas panjang. Beban hidup seorang sarjana baru setahun lamanya terasa begitu nyata. Lulus kuliah dengan nilai bagus, namun lowongan kerja seakan menghilang ditelan bumi. Pikirannya melayang, memikirkan masa depan yang tak menentu.

Tiba-tiba, kedamaian itu pecah.

Di atas langit, tepat di antara gugusan bintang, muncul sebuah retakan dimensi. Langit yang semula damai kini terkoyak, persis seperti kaca yang hancur berkeping-keping. Dari celah retakan yang menganga itu, muncul raungan mengerikan. Disusul, sesosok monster setinggi gedung pencakar langit keluar dari sana. Monster itu memiliki kulit sekeras batu, dengan tanduk melengkung dan mata merah menyala, menciptakan kekacauan di pusat kota Jakarta.

Arka, yang baru pertama kali melihat peristiwa mengerikan ini secara langsung, terkejut. Kaleng sodanya jatuh, bergulir di aspal. Keringat dingin membasahi pelipisnya saat ia menyaksikan monster itu menggerakkan lengan besarnya, merobohkan gedung di dekatnya. Kepanikan massa pecah, orang-orang berteriak histeris dan berlarian, berusaha menjauhi retakan dan monster yang baru muncul. Arka yang masih syok, tersentak dari lamunannya dan ikut berlari.

Di tengah kepanikan, dari berbagai penjuru kota, datanglah para Pemburu. Mereka muncul seperti pahlawan, melompat dari atap gedung, terbang dengan kekuatan mereka, atau berlari dengan kecepatan supersonik menuju pusat kekacauan. Senjata dan kemampuan unik mereka menyala, siap menghadapi ancaman yang datang. Melihat kedatangan mereka, sebagian warga merasa lebih tenang, tetapi tidak bagi Arka. Ia terus berlari, menjauh dari keramaian, dari ancaman, dan dari semua hal yang membuatnya takut.

Arka terus berlari, melewati jalan-jalan yang macet oleh kendaraan yang ditinggalkan, hingga akhirnya tiba di rumahnya di pinggir kota. Membuka pintu, ia langsung mengunci dan menyandarkan punggungnya di sana. Ia menutup mata, menarik napas dalam, dan menghembuskannya perlahan.

"Akhirnya..." gumamnya.

Ia memasuki kamar, menjatuhkan diri di kasur, dan menghela napas lega. Dadanya masih berdegup kencang, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia saksikan. Selama ini, ia hanya mendengar cerita tentang retakan dimensi dan monster di berita, tetapi melihatnya secara langsung adalah pengalaman yang sama sekali berbeda. Kengerian itu, teriakan orang-orang, dan kekuatan para Pemburu... semuanya terasa begitu nyata. Di bawah selimut, Arka berusaha melupakan kengerian itu dan berharap hari esok akan kembali normal.

°°°

Pagi harinya, matahari yang cerah menerobos masuk melalui celah gorden, membangunkan Arka. Ia bangkit, melupakan kengerian malam sebelumnya, dan langsung menuju dapur. Aroma roti panggang dan kopi segera memenuhi ruangan. Arka duduk di depan televisi yang menyala, menikmati sarapannya sambil menatap layar kaca.

Di layar, berita pagi disiarkan. Gambar-gambar mengerikan dari malam sebelumnya diputar berulang-ulang, menayangkan kekacauan yang terjadi di berbagai kota di seluruh dunia. Kerusakan parah, bangunan yang runtuh, dan yang paling menonjol, pertarungan epik antara monster-monster besar dengan para Pemburu. Video-video amatir menunjukkan bagaimana para Pemburu menggunakan kekuatan dahsyat mereka, melemparkan serangan energi, mengayunkan pedang yang menyala, dan terbang di udara untuk menjatuhkan para monster.

Arka menyaksikan dengan pandangan kosong. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena dunia masih memiliki para Pemburu untuk melindungi mereka. Di sisi lain, muncul rasa iri yang dalam. Ia telah menghabiskan separuh hidupnya berjuang di bangku sekolah dan kuliah, berharap mendapatkan pekerjaan yang layak. Tapi apa yang didapatnya? Kesulitan. Sementara para Pemburu, dengan kekuatan unik mereka, bisa mendapatkan kekayaan, kehormatan, dan status pahlawan hanya dengan melawan monster. Hidupnya yang kacau seakan berbanding terbalik dengan kehidupan para pahlawan itu.

Di tengah tayangan itu, berita beralih ke wawancara dengan Ketua Lembaga Pusat Pemburu, seorang pria tua yang bugar dengan setelan jas hitam elegan. Namanya Harsa Baskara. Wajahnya yang tenang dan karismatik memancarkan aura kebijaksanaan. Harsa mulai berbicara, membahas peristiwa retakan yang terjadi, dan memberikan himbauan kepada seluruh warga untuk tetap berhati-hati.

"Dua puluh tahun lalu, kita hampir kehilangan segalanya. Namun berkat kekuatan dan pengorbanan, kita berhasil bertahan," ujarnya dengan suara yang mantap. "Peristiwa semalam adalah pengingat bahwa perdamaian yang kita nikmati sangatlah rapuh. Lembaga Pusat Pemburu akan terus berjuang untuk memastikan keamanan setiap warga negara. Tetaplah waspada dan laporkan setiap kejanggalan yang Anda temukan."

Mendengar kata-kata itu, Arka terdiam. Ia mematikan televisi dan menyelesaikan sarapannya dengan pikiran yang terusik. Kata-kata Harsa Baskara, ditambah dengan pemandangan Pemburu yang bertarung, memicu pertanyaan baru di benaknya. Mengapa ia tidak memiliki kekuatan itu? Mengapa takdirnya begitu berbeda? Pertanyaan-pertanyaan itu menggerogoti pikirannya, memicu keinginan baru yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia, yang selama ini hanya ingin hidup normal, kini mulai merenungkan sesuatu yang lebih besar.

Bab 2: Gema Kegagalan dan Kengerian yang Kembali

Hari-hari berikutnya Arka habiskan untuk mencari pekerjaan. Setiap pagi ia berangkat, menjelajahi kota dari ujung ke ujung, mengirimkan CV ke berbagai perusahaan, dan mengikuti beberapa wawancara. Namun, jawaban yang selalu ia dapatkan sama: penolakan. Rasa frustrasi dan putus asa mulai menggerogoti semangatnya.

Di tengah hari, ia memutuskan untuk istirahat di sebuah kedai makan kecil, memesan semangkuk bakso dan membuka media sosial di ponselnya. Sambil melamun, ia melihat sebuah unggahan berita yang menarik perhatiannya: Organisasi Pemburu Harimau Sumatera, salah satu dari enam organisasi pemburu terbesar di Indonesia, mengadakan wawancara terbuka untuk posisi staf administrasi. Tanpa pikir panjang, Arka bergegas menghabiskan makanannya dan memesan ojek daring menuju markas organisasi tersebut.

Setelah perjalanan singkat, Arka tiba di depan gedung megah Organisasi Harimau Sumatera. Ia segera masuk dan mendaftar untuk wawancara. Ruang tunggu dipenuhi puluhan orang yang memiliki tujuan yang sama. Arka merasa kecil, teringat betapa beratnya persaingan di dunia kerja, apalagi untuk organisasi sebesar ini. Ketika gilirannya tiba, ia masuk ke dalam ruang wawancara, berharap yang terbaik. Namun, beberapa saat kemudian, ia keluar dengan wajah lesu. Hasilnya sama, ia ditolak.

Dengan langkah gontai, Arka berjalan menuju pintu keluar. Saat ia hendak melangkah keluar, sebuah suara familiar menyapanya. "Arka? Lo Arka, kan?"

Arka menoleh dan terkejut. Di hadapannya berdiri teman sekelasnya saat SMA, Rangga. Rambutnya dipotong rapi, mengenakan seragam kebesaran Organisasi Harimau Sumatera, dan aura percaya diri memancar dari dirinya. Rangga tersenyum lebar. Setelah basa-basi singkat, mereka memutuskan untuk mengobrol lebih lanjut di kantin gedung.

Di sana, Arka menceritakan semua kesulitannya, mulai dari susahnya mencari pekerjaan hingga masalah finansial yang ia hadapi. Rangga mendengarkan dengan sabar, lalu membalas cerita dengan kisahnya sendiri.

"Setelah lulus SMA, gue langsung dapat kekuatan dan menjadi Pemburu," cerita Rangga. "Awalnya berat, Arka. Tapi seiring waktu, gue terus berlatih dan sekarang berhasil menjadi bagian dari Organisasi Harimau Sumatera."

Rangga menjelaskan bahwa ia sekarang menyandang kualifikasi Pemburu tingkat C, yang terendah. "Ada banyak tingkatan kualifikasi, mulai dari C sampai S. Pemburu dengan kualifikasi S itu punya kekuatan setara negara. Di atas itu, ada tingkat SS dengan kekuatan setara benua, dan yang paling tertinggi, kualifikasi SSS, dengan kekuatan yang bisa mengubah takdir dunia," jelas Rangga dengan bangga.

Arka terperangah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa kekuatan para Pemburu memiliki tingkatan yang begitu besar, hingga mampu setara dengan kekuatan dunia.

Rangga melihat ekspresi terkejut Arka dan mencoba menyemangatinya. "Terus semangat, Arka. Lo pasti bisa dapetin pekerjaan yang lo mau," ucapnya.

Arka tersenyum pahit. "Gue udah berusaha, Ngga. Tapi sepertinya dunia enggak berpihak sama gue. Beda sama lo yang dapat anugerah kekuatan," balasnya sinis.

Mendengar itu, Rangga tertawa terbahak-bahak. "Lo pikir jadi Pemburu itu enak, Arka? Gampang dapat uang, iya, tapi di balik itu semua, gue mempertaruhkan nyawa setiap hari. Melawan monster, pulang dengan luka-luka, atau bahkan..." Rangga terdiam sejenak, wajahnya serius. "Atau suatu hari nanti, gue pulang cuma tinggal nama aja."

Arka terdiam, mendengar betapa besarnya risiko yang dihadapi oleh Rangga dan Pemburu lainnya.

"Lo harusnya bersyukur, Arka. Lo enggak harus menanggung beban itu," lanjut Rangga.

Kata-kata Rangga membuka pandangan Arka. Ia menyadari bahwa ada dua sisi mata uang dalam kehidupan para Pemburu. Ia sedikit lega, namun perasaan tertekan yang ia rasakan belum sepenuhnya hilang. Namun, ia merasa beruntung karena Rangga masih mau mendengarkan keluh kesahnya.

Waktu berlalu tanpa terasa, cahaya senja mulai meredup, mewarnai langit Jakarta dengan nuansa jingga. Setelah berpamitan dengan Rangga, Arka bergegas pulang. Setibanya di rumah, ia merebahkan diri di kursi ruang tamu dan menyalakan televisi. Seperti biasa, siaran berita dipenuhi oleh liputan seputar para Pemburu dan aktivitas mereka. Merasa muak dengan hal yang sama, Arka mematikan televisi. Kelelahan setelah seharian penuh mencari pekerjaan membuatnya terlelap di kursi itu, tenggelam dalam tidur yang lelap.

Tiba-tiba, sebuah gempa bumi mengguncang. Perabotan di rumah Arka berjatuhan, menimbulkan suara gaduh. Namun, Aska tetap tak bergeming dari tidurnya. Malam semakin larut, bulan bersinar terang, namun di sisi lain kota, kegelapan kembali merajalela.

Sebuah retakan dimensi lain muncul, kali ini di pusat kota Jakarta. Dari sana, keluarlah beberapa monster raksasa dan puluhan monster kecil. Puluhan Pemburu dari berbagai organisasi, termasuk Rangga, segera menuju lokasi. Rangga, dengan kualifikasi C-nya, bertarung di barisan belakang, berusaha menahan gelombang monster kecil yang tak ada habisnya. Luka-luka mulai bertebaran di tubuhnya, dan tenaganya terkuras habis.

Tiba-tiba, sesosok monster kuat setinggi manusia namun bertubuh kekar keluar dari retakan. Monster itu bergerak cepat, menerjang dan membunuh Pemburu dengan mudah. Perang semakin berdarah. Rangga, yang sudah terpojok dan kehabisan tenaga, terdiam dan gemetar saat monster kuat itu mendekatinya. Tekanan yang dipancarkan monster itu begitu kuat, membuat Rangga tak bisa bergerak.

Dengan satu pukulan telak, Rangga terpental, menabrak gedung di belakangnya, dan terkapar tak berdaya. Monster kuat itu, bersama monster lainnya, mulai merajalela, menghancurkan apa pun yang ada di jalannya.

Namun, harapan kembali muncul. Beberapa saat kemudian, dua sosok kuat tiba. Mereka adalah pemimpin dari dua organisasi pemburu terbesar. Pertama, Pemimpin Organisasi Harimau Sumatera, seorang pria paruh baya bernama Bara Wirawan. Dan yang kedua, Pemimpin Organisasi Besi Putih, seorang wanita berambut perak bernama Kinar Puspita. Mereka berdua berdiri di atas gedung yang tinggi, memancarkan aura kekuatan yang begitu dahsyat, mengamati kekacauan yang terjadi.

Bara Wirawan menghela napas panjang, menatap sekeliling. Pemandangan di bawah mereka adalah pemandangan kehancuran: bangunan yang hancur, jalanan yang terbelah, dan puluhan Pemburu yang terkapar tak berdaya. "Sepertinya kita kedatangan tamu yang cukup merepotkan," gumamnya, suaranya tenang namun ada nada ketegangan di dalamnya. Kinar Puspita, di sampingnya, tetap diam, tatapan matanya lurus ke depan.

Merasa kehadiran dua aura kuat di atas gedung, monster kekar yang sebelumnya mengamuk di jalanan langsung menoleh. Ia terbang dengan kecepatan tinggi, menghampiri Bara dan Kinar. Tiba di hadapan mereka, monster itu memancarkan aura intimidasi yang begitu kuat dan mengeluarkan suara berat, seperti bahasa kuno yang memekakkan telinga. "Kalian memiliki aura yang berbeda dari pada semut-semut lain," ucapnya.

"Sepertinya monster ini bisa berbicara," timpal Bara, ekspresinya tetap tenang. Kinar tidak merespons, namun tangannya sudah siap siaga di samping tubuhnya.

Aura monster itu tiba-tiba menjadi lebih pekat, berwarna merah gelap, menandakan bahwa ia siap untuk pertarungan habis-habisan. Bara merasakan tekanan luar biasa yang dilepaskan monster itu. "Sungguh tekanan yang kuat. Sepertinya monster ini memiliki kualifikasi S atau bahkan lebih tinggi," ujar Bara, tersenyum tipis. Ia lalu mengeluarkan dua bilah kerambit dari balik jaketnya. Kinar juga mengambil senjatanya, sebuah pedang panjang dengan bilah vertikal yang hampir sepanjang tubuhnya, dari punggungnya.

Pertarungan dimulai. Bara melesat dengan kecepatan super, menyerang monster itu. Namun, monster itu bereaksi dengan cepat, menghindari setiap serangan Bara. Kinar menyusul, menebaskan pedangnya. Serangan Kinar dan pukulan tangan kosong monster itu berbenturan, menciptakan gelombang kejut yang merusak area sekitar. Dibantu oleh Bara yang menggunakan kemampuan perpindahan anginnya, ia menjadi lebih cepat dan sulit diprediksi, menebas dan menyayat bagian tubuh monster itu.

Bara dan Kinar terus menyerang dengan kekuatan penuh. Tebasan pedang Kinar mengeluarkan aura, memotong bangunan-bangunan di sekitarnya. Monster itu mulai terdesak. Namun, ia tidak menyerah. Aura merah pekat menyelimuti seluruh tubuhnya, membuatnya menjadi lebih kuat. Ia menerjang kembali ke arah Bara dan Kinar. Serangan baliknya begitu kuat hingga Bara terpukul mundur, menabrak dinding gedung dengan keras. Kinar berhasil menahan serangan itu dengan pedangnya, namun ia terpental dan jatuh ke jalan. Meskipun begitu, ia masih berdiri, pedangnya bergetar.

Bara bangkit, menghela napas panjang, dan memancarkan aura yang lebih kuat. "Sungguh monster yang kuat. Aura merahnya yang pekat membuat tubuhnya semakin keras," ujarnya sambil tersenyum tipis. Monster itu terdiam, melayang di udara, mengawasi Bara. Bara kembali melesat, melepaskan semua kekuatannya. Pertarungan kembali seimbang, namun tidak lama kemudian, Bara kembali terpukul mundur.

Tepat saat Bara terlempar, Kinar sudah berada di depan monster itu. Ia mengangkat pedangnya dengan kedua tangan di atas kepala, aura putih keperakan berputar mengelilinginya, dan pedangnya mulai bersinar terang. Dengan semua kekuatannya, Kinar menebas secara vertikal.

Sebuah tebasan aura putih keperakan melesat, meninggalkan bekas tebasan sepanjang puluhan meter di arahnya, membelah bangunan dan gedung yang dilewatinya. Monster kuat itu, yang tidak bisa menahan serangan itu, ikut terbelah menjadi dua. Pertarungan pun berakhir.

Cahaya rembulan bersinar dengan tenang, menyoroti rambut putih panjang Kinar. Bara menghampirinya, "Kekuatanmu sepertinya semakin kuat, Pemimpin Kinar." Kinar hanya diam, menatap lurus ke depan.

Tak lama kemudian, retakan dimensi itu mulai menghilang, dan para Pemburu pembersih serta pihak kepolisian mulai berdatangan untuk mengamankan dan membersihkan area sekitar. Meski monster berhasil dikalahkan, kerugian yang ditimbulkan sangat besar: banyak Pemburu yang gugur, dan kota mengalami kerusakan parah. Kejadian ini menjadi pengingat yang pahit akan rapuhnya perdamaian yang ada.

Bab 3: Awal yang Baru, Luka yang Lama

Pagi berikutnya, Arka tersentak bangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan alarm di ponselnya menunjukkan pukul 7 pagi. Ia mencoba mengingat mimpi buruk yang baru saja dialaminya, tetapi detailnya kabur, hanya menyisakan perasaan tidak nyaman yang kuat.

Setelah menenangkan diri, Arka mulai merapikan barang-barang yang berjatuhan akibat gempa semalam. Ia merasa aneh, gempa itu cukup kuat, tetapi ia tidak terbangun sama sekali. Sambil merenung, ia bergegas ke kamar mandi untuk bersiap menghadapi hari yang, ia pikir, akan sama seperti hari-hari sebelumnya.

Selesai mandi, Arka duduk di depan televisi sambil sarapan. Layar kaca dipenuhi dengan berita-berita tentang kejadian semalam: retakan dimensi baru, kemunculan monster yang sangat kuat, dan banyaknya Pemburu yang gugur dalam pertempuran. Sorotan utama adalah pertarungan epik antara Pemimpin Organisasi Harimau Sumatera, Bara Wirawan, dan Pemimpin Organisasi Besi Putih, Kinar Puspita. Arka menyaksikan dengan serius, melihat dampak kehancuran yang begitu dahsyat dari pertarungan dua Pemburu kualifikasi S.

"Jadi, seperti ini kekuatan mereka," gumam Arka, matanya terpaku pada layar. "Kerusakan yang ditimbulkan bisa sebesar ini."

Berita kemudian beralih menampilkan daftar nama Pemburu yang gugur dan yang terluka. Arka melihat nama-nama itu dengan sekilas, hingga matanya terhenti pada satu nama yang sangat ia kenal: Rangga, tertera dalam daftar Pemburu yang cedera.

Jantung Arka berdegup kencang. Ia segera meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Rangga, tetapi tidak ada jawaban. Rasa khawatir memuncak, Arka tidak bisa lagi melanjutkan sarapannya. Tanpa membuang waktu, ia bergegas keluar rumah dan memesan taksi daring menuju rumah sakit khusus Pemburu, yang letaknya tidak jauh dari Gedung Lembaga Pusat Pemburu. Ia harus memastikan kondisi Rangga dengan matanya sendiri.

Setibanya di rumah sakit khusus Pemburu, Arka berlari panik, mencari kamar Rangga. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu kaca. Dari balik kaca itu, ia melihat Rangga terbaring tak berdaya di atas ranjang, selang-selang terpasang di tubuhnya, dan wajahnya pucat. Rangga terbaring dalam kondisi koma. Arka diam, mengepalkan tangannya dan menggertakan giginya, mengingat Rangga adalah satu-satunya teman baiknya semasa sekolah, teman yang selalu ada di sampingnya. Namun, di samping ranjang Rangga, ia melihat sepasang orang tua yang duduk dengan wajah sedih. Arka merasa sedikit lega, setidaknya Rangga masih memiliki keluarga yang menyayanginya. Sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Orang tua Arka tewas dalam insiden retakan dimensi yang sama, meninggalkan Arka sebatang kara sejak kecil.

Arka memutuskan untuk tidak masuk, tidak ingin mengganggu orang tua Rangga yang sedang berduka. Ia berbalik, berjalan keluar dengan langkah pelan. Pemandangan di sepanjang koridor rumah sakit membuatnya semakin muak. Banyak Pemburu lain yang terbaring dengan luka-luka parah. Kebencian Arka terhadap dunia yang sekarang, di mana manusia dipaksa untuk bertahan hidup di balik bayang-bayang kengerian monster dari alam lain, semakin mengakar.

Arka keluar dari rumah sakit, berjalan melamun di sepanjang jalanan yang ramai. Suara klakson mobil yang memekakkan telinga menyadarkannya dari lamunan. Ia berjalan tanpa tujuan, hingga matanya terhenti pada sebuah kedai kopi yang baru dibuka. Di kaca depannya, terpampang sebuah poster kecil bertuliskan, "Dibutuhkan pekerja sampingan". Tanpa pilihan lain dan didorong oleh kebutuhan untuk bertahan hidup, Arka mengambil keputusan. Ia akan mendaftar untuk bekerja di sana.

Mungkin, ini adalah awal yang baru untuknya. Atau mungkin, ini hanyalah cara untuk bertahan dari luka lama yang terus menggerogoti.

°°°

Pagi harinya, Arka bersiap-siap dengan perasaan campur aduk. Ini adalah hari pertamanya bekerja setelah sekian lama, meskipun hanya sebagai pekerja sampingan di sebuah kedai kopi. Ia mengenakan seragam barunya dan berangkat, berharap pekerjaan ini bisa memberinya sedikit kestabilan dalam hidupnya yang penuh ketidakpastian.

Di saat yang sama, di ruang rapat utama Gedung Lembaga Pusat Pemburu, suasana tegang menyelimuti. Semua perwakilan dari enam organisasi pemburu terbesar di Indonesia berkumpul. Pintu terbuka, dan Ketua Harsa Baskara memasuki ruangan bersama sekretarisnya, mengambil tempat di kursi tengah yang telah disediakan.

Harsa memulai pertemuan dengan nada serius. "Baiklah, kita mulai saja rapatnya," ucapnya. "Melihat banyaknya retakan yang terjadi di seluruh penjuru Indonesia belakangan ini, saya menghimbau agar enam organisasi terbesar ini memperluas area penjagaan. Kita harus meminimalisir korban dari penduduk sipil."

"Seperti yang kalian semua tahu," lanjutnya, "retakan dimensi bisa terjadi kapan saja dan di mana saja tanpa peringatan. Oleh karena itu, kita juga perlu memperluas program edukasi bagi masyarakat sipil agar mereka tahu tanda-tanda awal dari retakan dimensi."

Seorang perwakilan dari salah satu organisasi mengangkat tangan. "Ketua Harsa, bukankah retakan dimensi tidak bisa diprediksi oleh alat apa pun?" tanyanya.

Harsa mengangguk. "Itu benar. Tidak ada alat yang dapat mengetahui kapan retakan akan terjadi. Namun, sebelum retakan dimensi yang lebih besar muncul, biasanya ada tanda-tanda retakan dimensi kecil yang mendahuluinya. Itu memberi kita waktu setidaknya sepuluh menit hingga satu jam untuk bereaksi. Meskipun ada juga retakan yang terjadi secara tiba-tiba, sebagian besar membutuhkan waktu untuk terbentuk," jelas Harsa.

"Tugas kita adalah melatih masyarakat untuk mengenali tanda-tanda ini dan melapor secepatnya," tambahnya.

Suasana rapat menjadi semakin serius. Para pemimpin organisasi mengangguk, memahami beratnya tugas yang menanti. Tekanan semakin meningkat. Peristiwa semalam, dengan banyaknya korban Pemburu, adalah bukti nyata bahwa ancaman dari dunia lain semakin besar. Lembaga Pusat Pemburu harus bertindak cepat sebelum segalanya kembali kacau.

°°°

Hari-hari Arka kembali berjalan normal, disibukkan dengan pekerjaan barunya sebagai barista paruh waktu di sebuah kedai kopi. Terkadang ia masuk pagi, kadang siang, namun rutinitas itu memberinya sedikit ketenangan. Saat ia berjalan pulang di suatu sore, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari Rangga. Jantung Arka berdebar kencang saat ia membukanya. Rangga sudah sadar dari komanya.

Tanpa membuang waktu, Arka bergegas menuju rumah sakit khusus Pemburu. Ketika ia tiba di kamar Rangga, ibu Rangga yang sedang duduk di sampingnya langsung keluar, memberikan privasi bagi kedua sahabat itu. Arka duduk di kursi sebelah ranjang Rangga, perasaannya campur aduk antara sedih dan lega. Sedih melihat luka di tubuh Rangga, namun lega karena sahabatnya baik-baik saja.

Rangga menghela napas, tersenyum kecil. "Yaa, inilah resikonya, Arka," ucapnya sambil tertawa pelan. Tawanya membuat Arka merasa sedikit lebih tenang.

"Gue udah dapat pekerjaan sampingan di kedai kopi," cerita Arka, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Rangga mengangguk, lalu mulai menceritakan kejadian malam itu dengan antusias. Ia bercerita dengan heboh tentang bagaimana ia melawan monster-monster kecil, namun saat ia sampai pada bagian pertemuannya dengan monster yang sangat kuat, wajahnya berubah. Matanya menerawang, tangannya gemetar, dan ekspresi traumatis muncul di wajahnya.

"Monster itu... auranya mengerikan, Arka. Gue enggak bisa gerak. Rasanya kayak semua energi di tubuh gue disedot habis," bisik Rangga, suaranya bergetar.

Arka yang melihat kondisi Rangga, segera menenangkan. Ia menepuk bahu Rangga. "Syukurlah lo masih hidup, Ngga. Lo udah berjuang keras," ucapnya, mencoba memberi semangat. "Lo harus bersyukur karena lo selamat. Itu yang paling penting."

Rangga menatap Arka. Matanya masih menyimpan ketakutan, namun perlahan ia mengangguk. Pertemuan itu mengukuhkan ikatan persahabatan mereka, tetapi juga membuka mata Arka lebih jauh tentang realita keras yang harus dihadapi oleh para Pemburu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!