Suasana kelas pagi itu riuh. Anak-anak duduk dalam kelompok kecil, beberapa mengobrol seru, sebagian lagi bercanda seolah sedang di ruang tamu. Ada yang berdiri di depan kelas, duduk di meja guru sambil menirukan gaya mengajar.
Tiba-tiba pintu terbuka. Spontan semua murid berhamburan kembali ke tempat duduk masing-masing, tergopoh-gopoh merapikan posisi.
Seorang guru masuk dengan langkah tenang. Di sampingnya berdiri seorang murid perempuan dengan kepala tertunduk, rambut hitamnya menutupi sebagian wajah.
“Selamat pagi, anak-anak!” sapa guru itu lantang.
“Selamat pagi, Pak Guru!” jawab seluruh murid bersamaan.
“Sebelum kita mulai pelajaran dan berdoa, Bapak ingin memperkenalkan teman baru kalian,” ujar Pak Edi sambil menoleh pada gadis di sampingnya. “Silakan, Nak, perkenalkan dirimu.”
Gadis itu mengangkat wajahnya pelan. Suaranya lirih saat ia berkata, “Halo, aku Arunika.”
“Hah? Apa?” celetuk salah satu murid di bangku tengah sambil mencondongkan tubuh ke depan.
“Tadi dia ngomong, Pak?” lanjutnya dengan ekspresi polos yang sontak membuat seluruh kelas tergelak.
“Cukup!” suara Pak Edi membungkam tawa dalam sekejap.
“Silakan duduk, Arunika. Maaf ya, kursimu di sebelah Raka,” lanjut Pak Edi sambil menunjuk bangku kosong di samping seorang murid lelaki yang duduk menyendiri dengan hoodie putih menutupi kepalanya.
“Raka, lepas hoodiemu!” seru Pak Edi.
Raka mendesah pelan, lalu menuruti perintah. Ia menyingkap hoodie-nya, memperlihatkan wajah datarnya yang tampak enggan berinteraksi.
Arunika melangkah pelan menuju bangkunya. Ia duduk di sisi Raka, menjaga jarak seperlunya. Ketua kelas lalu memimpin doa, dan pelajaran pun dimulai.
Satu jam setengah berlalu. Bel istirahat berbunyi nyaring. Pak Edi keluar kelas, diikuti murid-murid lain yang langsung tumpah ruah ke luar ruangan.
Arunika tetap di kursinya, membuka tas, lalu mengambil kotak bekal kecil. Ia melangkah cepat menuju taman belakang sekolah. Sebuah pohon akasia tua berdiri kokoh, menjadi tempat teduh yang sepi—cocok untuknya menyendiri.
Ia duduk bersila, membuka bekalnya, lalu mulai menyuap pelan. Angin menerbangkan helaian rambut ke wajahnya. Dengan sabar, ia menyibakkan rambut itu sambil mengamati seekor kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong.
“Indahnya,” gumamnya lembut.
“Tapi bakal lebih indah kalau rambutmu diikat,” ucap sebuah suara dari belakang.
Arunika tersentak. Ia menoleh.
Raka berdiri di sana, tangannya mengeluarkan karet rambut dari saku celana. Tanpa menunggu izin, ia menjangkau rambut Arunika dan mengikatnya menjadi ekor kuda.
Gadis itu membeku, terlalu terkejut untuk protes.
“Itu lebih baik,” katanya singkat, lalu duduk di sebelahnya.
Refleks, Arunika menggeser tubuh sedikit menjauh.
“Maaf,” ujarnya lirih.
Raka menatapnya sebentar lalu mengulurkan tangan.
“Aku Raka. Raka Mahendra.”
Arunika ragu sejenak sebelum akhirnya menyambut jabatan tangannya.
“Arunika,” ucapnya pelan.
“Hanya Arunika?” tanya Raka.
Gadis itu mengangguk. Tak ada kelanjutan percakapan. Mereka terdiam sampai bel berbunyi lagi. Raka berdiri dan kembali ke kelas tanpa berkata-kata. Arunika menatap bekalnya yang belum habis. Ia menghela napas panjang.
Ia menutup bekalnya dan kembali ke kelas. Hari itu berlalu tanpa percakapan lagi antara mereka
Pulang sekolah, Arunika dijemput oleh seorang pria berjaket coklat tua dengan motor tua yang sudah kusam. Bukan karena tak mampu membeli yang baru, namun Purnomo—ayah Arunika—percaya selama motor itu bisa berjalan, maka tak perlu diganti.
“Ayah,” sapa Arunika sambil menaiki motor.
“Iya, Nak,” jawab Purnomo dengan senyum lelah namun tulus. Arunika memeluk pinggang ayahnya erat, dan kendaraan roda dua itu melaju meninggalkan sekolah.
Perjalanan hanya memakan waktu lima belas menit. Rumah mereka sederhana—satu lantai, dengan halaman luas yang penuh tanaman. Sang ibu, Bu Eka, sangat telaten mengurus kebun kecil itu. Bunga dan sayur tumbuh rapi, menjadi wajah rumah yang hangat dan bersahaja.
"Assalamualaikum!' seru Purnomo memberi salam ketika masuk rumah begitu juga Arunika.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh!" balas Eka dari dapur.
Perempuan berusia setengah abad lewat nampak datang menyambut suami dan putrinya. Senyumnya lebar dan langsung menyambar tangan sang suami dan mencium punggung tangannya dengan lembut.
"Ayah pulang!"
Purnomo mengelus kepala istrinya dan mengecup keningnya dengan mesra. Hal itu membuat pipi dua wanita kemerahan menahan malu.
"Ayah!" protes Arunika cemberut.
Sungguh mimik dan seluruh ekspresi tenang dan diam milik Arunika berubah ketika bersama kedua orang tuanya. Purnomo terkekeh, ia mengacak rambut putrinya yang masih terikat.
"Eh, perasaan tadi sekolah. Rambutmu digerai?" tanyanya menyadari.
Arunika sejenak mematung, ia bingung ingin menjawab apa. Mulutnya hendak berkata jujur, namun Eka, sang ibu memilih menyudahi perkara yang tak perlu diperdebatkan itu.
"Sudah tidak apa-apa Ayah. Ayo, bersihkan diri dan makan. Sudah itu kita jamaah sholat dhuhur ya?!" ujarnya.
Arunika bernafas lega, ia pun berganti pakaian dan makan bersama. Walau setelahnya ia bingung dengan bekalnya yang tak habis.
Eka menatap bekal putrinya yang sisa sedikit. Tak biasanya, Arunika menyisakan makanannya.
"Bunda, maaf ya," sesalnya lirih. Eka menoleh.
"Tadi ada teman ikut duduk bersama. Jadi nggak enak jika makan kalau nggak nawarin," jelas Arunika. Eka tersenyum lalu menggeleng.
"Baiklah Nak, apa kamu mau besok bawa bekal dua? Agar temanmu itu ikut makan bersama?" tanyanya lembut.
"Apa itu tidak memberatkan Bunda?" tanya Arunika tak enak hati.
"Tidak sayang!" jawab Eka.
"Bunda, nggak keberatan sama sekalii!" lanjutnya tegas.
"Tapi takutnya, Raka ...," Arunika menutup mulut, ia keceplosan.
Eka menatap anak gadisnya, sebuah ingatan melintas. Kehadiran buah hatinya yang datang setelah delapan tahun penantian.
Arunika lahir di saat rona matahari baru terbit. Suara tangisannya yang kecil, membuat ia dan suami begitu haru menyambut kehadirannya.
Purnomo, sang suami menamainya Arunika, sepertinya artinya sinar matahari pagi yang menyinari kebahagiaan mereka.
Kini bayi cantik itu sudah tumbuh dewasa dan jadi remaja. Wajah Arunika yang bulat telur, kulitnya putih bak pualam. Rambutnya lurus panjang sepunggung. Eka telah merawatnya penuh kasih.
"Rupanya putri Bunda, sudah besar," ujar pelan sambil mengelus pipi putrinya.
"Bukan begitu Bunda!" sanggah Arunika.
Tapi gadis itu tak dapat berkata apa-apa lagi. Eka mengecup pipi Arunika yang lembut dengan penuh kasih sayang.
"Bunda tak marah kok. Tapi, satu pesan Bunda. Jangan tertinggal pelajaran! Ayahmu pasti marah besar!" peringatnya.
"Bunda ...," rengek Arunika putus asa.
"Sudah sana! Tidur!" ujar Eka memberi perintah.
"Piringnya?" Arunika ingin mencucinya.
"Sudah, biar Bunda saja!" tolak Eka.
Arunika menurut, ia pun masuk kamar. Menuju meja belajar dan menyusun buku-buku pelajaran untuk esok.
Arunika pun naik tempat tidurnya, kamarnya berukuran 4x7 meter². Dengan nuansa biru langit dan ada lukisan awan putih. Di sudut kamar ada hiasan berbentuk burung menggantung dari kertas origami warna-warni.
"Raka Mahendra!" gumamnya pelan sebelum ia merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata.
bersambung
Pagi hari, semua sibuk di kelompok masing-masing. Tentu saja di kelas itu ada circle pertemanan. Geng pintar, geng kaya dan geng cantik.
Arunika yang introvert, tentu hanya diam duduk sambil membaca buku pelajarannya. Guru belum masuk, tentu kelas itu bising sekali.
Arunika melirik bangku sebelahnya yang masih kosong. Sedikit gelisah karena tadi ia membawa bekal juga untuk Raka.
'Kenapa Bunda maksa tadi!' keluhnya dalam hati.
Tak lama, Raka masuk dengan langkah tergesa-gesa. ia seperti dikejar hantu, mukanya pucat, rambutnya acak-acakan. Ia langsung duduk lalu menghela nafas kasar.
Tak lama Bu Guru matematika masuk, wajah ya keras. Ia menatap tajam Raka yang baru datang.
"Andai kau telat sedetik saja!" ujarnya dingin.
"Siap! Berdiri!" seru ketua kelas.
Semua anak serempak berdiri, mengucap salam dan berdoa. Setelah itu kami duduk dengan tertib.
"Ada anak baru di sini?" tanya Bu Guru menatap Arunika.
Arunika mendadak kaku, wajahnya langsung pias. Ia berdiri takut-takut.
"Sa-saya Bu!" sahut Arunika terbata.
"Selamat datang Nak. Kejar pelajaran ya! Ibu tidak mau kau ketinggalan pelajaran Ibu!" ucapnya penuh ketegasan.
"Ba-baik, Bu!" jawab Arunika takut-takut.
"Baik, sekarang buka bukunya. Kita akan adakan adu cepat!" seru Bu Guru bernama Meneria Hutagaol.
Semua murid sedikit mengeluh, tapi tak ada yang berani membantah. Pelajaran berlangsung damai, semua berusaha menjawab dengan tepat pertanyaan Bu Mener, begitu panggilannya.
Arunika puh berusaha mengimbangi, walau ia lebih banyak diam. Lalu bel pun berbunyi, semua murid tentu bernafas lega.
"Jangan sedih anak-anak. Selepas istirahat, kalian masih ketemu Ibu!" ujar Mener menyeringai.
Semua murid tegang, Meneer tertawa ketika meninggalkan kelas. Setelah itu barulah semua berisik.
"Gila, Bu Mener!"
Arunika kembali ke taman, kali ini ia.membawa tasnya. Memakan dengan tenang, walau sesekali ia melirik ujung koridor sekolah. Raka tak mendatangi nya seperti kemarin. Hingga bekalnya habis. Arunika menatap boks satunya yang masih lengkap isinya.
"Maaf, Bunda!" gumamnya pelan.
Ketika ia masuk, Arunika mendapati Raka tengah meletakkan kepalanya di meja. Arunika duduk di sisinya pelan, nampak nafas teratur terdengar dari mulut Raka. Rupanya ia tertidur, Arunika pun tak berniat membangunkan nya.
Namun sepanjang hari itu, Raka tetap tak bersuara. Tak ada sepatah pun kata yang keluar dari mulutnya, seakan dunia telah menghapus hak bicara yang pernah dia miliki. Arunika mencoba menoleh beberapa kali. Sekadar menatap punggung Raka dari bangkunya, berharap ada sedikit isyarat balasan atas senyum dan sapanya pagi tadi. Tapi Raka seperti tak melihatnya.
Saat pelajaran Matematika, Bu Mener masuk dengan tatapan tajam yang sudah familiar. Ia tak suka murid-murid yang diam. Dan hari itu, ia menunjuk Raka untuk maju ke depan dan menjelaskan rumus yang baru saja diterangkannya di papan tulis.
"Raka Mahendra, kamu, ke depan," tegasnya.
Raka menoleh, berdiri pelan. Langkahnya tetap tenang, tetapi matanya kosong. Ia berdiri di depan kelas, menatap papan tulis… lalu diam. Lima detik. Sepuluh detik. Bu Mener mengetuk papan dengan spidolnya.
"Apa kamu tidak mendengarkan tadi? Jelaskan, cepat!"
Namun Raka tetap diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hanya napasnya yang terdengar pelan, seolah-olah ia sedang menahan sesuatu yang tak mampu dijelaskan.
"Minus lima," ucap Bu Mener akhirnya. "Kembali ke tempat dudukmu."
Raka hanya mengangguk. Tak ada protes, tak ada penolakan. Ia berjalan kembali ke bangkunya dan duduk tanpa ekspresi. Seisi kelas hanya bisa saling pandang, heran, tapi tak berani bertanya.
Saat itu, Arunika merasa jantungnya ikut mengecil. Ia kecewa, entah pada siapa. Pada Raka, yang tak menunjukkan apa-apa. Atau pada dirinya sendiri, yang terlalu berharap dari sebuah senyuman di pagi hari. Harapan itu begitu tipis, tapi cukup untuk membuat langkahnya ringan. Dan kini, ia merasa langkah itu tertarik kembali ke bumi.
Pelajaran terus berlanjut, dan giliran Arunika yang ditunjuk. Bu Mener sepertinya ingin menguji ulang siapa saja yang benar-benar memperhatikan. Arunika berdiri, menatap soal yang tertulis, dan entah mengapa… kata-kata di benaknya berhamburan seperti kepingan kaca yang pecah.
"Ayo jawab Arunika!" suruh Bu Mener dengan suara keras.
Jantung Arunika seakan mau lepas mendengar suara keras itu. Tangannya saling meremas mulutnya terbuka tapi tak ada satupun suara keluar.
"Dua puluh tiga," jawabnya tapi seperti angin yang berembus.
Bu Mener hanya menggeleng, ia tak mendengar jawaban Arunika yang sebenarnya tepat.
"Minus dua," ucap Bu Mener datar. "Duduk."
Arunika mengangguk pelan. Ia tahu ia mampu, tapi pikirannya tak bisa dikendalikan. Ia kecewa—bukan pada guru itu, tapi pada dirinya sendiri. Mengapa selalu gugup? Mengapa selalu diam, padahal otaknya bisa menjawab dengan benar?
Di luar kelas, langit terlihat kelabu. Seperti ikut memantulkan suasana hatinya.
Arunika menunduk sepanjang jalan pulang. Raka berjalan lebih dulu, seperti biasa. Tak melihat ke belakang, tak menoleh ke siapa pun. Arunika tahu, hari ini hatinya sedang tidak ingin bicara. Tapi ia tak tahu bahwa dalam diamnya, Raka mungkin sedang berperang hebat dalam dirinya sendiri.
"Nak!" Purnomo datang menjemputnya.
Arunika naik tanpa kata-kata, pikirannya berkecamuk. Purnomo menatap putrinya dari kaca spion, ia sangat tau jika putrinya tak baik-baik saja.
Ketika sampai, mereka masuk sambil memberi salam. Kali ini, Arunika bertambah gelisah, bekal untuk Raka masih utuh.
"Nak!" panggil Purnomo lembut.
Arunika menengadah, matanya berkaca-kaca. Hal itu tentu membuat kedua orang tuanya cemas.
"Nak, ada apa?" tanya Eka khawatir sambil mendekat begitu juga Purnomo.
"Bunda ... Maaf," ujar Arunika lirih.
"Ada apa, memang apa yang kamu perbuat, Arunika?" tanya Eka gusar.
"Bu, tenang ya!" Purnomo menenangkan istrinya.
"Bekal untuk teman Arunika tidak dimakan ...," jawab Arunika sangat lirih.
"Teman?" Purnomo menaikan alisnya.
"Siapa?" lanjutnya penasaran.
"Raka ...," jawab Arunika berbisik.
"Siapa?" tanya Purnomo lagi tak mendengar jawaban putrinya.
Kali ini giliran Eka yang menenangkan suaminya, ia mengerti apa yang terjadi. Dengan hati-hati. Eka menjelaskan segalanya pada suaminya.
"Oh, jadi tadi kamu bawa bekal juga buat teman kamu. Karena kemarin, teman kamu datang dan tak makan?" Arunika mengangguk pelan.
Purnomo menghela nafas panjang, bukan maksudnya ia melarang sang putri bergaul dengan teman-teman, baik itu perempuan atau laki-laki. Tapi satu hal garis keras yang ia buat, Arunika dilarang pacaran selama menjadi murid sekolah.
Usai sholat berjamaah, Arunika merapikan semua pelajaran untuk besok. Setelahnya, ia pun merebahkan dirinya di atas kasur. Selintas wajah membekas di ingatannya.
"Raka Mahendra ... Kamu tadi kenapa?" tanyanya lirih.
Sementara itu di sebuah rumah, Raka mengunci pintu rapat-rapat. Kedua orang tuanya tengah bertengkar hebat. Remaja itu menutup telinganya dengan bantal.
"Tolong diam," bisiknya pelan.
bersambung
Masih di kediaman Raka, sang ibu membangunkan putranya. Satu malam Raka belum makan, sang ibu sedih. Akibat keegoisan ia dan suami. Raka tak diperhatikan sejak kemarin.
Rana menatap putranya yang tertidur di atas sajadah. Hatinya sedih, ia merasa sangat bersalah. Perlahan Rana mengecup kening putranya lembut.
"Bangun sayang. Ayo sekolah!" Raka mengerang, tubuhnya sedikit sakit.
Perlahan matanya mengerjap, ia menatap ibunya. Terlihat mata basah sang ibu dan mimik rasa bersalah.
"Bu?"
"Iya Nak," sahut Rana.
"ibu!" Raka memeluk tubuh ibunya erat-erat.
Keduanya langsung menangis, Rana pun mengucap kata maaf pada putranya. Doddy sang ayah yang mendengar tangisan dari atas langsung bergegas. Ia menatap istri dan anaknya saling berpelukan. Kini ia langsung merasa bersalah.
"Subhanallah!" ujarnya lirih lalu ikut memeluk istri dan anaknya.
Mereka ber tangisan, Doddy juga meminta maaf pada putranya. Akibat kesalahan pahaman, membuat ia dan istrinya mengabaikan Raka kemarin.
"Ayo, ini sudah siang! Bapak antar kamu ke sekolah!" Ujar Doddy dengan suara bindeng.
Raka tersenyum, ia pun gegas mandi dan merapikan buku-buku pelajaran, dibantu ibunya. Setelah itu ayah dan anak pun berangkat tanpa sarapan.
'Pak, nanti Ibu bawa makan siang ke kantor ya!' seru Rana.
"Iya,.Bu!" Raka dibonceng ayahnya, motor pecex warna putih itu pun melaju.
Raka sampai bersama dengan yang lain, begitu juga Arunika. Mereka berjalan beriringan ke kelas.
Mereka banyak yang masih mengobrol, sementara Raka memilih mengerjakan pekerjaan rumah yang belum sempat ia kerjakan.
Tepat guru masuk, Raka selesai dengan pekerjaan rumah. Semua berdiri sesuai instruksi ketua kelas. Berdoa dan memberi salam.
"Ayo duduk! Sekarang taruh ke depan buku tugasnya!" suruh Pak Guru Agama.
Semua mengumpulkan buku ke depan secara estafet. Tak ada yang bicara saat Pak Guru bernama Sam'un ini mengajar. Selain galak, Pak Sam'un juga guru killer. Ia tak segan mengeluarkan murid dari kelasnya jika tak fokus atau ribut.
Bel istirahat berbunyi, semua lega. Beban yang ada dipundak mendadak hilang setelah selama dua jam setengah belajar. Pak Sam'un pun keluar tanpa mengomel, karena semua murid belajar baik hari ini.
Seperti biasa Arunika gegas ke taman sekolah dan duduk di bawah pohon akasia tua. Matahari sedikit menyengat, bayangan pohon tak mampu menaungi Arunika yang ingin berteduh di bawahnya.
"Duh, duduk di mana ya?" tanyanya sambil mencari tempat yang sedikit teduh.
Arunika menatap tempat duduk dari batu, di sana ada pohon jambu yang rindang dan mampu menaunginya dari panas matahari. Gadis itu duduk di sana walau tak nyaman.
"Kenapa kau tidak makan di kelas saja, atau di kantin?" sebuah suara mengejutkan Arunika. Raka datang dan langsung duduk di atas rumput. Arunika merasa tak nyaman jka ada orang lain. Raka dapat paham akan hal itu.
"Apa aku perlu menyingkir?" tanyanya yang langsung dibawah gelengan Arunika.
"Tapi maaf ya kalau aku sambil makan," ujar Arunika lirih meminta ijin.
"Aku belum sarapan," ujar Raka yang menghentikan suapan Arunika.
Dua netra saling tatap, tapi perlahan, Raka terkikik geli. Ia bangkit dan mengikat rambut Arunika. Sekali lagi, Arunika tak sempat menolak.
"Kamu cantik," puji Raka lalu pergi begitu saja.
Wajah Arunika merona, ia memegang pipinya yang memanas. Sungguh, kecuali ayahnya, baru Raka, pria asing, yang memujinya.
Pulang sekolah, tak ada percakapan yang berarti, Raka hanya mengangguk ketika menatap Arunika. Remaja itu naik ojek langganan, sementara Arunika dibonceng ayahnya.
Arunika pun pulang tanpa banyak bicara. Ia seakan tak mengerti apa maksud Raka. Arunika mengira Raka malu jika memperlihatkan perhatiannya.
"Ya sudah, lagi pula Raka nggak ganggu kok!' gumamnya pelan.
Keesokan hari pun sama, kali ini Raka lebih pagi datang di banding murid-murid yang lain. Remaja itu tengah menghabiskan rotinya. Tak lama, satu persatu murid datang begitu juga Arunika.
Mereka duduk dengan tenang, sampai guru datang. Semua belajar setelah berdoa. Pelajaran hari ini adalah pelajaran kimia.
Pak Ruli guru kimia, masih muda dan tampan. Para murid perempuan tentu terus-terusan menatap guru tampan itu.
"Baik anak-anak, kerjakan ya soal di depan, setelah itu kumpulkan!" suruh Pak Ruli lembut.
Arunika nampak menikmati kelembutan dari Pak Guru Kimia itu. Usai mengerjakan tugas, mereka mengumpulkannya ke depan.
Kriiiing! Bel pun berbunyi, semua anak perempuan kecewa karena Pak Ruli hanya satu mata pelajaran hari ini.
"Pak tambah jam Pak?!" pinta salah satu murid perempuan.
Pak Ruli hanya tersenyum saja, lalu ia pun pergi dari kelas. Beberapa murid laki-laki tampak kesal. Tentu saja, ketampanan mereka jauh dari tampannya Pak Ruli.
"Kamu sama genitnya ya sama mereka?" tuduh Raka pada Arunika.
"Hah, apa?" Arunika tentu kaget dituduh sedemikian rupa.
Raka tampak marah, Arunika terheran-heran dengannya. Walau ia tak peduli, Arunika kembali membawa bekalnya ke taman.
Kali ini ada beberapa siswa ikut nongkrong di sana. Arunika hendak berbalik.
"Eh, itu dia si setengah bisu!" seru salah satunya.
Arunika tak menghiraukan sama sekali. Kakinya tetap bergerak meninggalkan kumpulan itu.
"Hei tunggu!" satu tangan menahan pundak Arunika.
"Ada apa?" tanya Arunika lirih.
'Hah? Kamu beneran bisa ngomong?" tanya siswi itu tak percaya.
"Aku tidak bisu!" sanggah Arunika pelan.
"Ck! Ck! Ck! Nggak kedengaran. Apa bisa lebih keras lagi?" tanya siswi itu setengah meledek.
Yang lainnya tertawa, Arunika memilih untuk pergi. Tapi siswi itu sepertinya enggan melepas Arunika begitu saja.
"Eh jangan pergi dulu dong!" siswi itu menarik lengan Arunika hingga bekalnya terjatuh lalu menimbulkan bunyi ....
Prang! Arunika terkejut bukan main, bekalnya pecah dan isinya berserakan di tanah.
"Tuh, kamu sih. Coba kamu nggak pergi!" sahut siswi itu lalu tertawa meledek.
"Kalian itu memang pengganggu!" seru seseorang yang Arunika kenali suaranya.
Raka menatap kumpulan siswi itu yang kini menutup mulut. Ia mendekati Arunika yang jongkok, punggung Arunika bergetar hebat, tanda ia menahan tangis.
"Ayo, kita lapor guru BP! Biar mereka dihukum!" ajak Raka menarik lengan Arunika.
"Cieee yang ngebelain pacarnya!' ledek salah satu siswi sambil cekikikan.
"Apa kamu bilang!" teriak Raka murka.
"Raka, sudah!" larang Arunika, matanya basah. Ia begitu sedih.
"Tapi mereka gangguin kamu!" seru Raka tak terima.
"Aku tidak apa-apa! Asal jangan kamu yang kenapa-kenapa karena menyerang anak perempuan," ujar Arunika tak masalah.
"Cieee ... saling menguatin nih yee!" ledek siswi itu dan semua temannya tertawa terbahak-bahak.
Arunika sudah mengambil bekalnya yang rusak. Ia mengambil sapu lidi dan membersihkan makanan yang tumpah.
"Wah, cocok banget jadi tukang bersih-bersih sekolah!" ledek salah satu siswi lagi dan mereka tertawa.
Hingga ....
"Kalian semua! Ikut ke ruang BP!" teriak salah seorang guru yang tiba-tiba datang.
Keempat siswi terdiam dengan muka pucat. Raka ada di sana, ia lah yang melaporkan semuanya.
'Dasar pengadu!" gerutu salah satu siswi. Raka hanya menjulurkan lidahnya meledek.
"Makasih ya Raka!" ujar Arunika tulus.
Bersambung.
ah adakah bibit-bibit cinta?
next?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!