"Gen, kita pisah. Aku enggak bisa lagi sama kamu."
Kata-kata itu keluar dari mulut Indri seperti badai yang datang tanpa aba-aba.
Gena berdiri terpaku, seolah dunia berhenti berputar. Bibirnya ingin berkata sesuatu, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Satu kedipan mata kemudian, Indri telah membalikkan badan dan melangkah pergi. Pergi begitu saja. Sepihak.
Dia tidak memberinya ruang untuk bertanya, tidak memberinya waktu untuk mengerti.
Gena hanya bisa menatap punggung wanita yang selama ini ia perjuangkan, perlahan menjauh. Hujan turun tipis, seakan ikut menertawakan keputusasaannya.
Beberapa hari kemudian, Gena duduk di ruang kerja ayah angkatnya. Tangannya mengepal di atas lutut, mata menatap lantai dengan pandangan yang kosong tapi penuh tekad.
"Ayah," suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi kalimat selanjutnya menghantam udara dengan dentuman keras. "Aku mau menikahi Indri."
Ayah angkatnya, seorang pria berwibawa dengan rambut yang mulai memutih, langsung menoleh tajam.
"Apa?!"
"Aku serius."
"Jangan bicara omong kosong!" seru sang ayah. Wajahnya memerah. "Kamu tahu siapa dia? Kamu tahu apa yang dia sembunyikan dari kita?"
Gena terdiam. Ia tahu, ayahnya tidak pernah benar-benar menyukai Indri. Ada sesuatu dalam latar belakang gadis itu yang dianggap tidak pantas. Tapi bagi Gena, tidak ada yang lebih penting dari cinta.
"Aku enggak peduli," desisnya pelan namun mantap. "Aku cinta dia. Aku ingin bertanggung jawab."
"Tidak!" bentak sang ayah. "Selama aku masih hidup, kamu tidak akan pernah menikahi wanita itu!"
Gena berdiri. Rahangnya mengeras. “Kalau begitu… aku akan hidup tanpa restu Ayah.”
Dan dia pergi. Begitu saja.
Gena mencari Indri, menelusuri tempat-tempat biasa mereka bertemu, sampai akhirnya menemukan gadis itu di sebuah rumah kontrakan kecil di pinggiran kota. Rambut Indri diikat sederhana, wajahnya terlihat letih, tapi tetap cantik di mata Gena.
"Indri," Gena menatapnya dalam-dalam. "Ayo kita menikah."
Indri terdiam. Bibirnya bergetar, namun bukan karena bahagia. Ia menunduk. Perlahan, ia melepaskan genggaman tangan Gena.
"Aku enggak bisa, Gen."
"Kenapa?" suara Gena terdengar putus asa.
"Aku harus membiayai hidup adikku. Kamu tahu itu," katanya pelan. "Menikah denganmu hanya akan menambah beban. Aku butuh stabilitas, bukan cinta yang mengandalkan tekad doang."
"Aku bisa kerja lebih keras. Kita bisa hadapi semua bareng-bareng!" Gena mencoba meyakinkan.
"Tidak cukup," potong Indri cepat. "Aku sudah memutuskan, Gen. Kita... nggak akan ke mana-mana. Aku harus realistis."
Kata-kata itu seperti pisau yang menyayat dada Gena. Bukan hanya karena ditolak, tapi karena ditolak oleh alasan yang menurutnya bisa mereka atasi bersama.
Indri menatapnya terakhir kali, lalu masuk ke rumah dan menutup pintu.
Dan untuk kedua kalinya, Gena ditinggalkan.
Malam itu, Gena duduk di tepi ranjangnya yang dingin. Matanya menatap nanar dinding kosong.
“Kalau itu maumu, Indri….” desisnya lirih.
Kemarahan mengalir pelan di nadinya. Perih yang ia rasakan berubah menjadi bara.
Jika tak bisa memilikinya, maka tidak ada yang boleh memilikinya dengan damai.
"Aku akan membuat hidupmu hancur." gumamnya, dingin. "Aku akan pastikan kamu tahu rasanya ditinggalkan, dipaksa menyerah, dan kehilangan segalanya… seperti aku sekarang."
Gena tersenyum tipis. Bukan senyum bahagia, tapi senyum getir dari seseorang yang hatinya telah dicuri, dipatahkan, dan dibuang.
Ia mencintai Indri. Tapi kini, cinta itu telah membusuk menjadi dendam. Dan tidak ada yang lebih berbahaya… daripada hati yang patah dan tak mampu memaafkan.
Sally membenamkan dirinya ke dalam bantal yang tengah ia peluk karena bunyi alarm yang terus terdengar dari jam weker miliknya. Sally rasa dia baru saja mengistirahatkan tubuhnya tadi di kasur. Tapi, sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 06:55 WIB. Saat jam weker itu terus berbunyi, Sally tetap mendiamkannya selama 1 menit. Wanita itu berpikir jam weker itu akan berhenti sendiri tanpa harus dia matikan.
Jam weker miliknya berhenti berbunyi, Sally mengucap syukur. Tapi dia langsung terbangun karena melihat Ibunya Indri menatapnya dengan sorot mata tajam. Indri sedikit khawatir karena melihat anak sambungnya itu masih bermalas-malasan di atas kasurnya. Pasalnya Sally adalah anak yang sangat suka bekerja, tapi saat ini dia masih berada di atas kasur.
"Sally, ingat, hari ini kamu ada meeting sama client kamu kan." Indri menarik sedikit selimut yang menutup wajah Sally dengan pelan.
"Tiga puluh menit lagi, please. Aku masih ngantuk. Semalem aku begadang." Sally tampak frustasi. Hari ini dia harus bertemu dengan clientnya untuk melakukan advertising. Sally harus melakukan sebuah meeting untuk membuat iklan promosi untuk clientnya.
Jujur saja Sally begadang semalaman untuk mengerjakan proyek barunya nanti. Promosinya memang belum diputuskan mau bagaimana. Tapi, Sally, yang suka dengan pekerjaannya ingin membuatnya lebih dulu, agar clientnya nanti terkesan. Kalau nanti dia berhasil, toh dia tidak perlu repot-repot lagi membuatnya nanti.
"Yaudah, Asa, kamu tidur lagi. Nanti, jam setengah delapan pagi, Ibu bangunin." Indri menggelengkan kepala, melihat tingkah laku anak sambungnya itu.
"Enggak usah deh, aku bangun sekarang aja. Nanti pas jam istirahat bisa tidur lagi di kantor." Sally terduduk lesu di atas kasurnya, mulutnya terus menguap karena rasa kantuk yang tak kunjung menghilang.
"Yakin?"
"Iya, Bu. Sebentar lagi, aku pergi mandi." Sally tersenyum melihat ke arah Ibu sambungnya itu.
"Oke, kalau begitu, Ibu pergi siapin makanan ya!" Indri mengacak-acak kepala Sally dan pergi meninggalkan Sally sendirian.
"Come on Sally, You can do it!" Sally menyemangati dirinya sendiri
*****
Sally terus menguap di sepanjang perjalanan menuju ke kantor. Jika saja dia tidak begadang semalam, hari ini dia pasti akan terlihat segar. Apalagi, sekarang dia akan bertemu dengan seorang client, mau tidak mau, Sally harus membuat kopi untuk dirinya sendiri nanti di pantry.
"Lesu amat? Begadang ya semalam?" Tanya Tita, Manager Sally di kantor.
"Iya, semalem begadang. Capek banget, masih ngantuk...." Sally sedikit merengek.
"Minta bikinin kopi aja sama OB." Jaka, senior Sally di kantor menimpali obrolan.
"Aku bikin sendiri aja. Lagian cuma kopi doang, gampang." Wanita dengan potongan rambut bob sebahu itu nyengir memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
"Oh iya Sall, nanti kamu meeting sama Pak Gena ya. Jangan lupa, dia orangnya perfeksionis, kamu harus bisa ngimbangin dia. Biar proyeknya nanti lancar." Tita memperingatkan Sally.
"Pak Gena, gimana sih orangnya?" Tanya Sally, agar nanti tidak salah langkah.
"Saya cuma bisa kasih tahu hal ini, nama dia, Gena Febrian, umurnya sudah 36 tahun dan dia seorang Kepala di perusahaan teknologi, selebihnya nanti kamu saja yang atur baiknya bagaimana." Tita menepuk pundak Sally dan pergi meninggalkan Sally.
Sally pergi membuat kopi dan berjalan menuju ruangannya untuk bertemu dengan tim advertising.
*****
"Udah siap semua kan? Lula, Mbak Yeni?" Tanya Sally pada timnya.
"Udah, saya sudah siapin semuanya di ruangan meeting, tinggal tunggu Pak Gena datang saja." Jawab Lula antusias.
"Oke, semoga sukses ya semua." Sally menyemangati rekan-rekan tim advertising.
Setelah Sally menunggu cukup lama, Gena sudah sampai di ruangan Meeting. Mereka memulai meeting dengan perkenalan.
"Selamat pagi, Pak Gena, bagaimana kabarnya? Perkenalkan saya Sally, ini Lula dan yang ini Ibu Yeni, kami semua adalah tim di bagian advertising." Kata Sally sambil menjabat tangan Gena.
"Pagi, saya Gena Febrian, kalian bisa langsung mulai menjelaskan apa yang akan di tampilkan dalam advertising teknologi, untuk PT saya." Kata Gena sambil memperhatikan Sally lekat-lekat. Matanya melihat sally dari atas sampai bawah, membuat gadis berumur 28 tahun itu sedikit menelan ludahnya kasar.
"Baik, Pak Gena, kami akan mulai menjelaskan." Kata Sally dan timnya, mereka mulai menjelaskan apa yang ingin mereka kerjakan.
Setelah tiga puluh menit melakukan meeting, Yeni memberikan pertanyaan kepada Gena.
"Bagimana Pak Gena? Apakah berkenan?" Tanya Yeni tersenyum kepada Gena.
"Saya setuju, proyek advertising ini bagus sekali. Kapan kalian bisa mulai mengerjakannya?" Tanya Gena antusias.
Sally ingin menjawab pertanyaan Gena, tapi di dahului oleh Yeni, "Beri saya waktu seminggu Pak." Kata Yeni, yang membuat semua mata melihat ke arahnya. Apakah Yeni tidak salah berbicara? Seharusnya proyek ini memerlukan waktu sekitar setengah bulan.
"Maaf Pak Gena, tim kami memerlukan waktu setengah bulan, apa Pak Gena keberatan?" Tanya Sally. Yeni tampak kesal dengan ucapan Sally.
"Setengah bulan ya? Oke. Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu, terima kasih untuk meetingnya." Gena tersenyum ke arah Sally, gadis itu langsung menundukkan kepalanya karena malu.
Sally kesal dengan Yeni yang asal bicara, Jika saja tadi Pak Gena menyetujui proyek ini dilakukan hanya seminggu, bisa tidak tidur lagi Sally selama seminggu.
"Mbak Yeni, tolong jangan begitu lagi, kita kan enggak tahu kapan proyek itu bisa selesai. Kalau cuma seminggu, itu enggak mungkin." Sally berbicara sambil menahan emosinya.
"Terserah gue lah." Kata Yeni dan pergi meninggalkan timnya yang juga tampak kesal.
*****
Sally sedang berjalan-jalan di Senayan. Hari ini sangat melelahkan dirinya, mulai dari tidur yang kurang, dan juga cekcok yang di lakukannya di kantor dengan Yeni. Jika tidak ada Jaka yang menjadi penengah, pasti mereka masih ribut sampai sekarang.
Wanita berkulit putih dan manis itu melihat sesosok yang ia kenal sedang mengendarai sepeda di Senayan. Gena Firmawan, sedang olahraga di sore hari dengan sepedanya.
"Enggak nyangka bisa lihat Pak Gena lagi disini." Kata Sally pada dirinya sendiri.
Sally memperhatikan Gena yang sedang mengendarai Sepedanya. Dia tersenyum kecil melihat tingkah laku Gena di atas sepedanya. Gena menyapa orang-orang yang tidak dikenalnya di jalan. "Sepertinya, aku suka sama Pak Gena." Pipi Sally memerah karena ucapannya sendiri.
*****
Keluarga adalah rasa bahagia yang tidak akan pernah sirna, tempat ternyaman dalam berbagi kisah duka maupun tawa. Ada banyak keluarga yang mengalami keharmonisan dan juga kehancuran, begitu pula dengan Sally Purnama, wanita berumur 28 tahun itu tidak pernah mengenal sosok Ibunya sendiri, dia hanya mengenal nama Ibunya yang bernama Rosa Hermawan. Ibu kandungnya harus meninggal saat melahirkan Sally. Saat ini Sally tinggal bersama Ibu sambungnya Indri dan Ayahnya Surya, seorang Dokter bedah ternama.
Sally terus memandangi Ayah dan Ibunya yang masih asyik menonton televisi. Hari ini, hari Minggu, keluarga Sally termasuk Sally sendiri libur dari kerjaannya. Suasana keluarga mereka cukup harmonis. Sally mendekati Ayah dan Ibunya yang sedang menonton.
"Nonton acara apa?" Tanya Sally pada Ayahnya Surya.
"Nontoh film tentang kedokteran. Ayah masih kecewa sama kamu Sa, karena kamu enggak mau jadi Dokter." Kata Surya memandang Sally dengan tampang kecewa.
"Ayah, udah berapa kali Asa bilang, Asa enggak mau jadi Dokter!" Sally sedikit meninggikan suaranya. Dia kesal dengan Ayahnya, yang selalu membahas hal yang jelas-jelas tidak Sally inginkan. Tapi, Ayahnya tidak pernah mengerti apa yang dirasakan oleh Sally.
"Udah, jangan ribut, kamu juga Mas, biar Asa tentuin sendiri masa depannya mau bagaimana." Indri mencairkan keadaan karena takut nanti akan terjadi keributan seperti yang sudah-sudah.
Sally yang sudah kesal langsung berlari ke halaman belakang rumah. Dia menatap kosong pepohonan yang rindang. Wanita itu memikirkan masa lalunya, saat pertama kali bertemu dengan Indri sebagai guru lesnya dan bagaimana dia jatuh cinta dengan Omnya sendiri.
"Hallo, Sally ya?" Tanya Indri yang sudah duduk di hadapan Sally.
"Iya." Jawab Sally seadanya sambil melihat Indri dari atas sampai bawah.
"Perkenalkan, saya Indriani Gumilar, saya guru les baru kamu." Kata Indri tersenyum tulus di hadapan Sally. Sally langsung tersentuh dengan senyuman yang diberikan Indri.
"Panggil aku, Asa, ya?" Kata Sally. Dia tidak pernah merasakan sosok Ibu dalam hidupnya. Di mata Sally, Indri adalah seorang yang hangat dan bisa diajak bicara.
"Oke Asa, jadi kita mulai belajarnya ya." Indri mencubit pelan pipi Sally.
Setelah beberapa lama bersama, Indri dan Sally menjadi akrab. Mereka berdua sudah seperti Ibu dan anak. Sally sangat menyukai Indri, wanita itu terus menyuruh Indri agar menikah dengan Ayahnya yang seorang Dokter bedah. Sally tahu, Ayahnya juga menyukai Indri. Makanya Sally sangat yakin agar Indri dan Ayahnya segera menikah.
Setelah pernikahan Indri dan Surya, adik dari Indri sering bermain di rumah mereka. Namanya, Jaka Gumilar, dia adalah seorang mahasiswa kedokteran di Universitas yang ada di Malaysia. Pria itu juga ingin menjadi seorang Dokter bedah seperti Ayahnya Sally. Sally memanggilnya dengan sebutan Om, karena dia adik dari Indri.
Sally diam-diam menyukai Jaka, Omnya sendiri. Tapi dia tidak pernah memberitahu perasaannya kepada Jaka.
"Sally, mau apa?" Tanya Jaka yang sedang menyantap makanannya di meja makan.
"Ehm.... Ini, Asa mau ambil makan." Kata Asa gelagapan.
"Hahaha, Asa kamu manis banget. Mau aku ambilin?" Jaka menggoda Sally yang sudah salah tingkah.
"Enggak usah, Asa bisa sendiri." Sally mempercepat gerakannya, dan di tertawakan oleh Jaka.
"Jaka, anak aku jangan di godain terus." Indri memanyunkan bibirnya ke arah Jaka.
"Bercanda doang Kak."
"Asa, are you okay?" Indri menepuk pundak Sally yang sedari tadi sedang melamun melihat pepohonan.
"Aku enggak apa-apa." Jawab Sally tersadar dari lamunannya akan masa lalunya.
"Lagi mikirin apa anakku?" Tanya Indri sembari membelai rambut anaknya itu lembut.
"Aku keinget masa lalu, he he." Sally tersenyum getir.
"Udah, omongan Ayahmu enggak usah dipikirin, sekarang makan Yuk. Nanti keburu dingin." Indri mengajak Sally untuk makan siang.
*****
Gena Febrian, seorang Kepala di perusahaan teknologi di Indonesia. Tinggi badannya 185 cm, tubuhnya kurus dan memiliki warna kulit kuning langsat. Sebelum dia sampai di titik ini, dia pernah di titik terendah di hidupnya. Dia hidup di keluarga Santoso. Keluarga kandungnya tidak ada, dia hanya memiliki Ayah tiri dan saudara-saudara dari keluarga Ayahnya.
Gena di gemari banyak wanita di kantornya, karena keramahannya dan juga kepeduliannya terhadap karyawan. Dia juga adalah sesosok pemimpin yang sangat dibangga-banggakan oleh perusahaannya.
Pria itu memandangi jendela di ruangan kerjanya. Pikirannya terus menerus mengingat kejadian di masa lalu, saat dia masih berada di titik terendah dalam hidupnya. Dia tersenyum getir mengingat kejadian itu, hatinya masih sangat sakit, padahal sudah sepuluh tahun lalu, tapi kenapa rasanya masih sakit?
Gena memiliki masa lalu yang sedikit suram, dia ditinggalkan oleh seorang kekasih yang dia cinta dan ingin ia nikahi, tapi kekasihnya menolaknya. Saat ini Gena memiliki tunangan. Tunangannya adalah anak perempuan dari Ayahnya yang bernama Fera Santoso. Pria itu tidak mencintai tunangannya itu.
Jika saja dulu Gena menikah dengan kekasihnya, mungkin dia tidak akan sampai di titik ini.
Dulu Gena harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan apa yang dia mau. Gena pernah kabur dari kediaman Santoso untuk mengejar kekasihnya. Gena tidak di perbolehkan Ayah angkatnya untuk menikahi kekasihnya, karena Ayahnya ingin dia bertunangan dengan Fera.
"Aku mohon, aku mau menikahimu Indri." Kata Gena dengan raut wajah sedih.
"Aku enggak bisa Gen, kamu enggak punya apa-apa, aku harus pergi untuk membiayai adikku."
"Aku bersumpah akan membuat kamu menyesal Indri!" Gena benar-benar marah dan kesal. Pria itu berjanji akan membuat keluarga Indri hancur.
Jika di ingat-ingat masa lalu Gena sangat suram.
Santoso selalu menyuruh Gena untuk mengajari anak-anaknya. Mulai dari Ruly, dia anak yang harus di bimbing oleh Gena. Pria itu harus menurutinya agar dia bisa hidup tenang.
"Kalau kamu mau kesuksesan, bertunanganlah dengan Fera." Titah Santoso pada Gena.
"Baik, aku akan bertunangan dengan Fera." Mau tidak mau, Gena harus menuruti lagi kemauan Santoso, agar dia sukses dan bisa menghancurkan keluarga Indri, yang telah membuatnya sakit hati.
Sampai saat ini, Gena berhasil menjadi seorang Kepala di perusahaan teknologi yang ada di Indonesia.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!