Kabut pagi menari perlahan di antara pepohonan pinus yang mengelilingi Desa Bai Shui. Udara dingin menggigit kulit, tetapi bagi Wang Wu Xie, bocah berusia tiga belas tahun itu... kabut adalah teman lama dan seakan selalu datang untuk menyembunyikan dunia dari matahari.
Ia duduk di atas atap rumah kecilnya, seutas rumput kering di mulut, memandang langit yang mulai berwarna perak pucat. Mata bocah itu tajam, terlalu tajam untuk anak seusianya. Diam-diam, ia bertanya dalam hati.
Kenapa dunia selalu terasa lebih besar daripada yang dikatakan orang-orang di sini?
Di kejauhan, lonceng kuil bambu berdenting pelan pertanda pagi. Desa Bai Shui terbangun lambat, seolah takut membangunkan sesuatu yang lebih tua dari waktu. Para tetua bilang, desa ini berdiri di atas tulang naga yang tertidur. Tapi itu hanya dongeng... kan?
“Wu Xie!”
Suara parau memanggil dari dalam rumah. Itu suara Wang Bo-kakeknya. Pria tua yang sehari-hari menganyam bambu dan menceritakan legenda yang terkadang sulit dipercaya.
Wang Wu Xie melompat turun dari atap dan berlari masuk.
“Ada apa, Kek?”
Di dalam rumah berdinding kayu dan anyaman bambu, aroma herba menyambut penciuman Wang Wu Xie. Aroma yang sudah lekat dalam hidupnya.
Wang Bo, lelaki tua berambut putih kusut, duduk di dekat tungku, tangannya sibuk membuat wadah bundar dari bilah bambu yang basah. Meski matanya telah buram, jemarinya tetap lincah, mengikuti pola yang sudah puluhan tahun tertanam di ingatannya.
“Kau seenaknya naik ke atap lagi. Kalau jatuh, siapa yang repot? Bukan kau. Aku yang akan disalahkan ibumu!” Wang Bo menggerutu, tapi ada senyum mengendap di sudut bibirnya.
Wang Wu Xie tertawa kecil dan mencuri satu buah kue beras dari wadah di meja.
Dari dapur belakang, suara ibunya-Yun Mei, terdengar.
“Jangan makan sebelum mencuci tangan, Wu Xie!”
“Iya, Ibu…” gumamnya, tapi kue itu sudah setengah habis.
Tidak lama kemudian, ayahnya-Wang Ren, masuk dari pintu samping. Tangannya kotor oleh getah akar dan dedaunan, tanda baru pulang dari ladang herba. Di punggungnya tergantung kantung kulit berisi tanaman liar.
“Xie’er, bantu Ibu menyortir daun gunung nanti, ya. Hari ini kita akan membuat ramuan untuk pencernaan.”
Wang Wu Xie mengangguk, lalu melirik ke arah kakeknya yang masih tekun menganyam.
“Kek…” Wang Wu Xie berujar lirih, duduk bersila di dekat tungku, “Kakek pernah bilang tentang Para Kultivator, kan? Ceritakan lagi. Tentang para makhluk abadi yang bahkan bisa membuat langit terbelah itu...”
Wang Bo terdiam sejenak. Jemari tuanya yang memegang bambu kini terhenti, seolah sesuatu dalam dirinya ikut membeku bersama kenangan lama. Ia meletakkan anyaman bambu ke samping, mengusap janggut putihnya, lalu menatap Wang Wu Xie.
Tatapan yang dalam, bukan hanya sebagai kakek kepada cucu, tapi seperti seseorang yang pernah melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat.
“Wu Xie,” Wang Bo buka suara. Nadanya serak seperti embun jatuh di atas batu tua, “Para kultivator tinggal di tempat yang sangat jauh. Orang-orang menyebutnya Wilayah Abadi. Di sana, langit kadang berwarna hitam walau tengah siang, dan cahaya tidak selalu berasal dari matahari. Gunung bisa melayang, dan sungai mengalir melawan arah waktu. Tapi tempat itu… bukan untuk semua orang. Ada batas antara dunia fana dan dunia kultivator. Negeri mereka tidak bisa dilalui oleh langkah manusia biasa."
Wang Wu Xie memandangi api tungku yang mulai mengecil. Dalam diamnya, ada sesuatu yang tumbuh di dadanya-bukan hanya rasa ingin tahu, tapi semacam dorongan yang tidak bisa ia jelaskan.
“Kalau begitu… Apa aku bisa jadi salah satu dari mereka?”
Wang Bo menatapnya lama, sebelum menjawab dengan nada rendah, “Itu bukan pertanyaan yang bisa kujawab, Xie’er. Langit tidak memilih sembarangan. Tetapi kalau kau memang ditakdirkan untuk itu, dunia ini akan membawamu ke jalur yang benar…"
Tiba-tiba dari dapur, suara Yun Mei-ibu Wang Wu Xie, terdengar lembut:
“Kau sudah cukup banyak mendengar kisah itu, Xie’er. Ayo, cuci tangan. Makanannya sudah siap.”
Wang Wu Xie menoleh, lalu berkata pelan, “Ibu… apakah kau percaya aku bisa jadi kultivator?”
Yun Mei terdiam sejenak, menatap wajah anaknya yang penuh harap. Ia meletakkan piring tanah liat ke meja, lalu berjalan mendekat.
“Kau anakku,” katanya sambil menyentuh pipi Wang Wu Xie, “Kalau hatimu jernih dan niatmu kuat, maka jalanmu akan terbuka. Tapi ingat… dunia para kultivator bukan hanya cahaya. Ada kegelapan yang bahkan tidak dikenal oleh manusia biasa.”
Wang Ren-ayah Wu Xie, menimpali dari belakang, suara lembut namun tegas, “Dan sebelum kau memikirkan jadi makhluk abadi, bantu ayah urutkan ramuan ini dulu. Dunia butuh lebih banyak tabib yang menyembuhkan, bukan pahlawan yang hanya tahu mengayunkan pedang.”
Wang Wu Xie mengangguk pelan. Ia beranjak ke sisi meja tempat ayahnya mengatur ramuan-ramuan kering dalam kantong kecil dari kain goni. Aroma akar pahit dan daun segar mengambang di udara. Tangan mungilnya mulai menyusun kembali botol-botol kecil sesuai urutan yang diajarkan ayahnya. Diam-diam, matanya melirik ke arah Wang Ren, lalu berkata pelan.
“Ayah… kalau aku benar-benar bisa jadi kultivator… apa Ayah akan melarangku?”
Wang Ren menghentikan gerakan tangannya. Lama ia menatap anaknya, lalu menghela napas dan duduk di bangku kayu yang berderit pelan. “Bukan tugasku melarang, Wu Xie. Tapi aku ingin tahu, kenapa kau ingin jadi kultivator?”
Wang Wu Xie menunduk sebentar, mencari kata-kata. “Entahlah. Mungkin karena… aku ingin tahu lebih banyak tentang dunia luar. Aku ingin jadi kuat, seperti dalam kisah Kakek. Dan… kalau aku kuat, aku bisa melindungi Ibu, Ayah, dan semua orang di desa ini. Tidak hanya menyembuhkan mereka saat terluka…”
Seulas senyum tipis muncul di wajah Wang Ren, tapi di baliknya ada duka yang dalam. Ia mengusap kepala putranya perlahan.
“Ketika Ayah seusiamu,” katanya lirih, “Ayah pernah bertemu seorang kultivator. Kejadiannya sudah bertahun-tahun lalu, saat Ayah pergi ke utara mencari akar Ginseng Merah untuk seorang bangsawan yang sakit parah. Ayah tersesat di hutan kabut selama tiga hari… dan di sana, Ayah melihat seseorang berdiri di atas air. Langkahnya tidak bersuara, matanya terang seperti api yang dilapisi es.”
Wang Wu Xie membelalak. “Apa dia benar-benar kultivator, Ayah?”
Wang Ren mengangguk pelan. “Ya. Dia tidak berkata banyak. Tetapi hanya dari auranya saja, tubuh Ayah terasa menggigil. Dia menyelamatkan Ayah dari serangan binatang buas, dan hanya berkata satu hal sebelum pergi: ‘Dunia ini terlalu sempit bagi mereka yang tidak bisa bermimpi.’”
"Itu...."
"Artinya orang-orang yang tidak memiliki mimpi atau harapan dalam hidup... Akan merasa hidup ini penuh batasan. Dunia akan terasa sempit karena mereka tidak terbuka pada kemungkinan, petualangan, atau masa depan yang lebih baik."
Wang Wu Xie mengulang dalam hati, matanya berbinar.
“Tapi,” lanjut Wang Ren, suaranya kembali tenang namun berat, “Apa yang tidak dia katakan adalah jalan yang mereka tempuh.... dipenuhi kerja keras, darah, kehilangan, dan rasa sunyi yang tidak bisa disembuhkan. Kultivasi bukan sekadar latihan atau kekuatan. Itu jalan seumur hidup, dan tidak semua orang sanggup menanggung harganya.”
Wang Wu Xie menggenggam erat botol ramuan di tangannya.
“Ayah tidak melarangmu,” Wang Ren menatapnya lembut, “Tapi Ayah ingin kau tahu bahwa menjadi kuat bukan berarti meninggalkan belas kasih. Jika suatu hari kau menjadi kultivator, jadilah yang bisa menyembuhkan dunia… bukan yang menambah lukanya.”
Wang Wu Xie diam. Tapi di matanya, percikan tekad kecil mulai tumbuh, seperti benih yang perlahan menembus tanah.
******
Matahari telah naik sedikit lebih tinggi, menembus kabut pagi yang mulai menipis. Di balik rumah sederhana keluarga Wang, terbentang ladang herba yang terawat rapi. Barisan tanaman obat seperti akar jintan, daun bai qing, dan bunga huan shou menghampar di antara petak-petak tanah yang lembap.
“Wu Xie, tolong petikkan tiga tangkai bunga huan shou yang sudah mekar. Yang kelopaknya lima, bukan enam,” kata Yun Mei, sembari menyapu embun dari daun-daun dengan ujung jari.
Wang Wu Xie mengangguk dan mulai memeriksa satu per satu. Ibunya selalu tahu cara mengajarinya tanpa membentak. Setiap kali mereka ke ladang, rasanya dunia melambat. Tidak ada suara selain desiran angin dan nyanyian serangga.
“Kau tahu, Ibu,” kata Wang Wu Xie sambil mengumpulkan bunga ke dalam keranjang rotan, “Bunga ini... baunya aneh, tapi aku suka.”
Yun Mei tersenyum kecil, “Itu karena kau tahu manfaatnya. Segala yang berguna, meski tak indah, tetap pantas dicintai.”
Wang Wu Xie terdiam. Ia menyukai kalimat itu.
Tiba-tiba, terdengar suara riuh dari arah jalan kecil yang mengarah ke sungai. Beberapa anak desa berlari menghampiri.
“Wu Xie! Kami mau lomba lempar batu ke batang pohon pinus, ayo ikut!” seru salah satu dari mereka, seorang bocah kurus bernama Jie Er.
Wang Wu Xie menoleh ke ibunya, ragu-ragu. Yun Mei hanya mengangguk sambil melambaikan tangan, “Pergilah. Tapi kembali sebelum langit memerah.”
“Baik, Ibu!” serunya, meletakkan keranjang dan berlari mengejar teman-temannya. Tawa mereka bergema di sela-sela pepohonan. Sejenak, Wang Wu Xie hanyalah bocah biasa yang tidak peduli pada langit terbelah atau makhluk abadi.
*
*
Malam itu turun dengan keheningan yang dalam. Cahaya rembulan pucat menyentuh atap rumah keluarga Wang. Wu Xie telah tertidur, tubuh kecilnya terbungkus selimut anyaman, napasnya tenang-tetapi di balik kelopak matanya, dunia lain tengah terbuka.
Dalam mimpinya, Wang Wu Xie berdiri di tengah padang kosong, langit terbelah merah. Awan-awan hitam berputar perlahan, seolah langit itu sendiri sedang menahan napas.
Di hadapannya, tiga sosok berjubah agung melayang di angkasa. Aura mereka menekan bumi hingga retak. Mereka adalah pemimpin tiga sekte besar:
Sekte Surga Emas yang menyulut petir dari jari-jarinya,
Sekte Darah Sunyi dengan pedang merah yang meneteskan kabut kematian,
Dan Sekte Es Abadi yang menurunkan hujan salju tajam dari awan.
Namun, satu sosok berdiri melawan mereka semua. Dia seorang pria berambut panjang terurai, jubah hitamnya robek berlumur darah, tapi matanya tajam seperti bintang hitam di malam terakhir dunia. Di tangannya tergenggam Pedang Penentang Langit, dan di punggungnya tergantung Kitab Reinkarnasi yang terikat oleh rantai cahaya kuno.
“Tiga lawan satu, dan kalian masih membawa dendam lama seperti bocah yang kehilangan mainan,” ujar pria itu, darah mengalir di pelipisnya. Suaranya tenang, tapi dunia bergetar setiap ia berbicara.
Pemimpin Sekte Surga Emas, seorang lelaki tua berjubah perak berkilau, menyeringai. “Serahkan Kitab Reinkarnasi dan Pusaka Penentang Langit, maka akan kuampuni nyawamu."
"Hah. Kitab ini bahkan bukan milik Sekte Surga Emas dan juga bukan milik dua orang di sampingmu. Jadi kenapa aku harus menyerahkannya?"
Pemimpin Sekte Darah Sunyi mencibir, “Kau mencuri Kitab Reinkarnasi dari ruang takdir. Dunia kultivasi akan memburumu sampai ke dasar neraka. Kau tidak akan bisa lolos dari kematian!"
Pemimpin Sekte Darah Sunyi menjilat pedangnya yang merah membara. “Dan jangan lupa… kau membantai delapan puluh delapan tetua dalam satu malam. Kau bukan hanya pencuri, tetapi kutukan!”
Pemimpin Sekte Es Abadi, perempuan bermata beku, menatap tanpa emosi. “◾◾Kau adalah serpihan kekacauan. Dunia tidak akan damai selama jiwamu masih mengembara.”
Pria itu tersenyum dingin. “Damai?” Ia mengangkat Pedang Penentang Langit, dan ujungnya membelah awan menjadi jurang cahaya. “Kalian menyebut ini damai, setelah membakar desa tempatku lahir? Setelah membunuh semua yang kupanggil keluarga?”
Tanpa aba-aba, pertarungan pun meledak.
Langit disayat kilat, bumi merekah terbakar, dan dimensi sendiri menjerit saat kekuatan tiga sekte besar bertabrakan dengan satu sosok yang telah melawan dunia terlalu lama.
Tetua Sekte Surga Emas menjatuhkan ribuan tombak petir.
Pria itu membalik tubuh, satu tebasan pedangnya membelah langit, memantulkan serangan kembali hingga menghantam gunung di kejauhan dan melelehkan puncaknya.
Tetua Sekte Darah Sunyi memanggil kabut pembusuk jiwa. Dengan satu hentakan kaki, pria itu menciptakan pusaran cahaya keemasan. Kabut darah mendesis, seperti ular disiram api suci.
Tetua Sekte Es Abadi menurunkan salju yang mengiris dimensi.
Pria yang mereka hadapi hanya menoleh ke langit dan menghunus kitab yang terbelenggu rantai. Cahaya dari kitab itu menahan waktu sesaat, dan di celahnya-ia pun menebas salju itu dengan kekuatan yang menggetarkan delapan penjuru langit.
Wang Wu Xie tidak hanya melihat semua kejadian itu, tetapi merasakan setiap dentumnnya. Bahkan luka-luka yang dialami oleh sosok pria berjubah hitam itu... Terasa nyata, seolah-olah tubuhnya sendiri adalah medan pertempuran tersebut.
Darah bercipratan di udara, tapi bukan darahnya.
Ketiga pemimpin sekte itu terengah. Robekan tampak di jubah-jubah suci mereka. Di tengah kehancuran, pria asing itu berdiri tegak.
Tubuhnya menyala seperti matahari terbalik. Pedang itu menusuk ke tanah dan cahaya melahap segalanya. Dia menancapkan pedangnya ke tanah.
“Kitab ini milikku. Pedang ini milikku. Jika aku tidak bisa memilikinya di dunia ini, maka dunia pun tidak akan memilikinya!”
“Aku akan kembali. Tidak hanya tiga sekte kalian... Bahkan nama keluarga kalian pun akan kumusnahkan. Bersiaplah. Aku akan menjadi kehancuran yang kalian ciptakan sendiri..!"
!!!
Wang Wu Xie terbangun dari mimpi itu dengan mata membelalak, jantungnya berdebar keras seperti genderang perang.
Napasnya terengah, keringat membasahi pelipisnya. Di luar jendela, malam masih diam. Tapi di dalam dadanya, sesuatu terasa berubah.
Dia menelan ludah dan berusaha mengatur napas, mencoba untuk menenangkan diri sendiri.
"Apa... itu tadi?"
Mimpi yang Wang Wu Xie lihat... bukanlah sekadar mimpi. Seakan... Ia baru saja mengubur dirinya sendiri dalam masa lalu dan membangkitkan sesuatu yang telah lama tertidur.
Wang Wu Xie masih berusaha menenangkan diri dari mimpi aneh ketika tiba-tiba saja suara debaman keras terdengar.
Tanah bergetar. Gentong air retak. Dari kejauhan, suara jeritan menggema.
Wang Wu Xie tersentak bangkit. Dia berlari keluar rumah dan menyaksikan langit di atas desanya telah berubah.
!!
Kabut hitam menggulung dari puncak gunung. Awan seperti terbakar dari dalam, memancarkan warna merah darah. Dari balik kabut, sosok-sosok berjubah hitam melayang turun, mata mereka bersinar merah, dan di punggung mereka tergantung bendera robek yang bertuliskan satu karakter besar: 魔 (Mo – Iblis).
******
BLAAAAR...!
Ledakan petir menyambar lumbung gandum. Api hitam yang tidak bisa padam menyebar dengan cepat. Orang-orang desa berteriak, mereka berlarian menyelamatkan diri.
Di tengah kekacauan, pemimpin Sekte Iblis Hitam turun dari langit. Sosoknya tinggi dengan tubuh yang terbalut baju perang hitam-emas. Matanya seperti bara yang menembus jiwa. Orang-orang mengenalnya sebagai-Mo Tian Shen!
“Jadi di tempat ini... Tulang Naga Hitam itu tertanam."
Suara Mo Tian Shen menggema seperti dentang lonceng kematian. Ia mengangkat satu tangannya dan api hitam menyapu sawah, lalu menjilat ke arah rumah penduduk Desa Bai Shui. Seorang wanita tua terbakar hidup-hidup, tubuhnya jatuh sambil memanggil nama cucunya.
Ada sepuluh anggota Sekte Iblis Hitam yang dibawa Mo Tian Shen. Mereka semua melesat, menyebar ke berbagai arah seolah mengepung Desa Bai Shui. Beberapa dari mereka tanpa ragu menghantarkan teknik pukulan pada warga yang notabenenya hanyalah manusia biasa.
AAAAKH...!
Tubuh orang-orang roboh, sama sekali tidak bisa menahan serangan seorang kultivator. Beberapa bahkan tewas dengan tubuh yang hangus terbakar, terkena tebasan pedang, hingga mati dengan kondisi tubuh membusuk karena racun.
"Wu Xie..!" Yun Mei berseru. Dia segera menarik putranya untuk berlari menyelamatkan diri.
"Ibu..!" Wang Wu Xie terkejut. "A-Ayah dan Kakek di mana?!"
"Mereka juga menyelamatkan diri. Ayo cepat..!" Yun Mei memegang kuat tangan Wang Wu Xie, berlari di antara warga desa yang juga sedang menyelamatkan diri. Bahkan meski ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi, situasi sama sekali tidak membiarkan mereka.
"Habisi yang melawan!" seruan anggota Sekte Iblis Hitam terdengar.
Yun Mei dan warga desa yang lain berhasil ditangkap ketika mencoba melarikan diri. Wang Wu Xie hanya bisa memejamkan mata dengan kuat saat dipeluk erat oleh ibunya ketika cambukan anggota Sekte Iblis Hitam melesat.
AAAAKH..!
Teriakan pilu menggema di udara, namun cambuk itu tak sempat menyentuh Wang Wu Xie maupun ibunya. Meski selamat, rasa takut tetap mencengkeram hati semua orang, seolah maut hanya menunda langkahnya.
Asap tebal dan bau hangus memenuhi udara. Di tengah reruntuhan rumah dan lumbung yang terbakar, Mo Tian Shen berdiri di hadapan batu raksasa yang setengah terkubur. Batu itu berdenyut pelan, hitam legam dengan urat-urat emas di permukaannya, sekilat tampak seperti tulang makhluk raksasa.
Dengan satu ayunan tangan dari Mo Tian Shen, tanah pun terbelah. Suara retakan menggema seperti tulang dunia yang patah. Dari dalam perut bumi, serpihan tulang seukuran pohon tua mulai terangkat, mengambang di udara dan menyemburkan aura mengerikan yang seakan menyapu seluruh desa.
“Akhirnya... Setelah ratusan tahun menunggu,” desis Mo Tian Shen. “Tulang ini akan menjadi kunci kebangkitan Kekaisaran Iblis!"
Para warga hanya bisa menyaksikan dalam diam, tubuh mereka tertunduk, lemah, dan penuh luka. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, bahkan untuk menangis pun tenggorokan mereka terlalu kering karena asap dan ketakutan.
*
*
Tidak lama setelah itu, suara logam beradu terdengar. Belenggu besi dilemparkan dari kereta perang milik Sekte Iblis Hitam.
“Laki-laki dewasa, anak-anak, dan perempuan-bawa semuanya. Siapa pun yang melawan, habisi di tempat!” seru seorang anggota Sekte Iblis Hitam dengan suara dingin.
Tangisan mulai terdengar dari sudut-sudut reruntuhan. Anak-anak dipisahkan dari orang tuanya, wanita ditarik paksa, dan pria-pria desa dipukuli hingga tidak sadarkan diri.
Wang Wu Xie tidak dapat berbuat apa-apa selain menggenggam tangan ibunya sekuat tenaga.
“Ibu... kita mau dibawa ke mana?” bisiknya dengan suara gemetar.
“Tenang, Nak... selama kita bersama, Ibu akan melindungimu,” jawab Yun Mei, meskipun wajahnya tidak sanggup menyembunyikan rasa takut.
"Aku masih tidak melihat ayah dan kakek, Ibu..." Wang Wu Xie merasa gelisah. "Mereka seharusnya mencari kita-"
"Berhenti! Jangan sentuh anak itu!"
Wang Wu Xie terkejut saat mendengar suara bentakan yang lantang dari ujung jalan desa. Dia pun segera berbalik dan mengedarkan pandangannya, mencari asal dari suara yang ia dengar.
Mata Wang Wu Xie terbelalak. Apalagi saat ia melihat sosok kakeknya-Wang Bo, pria tua yang sudah renta, berdiri di hadapan dua kultivator Sekte Iblis Hitam yang tengah menarik seorang bocah lelaki yang masih menangis memanggil ibunya.
“Dia masih terlalu kecil. Dia tidak tahu apa-apa. Bagaimana kalian bisa bertindak sekejam ini? Hukum Langit tidak akan melepaskan kalian!"
Salah satu anggota Sekte Iblis Hitam terkekeh, “Hukum Langit? Dunia ini hanya dimiliki oleh yang kuat, Tua Bangka!”
Tanpa memberi waktu, anggota Sekte Iblis Hitam menghantamkan telapak tangan berisi api hitam ke arah anak laki-laki di depannya, hanya saja dengan cepat Wang Bo melindungi tubuh bocah itu dengan tubuhnya sendiri-
BRAAAK!
Wang Bo terlempar beberapa meter, tubuhnya menghantam dinding rumah yang sudah setengah roboh. Darah segar mengucur dari mulutnya, namun tatapannya tetap tajam... menatap Wang Wu Xie yang jauh di ujung kerumunan.
“Jaga... ibumu, Wu Xie... Jangan... biarkan mereka mengambil cahaya dalam hatimu...”
Lalu, napasnya berhenti.
Wang Wu Xie hanya bisa menatap tubuh kakeknya yang terkulai di tanah, tidak bergerak, tidak bernyawa. Dunia di sekelilingnya seolah memudar. Suara-suara memantul seperti gema dari tempat yang jauh.
"Ka... Kakek..."
Teriakan lain mengguncang udara.
"AYAH...!!"
Itu suara Wang Ren-ayah Wu Xie, yang berlari tergesa ke arah tubuh Wang Bo.
Namun ia tidak sempat mencapai ayahnya ketika dari langit meluncur serangan tajam berisi api hitam. Sebuah kilatan pekat menghantam punggungnya, terlalu cepat dan terlalu kuat untuk bisa dihindari.
!!
"AAAAH—!"
Yun Mei berteriak histeris, menyaksikan tubuh suaminya terbakar dalam sekejap. Wang Ren tidak sempat menoleh, bahkan tidak sempat mengucapkan kata terakhir. Api hitam melahap tubuhnya, menyisakan abu dan bau daging yang hangus.
Seorang wanita di samping Yun Mei buru-buru memeluknya dari belakang dan menutup mulutnya.
"Jangan bersuara… demi anakmu…" bisiknya dengan air mata berlinang.
Di sisi lain, seorang pria juga membekap mulut Wang Wu Xie, mencoba meredam suara tangis yang nyaris pecah. Tapi tidak ada yang bisa menahan air mata yang mengalir dari kedua matanya. Air mata yang jatuh tanpa suara dan membawa rasa hancur yang sulit dijelaskan.
Wang Wu Xie tidak pernah menyangka akan menyaksikan akhir dari dua sosok yang paling ia cintai...
Dan menyaksikannya dengan cara sekejam itu.
Tepat di depan matanya.
Tanpa bisa melakukan apa pun.
Sosok yang menghabisi Wang Ren tidak lain adalah Tetua tertinggi dari Sekte Iblis Hitam, Mo Tian Shen. Ia berdiri dengan jubah berkilau hitam dan emas, wajahnya dingin dan matanya menatap tubuh-tubuh yang terbakar seperti menatap debu yang tidak layak dipedulikan.
Tidak ada rasa bersalah di wajahnya, bahkan tidak ada perasaan untuk memberikan pengampunan. Yang ada hanya kehampaan yang menakutkan.
Mo Tian Shen memandang warga Desa Bai Shui seolah mereka bukan manusia, melainkan lumpur busuk yang mengotori jalan kakinya.
“Tidak ada waktu,” ucap Mo Tian Shen tanpa emosi. Suaranya terdengar seperti retakan logam dingin di tengah malam.
“Bawa mereka semua. Jika masih ada yang melawan... bunuh saja.”
******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!