Gadis cantik yang sedang berdiri di balkon kamarnya, menatap sendu ke arah taman belakang, dimana di sana ada keluarganya yang sedang berkumpul, mereka bersenda gurau bak keluarga bahagia lainnya, tanpa perduli dengan gadis cantik itu.
Ya dia Rindu, gadis cantik yang tidak pernah terlihat di mata keluarganya, orang satu satunya yang perduli kepadanya hanya mendiang sang nenek, semenjak neneknya tiada Rindu hanya merasakan kesepian dalam hidupnya.
"Huuuffff.... Aku juga ingin berkumpul bersama mereka." gumam Rindu Lirih.
Tidak kuat menatap pemandangan yang menyayat hati itu, Rindu memilih masuk ke dalam kamarnya, lalu gadis cantik itu mengambil kertas kosong dan pensil.
Untuk menghilangkan rasa sakit hatinya, Rindu mengalihkan perhatiannya Rindu menuangkan segala macam ide di kepalanya, ke kertas putih polos itu.
"Wahhh.... Cantik sekali." gumam Rindu yang puas dengan hasil karyanya.
Ting....
Sebuah pesan masuk ke hpnya.
*Haiii... Cantik, kamu sedang apa?*
Rindu tersenyum bahagia membaca pesan dari sahabatnya.
*Biasalah, ngapain lagi.* balas Rindu.
*Kita keluar yuk... Cari keperluan untuk kuliah nanti.* masuk lagi pesan ke hp Rindu.
Tanpa pikir panjang Rindu mengiyakan pesan itu dia bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Rindu keluar dari kamarnya dengan memakai rok levis semata kaki, dan kaos putih, tak lupa sepatu kets senada dengan bajunya, di bahunya tersampir tas selempang, rambut di kuncir kuda, membuat gadis berusia 19th itu terlihat sangat imut.
Tak...
Tak....
Tak....
Terdengar gesekan sepatu yang beradu dengan lantai.
Ronald yang mendengar langkah kaki seseorang yang mendekat ke arahnya, langsung menoleh ke arah suara itu, setelah tau siapa yang berada di sana, dia kembali melihat ke arah hpnya.
"Kak, aku izin mau ke luar bersama teman ku." ucap Rindu sopan.
"Hmmm...." jawab Ronald dengan dehaman, tidak ada terniat di hatinya untuk menanyai sang adik.
"Kakak...." pekik Rinda berlari ke arah Ronald, reflek Ronald merentangkan tangannya, dengan wajah sedikit cemas, takut adik kesayangannya terjatuh.
"Hati hati sayang, kenapa harus lari lari, klau jatuh gimana? " tegur Ronald dengan nada lembut.
"Hehehe.... Maaf kakak, aku sangat bersemangat." kekeh Rinda dengan manjanya duduk di pangkuan sang kakak.
Ronald mengusap rambut sang adik penuh kasih sayang.
Tanpa di sadari atau pura pura tidak melihat ada hati yang terluka melihat interaksi mereka.
Mata Rindu berkaca kaca melihat kehangatan kakak dan kembarannya itu.
"Kakak ih... Jangan di acak acak, aku baru aja menyisir rambut ku." cemberut Rinda.
Tidak tahan melihat semua itu, Rindu gegas meninggalkan rumah itu dengan berjalan kaki ke arah gerbang rumah mewah itu.
"Non Rindu mau kemana? " tanya mang jajang.
"Mau keluar sebentar mang." sahut Rindu sopan dan tersenyum manis kepada penjaga rumahnya itu.
"Mau mang Jajang anter non? " tawar mang Jajang yang sangat menyanyangi majikan malangnya itu.
"Tidak usah mang, nanti mamang kena marah lagi sama orang rumah, gara gara lalai menjaga rumah." tolak Rindu halus.
"Baiklah kalau gitu, non hati hati ya, jangan pulang malam malam, takut di marahi sama tuan dan nyonya." ujar mang Jajang.
"Iya mang." ucap Rindu sopan.
Walau tidak di anggap oleh keluarganya, tapi Rindu mendapat perhatian dari para pekerja rumahnya, karena sifat Rindu yang baik dan sopan.
Di saat dia sakit, hanya pekerja di rumah itu yang bergantian merawat Rindu, orang tuanya hanya akan memberi uang saja, tapi tidak dengan perhatian dan kasih sayang, bagi mereka memberi uang itu sudah cukup.
"Kasihan kamu non, Tinggal di rumah bak istana, keluarga kaya raya, tapi kamu jadi anak tersisih." gumam mang Jajang menatap punggung Rindu yang sudah menjauh dari hadapannya.
"Rindu Tri Hapsari.... Kenapa kau lama sekali hmmm.... Hampir jamuran akau menunggu kamu." pekik Gina memanggil nama lengkap Rindu dengan wajah di buat kesal.
"Eleh.... Paling juga baru lima menit." cibir Rindu merangkul lengan sahabatnya itu.
"Iihhh.... Walau pun lima menit, tetap saja aku menunggu kamu kan." ucap Gina tidak mau kalah.
"Iya iya maafkan sahabat mu ini, kamu tau kan bagaimana jalanan di kota ini, bahkan angkot yang ku tumpangi selalu saja ngetem." curcol Rindu.
"Kenapa sih, kamu nggak pakai aja salah satu mobil di rumah mu itu." gerutu Gina.
Rindu hanya tersenyum kecut mendengar ucapan temannya itu.
"Maaf." sesal Gina yang melihat wajah muram sahabatnya itu.
"Nggak apa apa, santai aja." ujar Rindu.
"Ya sudah yukkk.... kita masuk, aku nggak bisa lama lama." Rindu menarik tangan sahabatnya itu, dia tidak suka orang orang mengasihinya.
"Baiklah...." Gina menurut saja saat di tarik oleh sahabatnya itu.
"Kita mau cari apa dulu nih? " tanya Rindu.
"Kita makan dulu yuk..." ajak Gina, dia tau pasti sahabatnya itu belum makan, dia sangat tau apa yang di rasakan oleh sahabatnya itu.
"Baiklah, kita makan dulu." putus Rindu yang kini memang merasakan lapar.
"Rin, lu nggak ada niat gitu untuk ngekos dari pada setiap hari melihat pemandangan menyakitkan itu." tanya Gina yang penasaran.
Rindu menyeruput minumnya, setelahnya tersenyum manis menatap sahabat baiknya itu.
"Mungkin nanti Gin, aku masih menikmati rasa sakit ini, dan aku menunggu sampai mati rasa dengan mereka." ucap Rindu tersenyum pedih.
Sungguh Gina tidak tega melihat sahabatnya itu, sudah berulang kali dia membujuk Rindu meninggalkannya, dan tinggal bersamanya, tapi Rindu selalu menolak, karena belum saatnya dia keluar dari sana.
"Kamu wanita kuat Rin, klau aku ada di posisi kamu, entah lah, apa yang terjadi pada ku, aku rasa aku nggak akan sanggup menghadapi semuanya." ujar Gina memegang erat tangan sahabatnya itu.
"Kamu bisa aja." kekeh Rindu.
"Oh... Iya, apa kak Karen Jadi pulang saat ultah kamu? " tanya Gina lagi.
Karen adalah tetangga Rindu, yang sangat dekat dengan Rindu, selalu ada untuk Rindu, kini laki laki itu sedang menempuh pendidikan di luar negeri.
Itu juga salah satunya membuat Rindu masih bertahan di rumah bak istana ini, ada seseorang yang dia tunggu dan sangat dia rindukan.
"Katanya sih pulang, tapi nggak tau juga sih, kan kamu tau sendiri dia sangat sibuk di sana, selain kuliah dia juga bekerja di perusahaan orang tuanya." terang Rindu.
"Iya juga sih, tapi aku berharap dia bisa pulang, dan kita bisa merayakan ulang tahun mu dengan meriah." ujar Gina dengan berbinar.
Mengingat ulang tahunnya yang tidak lama lagi, Rindu hanya tersenyum kecut, karena tidak ada yang spesial di ulang tahunnya itu, keluarganya tidak perduli kepadanya, mereka hanya merayakan ulang tahun Rinda dengan sangat meriah, tapi mengabaikan anak lainnya.
Selesai mengisi perut mereka, Gina dan Rindu kembali pada tujuan awalnya tadi, mencari keperluan kuliah mereka.
Bersambung....
Haiii... Jangan lupa tinggalkan jejak ya, mamak datang lagi dengan karya baru mamak, semoga lancar sampai tamat😁
"Pagi ma, pa, abang, kakak, Rinda." sapa Rindu saat sampai di ruang makan.
"Hmm... " deham semua orang acuh tak acuh.
Rindu hanya tersenyum kecut dan menarik kursi di samping kembarannya.
"Pa, papa anter aku kan ke kampus? " tanya Rinda dengan suara manjanya.
Rindu hanya diam saja mendengar percakapan mereka, sambil menikmati sarapan paginya, tepatnya memaksa makanan itu masuk ke dalam perutnya.
"Astaga, papa lupa sayang, hari ini papa ada meeting penting, yang nggak bisa papa tinggalkan." ucap Pak Baskoro penuh rasa bersalah.
"Yahhh.... Papa gimana sih, trus aku berangkat sama siapa dong? " rengek Rinda manja.
"Sama kakak aja."
"Sama abang aja." ucap ke dua saudara laki-laki Rindu itu.
"Baiklah, aku ikut kak aja." ucap Rinda senang.
"Aku boleh nggak nebeng sama abang, soalnya kampus aku searah dengan kantor abang. " tanya Rindu memberanikan diri.
"Nggak bisa Rin, mama mau minta anter abang mu ke tempat ketering, kamu sudah biasa berangkat sendiri ini, lain kali aja numpang sama abang mu." tukas sang mama sambil meletakan udang goreng ke piring Rinda.
Rian sang abang, hanya menatap Rindu sekilas, setelahnya kembali fokus sama makanan di depannya.
"Papa sudah transfer uang bulanan kamu, papa juga menambahkan uang saku sebagai ganti abang mu tidak bisa mengantar mu. " tukas sang papa dengan wajah datarnya.
Padahal bukan hanya uang yang Rindu butuhkan dari keluarganya, dia juga butuh di sayang dan di manja seperti saudara kembarnya.
Rindu tidak menyahut lagi ucapan papanya, dia kini hanya fokus sama sarapannya, "Tidak apa apa Rin, kamu kuat kok." bisik hati Rindu.
"Aku sudah selesai, aku berangkat dulu ya." ucap Rindu.
Tak ada yang menyahut, hanya menatap kepergian Rindu sesaat, lalu kembali menyantap makanan mereka.
"Sebentar ma." ujar Rian lalu bangkit dari duduknya, dan berjalan terburu buru menyusul Rindu.
"Mau kemana bang? " tanya Rinda.
"Kedepan sebentar. " sahut Rian.
Rindu sudah hampir sampai di gerbang rumah mewah itu.
"Nduuu.... Rindu... Tunggu! " panggil Rian dengan langkah lebarnya.
Rindu berbalik dan menatap ke arah sang abang.
Tidak ada kata yang keluar dari mulut Rindu, dia hanya menatap sang abang dengan penuh tanya.
"Ini, abang kasih uang jajan untuk kamu." Rian memberikan sepuluh lembar kertas berwarna merah ke tangan Rindu.
"Untuk apa? " tanya Rindu.
"Buat ongkos kamu, karena abang tidak bisa mengantar kamu." sahut Rian datar.
"Tidak usah, aku sudah ada... " ucapan Rindu terpotong karena di sela oleh Dion.
"Ambil saja sebagai ganti saya tidak bisa mengantar kamu." tukas Rian dengan wajah datarnya.
"Nggak usah bang, aku sudah di kasih uang sapa papa." tolak Rindu, bukan uang yang Rindu inginkan, tapi kehangatan keluarga, perlakuan yang sama seperti kembarannya, bukan apa apa hanya di kasih uang.
"Sudah lah, ambil saja nggak usah banyak drama, kau bisa bayar taxi dengan uang itu." Tukas Rian.
Rindu membuang nafas beratnya, tidak ingin memperpanjang masalah, dia mengambil uang dari tangan abang pertamanya itu. "Terimakasih bang." ucap Rindu, lalu berbalik pergi meninggalkan sang abang.
"Mang Jajang, tolong anter dia ke kampusnya, pakai saja mobil yang ada di garasi." seru Rian yang melihat ada mang Jajang di pos satpam.
"Baik Den." sopan mang Jajang.
"Non, tunggu sebentar ya, saya ambil mobil dulu." ucap mang Jajang, lalu berjalan terburu buru mengambil mobil untuk mengantarkan nona kesayangannya.
"Ayo non." mang Jajang keluar dari mobil dan membukakan pintu belakang untuk Rindu.
"Aku duduk di depan aja mang." lalu Rindu membuka pintu penumpang bagian depan.
Mobil bergerak meninggalkan hunian mewah itu.
"Sampai kapan aku akan di perlakukan seperti ini." gumam Rindu dalam hatinya.
Mata Rindu menatap kosong ke arah luar mobil, dia hidup di tengah keluarganya yang hangat, tapi dirinya tersisihkan, dan tidak terlihat sama sekali, orang tua, dan kedua abangnya, hanya apa apa memberi uang, tapi bertanya dia mau apa, butuh apa, sungguh sesak hati Rindu mengingat kehidupan yang dia jalani selama ini.
"Non, jangan melamun loh, masih pagi ini." ujar mang Jajang membuyarkan lamunan nona mudanya itu.
Haaa..... Rindu membuang nafas lah.
"Salah aku apa ya mang, kenapa aku di perlakukan berbeda sama keluarga ku, aku juga ingin di perhatikan, di tanya ke seharian ku, di ajak bercanda, di peluk dan sayang. " ucap lirih Rindu, tidak terasa air Mata sudah mengalir di pipi putih mulus itu.
Mang Jajang, tidak tega melihat nona mudanya itu.
"Non yang sabar ya, mungkin saja orang tua dan saudara saudara non itu sedang rabun senja, dan hati mereka sedang membatu, tapi saya yakin suatu saat nanti mereka akan melihat non, dan mungkin juga akan menyesal telah memperlakukan non seperti ini."
"Non jangan terlalu bersedih, non buktikan saja kepada mereka, tanpa kasih sayang dan dampingan dari mereka, non bisa berhasil, terus lah mengejar mimpi non, jangan pernah merasa sendiri ada mamang dan yang lainnya yang menyanyangi non, klau non butuh apa apa, bilang sama kami, non sudah seperti anak bagi kami." ucap mang Jajang.
"Aku butuh kasih sayang, aku butuh pelukan, aku juga ingin di manja seperti Rinda, hiks...." pecah sudah tangis Rindu di dalam mobil mewah itu.
Mang Jajang hanya bisa menggigit bibirnya menahan sesak di dada, tidak tega rasanya melihat nona mudanya bersedih seperti ini.
"Non mau mamang peluk tidak? " tanya mang Jajang ragu ragu.
Tanpa mengulang pertanyaan dua kali, Rindu lansung berhambur ke dalam pelukan laki laki paruh baya yang selalu ada untuknya dari kecil, yang selalu mengantarkannya ke mana-mana bersama neneknya.
"Mamang jangan pergi dari Rindu ya, Rindu hanya punya kalian, kalau kalian pergi Rindu sama siapa, hiks." pinta Rindu menyayat hati.
"Tidak akan non, mamang dan yang lainnya akan selalu ada bersama non, kami semua sayang sama non, dan kami juga mendapat amanah dari oma non, agar selalu menjaga non, hingga suatu saat non sudah mendapatkan jodoh yang baik." ucap mang Jajang memeluk sayang nona mudanya yang sudah dia anggap seperti anak sendiri.
Rindu hanya menganggukan kepalanya di dalam pelukan mang Jajang, tidak perduli baju si mamang sudah basah dengan air matanya.
Puas menumpahkan kesedihannya, Rindu dengan perlahan melepaskan pelukannya dari mang Jajang.
"Makasih mang." ucap tulus Rindu menyeka sisa air matanya.
"Sudah lega?" tanya mang Jajang.
Rindu mengangguk dan sudah kembali tersenyum seperti biasanya.
"Rapikan dulu wajahnya yang berantakan, lihat lah hidung non sudah memerah, muka sembab, hilang deh cantiknya." goda mang Jajang.
"Iihhhh.... Ayah, jangan menggoda ku." cemberut Rindu.
Deg.....
Mang Jajang lansung membeku saat Rindu memanggilnya Ayah, apa maksudnya, nona mudanya apa lagi mengngigau.
"Kok diam." tanya Rindu yang tidak mendengar suara mang Jajang lagi.
"Non tadi bilang apa? " tanya mang Jajang, dia takut salah dengar.
"Ayah. Aku ingin memanggil mamang dengan sebutan ayah, karena selama ini mamang lah yang selalu ada dan memberikan kasih sayang seperti ayah kepada anaknya, boleh kan Rindu panggil ayah? " tanya Rindu menatap mang Jajang penuh harap.
Tak terasa air mata mang Jajang lansung jatuh di pipinya, sudah sangat lama dia merindukan seorang buah hati, tapi apa lah daya, sampai saat ini dia dan sang istri belum di beri kepercayaan oleh sang pencipta, dan tiba tiba ada seseorang yang memanggilnya dengan sebutan ayah, sebutan yang dia rindukan dari sejak lama.
"Boleh kan? " tanya Rindu lagi penih harap.
Bukannya menjawab, tapi mang Jajang kembali menarik Rindu ke dalam pelukannya, dia peluk gadis itu penuh kasih sayang.
Bersambung....
Haiii.... Jangan lupa like komen dan vote ya... 😘😘😘
Ingat! kasihnya bintang ⭐⭐⭐⭐⭐ ya, jangan kurang😁
"Huaaa.... Hari pertama kuliah sangat melelahkan." keluh Gita yang bergelayut manja di lengan Rindu.
Rindu hanya terkekeh mendengar keluhan sahabatnya itu.
"Ya sudah, yuk... kita ke kantin, sebelum waktu istirahat habis." ajak Rindu.
"Yuk lah.... Aku sudah sangat lapar." keluh Gita mengelus perutnya datarnya.
Ke dua gadis cantik itu masuk ke dalam kantin dan mencari bangku kosong tempat mereka duduk, maklum waktu istirahat jadi kantin lumayan penuh.
"Duduk di sana aja yuk..." tunjuk Gita di bangku yang masih kosong.
"Ya sudah." sahut Rindu menurut.
"Cantik banget tuh adik tingkat." ujar seorang pemuda yang sedang makan bersama teman temannya, menatap Rindu dengan penuh ke kaguman.
"Mana? " tanya temannya ikut kepo.
"Itu, yang cuma berdua di depan." tunjuk nya pakai bibir.
"Iya ya,cantik banget, walau pakaiannya sederhana." seru yang lain.
"Hmmm.... benar." ucap yang lain.
Salah satu teman mereka hanya menatap sekilas, lalu kembali memakan makanannya.
"Ck, Ken Lu nggak tertarik sama adik tingkat kita itu, cantik banget loh itu." omel Rafka, kepada Kenzo.
"Kenzo hanya berdeham tanpa berminat menjawab pertanyaan temannya itu.
" Dasar kulkas sepuluh pintu, kapan mencairnya sih." gerutu Rafka.
"Sabar sabar, nanti klau sudah ketemu mataharinya, baru dia meleleh, sekarang biari aja dia kek gitu." kekeh Aldi.
Kenzo hanya mendengus kesal mendengar ucapan teman temannya itu.
"Buruan makan, ngoceh aja kaya mak mak komplek." ketua Kenzo.
"Ck, manusia satu ini." gerutu Rafka, namun tetap memakan makanannya.
Sementara itu, Gina pergi memesan makanan untuk dirinya dan Rindu, sementara itu Rindu yang iseng karena duduk sendirian, melihat ponselnya, dan melihat pesan masuk.
Matanya lansung terbuka lebar, ternyata karyanya yang iseng iseng dia kirim ke sebuah perusahaan jewelry ternyata di minati, dan mereka ingin membuat kontrak kerja dengan Rindu.
"Astaga, ternyata mereka menerima karya ecek ecek ku." gumam Rindu penuh haru.
"Senang amat neng, ada apa tuh? " tanya Gina membawa nampan yang berisi makanan untuk mereka berdua.
"aku senang banget Gin, sketsa perhiasan yang aku kirim ke perusahan permata abadi di terima." sorak Rindu bahagia.
"Serius?! " Gina pun tidak kalah senangnya mendengar kabar bahagia sahabatnya itu.
"Hmmm... Ini orangnya ngirim email." ucap Rindu menunjukan hpnya.
"Wahhh.... Bagus itu, lalu kapan kalian akan bertemu? " tanya Gina senang.
"Sepertinya aku nggak usah bertemu deh, lebih baik kami melakukannya seperti ini saja, lewat email aja, lagian aku ingin menyembunyikan ini dari semua orang, cukup kamu, ayah dan ibu ku saja yang tau, yang lain aku nggak mau, percuma kan walau mereka tau, tetap nggak ada artinya, dari pada aku sakit hati, mendingan aku merahasiakannya." ujar Rindu.
"Lakukan apa pun yang terbaik untuk diri mu, bahagiakan dirimu." ujar Dini lembut dan meraih tangan Rindu.
"Makasih Git, selalu ada untuk ku." ucap Rindu memeluk erat sahabat kesayangannya itu.
"Waduuhhh.... Mau dong di peluk." seru Rafka.
Mendengar ada orang yang berbicara, ke dua gadis itu menatap ke arah suara, tapi sesaat tanpa berniat membalas candaan kakak tingkatnya itu.
"Anjir.... Kita di cuekin, padahal selama ini nggak ada yang nggak terpesona sama kita, tapi lihat lah, hari ini reputasi kita runtuh oleh ke dua gadis imut itu." pekik Rafka tidak terima.
"Syukurin, emang enak di kacangin." kekeh Aldi.
Sementara Kenzo hanya tersenyum sangat tipis, hingga tidak ada yang menyadari.
Tiba jam pulang kuliah, dengan penuh semangat Rindu berjalan menuju parkiran, dia menunggu jemputan sang ayah.
"Semangat amat neng." goda Gita.
"Iya dong, kan di jemput ayah." senyum bahagia Rindu terpampang jelas di wajahnya.
Gita terenyuh melihat wajah bahagia sahabatnya itu, segitu berharapnya dia mendapatkan kasih sayang orang tua.
"Bahagia terus ya Rin, semoga suatu hari nanti keluarga kamu akan menyadari kesalahannya, telah mengabaikan anak sebaik kamu." gumam Gita.
"Itu ayah ayah sudah ada." girang Rindu seperti anak kecil.
"Ya udah, pulang sana." usir Gita dengan ikut bahagia.
"Mmm... Baiklah... Aku pulang dulu ya, kamu hati hati." ujar Rinding memeluk sang sahabat, lalu cipika cipiki.
"Mang Jajang yang melihat anak gadisnya yang berlari riang menghampirinya tersenyum bahagia.
" Begini kah cara mu Tuhan, memberikan kami seorang anak, dia memang tidak lahir dari rahim istriku, tapi dari sejak dia kecil kami sudah menyanyanginya." gumam mang Jajang berkaca kaca.
"Jangan lari lari, nanti neng Rindu terjatuh." tegur mang Jajang buru buru keluar dari dalam mobil.
"Hehehe.... Maaf ayah, aku sangat bersemangat." kekeh Rindu lalu matanya menelisik mobil baru di depan matanya, mobil sejuta umat.
"Ini mobil siapa yah, nggak mungkin kan orang rumah? " heran Rindu.
Mang Jajang tersenyum lembut kepada sang putri angkat, "Ayah beli mobil bekas, mobilnya masih baru, baru di pakai dua bulan sama teman ayah, dia butuh uang buat pengobatan anaknya, kebetulan sekarang ayah akan antar jemput anak ayah ini, pasti kamu tidak akan mau naik mobil yang ada di rumah klau tidak terpaksa, jadi ayah beli saja mobil ini untuk anter jemput anak ayah, klau naik motor ayah takut kamu kena hujan atau kepanasan." terang Mang Jajang.
Rindu berkaca kaca mendengar penuturan ayah angkatnya itu, dia orang lain tidak ada hubungan darah, tapi dia selalu menjaga dan merawat Rindu selama ini, tidak seperti keluarga kandungnya, yang acuh dan mereka hanya tau memberi uang dan uang, tidak dengan perhatian.
"Ayah, aku sayang ayah." Rindu berhambur memeluk laki laki paruh baya itu.
"Ayah juga sayang sama anak ayah." Mang Jajang membalas pelukan Rindu dan mengusap punggung itu penuh kasih sayang.
"Ibu tau ayah beli mobil ini? " Rindu juga takut gara gara dia, rumah tangga orang tua angkatnya berantakan, Rindu tidak mau itu.
"Tentu saja, ibu mu lah yang bersemangat ingin membeli mobil ini." tutur Mang Jajang.
"Benar kah? " kaget Rindu.
"Mmm.... " Mang Jajang menganggukan kepalanya.
"Ayo kita pulang, ibu sudah membuatkan makanan kesukaan kamu." ujar Mang Jajang menggandeng tangan putri angkatnya itu, lalu membukakan pintu penumpang di sebelah sopir.
"Ayo ayah, aku juga sudah lapar sekali." keluh Rindu memegang perutnya, seolah olah dia memang sedang kelaparan.
Melihat tingkah Rindu Mang Jajang pun terkekeh, lalu dia menutup pintu mobil dengan hati hati, setelahnya dia mengitari mobil untuk kembali ke bangku kemudi.
"Mau beli sesuatu dulu nggak? " tawar Mang Jajang.
"Nggak ada ayah, lansung pulang aja, aku sudah rindu sama ibu dan masakannya." kekeh Rindu.
Mang Jajang mengangguk dan tersenyum lembut, setelahnya perlahan lahan meninggalkan kawasan kampus.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!