Dalam sunyi pagi sebuah kota, ketika aroma kopi arabika menyelinap dari jendela-jendela kecil butik tua yang terselip di gang sempit. Seorang perempuan berdiri di depan cermin, bukan untuk mematut diri, tetapi untuk mengingat siapa dirinya dulu.
Xanara Hazel…
Orang-orang mengenalnya kini sebagai ‘The phantom Needle’. Sosok misterius yang desainnya membius pentas mode di beberapa negara bahkan hingga ke negara asalnya. Tapi jauh sebelum cahaya sorot runway dan pujian dari para kritikus mode, ia hanya gadis asing dengan dua koper, selembar sketsa yang lusuh, dan tekad yang terlalu keras untuk dunia yang terlalu sunyi.
Usianya dua puluh dua tahun ketika pertama kali menginjakkan kaki di negara asing. Tak ada keluarga, taka da modal kecuali keyakinan bahwa kain bukan sekedar bahan, tapi bahasa. Ia bekerja serabutan menjahit baju tidur untuk butik kecil di distrik artisan, menyambung hidup sambil menyimpan mimpi dalam laci terkunci.
Dunia mode tidak ramah pada yang tak punya nama. Tapi Xanara tak butuh nama, ia hanya butuh kesempatan. Dan ketika itu datang dalam bentuk pesanan tak terduga dari istri seorang duta besar, hidupnya berubah. Satu gaun, satu pesta, satu foto di majalah gaya hidup kelas atas… sisanya menjadi sejarah yang ia rajut dengan benang kesabaran dan jarum keberanian.
Kini, Xanara bukan lagi gadis yang mengendap-endap tidur di ruang penyimpanan butik demi menghemat uang sewa. Ia adalah seorang CEO lini fesyen multinasional, pemilik label yang menghiasi etalase kota-kota besar.
Namun, dibalik gemerlap prestasi dan desain haute couturenya yang mempesaona, Xanara tetap perempuan yang percaya : Setiap potongan kain menyimpan cerita.
Dibalik panggung Fashion Week yang megah, ketika blitz kamera meledak seperti kembang api dan tamu-tamu VVIP menyebut namanya dengan lidah bercampur kagum dan aksen, Xanara hanya diam.
Gaun terakhir barisan koleksinya telah berjalan, tepuk tangan bergema, orang-orang berdiri. Nama ‘XANARA’ terpampang dalam huruf kapital di layar belakang runway, tapi dadanya justru terasa sesak.
Ini bukan pertama kalinya ia sukses, bukan pula yang terbesar. Ia telah menaklukan beberapa negara dan menguasainya. Brandnya telah menjadi simbol kelas, kemewahan, dan kecerdasan.
Namun malam ini berbeda, dibalik sorot lampu gemerlap tepuk tangan, pikirannya melayang pada satu kata yang belakangan terus menghantuinya, yaitu ‘pulang’.
Seseorang menepuk pundaknya, yang tidak lain adalah manajernya. Xanara tersenyum seadanya, kemudian menyalami para tamu, menjawab beberapa pertanyaan media dengan kalimat terlatih dan senyum mekanis.
Tapi jiwanya sedang berjalan jauh, melewati waktu, melewati benua. Menuju sebuah kota kecil di belahan dunia yang dulu memutuskan untuk menyingkirkan anak yatim piatu tanpa nama, yang kini berdiri sebagai ikon mode dunia.
“Kesuksesan ternyata tidak pernah bisa mengusir rasa kehilangan” Batin Xanara.
Dan saat ini Xanara sudah bulat dengan tekadnya, jika sudah waktunya kembali. Bukan untuk mencari rumah, tapi untuk menciptakannya sendiri.
Xanara menuju ke belakang panggung, menuju ke tempat yang sudah panitia siapkan sebagai ruangan istirahat untuk Xanara.
Tatapan mata Xanara begitu kosong, membuat Lucy merasa hawatir akan kondisi Xanara saat ini.
“Xanara, are you okay?” Tanya Lucy.
“Tiketku?”
Bukan menjawab pertanyaan dari manajernya, Xanara justru menanyakan hal lain, yang tentunya tanpa itu Xanara tidak akan pernah bisa kembali.
“Sudah. Penerbangan pagi” Jawab Lucy.
Xanara bisa bernafas lega setelah Lucy mengatakan jika persiapannya untuk pulang sudah siap. Dia menatap Lucy yang masih setia menatapnya dengan lekat.
“Lucy, tetaplah disini. Aku pasti akan sering berkunjung”
Mulut Lucy seolah ingin mengatakan banyak hal, tapi dia tidak mampu. Hanya air mata yang menjelaskan kepada Xanara saat ini.
Xanara memeluk Lucy dengan erat, dia mengingat bagaimana dulu dia dengan Lucy berjuang di negara ini. Dan, jika bukan karena bantuan dari Ibu Lucy, mungkin Xanara tidak akan di kenal oleh Dunia.
Ibu Lucy merupakan seseorang yang turut serta membantu Xanara, membawa hasil jahitan Xana ke butik-butik kecil yang berada di kota tersebut, dari butik kecil itu lah Xanara tumbuh hingga sebesar sekarang.
Pesawat telah mendarat di suatu negara, darimana Xanara berasal.
Waktu menjelang subuh, ketika langit masih abu-abu dan jalanan masih malas bernapas.
Xanara benar-benar telah kembali ke negaranya, dia pulang diam-diam untuk membuka cabang labelnya, bukan membuka hatinya.
Taka da penyambutan, taka da publikasi. Hanya satu koper dengan brand terkenal dan wajah yang tertutup kacamata hitam, seolah dia sedang menyembunyikan dunia dari balik lensa.
Xanara berdiri di antrian imigrasi dengan degup jantung yang tak pernah ia rasakan selama berada di luar negeri. Bukan karena takut di tahan, tetapi karena inilah pertama kalinya dalam sepuluh tahun ia kembali ke tanah yang dulu membuangnya dalam diam.
Ia tak datang untuk reuni keluarga, karena memang Xanara tidak memiliki siapapun.
Ia hanya pulang untuk bernostalgia karena taka da yang manis untuk dikenang.
Ia hanya ingin membuka cabang baru labelnya, mencari penjahit lokal, mengangkat bahan etnik ke kancah internasional.
Setidaknya, itu alasan yang bisa diterima oleh akal, bukan Hati.
“Selamat datang kembali Bu” Ucap petugas imigrasi yang hanya dijawab dengan anggukan kecil dari Xanara.
“Kembali? Aku bahkan tidak pernah merasa benar-benar berasal dari sini” Batin Xanara.
Mobil jemputan yang akan mengantar Xanara telah tiba di bandara, jauh sebelum pesawat Xanara mendarat.
“Ibu Xanara? Saya Bagas, sopir yang akan mengantar Ibu” Ucapnya dengan sopan.
Xanara bahkan belum bersuara sejak dia mendarat di negaranya, dia hanya menjawab dengan anggukan kecil. Xanara mengikuti Bagas hingga sampai ke mobilnya, lalu dia bergegas untuk masuk.
Tidak banyak yang Xanara ingat tentang kota tersebut kecuali kemacetan yang berada di mana-mana, Xanara menatap kearah luar dia melihat jalanan yang begitu asing untuknya.
Mobil yang Xanara tumpangi telah berhenti di depan rumah mewah bernuansa eropa, Xanara turun dari mobilnya lalu masuk ke dalam rumah tersebut.
Dia disambut oleh beberapa pelayan yang akan membantunya selama tinggal dirumah tersebut, rumah yang Xanara beli sejak dua tahun lalu yang kemudian dia renovasi dengan nuansa eropa klasik.
“Selamat datang Bu Xanara” Ucap beberapa pelayan.
“Terimakasih”
‘Terimakasih’ adalah kalimat pertama Xanara sejak beberapa jam setelah menginjakkan kaki di negara asalnya.
Xana masuk ke dalam sebuah ruangan kerja, ruangan yang begitu berbeda dengan ruang kerjanya di luar negeri.
Xanara memegang beberapa kain yang sudah Lucy siapkan, dengan beberapa desain milik Xanara yang juga sudah rapi tertata.
Setelah melihat isi ruang kerjanya, Xanara menuju ke sebuah kamar yang tentunya menjadi kamar utama untuknya. Kamar yang begitu luas dan indah, seperti yang sudah Xanara harapkan sejak renovasi berlangsung.
Xanara meletakkan tas mewah miliknya, kemudian dia melepas mantelnya dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Setelah beristirahat beberapa jam, Xanara meraih ponselnya yang berada diatas nakas, dan waktu sudah menunjukan pukul 16.00
“Lama sekali aku tidur” Batin Xanara.
Dia segera turun untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan, karena sejak pagi Xana belum makan apapun.
“Bu Xanara, kami sudah siapkan makanan untuk Ibu” Ucap Pelayan.
Xana duduk di kursinya, kemudian dia menatap makanan dengan ciri khas dari tanah kelahirannya. Dia mengambil sedikit nasi dan beberapa lauk yang sudah tersedia, lalu segera makan.
.
.
Tiga hari kemudian, ia berdiri di dalam ruang butik barunya yang masih tercium aroma cat. Tempat itu benar-benar baru baru jadi, dari sana ia bisa melihat langit kota tersebut yang berwarna abu-abu panas dan deru kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Gedung-gedung menjulang, klakson bersahutan, asap dan ambisi bercamour di udara.
Kepulangan Xanara kali ini begitu ramai di perbincangkan di media sosial dan siaran TV nasional. Banyak sekali yang mencari keberadaan Xanara, namun mereka masih belum bisa menemukan.
Toktoktok!
Seorang staf masuk ke dalam ruangan Xanara dengan beberapa berkas interior.
“Bu Xanara, ada permintaam pesanan jas dari klien khusus. Katanya ingin desain langsung dari Ibu”
Xanara nyaris menolak, ia tidak bisa melayani klien pribadi lagi, apalagi untuk pakaian pria. Tapi entah kenapa, kali ini berbeda.
“Siapkan jadwalnya” Ucap Xanara.
Dan dari sinilah takdir mulai menjahit ceritanya, tanpa ia sadari.
Pagi ini Xanara datang lebih awal dari biasanya, petugas kebersihan masih membersihkan butiknya dengan hati-hati, dan beberapa stafnya mulai berdatangan satu per satu.
Butiknya tampak sama seperti biasanya, tenang, mewah dan steril dari kekacauan dunia luar. Xanara duduk diruang konsultasi dengan buku sketsa di pangkuannya. Xanara mulai mencoretkan beberapa ide desain yang mengendap sejak pagi.
Dan untuk perjanjian hari ini, Ia tak tahu pasti kenapa menerima sesi konsultasi pribadi. Karena Xanara sangat jarang, bahkan nyaris tidak pernah melakukannya.
Aneh tapi Xanara berkata iya. Mungkin karena ia sedang kembali ke tanah air, mungkin karena ia ingin menantang dirinya sendiri. Mungkin ia kembali teringat dengan hal-hal kecil dan manusiawi, atau mungkin karena ia merasa butuh cerita baru.
Toktoktok!
“Permisi Bu Xanara, klien sudah datang” Ucap staf butik.
“Antarkan kemari”
“Baik Bu”
Pintu terbuka.
Seorang Pria masuk ke dalam ruangan konsultasi, dan waktu seperti menahan napas.
Xanara bangkit, berdiri dengan tenang, menyambut pria itu dengan ekspresi yang sengaja dibuat netral, dan untuk beberapa detik, waktu seperti kehilangan suara.
Langkahnya pria tersebut begitu tegap, posturnya mapan, dan matanya tenang, bukan dingin, melainkan tenang seperti seseorang yang sudah berhadapan dengan badai dan tahu cara bertahan. Wajahnya bersih, nyaris terlalu sempurna untuk pria yang katanya datang hanya untuk fitting jas.
Xanara berdiri memberi isyarat ke sofa sebrangnya, dan mempersilahkan pria tersebut duduk.
Pria tersebut memandang ruang konsultasi milik Xanara, ruang yang dibuat senyaman mungkin. Dinding putih gading, ornamen rotan minimalis, dan aroma teh melati yang menguar dari diffuser di pojok ruangan.
Pria tersebut berfikir, jika pemilik butik pasti memiliki alasan untuk mendesain ruangan tersebut menjadi sedemikian rupa.
“Selamat datang” Sapa Xanara dengan mengulurkan tangannya.
“Harvey” Ucap pria tersebut dengan membalas uluran tangan Xanara.
Genggamannya tidak terlalu kuat, tapi mantap. Seolah hanya ingin memastikan keberadaan.
Pria tersebut duduk di sofa kulit buatan luar negeri yang dibeli Xanara dari pelanggan butik antik.
Xanara benar-benar memperhatikan pria yang ada di hadapannya, kemeja biru langitnya di setrika rapi, celananya jatuh sempurna diatas sepatu kulit yang tampak mahal tanpa berteriak, pria tersebut bahkan tidak memakai parfum yang mencolok, tapi aromanya kayu dan tanah setelah hujan seolah memukul sesuatu dalam memori Xanara yang tidak tahu dari mana.
“Saya ingin jas pernikahan” Ucap Harvey pelan.
“Pernikahan saya dua bulan lagi”
Xanara menahan anggukan, sudah bisa ditebak. Tentu saja pria seperti dia tidak mungkin lajang.
“Apakah anda ingin jas formal klasik, atau ingin saya bantu eksplor desain yang lebih kontemporer?”
Harvey tampak berfikir sejenak…
“Saya tidak terlalu mengerti gaya. Tapi saya ingin terlihat pantas, tidak mencolok tapi tidak membosankan”
“Hmm” Gumam Aluna sambil mencoret sesuatu di kertasnya.
“Itu seperti meminta saya merancang badai tanpa awan”
“Saya percaya selera anda” Ucap Harvey dengan tersenyum.
Xanara meliriknya, pria ini tidak mencoba menggoda, tidak juga bersikap terlalu akrab. Tapia da sesuatu dari cara dia duduk, bicara bahkan menunggu yang membuat udara di ruangan itu berubah suhu.
“Baiklah, saya akan lakukan pengukuran dulu. Kita lanjutkan desain setelah itu”
Xanara berdiri berjalan menuju meja alat ukut, lalu memintanya ke ruang fitting. Harvey mengikutinya, kemudian ia melepas jasnya dengan rapi, lalu membuka kancing kemejanya bagian atas.
Ketika Harvey berdiri di hadapan Xanara, hanya menggunakan dalaman putih tipis dan celana, Xanara tiba-tiba merasa dirinya terlalu dekat dengan sesuatu yang seharusnya ia jaga jaraknya.
Xanara mengambil pita meteran, melingkarkan ke bahu Harvey, lalu dada, kemudian pinggang dan terakhir tangan.
“Berapa tinggi badan?” Tanya Xanara.
“185. Tapi kadang rasanya lebih pendek kalau sedang kalah debat dengan Ibu saya”
Xanara tertawa kecil, satu detik lalu kembali serius. Sikap profesionalnya tetap terjaga, tapi pikirannya mulai liar.
“Kenapa pria ini terasa familiar” Batin Xanara.
Ketika Xanara mengukur panjang lengan, tangannya menyentuh pergelangan tangan Harvey, bukan sentuhan sensual, bukan juga sentuhan canggung, tapi seperti menyuntuh sepotong hidup yang tidak ia sadari sedang bergerak mendekat.
“Ada permintaan khusus dari pasangan anda? Untuk warna dan model?” Tanya Xanara kepada Harvey.
Harvey menggelengkan pelan kepalanya…
“Dia menyerahkan semuanya pada saya. Katanya saya lebih tahu apa yang pantas saya pakai” Jelasnya kepada Xanara.
Xanara mencatat diam-diam.
“Pak Harvey, anda terlalu pandai menyembunyikan hati anda dibalik jas rapi dan kalimat singkat” Batin Xanara.
Sesi oengukuran selesai, tapi keheningan antara Xanara dengan Harvey masih tetap menggantung.
“Boleh saya minta satu permintaan?’ Tanya Harvey yang hanya di respon dengan Xanara yang mengangkat alisnya.
“Jas ini tolong rancang seolah saya akan memakainya untuk satu hari paling penting dalam hidup saya. Bukan hanya untuk menikah, tapi untuk mengakhiri satu bab dan memulai bab yang baru”
Kalimat itu menggema lebih dalam dari yang Xanara harapkan.
“Baik Pak Harvey saya akn merancangnya seolah hidup anda berubah saat mengenakannya”
Harvey menjabat tangan Xanara saat sesi telah selesai, tapi tidak ada yang tergesa-gesa pergi, saat tangan mereka bertemu lagi, ada jeda kecil sekian detik yang cukup untuk menyisipkan kemungkinan.
Dan tanpa mereka sadari, saat pintu butik itu tertutup, sebuah cerita telah dibuka. Bukan hanya kisah cinta, tapi juga luka yang akan dijahit ulang dengan benang yang tak pernah mereka pilih tapi sudah tertulis sejak awal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!