Blurb
"Apa-apaan ini?" bisiknya panik.
Raveena melirik sekeliling. Dinding berlapis marmer, seprai putih yang lagi-lagi bergambar langit biru dan awan putih. Sebuah meja dengan tumpukkan buku dan dokumen yang tertata, hingga terpampang sebuah cermin persegi panjang yang berdiri di dekat jendela.
Dengan langkah limbung, Raveena pun mendekat.
"ASTAGA! APA YANG TERJADI DENGANKU?!" teriaknya nyaring, memantul ke seluruh sudut ruangan.
......................
Siang itu kantor terasa seperti ruang tahanan dengan AC yang nyaris tak berfungsi dan rekan kerja yang makin hari semakin sibuk. Di salah satu sudut ruangan, Raveena duduk dengan ekspresi masam sambil mengetik seenaknya. Bukan karena ia sedang fokus bekerja, tapi karena baru saja dimarahi atasan pagi tadi.
"Dia pikir semua pekerja di sini untuk jadi budak spreadsheet," gerutunya lirih sambil mengetik brutal.
Grace yang sejak tadi memperhatikan dari meja sebelah, sudah bisa menebak mood temannya. Ia pun menimbang-nimbang, apakah saat ini waktu yang tepat untuk bicara? Atau justru akan menjadi korban ledakan emosi berikutnya?
"Baru pukul dua, tapi raut wajahmu seperti jam sembilan malam pada hari Senin," sindir Grace pelan, mencoba mencairkan suasana.
Raveena mendesah berat. "Hari Senin justru lebih mending. Setidaknya aku datang dengan harapan."
"Dan hari ini?" timpal Grace penasaran.
"Datang dengan niat membakar gedung," celetuk Raveena sekenanya.
Grace tertawa kecil, meski tahu itu bukan sepenuhnya bercanda.
Raveena bersandar di kursinya, memutar-mutar pulpen di tangan. "Kukira jadi dewasa berarti bebas menentukan hidup. Nyatanya, cuma ganti bentuk perbudakan. Dulu sekolah, sekarang kerja. Besok disuruh nikah. Lusa disuruh punya anak. Kapan aku bisa tidur tanpa beban sosial?"
"Aku cukup yakin kalau jam istirahat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan beban eksistensialmu." Grace memperhatikan kelihaian jemari Raveena saat kembali mengetik penuh dendam.
"Kalau bukan sekarang, lalu kapan?" sahut Raveena sambil menatap tajam pekerjaannya. "Nanti ketika aku tua dan sadar, bahwa hidupku hanya dihabiskan untuk memenuhi tenggat waktu?"
Grace menahan senyum. Sudah sering ia menyaksikan drama filosofis Raveena setiap kali gadis itu merasa tertindas oleh kehidupan.
"Barangkali kau butuh hiburan yang sedikit lebih manusiawi daripada marah pada file Excel," ujar Grace, akhirnya menyisipkan niat tersembunyinya.
"Kau mengusulkan menonton telenovela murahan, atau mendengar podcast motivasi yang penuh kebohongan?" terka Raveena yang telah mengenal lama Grace. Jujur saja, itu memuakkan.
"Tidak dua-duanya. Aku hanya ingin kau membaca sesuatu."
Raveena mengangkat alis dengan tatapan penuh curiga. "Bacaanmu dan selera waras sering tidak sejalan, Grace. Aku tidak ingin menambah kerutan di dahi karena buku-buku absurdmu."
"Buku ini berbeda. Kau mungkin akan kesal, mungkin juga ingin meninju seseorang. Tapi bukankah itu kegiatan favoritmu?" Grace menyodorkan sebuah novel tebal dari dalam tote bagnya.
Raveena menatap sampulnya dengan tatapan ilfeel. "'Surat Terakhir di Langit Ketiga'? Judul yang terlalu puitis untuk akhir pekan yang menyebalkan," cibirnya.
"Anggap saja ini terapi. Tokohnya-" jeda Grace sambiln mengingat-ingat. "Cukup mengingatkanku padamu."
Raveena menyipit. "Kalau maksudmu ia sama menyebalkannya denganku, maka aku akan mengabaikan rekomendasimu ini."
"Tidak menyebalkan, tapi keras kepala," bisik Grace lalu berkata semakin lirih, "... dan tragis."
"Tragis?" Raveena menatap Grace lama. "Kau sungguh berpikir aku butuh tokoh tragis untuk membuat hidupku terasa lebih seimbang?"
Grace menghelan panjang. "Aku pikir kau butuh cermin."
Raveena mendecak. "Kau benar-benar punya cara jahat untuk menyinggung harga diri seseorang, Grace."
"Tapi setidaknya aku tak menyuruhmu menikah seperti ayahmu," timpal Grace membela diri.
Kalimat itu sukses membuat Raveena terdiam sejenak. Kemudian ia tertawa getir. "Kau licik."
Grace mengangguk percaya diri. "Dan kau tetap akan membacanya."
Raveena mengambil novel itu, lalu menyelipkannya ke dalam tas kerjanya dengan raut malas. "Tapi jangan salahkan aku jika buku ini berakhir terapung di bak kamar mandi."
Grace hanya tersenyum. Ia tahu, Raveena akan membaca novel itu sampai habis.
"APA-APAAN INI?"
Raveena sontak bangkit usai seharian rebahan membaca novel di hari libur bekerja. Rambutnya tampak berantakan dan kusut. Ia bahkan belum mandi demi menamatkan bacaan novelnya.
"Perempuan bodoh!" hardiknya seraya membanting novel tebal itu ke lantai kamar.
Raveena tak menyangka, bahwa ending novel berjumlah lima puluh bab itu berakhir konyol seperti ini. Ia sampai mencari di internet tentang season berikutnya. Namun hasilnya nihil. Novel yang telah tercetak tiga tahun silam itu nyatanya hanya ada satu season.
"Dasar bodoh! Kenapa kau mati konyol-"
Raveena stres sendiri, sampai tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Padahal ia mengharapkan bahwa tokoh utama itu tidak akan menyerah hanya karena sebuah cinta.
Sejak awal cerita, Elira memang bodoh. Namun kiranya, Elira akan bangkit dan berubah. Ternyata terus bodoh sampai akhir?
Jika Raveena adalah Elira, setidaknya ia akan menampar seribu kali lelaki brengsek bernama Arsen itu sebelum mati.
"Grace, awas saja kau," gumamnya kesal. Raveena merasa telah dikerjai oleh sahabatnya sendiri. Grace semalam mengatakan, bahwa novel tersebut penuh motivasi dan bisa membantu kisah percintaan rumitnya.
Apanya yang membantu? Grace memberinya motivasi untuk bunuh diri juga?
"Masa depan anak gadis pemalas akan suram."
Raveena sontak menoleh.
Itu suara Demian, ayahnya yang kini tampak berdiri di ambang pintu entah sejak kapan. Tatapannya terlihat tajam seperti biasa. Gadis itu memungut novel yang sempat ia lempar dan meletakkannya kembali ke atas nakas.
"Aku telah menghabiskan waktu untuk bekerja dari hari Senin sampai Sabtu. Tak bisakah kau membiarkanku menikmati satu hari liburku, Ayah?" sindirnya sambil melemparkan tatap malas.
Dengan perasaan lelahnya, Demian menyelisik kamar putrinya yang berantakan. Mulai dari bantal yang bergeletak tak berdaya di dekat kolong kasur, selimut tebal yang belum dilipat, sampai laptop dengan layar gelap yang dibiarkan begitu saja di atas kasur.
Raveena pun memungut bantal itu saat sadar tatapan ayahnya kian menajam.
"Umurmu sudah cukup untuk menikah," ujar Demian, yang disambut helaan napas sang anak. Raveena sudah sangat muak mendengarnya. Ayahnya selalu mengingatkan hal yang sama di setiap kali kesempatan.
"Cepat mandi. Ada yang ingin bertemu denganmu," titahnya dengan dingin.
Raveena gusar. Ini lebih mengesalkan dari penyesalan membaca ending novel yang tak sesuai harapan. "Siapa lagi?" tanyanya malas.
Damian terdiam sebentar dengan tangan yang sudah menggenggam handle pintu. "Calon suamimu."
"Lagi? Ayah sungguh tahu cara membuat hidupku makin menyedihkan." Rasa geram seketika memenuhi perasaan Raveena.
"Dandanlah yang cantik," final Demian kala enggan mendengar alasan apa pun. "Jangan mempermalukan ayah," sambungnya dengan raut datar.
BRAK!
Raveena terpejam gusar usai pintu kamarnya ditutup kasar. Gadis itu kembali melempar buku novel sebagai pelampiasan kesal. "Sial! Aku sungguh membencinya," umpatnya sambil membanting diri ke atas tempat tidur.
Sebelum sikap Demian sedingin tadi, sebenarnya malam kemarin mereka sempat makan malam bersama di sebuah restoran. Meski begitu, Raveena sendiri tidak pernah merasa nyaman berada satu meja dengan ayahnya.
Di sisi lain, di pertemuan itu Raveena sama sekali tidak tahu bahwa Demian telah merencanakan kehadiran tamu lain yang akan dikenalkan padanya. Sikapnya yang kurang ajar malam itu bahkan berujung pada putusnya relasi bisnis sang ayah.
Namun Raveena tak peduli. Ia tidak peduli jika orang-orang menganggapnya perempuan tak tahu diri.
Tapi kenapa mereka selalu bertengkar membicarakan masa depannya,termasuk soal pria yang pantas mendapatkan hatinya?
Padahal Raveena telah begitu muak pada kekangan yang mereka ciptakan. Ini adalah hidupnya. Ia ingin bebas dan menentukan keinginannya sendiri.
"Kali ini pria seperti apalagi yang akan kutemui?"
Kedatangan Raveena ke sebuah restoran hotel bintang lima disambut sinis oleh sang ayah. Siang itu, selain Demian, ada seorang pria asing yang duduk bersamanya. Berbeda dengan Demian, lelaki muda itu tampak tersenyum padanya.
"Raveena." Satu kata itu benar-benar tak mampu menutupi nada jengkel Demian saat menyambut kehadiran putrinya. "Kau bisa datang tepat waktu untuk meeting klien, tapi tidak untuk masa depanmu sendiri."
Raveena menarik kursi tanpa meminta izin. "Aku tidak menganggapnya masa depanku, jadi tidak ada alasan untuk tergesa-gesa."
Demian diam-diam menghela panjang.
Pria muda yang duduk di seberang Raveena tampak begitu rapi dengan tatapan yang terlalu ramah. Senyumnya sedikit kikuk, seolah belum paham bahwa ia tengah memasuki neraka dalam bentuk manusia bernama Raveena.
"Perkenalkan," kata Demian berusaha menetralkan rasa kesalnya. "Ini Nathaniel. Anak dari rekan bisnis lama ayah. Pemilik holding properti yang baru merger dengan kita."
Raveena menatap lelaki itu sejenak. Mata tajamnya menyisir dari kepala sampai kaki. Tidak ada yang salah dari penampilannya, bahkan menurutnya terlalu sempurna.
"Selamat sore," kata Nathaniel. "Aku sudah mendengar banyak tentang dirimu, Raveena," ucap Nathanael menyodorkan tangan, tetapi Raveena hanya menatap uluran itu tanpa mau menyambutnya.
"Sialnya aku tidak pernah mendengar apa-apa tentangmu," jawab Raveena sambil memindahkan sebagian rambut halusnya ke belakang bahu. Nathanael pun menarik kembali tangannya sambil mengangguk, seolah tidak ada masalah dengan itu.
Demian mengepalkan tangan di pangkuan. Suara napasnya sudah berubah jadi ledakan yang siap meletus. "Tak bisa kau bersikap sopan sedikit saja?"
Raveena tersenyum hangat. "Kupikir aku sudah sangat sopan untuk tidak membalikkan meja ini, Ayahanda."
Nathaniel malah tertawa kecil. "Jangan memarahinya. Aku menyukai putrimu. Dia sangat memesona," pujinya terang-terangan, membuat Demian panas-dingin. Ia khawatir kalau ucapan barusan bukanlah sebuah pujian, melainkan sebuah sindiran tajam.
Raveena menatap Nathanael lamat-lamat. "Sayangnya aku tidak mencari pengakuan dari pria yang menjual hidupnya demi angka-angka saham."
Urat leher Demian menegang. Raveena kembali menunjukkan sikap menyebalkannya seperti malam sebelumnya,yang membuat salah satu relasi bisnisny tersinggung dan menjauh.
Bagaimana jika semuanya terulang?
"Jaga bicaramu, Raveena," tegur Demian geram. Namun Nathaniel justru tampak semakin berseri, seolah menemukan daya tarik di balik ketidaksopanan Raveena.
Tanpa menyahut, Raveena bangkit dari kursi, hingga menimbulkan suara geseran yang menyentak. "Kalau ini sudah selesai, aku akan pergi. Aku muak menjadi aset barter dalam lelucon bernama keluarga ini."
Demian menahan lengan putrinya. "Kau pikir dunia ini akan peduli dengan pilihan-pilihanmu, Raveena? Pada akhirnya, semua wanita akan tunduk."
Suasana mendadak hening.
Raveena mengerling tajam. Cinta dan kasih seperti apa yang mengekang anaknya sendiri, lalu bersembunyi di balik dalih ‘demi masa depan’? Ia sungguh tidak mengerti dengan pola pikir memaksa semacam itu.
Senyuman sinis pun tercetak di bibirnya. "Dengarlah, Ayah." Ia berbalik, lalu menatap Demian dengan senyum selembut mungkin. "Maka biarkan aku menjadi pengecualian," ujarnya datar.
Wajah Demian memerah. Ia merasa dipermalukan putrinya sendiri. "Kau-"
"Tidak apa-apa," tahan Nathanael mencegah Demian yang hendak bangkit untuk menghentikan langkah perempuan itu.
Raveena berjalan keluar dari restoran, tidak peduli dengan sorot mata yang mengikuti langkahnya. Begitu keluar ke pelataran, ia menarik napas panjang.
"Sudah cukup. Ini sudah terlalu muak. Pria brengsek itu sangat memuakkan. Hidupku ..., sungguh memuakkan," lirih Raveena.
Air matanya luruh. Ia pun menyekanya dengan kasar, seolah menangis adalah sebuah aib memalukan yang mampu menurunkan harga diri seorang Raveena.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!