"Bu ... kenapa kita tidak pernah bertemu ayah?" tanya Nayara yang berusia 7 tahun.
Ibunya hanya tersenyum menanggapinya, dengan tangannya yang terus bergerilya menciptakan sesuatu untuk kedua anaknya.
"Sudah ... kita main yu!" ajak kakaknya yang bernama Cendana yang berusia 10 tahun.
Dengan senang hati adik perempuannya begitu bahagia, namun tidak dengan sang Ibu.
Setelah menyelesaikan sesuatu sang Ibu menghampiri Cendana dan Nayara.
"Sini nak!" panggil sang Ibu.
Mereka pun menghampirinya.
"Dengar Nayara, di sini ada game permainan yang bisa membuat Nayara pintar, tapi Nayara janji jangan bersuara apapun yang nanti terdengar di luar headphone ini dan apapun suara permainannya Nayara tetap diam ya bersama Ka Dana!" ucap sang Ibu mengingatkan, Nayara pun paham dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sedangkan kamu Dana, ini Handphone untukmu, ini alat sangat canggih, sampai kapanpun kamu bisa memantau rumah ini juga perusahaan, di sini terpantau CCTV tapi orang lain tidak dapat mengaksesnya karena tersembunyi di balik tembok. Dan malam ini pakailah tas ini, semua barang kalian Ibu telah masukkan ke dalam tas ini tidak tersisa satupun karena Ibu tidak ingin menyisakan jejak untuk siapapun agar kalian bisa selamat. Sini ... Ibu tunjukkan nanti kalian bersembunyi di sini dan keluar saat semua aman, dan jangan pernah keluar apapun yang terjadi dengan Ibu!, jika Ibu tidak ada datangilah Pak satpam di luar gedung ini, dia yang akan membimbing kalian, tinggalkan Ibu bagaimanapun kondisi Ibu ya, jangan pernah mengatakan siapa orang tua kalian karena sekali orang tahu kalian tidak akan selamat ...,"
"Tapi Bu, kenapa aku tidak boleh membantumu dari orang-orang jahat?" tanya Cendana penuh keberanian.
"Karena kamu yang akan menyelamatkan adikmu, dan kamu yang akan menarik kembali semua yang telah menjadi hakmu, dengan handphone ini kamu akan mempelajari seperti apa perusahaan kita dan apa yang terjadi di rumah ini, mereka tidak akan pernah tahu jika tempat ini dan kantor Ayah kita selalu mengawasinya, Ya karena CCTV itu sangat tersembunyi di balik tembok dan sangat begitu kecil, jika temboknya di bobol alatnya bisa rusak tapi tetap aman dari mereka. Ingat belajar dengan baik semua sudah tersedia di handphone kalian masing-masing, bimbing adikmu dengan baik, keberadaan kalian tidak di ketahui satu orangpun selain dari pak satpam yang bernama Jaenudin itu, dan katakan kalian itu keponakannya, dan gantilah baju kalian menggunakan baju ini dari sekarang, dan ambil makanan juga minuman ini dan masuklah segera ke tempat ini ya!" seru sang Ibu.
Cendana dengan patuh mengganti pakaiannya sedangkan Nayara diganti pakaiannya oleh Ibunya, sang Ibu memeluk anaknya bergantian, lalu menyuruh dengan segera memasuki ruangan tersembunyi yang tidak akan di sadari oleh semua orang.
Mereka pun memasuki ruangan itu, Nayara menggunakan earphonenya dan dengan asik melihat handphonenya tanpa bersuara sesuai perintah Ibunya dengan memakan roti untuk mengganjal perutnya.
Begitu juga dengan Dana, Dana fokus memperhatikan apa yang terjadi pada Ibunya melalui handphone nya dengan sama-sama menggunakan earphone namun hanya sebelah karena dia harus menjaga agar adiknya tidak bersuara sama sekali.
Di sisi lain, di dalam rumah itu telah kedatangan tamu, dan Cantika telah mengetahui dari beberapa hari lalu sehingga telah menyiapkan segalanya untuk dirinya bahkan kedua anaknya.
"Hallo Cantika, nama yang begitu cantik sesuai dengan orangnya, sayang kamu lebih memilih Narendra daripada diriku, tapi kamu sudah tahu apa yang terjadi pada suamimu itu kan? haha, sayang sekali sekian lama pernikahan kalian, kalian itu mandul untung saja aku tidak jadi mempersuntingmu, dengar sayang, apa kamu tahu tujuanku ha?" tanya Fernando penuh nada ancaman.
"Aku tahu Fernando, dan aku lelah menghindari kalian, dengar Fernando semua akan ada balasan untukmu juga keluargamu, jika kalian ingin kaya seharusnya kalian itu berjuang bukan seperti ini,"
"Ah bacot lo, ke mana ayahmu dulu? bukannya bekerjasama dengan ayahku malah dengan keluarga suamimu dan kau malah meninggalkanku, dengar sakit hatiku harus kamu tuai sekarang juga," ancam Fernando
"Silakan aku sudah lelah, semua orang yang aku sayang telah pergi karena ulah kalian, namun aku tidak akan diam ketika aku telah tiada," ancam Cantika.
"Haha mau menghantui aku begitu? hantu cantik? mana ada yang takut sayang ....," kelakarnya dengan tawa yang menggelegar.
"Mau hubungi polisi? silahkan cantika, haha," ledek Fernando dengan tawanya yang begitu puas.
"Tidak ... Fernando itu percuma aku pernah lakukan namun seakan aku adalah penipu yang hendak merebut perusahaanku sendiri, kalian begitu cerdas untuk itu, kalian penyuap handal di negeri ini," puji Cantika dengan tepuk tangan penuh ledekan.
"Jelas itu sayang, apa ada pesan dan kesan yang ingin kamu sampaikan?" tanya Fernando dengan menyentuh pipi cantika.
"Tidak ...," lantang Cantika dengan mengibaskan tangan Fernando yang berada di pipinya.
"Bagus sepintar dan secerdas apapun kamu tetap kalah olehku Cantika hahah," ledek Fernando.
"Itu betul sekali aku lemah tanpa Rendra," sesal Cantika.
"Lakukan sekarang tanpa ampun, lalu periksa sekelilingnya rumah ini mungkin saja masih ada jejak yang mesti kita selesaikan berikutnya," perintah Fernando.
"Rumah sebesar ini tanpa CCTV heran," ledek Fernando.
Duarrr duarr
Tembakan ke arah Cantika berulang-ulang dilakukan oleh anak buah Fernando, Cantika tersungkur dengan berlinang air mata.
Dana yang melihat CCTV itu manahan isak tangis yang ingin keluar melalui mulutnya. Tubuhnya berapi-api ingin membalasnya namun dia kendalikan karena dia masih memiliki Nayara untuk dia jaga.
Setelah tersungkur suruhan Fernando itu mengecek setiap cela namun tidak ada sedikitpun jejak apapun bahkan jejak keberadaan kedua anaknya pun tidak tercium sama sekali, bersih ... namun sayang penuh kedendaman. Rumah yang dulu begitu menyenangkan bagi keluarga itu berakhir duka dan menyisakan dendam, teramat terbesar bagi Cendana.
"Sudah mari kita keluar dan biarkan satpam yang membersihkan mayit ini, sekarang kita pulang dan biar besok kita tata ulang rumah ini agar tidak ada noda sedikitpun dari wanita murahan ini," perintah Fernando.
"Baik tuan," ucap anak buah itu patuh.
Setelah di pastikan melalui cctv Fernando dan anak buahnya telah pergi, satpam bernama jaenudin itu menghampiri rumah Cantika, dan menghampiri anak Cantika, lalu Jaenudin membawa mereka keluar melalui pintu darurat menuju basement.
Setibanya di basement, "Hai Jae ... kau bawa anak? kenapa banyak sekali anakmu?" tanya satpam lain.
"Dia ponakanku, dari tadi dia duduk di tangga itu, aku takut mereka mendengar tembakan sehingga aku bawa mereka kemari," ujar Jae
"Maksudmu? Ibu Cantika di tembak? ... semua terjadi juga? lalu di mana mayatnya kita harus mengurusnya," ujar satpam itu.
Satpam itu lari di ikuti jae, "kalian tunggu di sini ingat kalian keponakanku ya," ujar Jaenudin.
Dana menganggukkan kepalanya sedangan Nayara menahan diri untuk bertanya.
"Ka maksud mereka apa? bukannya Cantika ibu kita?" tanya Nayara heran.
"Naya jangan pernah mengatakan Cantika Ibu kita tapi katakan Ibu kita itu cantik, Ibu kita bernama Yuni," ujar Cendana.
"Baiklah," ujar Naya patuh.
Bersambung ....
Setelah pengurusan jenazah selesai, Jae menghampiri Dana dan Naya, lalu mereka di bawa oleh Jae sang satpam ke sebuah tempat, di mana dia tinggal, perjalanan jauh dan hanya dengan menggunakan motor butut.
Naya dalam benaknya penuh pertanyaan, namun dia diam seribu bahasa di karenakan ucapan sang kaka untuk tidak banyak bertanya hingga mereka mendapatkan tempat yang aman.
Sedangkan Dana dia hanya mengikuti ke mana Jae membawanya, dia yakin jika Jae adalah orang yang dapat di percaya, karena dia melihat bagaimana Sang Ibu begitu percaya dengan menitipkan mereka kepada Jae.
Tiba-tiba mereka memasuki sebuah gerbang usang terlihat seakan itu tempat tanpa berpenghuni.
Ketika gerbang itu terbuka, Mata Dana juga Naya seketika berbinar, ternyata ini bukanlah sebuah rumah kecil yang kotor dan hanya Jae yang menempatinya.
Namun di sana ada begitu banyak rumah dan penduduk yang mendiaminya, dengan tumbuhan hijau, danau juga pegunungan yang menenangkan hati mereka, jauh dari yang mereka sangka bahkan jauh berbeda dengan perkotaan yang selama ini mereka tinggali.
Ya bisa di katakan perkampungan asri dan tersembunyi di balik hiruk pikuknya perkotaan.
Bukan tempat wisata seperti banyak kita ketahui dengan alam segar menyejukkan, namun ini benar-benar keindahan tersembunyi di tengah perkotaan.
"Masuklah nak Dana, nak Naya," ujar Jae setibanya mereka di rumah Jae di mana rumah jae berada di sebuah lingkungan yang sama sekali tidak dapat mereka kira.
Saking asiknya, Dana maupun Naya tidak mendengar ajakan dari jae, bahkan jangankan suara dari Jae, motor berhenti tepat di sebuah rumah sederhana yang asri bak di sebuah dongeng pun mereka tidak menyadari sama sekali.
"Nak ... ayo masuk, hari sudah sore, sedangkan kalian dari tadi belum makan apapun," ajak Jaenudin kembali.
Dengan serentak mereka pun melirik ke arah Jae yang ternyata jae sudah menunggu mereka untuk segera turun.
"Oh maafkan kami Pak, saya kira belum sampai," ujar Dana sambil turun dari atas motor.
"Ayo Dek turun, kaka gendong," ucap Dana kepada Nayara yang berselisih 3 tahun.
"Ka ... di mana kita?" tanya Nayara yang sedang di gendong kakanya saat turun dari motor.
"Ini rumah Bapak Jae, paman kita," jelas Dana.
Mereka pun memasuki rumah yang sangat sederhana namun begitu nyaman dan bersih jauh dari ekspektasi dari awal mereka memasuki sebuah gerbang kecil tadi.
"Bapak ...," teriak seorang anak kecil seumuran dengan Nayara, membuat langkah Dana dan Naya pun terhenti.
"Halo sayang," jawab Jaenudin sambil memeluk sang anak yang berlari menghampirinya.
Namun pelukan sang anak perempuan itu terhenti tatkala melihat Naya dan Dana.
"Siapa mereka Pak?" tanya Jaylani dengan tangan menunjuk ke arah Dana dan Naya.
"Mereka saudaramu, mereka datang dari kota, mulai sekarang mereka tinggal bersama kita," ujar Jae menjelaskan.
"Asik Lani punya teman," ujar Lani senang sambil berlari memutari seisi rumahnya, yang langkahnya di ikuti oleh Jaenudin, Naya juga Dana.
Jae pun menjelaskan di mana mereka tidur dan lain sebagainya bagaimana seorang tuan rumah menunjukkan bagian dari isi rumah mereka.
Tak luput jae pun meminta maaf akan segala kekurangan yang tidak dapat dia berikan tidak layaknya ibu dari mereka.
Meski Dana dan Naya identitas di sembunyikan namun mereka tidak pernah kekurangan apapun dari sang Ibu, bahkan alat canggih yang tidak di jual di umum pun mereka dapat memilikinya.
Kepintaran sang Ibu tidak dapat di pungkiri karena teknologi canggih telah berada di tangan mereka dan tidak terkalahkan oleh teknologi lain seiring dengan waktu.
Namun keadaan dia harus menyerah di karenakan tidak ada lagi yang bisa membantu untuk melawan sang musuh, dan akibatnya sang anak sebagai penerus akan ikut menyusul mereka semua.
Oleh sebab itulah kenapa Naya dan Dana identitasnya di sembunyikan oleh sang Ibu, agar mereka tetap aman hingga waktupun tiba.
Mereka pun tidak hanya di tinggalkan alat canggih namun uang yang di pegang dana bisa di pergunakan untuk kebutuhan mereka hingga mereka besar bahkan tak terhingga jumlahnya, dan tidak dapat terdeteksi sedikitpun oleh pemilik bank ataupun teknologi secanggih apapun.
Dana diam di sebuah sofa sederhana dalam rumah tersebut. Lalu Jae membawa sepiring nasi kehadapan Dana, namun Jae mengerutkan keningnya tatkala melihat Dana terlihat diam tanpa berkedip, seakan otaknya begitu sibuk hingga tidak menyadari kedatangan Jae juga istrinya.
"Nak ... apa yang sedang kau pikirkan?" sapa Jae dengan lembut memegang tangan Dana.
"Eh Pak, tidak ada," ucap Dana menutupi. Sungguh dana tidak dapat melupakan bayangan saat Ibunya di tembak mati oleh seseorang itu. Rasa amarah, kesal, dendam dan lain sebagainya, ingin segera dia tuntaskan, namun dia sadar, dia hanya anak berusia 10 tahun yang tidak dapat bertindak apapun.
Dana hanya dapat menghela nafasnya, mencoba menetralkan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya.
Beruntung Dana adalah seorang pria yang pintar dan juga dapat berpikir panjang untuk melakukan tindakan apapun, hingga dia dapat menahan diri untuk melakukan sesuatu pada saat emosi. Jiwa kepemimpinan sudah tertanam semenjak dini oleh didikan sang Ibu.
Namun Jae dan istrinya yang bernama Yuni memahami akan kondisi Dana. Mereka pun tidak bertanya jauh, namun mencoba mengalihkan pikirannya dengan berbicara sambil memberikan sepiring nasi untuk Dana.
Sekecil ini kamu harus memiliki beban tinggi nak, aku doakan semoga kelak kamu bisa mengambil apa yang menjadi hakmu, dan kamu menjadi pria yang kuat dalam menghadapi semua ini. Batin Jae mendoakan.
Saat selesai makan, tiba-tiba Naya menghampiri Dana, "Ka ... kapan kita pulang?, dan ke mana Ibu?" tanya Naya yang begitu polos.
Dana yang mendengar itu pun melirik ke arah Jae juga Yuni, namun Dana yang usianya baru menginjak 10 tahun itupun, bersikap cukup dewasa dia tersenyum lalu mengusap kepala adiknya.
"Kita tidak akan tinggal lagi bersama Ibu, karena Ibu sudah tiada, sekarang merekalah orang tua kita, Naya harus bisa bersikap baik, menjadi anak penurut yang bisa membanggakan kedua orang tua kita ya," ucap Dana bijak.
"Kakak bohong, Naya tidak percaya," Naya marah sambil menyingkirkan tangan Dana dengan kasar dari kepalanya. Lalu berlari menghampiri Lani.
Dana hanya menghela nafas akan sikap adiknya, dan membiarkan adiknya untuk menenangkan diri.
Sungguh Dana merasakan berat, bukan dari seorang anak yang konglomerat menjadi miskin, namun tanggung jawab yang di embannya begitu berat. Baik menjaga juga mendidik adiknya, juga untuk mengambil alih perusahaan itulah yang paling terberat dalam hidupnya.
Namun bukan Dana jika dia harus berhenti di titik ini, Dana tidak akan pernah menyerah untuk kembali merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.
Jae dan Yuni hanya bisa terdiam, mereka tidak tahu harus berbuat apa, yang ada mereka ikut bersedih atas meninggalnya orang yang begitu baik yang selalu ada untuk mereka, kini mereka harus membesarkan anak-anaknya dengan cara mereka yang jelas berbeda dengan cara Cantika membesarkannya.
Bersambung ...
Malam pertama di rumah Jae, Naya terus menangis, dia teringat sang Ibu, Dana dan orang tua lani mencoba menenangkannya.
Sungguh ini bukan hal mudah bagi Dana, ingin sekali dia menangis dan melampiaskan amarahnya kepada mereka yang telah membunuh sang Ibu, namun Dana hanya mampu menghela nafas saat ini, apalagi kini melihat sang adiknya sudah tenang dan tengah tertidur di atas pahanya.
Dana menitikkan air matanya di depan Yuni dan Jae, dengan tangan mengelus rambut Naya lembut. Dana yang seharusnya masih bermain asik dengan teman-temannya namun kini harus memikul beban yang tinggi di pundaknya.
Sungguh hatinya begitu tersayat saat melihat adiknya, nyeri itulah yang di rasa, Dana hanya mampu menghela nafas panjang kembali.
"Dana kami paham apa yang kamu rasakan, namun ingat kamu tidak sendiri, di sini ada kami, dan jangan risau karena di luar sana masih banyak pihak yang mendukung Ibumu, di mana mereka masih bekerja untuk perusahaan itu, dan di sini tinggal seorang wanita yang siap membimbing kamu," ucap Dana panjang lebar.
"Wanita yang bisa membimbing saya?, maaf maksudnya bagaimana?" tanya Dana memastikan.
"Dia seorang guru profesional, dia di ungsikan kemari oleh Ibumu, setelah selesai pendidikan dengannya, kamu bisa mendapatkan ijazah seperti yang lain, sah dan mudah untuk bekerja," ungkap Jae.
"Apa dia di ungsikan karena nyawanya juga bahaya?" Dana menjeda pertanyaannya lalu kembali bertanya, "kalau bisa aman di sini kenapa Ibuku tidak ikut bersembunyi di sini?" tanya Dana kembali.
"Terlalu rumit Dana, mungkin yang lain bisa selamat tapi tidak dengan Ibumu, seberapa keras dia bersembunyi mereka akan terus mengejarnya," ujar Jae.
Kembali Dana menghela nafas panjang, sungguh ironis nasibnya. "Baiklah kapan saya bisa bertemu dengan guru profesional tersebut?" tanya Dana.
"Besok ikutlah dengan Yuni, saya harus bekerja kembali, jangan risau di sini aman dan damai, hiruk pikuk di sini bagai di perkampungan yang bisa membuat tenang," jelas Jae.
Penjelasan Jae jelas di rasakan oleh Dana saat memasuki gerbang usang itu. Memang Dana langsung mendapatkan kenyaman berbeda dengan saat di apartemen bersama Ibunya. Harta melimpah namun nyawa selalu jadi ancamannya. Sungguh tidak merasakan kenyamanan dan kebebasan seperti anak pada usianya.
"Baik terimakasih," ujar Dana dengan menganggukkan kepalanya.
"Baiklah Dana, beristirahatlah, karena hari ini kamu begitu lelah," ujar Jae dengan meninggalkan kamar dan menutup pintu tersebut.
Setelah meninggalkan Dana, Dana pun mencoba menidurkan Naya dengan begitu perlahan dan sangat hati-hati, karena takut membuatnya kembali terbangun.
Namun lain dengan Dana, sang Adik tertidur lelap begitu juga dengan yang lain, tidak dengan Dana, dia gelisah karena bayangan Ibunya yang di tembak mati itu terus terpampang dalam benaknya.
Kembali Dana mencoba menenangkan dirinya dengan menghela nafas, otaknya kembali berpikir bagaimana dia harus bisa memasuki perusahaan saat usianya tepat, dan apa yang harus dia perbuat. Karena tidak hanya otak namun fisik pun dia harus kuat.
"Kuat?" pikir Dana. "Ya aku harus punya ilmu bela diri? tidak hanya otak namun ilmu bela diripun harus aku miliki, mereka itu licik dan aku harus bermain licik, terlihat lemah namun kuat," gumam Dana.
Dia pun mulai merencanakan masa depannya, selama adiknya aman, maka dia pun bisa fokus untuk memantapkan dirinya untuk perisapan suatu hari nanti.
"Dan aku pun harus tahu siapa saja yang mendukung Ibuku," gumamnya kembali dengan tangan langsung membuka tablet.
Kepintaran Dana di atas rata-rata orang dewasa bukan lagi usianya, dengan kecepatan membuka aplikasi dan beberapa CCTV dalam tablet, dia bisa mengetahui apa saja yang dilakukan semua orang di perusahaan Ibunya.
Dana tersenyum saat matanya fokus menatap Tablet tersebut, di mana terpampang pegawai yang bekerja pada siang tadi.
Ya Dana tersenyum karena dapat melihat mana pegawai yang loyal juga jujur dan mana yang berleha-leha.
Beberapa jam pun telah terlewat, Dana merasakan lelah yang tidak terkira dengan badannya yang di regangkan mengharapkan merasakan kenyamanan untuk badannya sendiri.
De ... kaka akan jamin kehidupan kita akan kembali, namun maaf selama usia kita belum cukup kamu harus sabar menunggu di sini, kaka akan usahakan mengembalikan kebahagiaan kita hak kita, dan di sini kakak akan usahakan kamu kembali ceria seperti anak-anak yang lain. Guman Dana sambil menatap adiknya nanar.
Meski hatinya bersedih melihat adiknya juga hidupnya, namun Dana anak yang tegar dan kuat sehingga tidak berlama-lama terhanyut dalam kesedihannya, otaknya telah berkembang cukup pesat, di usianya ini dia bisa mengoperasikan komputer dengan handal, mungkin IT profesional ada pada dirinya. Katakanlah dia anak yang jenius.
Didikan Ibunya berhasil, meski tidak bersekolah namun pendidikan yang di terapkan saat kecil membuatnya berhasil. Tinggal mengejar ketertinggalannya untuk mendapatkan sertifikat dan ijazah selama bersekolah agar dia bisa memasuki gerbang perusahaan milik orang tuanya.
Yang awalnya menangis sedih, kini saat melihat jam yang bertengger di dinding menunjukkan pukul satu malam, dia tersenyum. Karena dia telah mengetahui arah untuk mencapai tujuannya.
Kini dia tertidur dengan memeluk sang adik.
Di pagi hari ...
Sang mentari terang memasuki celah kamar Dana juga adiknya, dia pun terbangun namun dia tersentak kaget kala melihat adiknya menangis terisak-isak karena tidak dapat menemukan sang Ibu di sisinya.
Kembali Dana menghembuskan nafasnya kasar, Dana yang belum terbiasa mengurus adiknya pun kini otaknya berpikir, baru saja semalam dia tenang karena telah terpikir langkah ke depannya, kini dia harus kembali berpikir bagaimana menenangkan sang adik dan mengembalikan keceriaannya di kala harus banyak kehilangan dalam dirinya.
"Dek ... jangan nangis, mau ga kakak gendong?" tanya Dana mencoba untuk membuatnya tenang agar dengan pelukannya.
Karena dia tahu, seorang wanita apalagi anak kecil dapat tenang dengan pelukan dan helusan lembut pada punggungnya. Dia pun mencoba mempraktikkan itu kepada Naya.
Untungnya Naya menganggukan kepalanya, dalam gendongan Dana, Naya memeluk erat Dana, Dana pun membalas pelukan itu dengan erat pula sambil mengelus punggung adiknya lembut, lalu setelah agak tenang Dana membawanya keluar kamar dan keluar rumah.
Ya untungnya pemandangan indah dan asri itu langsung saja menghipnotis mata mereka, sehingga Naya yang awalnya bersedih kini memandang hiruk pikuk pedesaan yang tidak padat seperti di kota.
Indah satu kata yang hadir dalam bibir mereka, yang membuat mata mereka bersinar, hijau dari persawahan juga pergunungan mencuci mata mereka seketika. Seakan rasa sedih itu sirna di makan oleh keasrian daerah ini.
Naya pun saat sudah terpana melihat indahnya alam ini, dia langsung turun dari gendongan Dana.
Dia berlari mengitari halaman rumah Jae yang langsung mendekati lahan hijau mengarah ke gunung.
"Naya ...," Dana memanggil Naya sambil berlari mengejar adiknya.
Jae dan Yuni yang melihatnya langsung tersenyum melihat kedua anak itu bisa langsung berbaur dengan warga yang lain.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!