NovelToon NovelToon

Perjodohan Tidak Sesuai Naskah

1. Tidak Sesuai Skrip

Sebelum pertemuan dengan lelaki yang di jodohkan dengannya, Yue berdiri di depan kaca besar kamar hotel mewah tempat dia dirias. Gaun satin biru muda menggantung sempurna di tubuhnya, membuatnya tampak seperti bangsawan modern.

Tapi sorot matanya di cermin tidak menunjukkan keanggunan, melainkan perlawanan.

Ayahnya berdiri tak jauh di belakang, mengenakan setelan jas abu-abu yang mahal, tapi penuh kekakuan.

Pria itu, dengan rambut yang mulai memutih dan wajah dingin penuh kalkulasi, tetap berdiri tegak seperti kepala kerajaan yang baru saja mengatur aliansi penting.

Yue memutar tubuhnya perlahan, menatap ayahnya tajam.

"Perjodohan?" suaranya dingin, tak ada nada bercanda. "Ayah pikir ini zaman apa? Zaman kerajaan di mana perempuan dijual demi tanah dan kekuasaan hah?"

Ayahnya menghela napas, tidak marah, tidak tersentak. Wajahnya tetap datar, seperti batu pualam yang tak bisa digores argumen.

"Ini bukan soal zaman, Nak." katanya pelan namun tegas.

"Ini soal masa depan yang tidak bisa kau bangun dengan cinta buta dan laki-laki pengangguran yang hanya mengandalkan pesona."

Yue mencibir.

"Jadi aku harus menikahi pria kaya pilihan ayah, terlepas dari apakah aku bahagia atau tidak?"

"Kebahagiaanmu akan menyusul." jawab ayahnya, matanya menusuk. "Jika kau cukup pintar untuk mengerti arti kekuatan."

Yue tertawa pendek, dingin. Ayahnya ini memang suka sekali melakukan sesuatu tanpa persetujuannya!

Kalau saja Yue berani, dia sudah menendang bokong pria tua itu. Tapi yah, sayangnya dia tak berani hump!

"Lalu bagaimana dengan dia? Calon suami ideal itu, apa dia tahu dia akan menikahi perempuan yang tidak akan pernah mencintainya?" tanyanya.

Yue tidak mau ya memberi anak orang harapan palsu.

Ayahnya menatapnya lama, lalu berkata tenang.

"Dia tidak butuh cintamu, dia hanya butuh kau tetap di sisinya."

Oh? Begitukah?

Yue terdiam, ucapannya nyaris menempel di ujung lidah ingin protes, mengejek, melawan.

Tapi semua itu luruh begitu saja saat ayahnya menyebutkan satu detail penting saat hendak keluar dari kamar.

"Dia Raymon Sanchez, nilai bersih kekayaannya tahun ini? Lebih dari 800 juta dolar. Perusahaan raksasa, saham, properti di lima negara. Jadi kalau kau berpikir ingin mundur, ingat baik-baik, pria seperti itu tidak datang dua kali." jelas ayahnya.

Pintu tertutup, hening dan Yue berdiri di sana, membeku.

Tunggu-tunggu, apa tadi katanya!?

"800 juta dolar."

Dari semua hal yang bisa menggoyahkan idealismenya, uang memang punya tempat khusus. Haha!

Dia perempuan rasional, bukan karakter drama. Cinta? Romansa? Bah!

Tidak ada yang bisa mengalahkan hidup nyaman tanpa cicilan, tanpa memikirkan gaji bulanan, dan tanpa pusing soal masa depan.

Yue berjalan ke cermin, menatap bayangannya sendiri. Perlahan, dia tersenyum tipis.

"Cinta bisa menunggu, tapi kartu black card dan private jet? Aku bilang 'YA' hari ini juga."

Dan begitulah Yue melangkah menuju restoran pertemuan perjodohan itu, bukan dengan hati yang berdebar, tapi dengan semangat yang penuh perhitungan.

Ini demi uang bro!

Demi hidup mewah haha! Kenapa Ayahnya tidak bilang sejak awal, pasti Yue tidak akan berdebat dulu hehe.

Dia sudah siap memainkan peran sebagai istri sempurna, tanpa cinta, tanpa drama, cukup tanda tangan, dan hidup mewah.

Di hari itu, di restoran mewah di puncak gedung pencakar langit dipenuhi aroma mawar putih dan alunan biola yang mendayu lembut.

Dinding kaca bening memperlihatkan pemandangan kota yang dipeluk senja, langit berwarna keemasan seolah ikut merestui pertemuan dua orang asing yang akan segera disebut pasangan.

Yue duduk di kursi yang telah disiapkan, gaun satin biru muda membalut tubuhnya, rambut disanggul rapi tapi tetap menyisakan sedikit ikal yang jatuh lembut di sisi wajah.

Wajahnya datar, matanya malas. Karena sebenarnya ini bukan hal romantis seperti di drama. Ini cuma transaksi antara dua keluarga, dan dia bagian dari harga yang harus dibayar.

Lalu pintu terbuka, dan pria itu masuk.

Wow!

Tinggi, tegap, mengenakan setelan jas hitam yang menjadikannya tampak seperti tokoh utama dalam film kriminal elegan. Rambutnya hitam gelap, tersisir rapi ke belakang, dan mata abu-abunya menatap lurus ke arahnya datar, nyaris tanpa ekspresi.

"Ah, pas sekali, dingin, acuh. Seperti dugaan."

Tapi saat dia duduk, Yue merasa ada yang berbeda. Tatapan pria itu tidak berpaling?

Wait, kenapa jadi seperti ini!?

Dia tidak melirik jam, tidak memeriksa ponsel, tidak terlihat ingin kabur dari pertemuan ini seperti yang dia bayangkan.

Sebaliknya, pria itu duduk seolah seluruh dunia menghilang dan hanya Yue yang tersisa. Hah!?

What?

"Yue Lanhart." tanyanya, suara rendah itu menggema dalam ruang yang terlalu mahal dan Yue mengangguk.

"Dan kau pasti, Raymon Sanchez ya?" ujarnya santai, memutar gelas anggurnya.

"Tenang saja, aku tidak menuntut banyak. Kau bisa tetap bersama kekasihmu, aku hanya mau hidup nyaman." lanjut Yue dengan tenang.

Ekspresi pria itu berubah, perlahan. Seperti bayangan yang menebal. Apa dia salah bicara?

"Aku tidak punya kekasih." katanya.

Jujur sekali ya hm?

Yue mengerutkan kening, oh masih pura-pura ya.

"Oh? Lalu siapa yang kau cintai? Biar kuperkirakan, wanita yang tidak bisa kau miliki? Atau-"

"Tidak ada orang lain." potong pria itu, matanya menyala tajam namun suaranya tetap tenang. "Dan sebaiknya kau berhenti mengucapkan hal seperti itu." lanjutnya.

Yue tertawa kecil. "Kenapa? Kau takut aku jadi cemburu?" tanyanya.

Pria itu bersandar sedikit, tapi tatapannya menusuk.

"Tidak, aku takut kau berpikir pernikahan ini hanya formalitas. Karena sejak aku melihatmu, aku sudah memutuskan. Kau akan menjadi satu-satunya. Tidak ada yang lain, tidak pernah akan ada."

Are you seriously!?

Darah Yue mendadak dingin. Bukan karena takut, tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, seseorang menatapnya bukan sebagai tugas keluarga tapi sebagai takdir.

Dan entah kenapa, perutnya terasa menggelitik. Bahaya dan rasa tertarik bercampur dalam satu tarikan napas.

Dia menyadari, kisah ini tak akan seperti yang dia duga. Ini bukan film drama!

Detik berlalu pelan, suara biola di latar seolah menghilang.

Tatapan pria itu tetap menancap padanya, tenang namun intens, seperti samudra yang tampak tenang tapi menyembunyikan arus bawah mematikan.

Dalam benaknya, Yue hanya bisa berpikir satu hal.

"Pria ini... gila, kan?"

Dia menarik napas pelan, berusaha tetap tenang sambil memasang senyum manis yang biasa dia gunakan saat ingin kabur dari situasi canggung.

"Wow." ucapnya akhirnya. "Itu, pernyataan yang cukup berat untuk orang yang baru saja kau temui lima menit lalu." lanjutnya.

Raymon tidak tersenyum, dia tidak tampak bingung atau tersipu seperti tokoh pria di drama romantis. Sebaliknya, dia mengangguk seolah itu fakta mutlak.

"Aku tahu apa yang kuinginkan." katanya datar.

"Dan aku tidak suka membuang waktu, kau akan jadi istriku. Aku akan memastikan kau bahagia, dan siapa pun yang menyakitimu akan menyesal seumur hidupnya." jelasnya.

Yue meneguk air, perlahan. Bukan karena haus, tapi karena tenggorokannya kering oleh kalimat terakhir yang terdengar seperti ancaman berselubung perhatian!

"Astaga, i-ni serius?"

Dia tidak sedang berhadapan dengan pria yang punya kekasih rahasia dan akan sibuk mencampakkannya demi cinta lama.

Tidak! Sekarang ini dia sedang duduk di depan pria yang mungkin akan mencintainya seperti hidup dan mati dengan fanatisme yang bahkan tidak bisa disamakan dengan kata cinta biasa.

Dan masalahnya, semakin Yue menatap mata abu-abu itu. Semakin sulit rasanya untuk berpaling, sialan!

Setelah pertemuan itu, Yue melangkah keluar dari restoran dengan langkah yang tampak tenang. Gaunnya melambai pelan tertiup angin malam, namun dalam dirinya, badai kecil baru saja mulai.

Sopir pribadi membukakan pintu belakang mobil hitam mewah, dan tanpa sepatah kata pun, Yue masuk. Pintu tertutup dengan bunyi lembut.

Mobil melaju pelan menyusuri jalanan kota yang gemerlap, tapi mata Yue menatap kosong ke luar jendela.

Dia terkekeh, awalnya pelan tapi lama-lama jadi agak keras membuat supir di depan menatapnya lewat kaca dengan canggung.

"Ha... hahaha..."

Yue mengusap wajahnya kasar, lalu jari-jarinya saling menggenggam di atas paha, gerakan yang jarang dia lakukan kecuali saat gugup.

Kedinginan menjalar pelan di sepanjang tulang punggungnya, bukan karena AC mobil yang terlalu dingin tapi karena satu kalimat yang terus terngiang di telinganya, suara pria itu tenang, dalam, dan sangat yakin.

"Kau akan menjadi satu-satunya, tidak ada yang lain, tidak pernah akan ada."

Hell no! Hell no!

Itu bukan janji cinta, Itu terdengar seperti kepemilikan yang mutlak.

Yue menelan ludah. Dia terbiasa dengan pria sombong, pria kaya yang percaya dunia bisa dibeli. Tapi Raymon Sanchez? Dia berbeda, dia tidak mencoba membuatnya jatuh cinta.

Dia hanya menyatakan, kau sudah jadi milikku. Titik!

"Astaga..." Yue memijat pelipisnya.

Sialnya, bukan hanya ucapan itu yang membekas. Tapi tatapan mata abu-abu itu, penuh kendali. Penuh keyakinan, penuh sesuatu yang tak bisa Yue jelaskan.

Seolah pria itu tahu lebih banyak tentang dirinya daripada dirinya sendiri, dan lebih gila lagi.

Yue tidak tahu apa yang lebih menakutkan, tatapannya, kata-katanya atau detak jantungnya sendiri yang berdetak terlalu cepat setelah mendengarnya.

"Tenang, hah tarik nafas hembuskan, tarik nafas hembuskan." gumamnya pelan sambil bersandar.

"Ini cuma perjodohan, bukan simulasi ke neraka."

Tapi tetap saja kepikiran, sial!

Tbc

2. Kau?

Pagi ini, sinar matahari menembus celah tirai tipis apartemen mewah di pusat kota, menyapa Yue dengan hangat.

Dia membuka mata perlahan, lalu mendesah. Bukan karena lelah, tapi karena semangat.

Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Untuk pertama kalinya, dia akan melangkah ke dunia profesional yang sesungguhnya.

Haha! Akhirnya dia bisa mandiri juga.

Bukan sebagai putri tunggal keluarga kaya, bukan sebagai calon istri seseorang, tapi sebagai dirinya sendiri, Yue Lanhart, wanita independen yang memulai kariernya.

Dia bangkit dari ranjang empuk dengan sekali gerakan, rambutnya yang tergerai masih sedikit berantakan tapi auranya penuh percaya diri.

"Baiklah aku siap, aku siap!" teriaknya, seperti kartun kuning kesayangan nya si SpongeBob.

Di sekeliling apartemen berdesain modern itu tampak hidup. Lanskap kota terlihat jelas dari balik kaca besar, mesin kopi di dapur kecil sudah menyala otomatis, menyambut pagi dengan aroma espresso segar.

Yue berjalan ke cermin, memandangi bayangannya. Wajah tanpa makeup, mata masih sedikit bengkak karena kurang tidur, tapi bibirnya melengkung pelan.

"Let’s do this."

Tentang semalam? Masa bodo bah!

Ucapan pria itu? Tatapan yang terlalu dalam dan kalimat yang membuat bulu kuduknya merinding?

Sudah dibuang ke belakang otak, Yue bukan tipe yang larut dalam dramatisasi.

"Dia cuma pria yang terlalu percaya diri dan terlalu kaya, persis seperti ayahku. Tapi aku? Aku punya hidup sendiri sekarang." ucapnya dengan semangat.

Dia mandi dengan cepat, memakai setelan kerja pertama yang sudah dia siapkan seminggu sebelumnya, blazer putih gading, blus hitam, celana panjang yang pas, dan sepatu hak rendah.

Rambutnya di kuncir tinggi, riasannya natural tapi tajam. Di tangannya, tas kerja dari brand ternama menggantung anggun.

Begitu keluar dari apartemen, seluruh dirinya memancarkan satu hal.

Yue Lanhart siap menaklukkan dunia!

Dia turun ke lobi, menyapa resepsionis apartemen dengan anggukan ringan, lalu masuk ke mobil yang sudah menunggunya.

Pagi itu, Yue bukan lagi gadis yang bingung soal perjodohan atau takut dengan pria yang terlalu intens. Dia adalah wanita muda yang tahu apa yang dia mau.

Yue berdiri di seberang jalan, menatap gedung pencakar langit yang menjulang megah di hadapannya.

Wah, ini sih pasti punya konglomerat sejati haha!

Dia sengaja tak berhenti di depan perusahaan, supaya orang-orang tak tahu jika dia anak orang kaya. Nanti di sangka dia berhasil masuk ke perusahaan ini karena koneksi, bah!

Dia mengandalkan otaknya ya!

Fasad kaca berkilauan menyambut matahari pagi, memantulkan cahaya ke segala arah seperti permukaan kristal raksasa.

Di bagian atas bangunan, logo perusahaannya terpampang tegas Ethelbert Group.

Dia menarik napas dalam-dalam, menahan senyum gugup yang merayap di sudut bibirnya.

"Ya Tuhan, aku benar-benar bekerja di tempat sekelas ini." dengan langkah mantap, dia menyeberang dan melangkah ke lobi utama.

Begitu pintu kaca terbuka otomatis, hawa sejuk dan aroma kopi serta parfum mahal menyambutnya.

Hum, wangi uangnya begitu jelas!

Interiornya berkelas, lantai marmer putih dengan urat emas, lampu gantung besar bergaya modern, serta resepsionis berpakaian rapi di balik meja elegan.

Yue melangkah masuk, tapi anehnya semua orang menoleh.

Lalu satu per satu, resepsionis, security, bahkan pria berdasi yang barusan lewat menunduk sopan ke arahnya.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Haruskah dia juga menunduk, mungkin ini bentuk saling hormat di antara pekerja kan?

"Selamat pagi, nona Lanhart." ucap salah satu staf dengan nada sangat hormat, menunduk dalam seperti sedang menyambut bangsawan.

Yue mengerjap. "Hah?"

Dia melangkah lebih dalam, dan lagi-lagi para karyawan yang lalu lalang menghentikan langkah, membungkuk ringan, atau setidaknya memberi isyarat penghormatan.

Beberapa bahkan berbisik-bisik, menyebut namanya dengan nada campur aduk antara kekaguman dan kekhawatiran?

"Nona Lanhart..."

"Dia cantik sekali tapi katanya galak, ya?"

"Eh, bodoh! Itu calon istri tuan Raymon, jangan cari mati."

Yue membeku di tengah lobi, calon istri, apa!?

Langkahnya sempat goyah, tapi sebelum sempat bertanya pada siapa pun, seorang wanita berusia tiga puluhan dengan setelan hitam mendekatinya, tegas, rapi, profesional.

"Selamat pagi, nona Lanhart." katanya dengan anggukan hormat. "Saya Marian, asisten pribadi CEO. Saya ditugaskan untuk mengantar anda langsung ke lantai eksekutif." jelasnya.

Yue memicingkan mata.

"Tunggu, lantai eksekutif? Tapi aku intern. Intern bagian kreatif, seharusnya aku ke lantai 17." ucapnya.

Marian tersenyum, senyum sopan penuh rahasia.

"Tidak, nona. Anda tidak lagi bagian dari program magang."

"Lho?"

"Anda sekarang menjabat sebagai Asisten Khusus Direktur Utama."

"APA!?"

Marian mengangguk sekali lagi, lalu menambahkan dengan nada tenang.

Wah-wah-wah konspirasi macam apa ini!?

"Tuan Raymon sudah menunggu anda di ruangannya."

Yue terdiam. Kedinginan semalam menjalar lagi ke punggungnya, tapi kali ini disertai rasa panik yang nyaris membuatnya ingin kabur dari gedung itu.

"PRIA GILA ITU NGAPAIN LAGI SIH!?" batinnya meledak, dan entah kenapa dia merasa ini baru awal dari kekacauan panjang bernama Raymon Sanchez.

Yue berdiri kaku di dalam lift kaca yang melaju naik dengan mulus, melewati lantai demi lantai gedung pencakar langit yang megah.

Di belakangnya, Marian si asisten pribadi Raymon berdiri tenang, sementara dunia Yue nyaris runtuh.

Matanya menatap lurus ke depan, tapi pandangannya mulai mengabur.

"Ya Tuhan... jadi ini... perusahaan milik dia?"

Kaca lift memantulkan wajahnya sendiri, wajah cantik yang kini mulai pucat.

Ternyata benar, istilah dunia hanya selebar daun kelor itu.

Tangan yang tadi penuh semangat kini mencengkram tali tas kerjanya erat-erat, seolah pegangan itu bisa menahan seluruh beban mental yang mendadak menimpa.

"Kenapa tak ada yang bilang dari awal? Ayah juga tidak bilang, kukira ini cuma perjodohan formalitas bukan pernikahan politik lengkap dengan jebakan karier!"

Dia hampir tertawa, hampir. Kalau saja rasa ingin menangis tidak lebih besar dari rasa humor gelap yang muncul, hump!

"Astaga aku daftar kerja, kirain dari nol. Mau buktiin kalau aku bisa berdiri sendiri, tapi ternyata? Aku dijebak. Ini perusahaan calon suami gila yang mengklaim aku miliknya! Huhuhu... kenapa hidupku jadi kayak drama thriller-romantis begini."

Lift berhenti.

"Silakan, nona." ucap Marian sambil menekan tombol buka pintu.

Dan di depan sana, terbentang koridor mewah berlapis karpet tebal dan kaca jendela lebar yang memperlihatkan pemandangan kota.

Di ujung lorong, pintu hitam besar berdiri megah dengan ukiran logam emas bertuliskan.

RAYMON SANCHEZ CEO | ETHELBERT GROUP

Yue menelan ludah. Kakinya berat, tapi dia melangkah.

Satu, dua, tiga langkah menuju pintu itu sambil membatin.

"Kalau aku menangis sekarang, bisa tidak ya membatalkan semuanya..."

Tapi bahkan sebelum dia sempat berpaling.

Pintu itu terbuka sendiri dan di baliknya, pria itu berdiri.

Raymon Sanchez.

Tegap, elegan, dan lagi-lagi menatapnya seolah dia adalah satu-satunya alasan dunia ini berputar.

Yue nyaris melompat mundur, tapi kakinya terlalu beku. Lalu Raymon tersenyum tipis, seolah sudah tahu segalanya.

"Selamat pagi, sayang. Sudah siap kerja?"

Yue ingin menangis, tapi juga ingin melempar kursi. Sialnya, dia malah tersipu.

"Astaga... aku gila juga ya..."

"Aku seharusnya bagian intern, pasti ada kesalahan." ucap Yue, suaranya bergetar tipis namun tetap mencoba terdengar tegas.

Matanya menatap Raymon dengan keberanian yang dipaksakan, seperti kucing kecil yang mengangkat cakarnya di depan singa.

Raymon, berdiri di balik meja kerjanya yang terbuat dari kayu hitam mengkilap, hanya menatapnya sejenak, hening.

Tatapan mata abu-abunya tak tergoyahkan, tajam namun tak tertebak, seperti badai yang disimpan di balik danau tenang.

Lalu dia melangkah pelan ke arahnya, satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya, sementara tangan lain memegang secangkir kopi porselen yang masih mengeluarkan uap.

Dia berhenti hanya satu langkah di depannya.

"Salah?" ulangnya pelan. "Tidak ada yang salah." ucapnya.

Yue menegang. "Tapi... aku daftar untuk program magang biasa, bagian kreatif. Aku tidak pernah minta jadi asisten khusus dan aku juga tak minta kerja langsung di ruangan ini." ucapnya.

Raymon tersenyum tipis, senyum yang tidak menyenangkan, tapi terlalu memesona untuk dibenci.

"Memang, kau tidak minta. Aku yang memutuskan."

Yue melotot. "Apa maksudmu?! Ini pekerjaanku! Aku mau belajar, bukan diseret masuk ke posisi tinggi hanya karena, karena perjodohan gila itu!"

Raymon mengangkat alis, masih tenang.

"Yue." ucapnya, kali ini suaranya lebih lembut, tapi justru terasa mengancam karena begitu terkendali.

"Jika kau ingin belajar, belajarlah langsung dari puncak. Dari tempat yang hanya sedikit orang bisa raih, dan tempat itu adalah di sisiku."

Yue hampir tersedak udara.

"Kau tidak bisa seenaknya menaruh aku di posisi ini! Orang akan salah paham! Mereka akan bilang aku hanya naik karena-"

"Karena kau milikku?" Raymon memotong dengan nada datar, nyaris datar seperti garis nadi yang berhenti.

"Mereka boleh berpikir apa saja. Tapi mereka juga tahu, tak ada satu pun orang di sini yang berani meremehkan seseorang yang berdiri di bawah perlindunganku."

Yue menganga. "Kau benar-benar gila..."

Raymon menunduk sedikit, berbisik di dekat telinganya, suaranya nyaris seperti racun yang manis.

"Tidak, sayang. Aku hanya serius pada segalanya yang menyangkut dirimu."

Yue mundur satu langkah, wajahnya merah campur panik, campur kesal.

Tapi hatinya... berdebar kencang tak karuan.

"Astaga… ini bukan tempat kerja. Ini arena perang batin."

Tbc

3. Bercanda Ya

Yue duduk di kursi kerja yang sudah disiapkan di sudut ruangan, bukan cubicle terbuka seperti yang dia bayangkan saat mendaftar magang, tapi kursi eksekutif berlapis kulit yang terlalu empuk untuk ukuran seorang karyawan baru.

Bahkan meja kerjanya sendiri, terbuat dari kayu mahoni dengan finishing glossy, lengkap dengan set perlengkapan kerja branded yang masih baru, laptop model terbaru, dan satu set pena emas yang sepertinya lebih pantas dipakai tanda tangan kontrak merger, bukan mencatat ide presentasi.

"Apa ini meja kerja atau singgasana?" batinnya, gelisah.

Dia melirik Raymon yang duduk santai di meja utamanya, sibuk membaca dokumen atau pura-pura sibuk, siapa yang tahu?

Mungkin saja pria itu sedang mengawasinya kan?

Yue tidak percaya pria ini bisa bersikap santai setelah menculik kariernya di hari pertama.

Huhu, siapa saja tolong keluarkan dia dari situasi ini!?

Dia mencoba membuka laptop, jari-jarinya kaku. Bahkan wallpaper-nya sudah dipasang.

Lambang Ethelbert Group bersanding dengan namanya di pojok kanan atas.

[Yue Lanhart – Special Assistant to CEO.]

"Astaga, namaku bahkan sudah dicetak. Cepat sekali. Sudah seperti aku lahir untuk kerja di sini."

Dia sebenarnya ingin bertanya.

Apa pekerjaanku? apa aku supposed to membuat laporan? Menenjadwalkan rapat? Menyalakan mesin kopi? Atau jangan-jangan pembersih kaca?

Oke yang terakhir itu terlalu dramatis, tapi bisa saja kan?

Tapi mulutnya tak kunjung terbuka.

Dia hanya bisa duduk dengan postur tegang, seperti murid baru yang duduk di ruang kepala sekolah setelah meninju temannya.

Akhirnya dia memberanikan diri.

"Jadi... ehm..." suaranya pelan, sedikit bergetar.

"Apa yang harus saya kerjakan, Pak?"

Raymon mengangkat wajah dari dokumen, menatapnya seolah baru sadar dia ada di sana, padahal dari tadi pasti mengawasi.

"Kau duduk di sana." jawabnya tenang, membuat Yue mengerutkan alis. Itu saja?

"Itu bukan pekerjaan." bantahnya membuat Raymon berdiri, berjalan perlahan ke arahnya.

Setiap langkahnya terdengar seperti ketukan waktu yang mendekat pada kekacauan.

"Yue."  katanya sambil bersandar santai di meja kerjanya, memandangnya dari atas.

"Tugas pertamamu adalah... mempelajari setiap langkahku, dengarkan saat aku bicara. Perhatikan bagaimana aku memimpin, kau akan berada di setiap rapat penting, melihat bagaimana keputusan diambil." jelasnya panjang lebar membuat Yue menelan ludah.

"Dan tugas keduamu." sambung Raymon, suaranya lebih dalam.

"Adalah memastikan aku tidak kehilangan fokus. Karena kehadiranmu, bisa sangat mengganggu."

"APA!?" Yue nyaris berdiri, wajahnya memerah seketika.

Raymon hanya tersenyum, tenang dan bahaya.

"Tenanglah, anggap ini... pelatihan pribadi. Intensif dan sangat dekat."

Lalu dia kembali ke mejanya, seolah baru saja tidak menjatuhkan bom di atas kepala Yue.

Yue membenamkan wajahnya di telapak tangan.

"Satu hari kerja, dan aku sudah mau resign. Tapi resign dari apa? Dari karier atau dari hidup?"

Saat waktu rapat tiba, Marian mengetuk pelan pintu ruang kerja Raymon, lalu bicara.

"Meeting dengan tim pengembangan dimulai lima menit lagi, Tuan." ucapnya.

Raymon mengangguk, lalu menoleh pada Yue yang masih duduk gelisah di kursinya dengan laptop terbuka tapi halaman kosong karena dia bahkan tak tahu apa yang harus diketik.

"Bawa catatanmu." ucap pria itu sambil mengambil jas dan mengenakannya.

"Kau ikut." putus Raymon membuat Yue hampir menjatuhkan pulpen dari tangannya.

Yang benar saja bung! Dia bahkan belum ada setengah hari bekerja di sini!?

"Aku? Ikut rapat eksekutif?" tanyanya, siapa tahu dia salah dengar.

Raymon menatapnya sebentar. "Tentu saja, apa kau pikir tugasmu hanya duduk manis di ruangan ini?" kata Raymon.

Haha, bagusnya sih begitu kan?

Yue ingin menjawab "Iya" tapi dia memutuskan menahan diri. Karena satu-satunya hal yang lebih menyeramkan dari pria itu adalah rasa penasaran dunia, tentang kenapa dia bisa duduk di ruangan itu.

Dengan langkah canggung tapi anggun, Yue berjalan mengikuti pria itu keluar dari ruangan.

Lorong kantor terasa lebih panjang dari biasanya, dengan tatapan karyawan-karyawan yang memicing penasaran namun takut terlalu terang-terangan.

Apakah besok wajahnya akan ada di forum gosip perusahaan ini?

Begitu masuk ruang rapat, semua orang berdiri dan menunduk hormat. Bukan hanya pada Raymon, tapi juga padanya membuat Yue nyaris tersedak udara lagi.

Raymon duduk di kursi utama, dengan tubuh tegap dan aura dingin yang tak terbantahkan. Lalu dia menepuk sandaran kursi kosong di sebelahnya.

"Duduk di sini." katanya pada Yue, tanpa basa-basi.

Yue ragu, semua kepala menoleh padanya. Napasnya tercekat, tapi dia tak punya pilihan. Akhirnya dia duduk dan rapat dimulai.

Diskusi mengalir dengan cepat. Tentang strategi global, angka penjualan, ekspansi, dan rencana investasi ratusan juta dolar.

Wah sekali kan.

Yue mencatat secepat yang dia bisa, meski sebagian istilah masih asing. Tapi yang paling membuatnya terpana bukan materi rapat, melainkan cara Raymon berbicara.

Tenang, tegas. Tidak banyak bicara, tapi setiap kalimatnya menghentikan argumen dan menggerakkan keputusan.

Orang-orang takut padanya, tapi juga menghormatinya. Dan beberapa kali, Raymon menoleh padanya, bertanya.

"Menurutmu bagaimana, Yue?"

Yue nyaris terpental dari kursinya.

"Eh, aku?" dia melirik berkas dan mencoba membaca ulang catatan yang bahkan belum selesai.

Raymon menatapnya, bukan untuk menguji. Tapi seolah dia sungguh ingin tahu jawabannya.

Yue mengatur napas. "Saya rasa, pendekatan tim marketing bisa lebih adaptif, bukan terlalu agresif. Dunia digital berubah cepat. Mungkin akan lebih baik kalau kita gunakan pendekatan berbasis komunitas, bukan hanya angka." jawabnya.

Hening, membuat Yue berdebar. Apa jawabannya salah?

Sampai akhirnya salah satu manajer tertua mengangguk perlahan.

"Itu... masuk akal, Tuan."

Huh, untung saja.

Raymon tidak berkata apa-apa. Tapi matanya, menyipit sedikit. Seolah berkata.

"Bagus, kau bisa lebih dari yang kau pikirkan."

Setelah rapat, Yue pikir semuanya akan selesai tapi ternyata tidak.

Raymon keluar ruangan, berjalan cepat dan dia melambaikan tangan pada Yue.

"Temani aku, ada klien yang harus kutemui. Kau juga harus lihat cara aku bernegosiasi." ucapnya membuat Yue terdiam.

"Astaga… aku bahkan belum makan siang."

Dan begitulah...

Bahkan saat pria itu bertemu klien penting, Yue ikut. Duduk di sisi pria yang sama dingin dan penuh rahasia seperti gedung ini sendiri.

Seperti bayangannya akan terus membayangi langkah Yue, ke mana pun dia pergi.

"Ini bukan pekerjaan biasa. Ini penjeratan level dewa."

Yue mulai menyuapkan makanannya perlahan. Lidahnya bahkan tak benar-benar merasakan rasa makanan yang tadi dia pilih sembarangan.

Apakah ini ayam? Atau tahu? Entahlah.

Tapi entah kenapa, tetap terasa lumayan enak atau mungkin itu karena dia terlalu stres sampai segala hal rasanya hambar dan manis sekaligus.

Huhu...

Dia mengunyah, lalu mendesah panjang, seperti membawa seluruh beban dunia ke dalam satu napas.

"Apa aku bisa resign di hari pertama, ya." gumamnya pelan, setengah bicara ke nasi, setengah ke Tuhan.

Tangannya mencolek saus di pinggir piring, lalu menghentikannya.

"Tapi ini gajinya terlalu wow." lanjutnya sambil menatap kosong ke depan.

Tiba-tiba bayangan wajah Raymon muncul di kepalanya, lengkap dengan senyum tipis yang membuat urat lehernya ingin meledak.

"Kau di sini untuk belajar dariku, setiap saat. Setiap langkah."

Yue mendecak kesal, menusuk-nusuk potongan daging dengan garpu. Seolah itu wajah Raymon Sanchez.

"Belajar apanya?! Bagaimana caranya membuat seluruh kantor ketakutan?" bisiknya penuh kekesalan.

Beberapa karyawan yang baru masuk melirik ke arahnya lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan. Yue tak peduli!

Dia sudah terlalu lelah secara emosional untuk pura-pura santai. Seketika ponselnya bergetar, notifikasi masuk.

Psikopat

Rapat mendadak, kau ikut. Sekarang. Lokasi: ruang konferensi lantai atas.

Yue hampir tersedak kuah supnya. Dia menatap ponselnya lama, lalu menarik napas dalam-dalam.

"Oke, Tuhan. Kalau ini bukan ujian hidup, mungkin ini, wahana horor versi korporat."

Dia berdiri, membereskan nampan, dan melangkah keluar dari kantin.

Bahunya tegak, hatinya hancur. Tapi setidaknya dia kenyang.

Tbc

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!