NovelToon NovelToon

Suksesnya Anak Yang Terbuang

Langit Menangis

Hujan turun deras malam itu. Petir menyambar langit yang kelam, seakan ikut menjerit bersama bumi. Angin menggila, memukul-mukul bangunan tua dan menggoyangkan ranting pohon yang meranggas di pinggir jalan. Jalanan sepi, nyaris tak ada kendaraan yang melintas. Kota seperti mati sesaat, tenggelam dalam isak langit yang tak kunjung reda.

Di balik gelap dan dingin malam itu, di sebuah gang sempit yang pengap dan becek, terdengar langkah kaki tergesa. Seorang wanita muda, tubuhnya gemetar, wajahnya tertutup kerudung basah kuyup, berjalan dengan langkah lunglai. Di tangannya, ia mendekap erat sesuatu,sebuah gulungan kain tipis yang membungkus bayi mungil yang tengah tertidur.

Bayinya,darah dagingnya,tapi juga sesuatu yang terlalu berat untuk ia bawa hidup kedepannya.

Wanita itu berhenti di depan sebuah bangunan reyot yang cat temboknya sudah mengelupas. Di atas gerbang karatan, papan kayu tergantung miring bertuliskan:

“Panti Asuhan Kasih Ibu.”

Tangannya gemetar ketika ia menunduk, membuka gulungan kain, memperbaiki posisi kepala si bayi agar tetap hangat meski dibungkus kain tua lusuh. Ia mencium kening anak itu, laman terlalu lama seperti mencium untuk terakhir kalinya. Tangisnya pecah, tapi tak bersuara. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan, menahan isak agar tidak membangunkan si kecil.

Lalu ia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya lecek, sebagian basah, sebagian robek. Dengan tulisan tangan yang tergesa, tinta hampir luntur.

"Maafkan Ibu, Ayla.Dunia ini terlalu kejam untukmu nak,aku tak mampu melindungimu.

Tapi aku berharap, setidaknya di tempat ini kamu bisa hidup.

Tolong, jangan benci Ibu."

Tangannya bergetar hebat ketika ia menyelipkan surat itu ke dalam lipatan kain. Lalu, dengan langkah berat dan mata sembab, ia mengetuk pintu panti tiga kali,keras, cepat, lalu lari. Secepat mungkin, menghilang dalam gelap dan hujan, seakan ingin menghapus jejak hatinya sendiri.

Tak lama, pintu berderit terbuka. Seorang perempuan tua, kurus dan pucat, menyipitkan matanya ke arah kotak kardus yang tergeletak di ambang pintu. Di dalamnya, bayi perempuan itu menggeliat, matanya belum benar-benar terbuka, mulutnya mengisap jari telunjuknya sendiri, mencari rasa hangat yang sudah tak ada.

Perempuan tua itu mendesah panjang dan berkata.

"Anak buangan lagi."

Tanpa ekspresi, ia mengangkat bayi itu dan membawanya masuk ke dalam. Tak ada pelukan,tak ada senyuman. Hanya rutinitas seperti mengambil bungkusan roti dari depan pintu.

setelah meletakkan anak itu,dia lalu membaca sebuah surat yang diselipkan di kardus,yang tertulis.

"Tolong jaga baik-baik anak saya,saya tidak bermaksud membuangnya tetapi keadaan yang memaksa saya harus menaruhnya di panti asuhan. Kasih dia nama Ayla Ramadhani."

"Dasar orang tua tidak bersyukur,apapun alasannya kamu telah membuang anakmu." Geram ibu panti sambil berjalan menyimpan barang-barang dan keluar.

Di dalam panti, lampu temaram menyinari ruangan penuh ranjang besi kecil dan bau apek yang menusuk. Anak-anak lain tertidur lelap. Suara hujan masih terdengar jelas di atap seng yang bocor di sana-sini. Bayi itu diletakkan di atas kasur kecil di sudut ruangan yang paling gelap.

Ia menangis lirih. Bukan karena lapar bukan pula karena dingin tapi karena sesuatu yang lebih purba yaitu kehilangan.

Kehilangan yang tak ia mengerti, tapi akan tinggal selamanya dalam tulang belakangnya.

**

Hari-hari berikutnya menjadi awal dari kehidupan Ayla di dunia yang tak pernah benar-benar menyambutnya.

Ibu panti tidak pernah sepenuhnya menyayangi Ayla,ia tidak pernah mengurus Ayla. Yang mengurus Ayla hanyalah pengasuh yang lain.

Ayla tumbuh di antara anak-anak yang juga tak diinginkan dunia. Ada yang dibuang karena cacat, karena lahir di luar nikah, karena ibunya melarikan diri dari kekerasan rumah tangga, atau karena sekadar tak mampu membayar susu. Panti itu bukan rumah, hanya tempat penampungan. Seperti kardus besar yang menampung barang-barang rusak, berharap suatu hari ada yang mau memperbaikinya.

Tak ada yang mengetahui hari ulang tahun Ayla jadi ibu panti dan para pengasuh memutuskan hari dimana Alya di temukan maka itu hari ulang tahunnya.

Beberapa tahun kemudian Ayla sudah berumur 7 tahun dan masuk sekolah.

Ayla tumbuh pendiam. Terlalu diam untuk anak seumurannya. Matanya selalu menatap kosong ke langit-langit. Ia tak pernah menangis keras. Tidak seperti anak lain yang memaki, meronta, atau berteriak minta pelukan,tapi Ayla hanya diam dan menyimpan semuanya dalam tubuh kecilnya.

Jika anak-anak lain saling memukul karena rebutan roti, Ayla memilih mengalah. Jika ada hukuman, seringkali ia justru dijadikan kambing hitam karena ia tidak pernah membela diri. Dan tak ada yang membelanya juga. Karena siapa peduli?

Satu-satunya hal yang Ayla sukai adalah pojok ruang perpustakaan kecil yang nyaris tak pernah dikunjungi. Di sana, ia menemukan dunia lain. Dunia di mana anak-anak bisa diselamatkan oleh malaikat, di mana hujan membawa pelangi, di mana ibu selalu datang menjemput pulang.

Diujung perpustakaan ia sering menulis sesuatu pada buku kecil.

Kadang Ayla membayangkan, mungkin ibunya membaca buku yang sama di suatu tempat. Mungkin mereka sedang membaca halaman yang sama, meski berada di dua dunia yang berbeda.

Namun, yang Ayla tak tahu adalah bahwa luka di awal hidupnya akan menempel lama seperti bekas luka bakar yang tak bisa dihapus waktu.

Dan dunia belum selesai menyakitinya.

Bersambung.....

Tak Ada Tempat Untuk Ayla.

Bukan hanya di rumah karena ia tak pernah punya rumah tapi juga di panti, di sekolah, di jalan, bahkan di udara yang ia hirup. Dunia memperlakukannya seperti kesalahan yang seharusnya tidak pernah ada. Seperti coretan tinta di buku tulis yang ingin dihapus tapi justru menyebar ke mana-mana, mengotori halaman hidup yang lain.

Di Panti Asuhan Kasih Ibu, Ayla bukan siapa-siapa. Ia hanya si bocah pucat, anak pembawa sial, dan dijuluki si bebek bisu. Julukan itu datang dari sesama anak panti yang seharusnya mengerti luka, tapi malah menjadi bagian dari pisau yang selalu menyayat.

Ayla dibully sejak ia mulai bisa berjalan,banyak yang mengatakan jika Alya akan lambat berjalan dan jalannya pun seperti bebek.

Awalnya karena ia pendiam,lalu karena ia terlalu kurus. Lalu karena wajahnya dianggap aneh. Lalu karena apa pun. Alasan itu tak pernah penting,yang penting adalah mereka punya seseorang untuk dilukai. Dan Ayla, dengan ketenangannya yang menjemukan, dengan sorot mata kosongnya yang tak pernah membalas, adalah sasaran yang sempurna.

"Lihat, dia kayak hantu!"

"ia dia sangat jelek. Aku yakin sampai besar pun dia akan sejelek ini dan tidak ada yang mau mengadopsinya."

"Pasti ibunya ninggalin dia karena dia kutukan."

"Coba lihat matanya, kayak orang kesurupan!"

"iya ibunya membuangnya Karena pembawa sial." berbagai macam cacian dan olokan dari teman-temannya,yang harusnya mereka saling mengerti betapa sakitnya di buang tetapi entah mengapa mereka malah membenci Ayla.

Mereka menyembunyikan sendalnya, menyiramkan air sabun ke tempat tidurnya, menyobek bukunya, bahkan pernah mengurungnya di kamar mandi hingga tengah malam. Tapi Ayla hanya diam,menahan,menyimpan dan menelan semua dengan pahit yang lama-lama menjadi biasa.

Yang paling menyakitkan adalah bahwa tidak ada satu pun orang dewasa di panti yang benar-benar peduli. Mereka hanya melihat Ayla sebagai anak yang terlalu pasrah. Kalau ia dibully, itu pasti karena ia sendiri yang terlalu lemah.

Di sekolah, semuanya lebih buruk lagi.

Anak-anak sekolah tahu Ayla berasal dari panti asuhan. Dan itu saja sudah cukup menjadi alasan untuk menertawakannya. Ada beberapa dari panti asuhan tapi mereka tetap rapi seperti yang lain berbeda dengan Alya yang lusuh.Ia tak pernah membawa bekal. Seragamnya selalu lusuh,rambutnya tipis dan kering,sepatunya bolong,buku tulisnya bekas. Dan yang lebih menyakitkan,gurunya juga tak berbeda. Gurunya tidak pernah membelanya.

“Anak panti” selalu duduk di bangku belakang. Jika ada kegiatan kelas seperti bawa makanan, kumpul iuran, atau piknik, Ayla akan jadi yang tertinggal. Teman-temannya menjauhinya seperti dia membawa penyakit. Ia menjadi bayangan yang tak dilihat, tapi juga selalu dicibir.

"Kamu bau."

"Kamu numpang di sekolah ini ya?"

"Nanti kalau kamu duduk di sebelahku, aku bisa sial."

Dan Ayla lagi-lagi hanya diam. Kadang ia ingin berteriak, “Aku juga manusia!” Tapi suara itu hanya sampai di tenggorokan. Tak pernah keluar.

Namun, di tengah gelap yang seperti tak berujung itu, Tuhan menyisakan satu cahaya kecil.

Namanya Rani.

Rani bukan anak yang populer. Ia juga tinggal di panti. Tapi berbeda dengan yang lain, Rani ramah dan hangat. Kulitnya sawo matang, rambutnya dikepang dua, dan senyumnya sungguh manisa, senyum Rani selalu seperti pagi setelah badai. Pelan, tapi melegakan.

Pertemanan mereka dimulai dengan hal kecil.

Suatu hari, Ayla duduk di belakang panti, menangis diam-diam karena buku ceritanya disobek. Rani datang dan duduk di sebelahnya tanpa banyak tanya. Ia tidak memaksa Ayla bicara. Ia hanya mengeluarkan satu lembar kertas kosong dari sakunya dan menggambar.

“Ini kamu,” katanya sambil menunjuk gambar seorang gadis kecil dengan sayap.

“Kenapa aku punya sayap?” Ayla menoleh pada Rani dan menatapnya

“Karena kamu kayak malaikat. Nggak pernah marah, meskipun selalu disakitin.” Kata Rani dengan lembut

Perbedaan usia mereka tidak terlalu jauh,Rani kini berumur 10 tahun.

Sejak hari itu, mereka hampir selalu bersama. Rani menjadi satu-satunya orang yang membela Ayla ketika ada yang membulinya. Ia rela dikucilkan karena membela Ayla. Pernah suatu hari, seorang anak laki-laki mendorong Ayla ke tanah. Rani memukul anak itu dengan buku, membuatnya berdarah. Rani dihukum seminggu tak boleh keluar kamar. Tapi saat Ayla menjenguknya, Rani cuma berkata

"Kalau bukan aku, siapa lagi yang jagain kamu?"

Ayla tidak menangis saat itu. Tapi malamnya, ia menulis lagi di buku kecilnya, untuk pertama kalinya dalam hidupnya ada yang rela di hukum karena dirinya. Isi buku yang dia tulis tentang bintang yang turun dari langit dan tinggal di bumi untuk menjaga cahaya kecil yang hampir padam.

Itu cerita kesekian kalinya yang ia tulis,cerita dia hampir sama dengan sebuah puisi. Itu juga cinta pertamanya bukan cinta yang romantis, tapi cinta yang menyelamatkan.

Namun, hidup tak pernah memberi hadiah tanpa ujian. Dan persahabatan pun bukan benteng yang kekal.

Suatu hari, seorang keluarga kaya datang ke panti mencari anak perempuan untuk diadopsi. Mereka memilih Rani. Wajah cantiknya dan sifat cerianya memikat mereka sejak pandangan pertama.

Rani menolak.

“Aku nggak mau ninggalin Ayla,” katanya tegas.

Tapi panti tak peduli. Mereka butuh uang. Rani dipaksa pergi, dijemput esok harinya.

Malam sebelum perpisahan itu, Rani dan Ayla duduk berdua di atap panti, memandangi langit,tak ada yang bicara hanya suara jangkrik, dan detak jantung yang tak sinkron.

"Ayla, kamu harus janji satu hal." Akhirnya Rani berkata pelan

"Apa?"

"Kamu harus bertahan. Karena suatu hari, kamu akan jadi orang penting,yang nulis buku,yang cerita tentang kita,tentang kamu dan aku akan baca itu di manapun aku berada. Kamu akan menjadi penulis hebat nantinya."

Ayla menggigit bibirnya. “Aku nggak bisa kalau sendiri.”

“Kamu nggak sendiri,kamu punya langit dan langit nggak pernah ninggalin kamu.” Rani tersenyum

"kamu sering-sering kesini ya." kata Ayla dengan nada senduh

"iya Kamu tenang aja,aku akan selalu mengunjungimu dan disaat kita dewasa kita akan bersama lagi." Rani memeluk tubuh kurus Ayla.

***

Keesokan paginya, Rani pergi dan Ayla kembali sendiri.

Dunia tak berubah. Bullying terus berlanjut,tapi sekarang Ayla punya sesuatu yaitu harapan.

Ayla menulis setiap hari sejak itu. Ia mencoret-coret buku bekas, menulis puisi, cerita pendek, surat untuk Rani yang tak pernah dikirim. Tulisannya masih buruk. Tapi emosinya nyata. Bahkan dia selalu menulis cerita hidupnya.

Setiap kali dunia menyakitinya, Ayla menulis. Dan setiap kali ia menulis, ia merasa Rani sedang membacanya di suatu tempat.

“Kadang Tuhan tidak menciptakan banyak cahaya. Tapi satu saja sudah cukup untuk membuat kita tetap hidup.”

Bersambung....

Suara yang Tak Didengar

Kini usia Ayla 11 tahun. Malam di Panti Asuhan Kasih Ibu selalu dingin. Bukan karena udara, tapi karena suasana. Karena dinding-dindingnya menyimpan terlalu banyak tangisan anak-anak yang tak sempat tumbuh. Karena lorong-lorongnya penuh bisikan luka dan bau apek kasur tua yang tak pernah diganti.

Untuk Ayla, malam adalah waktu yang paling menyakitkan.

Sejak kepergian Rani, semuanya terasa kosong,lebih sepi,lebih sunyi dan tidak ada lagi tangan yang menggenggamnya saat ia gemetar karena mimpi buruk. Tidak ada suara tawa pelan saat lampu dipadamkan,yang tersisa hanya suara napasnya sendiri, dan rasa bahwa ia benar-benar sendiri sekarang.

Seiring waktu, penderitaannya tak berkurang. Justru bertambah. Anak-anak di panti seolah menikmati kekosongan dalam hidup Ayla. Tanpa Rani, ia menjadi sasaran empuk yang tak punya pelindung. Mereka mulai lebih kejam dari sebelumnya.

Suatu malam mereka memotong rambut Ayla saat ia tidur,menaburi kasurnya dengan debu gergaji hingga tubuhnya gatal-gatal semalaman. Mereka juga membuang pakaian dalamnya ke toilet dan yang paling parah, suatu malam, seorang anak laki-laki tertua bernama Bayu berumur 18 tahun mengunci Ayla di gudang sempit selama berjam-jam tanpa cahaya.

Gudang itu penuh tikus,Ayla berteriak. Tapi tidak ada yang datang dan tidak ada yang peduli. Kejadian malam itu menjadi trauma yang sangat membekas di hati Ayla. Sejak saat itu dia takut dengan gelap dan tikus.

Ketika akhirnya pintu dibuka oleh salah satu pengurus panti,dia mendapati tubuh Ayla gemetar tak terkendali. Pipi kanannya memar, mungkin karena terbentur saat mencoba keluar. Ia muntah dan menangis dalam diam.

Pengurus panti tahu. Tapi mereka hanya berkata, “Ayla harus belajar membela diri. Dunia ini kejam. Jangan cengeng.”

Sebenarnya ada salah satu dari pengurus panti yang tidak terlalu kejam tapi dia juga jarang membela Ayla,mungkin karena ia takut dengan ibu panti atau ada alasan lain tapi tidak jarang juga dia menolong Ayla secara diam-diam.

Dan memang benar, dunia memang kejam. Tapi apakah anak 11 tahun harus belajar menerima kejamnya dunia dengan cara ini?

Setalah mendengar perkataan dari pengurus panti itu,ia bertekad untuk kuat.

Ayla mulai berubah. Ia mulai menyimpan rasa marah. Bukan seperti anak-anak lain yang berteriak atau mengamuk. Tapi marah yang pelan, dalam, dan diam. Marah yang menjelma menjadi ketegangan di bahunya, menjadi gemetar di ujung jarinya saat menulis, menjadi gigit bibir setiap kali ia harus menahan diri untuk tidak membalas.

Tapi suatu hari, Ayla meledak.

Itu terjadi saat makan malam. Ayla datang paling akhir karena harus bersihkan toilet lebih dulu. Saat ia duduk, piringnya sudah kosong. Daging ayamnya yang satu-satunya lauk hari itu sudah diambil oleh Bayu.

Dengan suara kecil, Ayla berkata, “Itu ayamku…”

Bayu tertawa. Anak-anak lain ikut tertawa. Salah satu dari mereka mendorong kepala Ayla dengan sendok plastik.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ayla berdiri.

Matanya tajam. Tangannya gemetar. Tapi suaranya keluar.

“Aku bilang… itu ayamku!”

Bayu menatapnya dengan ejekan. “Kamu mau apa? Nangis?dasar cengeng."

“Enggak.” Ayla mendekat. “Aku mau kamu tahu kalau aku bukan boneka. Aku bukan bayangan,aku juga manusia,aku hidup,aku sakit dan aku juga bisa marah.”

Ruangan sunyi. Mereka tidak terbiasa melihat Ayla bicara seperti itu. Tapi Bayu, merasa harga dirinya diinjak, ia bangkit dan mendorong Ayla hingga jatuh ke lantai.

Kepalanya membentur kaki meja. Darah mengalir dari pelipisnya.

Ayla menatap mereka dari bawah. Air matanya tak terbendung.

Tapi kali ini bukan air mata ketakutan. Ini adalah air mata harga diri yang dirampas berkali-kali. Rasanya di dada sangat sesak.

Pengurus panti datang terlambat, seperti biasa. Mereka malah memarahi Ayla karena membuat keributan.

“Kalau kamu tidak bikin masalah, mereka juga nggak akan ganggu kamu, Ayla! Jangan cari perhatian terus!”

"Bu mereka mengambil ayamku,aku cuma membela diri tapi malah mendorongku." Kali ini Ayla berani bicara

Itulah kalimat yang membunuhnya lebih dari pukulan.Cari perhatian.Seolah semua penderitaannya adalah upaya untuk dipedulikan.

Malam itu, Ayla menangis di kamar mandi, memeluk lutut, membiarkan air keran mengalir membasahi kepalanya. Ia menggigit lengan bajunya agar tak terdengar. Tangisnya seperti badai yang ditahan terlalu lama.

> “Kenapa aku lahir?”

“Kenapa aku dibuang?”

“Kenapa tidak ada yang mau menyayangiku, bahkan sedikit saja?”

Ia menatap wajahnya di cermin. Mata bengkak. Pipi memar. Bibir berdarah. Tapi yang paling menyakitkan bukan di luar. Luka paling dalam itu tak bisa dilihat.

Dan saat itu, Ayla merasa dirinya tidak berharga.

"Ayo akh obati lukanya." Tangan lembut merangkul punggung Ayla. Ia kaget kali ini ada yang menolongnya dan ternyata itu adalah pengurus panti yang selalu membatunya dalam diam,namanya Santi.

"Jangan kak,nanti ibu marah." Tolak Ayla karena dia tahu kalau ketahuan oleh ibu panti pasti Santi akan kena marah.

"Ibu sudah dikamarnya kok,ayo cepat sebelum ada yang lihat." Santi membawa Ayla ke ruangan belakang yang sunyi untuk mengobati lukanya.

***

Turunnya hujan malam itu membuat Ayla semakin merasa sendiri. Namun di tengah hujan air mata itu, ia teringat satu suara.

Suara Rani.

"Kamu punya langit. Dan langit tidak pernah ninggalin kamu."

Ayla mengangkat wajahnya. Ia menatap ke luar jendela kamarnya. Langit malam hitam pekat, tapi ia tahu di balik itu, ada bintang. Mungkin langit tak datang untuk menolongnya. Tapi langit melihatnya.

Ayla tidur sendiri dikamar paling ujung karena tidak ada anak yang mau tidur dengannya.

Sejak kejadian malam itu, Ayla mulai menulis dengan lebih liar. Ia menuliskan semuanya dengan nama samaran, dengan cerita fiksi, tapi lukanya nyata. Ia tulis di buku catatan tua, disembunyikan di bawah kasurnya. Buku itu menjadi satu-satunya tempat di mana ia bisa membela diri tanpa dipukul. Satu-satunya tempat ia bisa menangis tanpa dipermalukan. Dimana dia mencurahkan semua rasa sakit yang dia terima dan kesedihannya.

"Andai dulu ibu tidak membuangku,andai aku tidak terlahir didunia,mungkin aku tidak akan merasakan semua ini. Salahku apa harus menerima semua rasa sakit ini." Ayla terus bermonolog sendiri didalam kamarnya hingga ia tertidur.

Tapi Ayla belum tahu bahwa titik terendah masih belum datang. Dan bahwa luka malam itu hanya awal dari apa yang akan mendorongnya untuk mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya. Malam itu dia berpikir untuk melarikan diri.

“Kadang, dunia memaksamu bertahan sampai kamu sendiri tak tahu apa yang sebenarnya kamu pertahankan.”

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!