NovelToon NovelToon

Wasiat Yang Menyakitkan

#01

"Menikahlah, Mas! Nikahi lah kak Desi sebagaimana yang telah kakakmu wasiatkan. Tapi, ceraikan aku."

Deg. Jantung Afi berdetak dua kali lebih cepat dari yang sebelumnya. Bukan dua, tiga atau bahkan empat kali. Yang jelas, jantungnya tidak baik-baik saja sekarang. Mata Afi membulat sempurna. Dia kaget bukan kepalang.

"Nindy. Kamu-- " Ucapan itu langsung tertahankan dari mulut Afi. Tidak bisa keluar sama sekali. Darahnya mengalir terlalu cepat yang membuat lidahnya tiba-tiba tidak bisa berbicara.

Sementara itu, Anindia Syafitri yang duduk di sisi ranjang hanya terdiam sambil menunduk. Wasiat itu terlalu menyakitkan. Dia ingin menolak dengan sekuat tenaga, namun sadar, itu adalah wasiat yang kakak iparnya keluarkan.

Wasiat itu di dukung oleh semua keluarga.

Beberapa hari yang lalu, Hambali, kakak pertama Hanafi mengalami kecelakaan fatal. Dia meninggal di rumah sakit karena kecelakaan tersebut. Dia meninggalkan istri bersama satu anak perempuannya untuk selama-lamanya.

Sebelum menghembuskan napas terakhir, Hambali sempat meninggalkan wasiat kepada adik laki-lakinya untuk menjaga istri dan anaknya itu dengan baik. Permintaan itulah yang membuat semuanya berubah. Karena bagi keluarga Hanafi, cara untuk menjaga Desi dan anaknya dengan baik hanya ada satu. Yaitu, tetap mempertahankan Desi sebagai menantu mereka dengan cara menikahkan Desi dengan Hanafi.

"Ini wasiat dari kakak mu, Afi. Kamu harus menjaga Desi dan Lena dengan baik."

"Aku tahu. Tapi, tidak dengan menikah dengan mbak Desi, Ma."

"Tidak dengan menikah? Lalu dengan apa? Bagaimana caranya kamu bisa menjaga Desi dengan baik jika kamu tidak menikah dengannya, ha?"

"Iya, Kak. Kalau tidak menikah dengan mbak Desi, bagaimana caranya kak Afi mau menjaganya? Mana bisa terus menjaga dia dengan status dirimu sebagai ipar." Hana. Adik bungsu Afi ikut bicara.

Afi terdiam. Benaknya sedang mencerna dengan susah payah apa yang baru saja mama dan adik bungsunya katakan. Namun, belum sempat mencerna dengan baik, sang mama malah angkat bicara kembali.

"Hana. Panggilkan Nindy untuk datang ke kamar. Katakan mama ingin bicara dengannya."

"Ma." Afi langsung meninggikan suara.

"Istri kamu harus diajak bicara. Mama yakin, dia akan setuju dengan usulan pernikahan ini. Karena ini adalah wasiat Hambali. Seharusnya, dia bisa berpikiran terbuka dan menerima keputusan ini dengan lapang dada."

Mama Afi bicara dengan entengnya. Seolah, Nindy tidak punya hati. Wanita mana coba yang mau berbagi suami dengan orang lain. Jangankan suami, barang pun tidak akan ada yang rela.

Selama menunggu Hana kembali bersama Nindy, mama Afi terus mengajak anaknya bicara. Tentu saja orang tua itu terus memberikan penekan pada anak tengahnya agar bersedia menikah dengan menantu pertamanya itu.

Afi yang terus di tekan, merasa tidak punya peluang untuk menolak. Ketika sang istri datang bersama adik bungsunya keruangan tersebut, Afi langsung menyambut dengan wajah putus asa.

Nindy yang tidak tahu duduk permasalahannya, awalnya biasa saja. Namun, setelah tahu, tentu saja dia kaget bukan kepalang.

"Apa? Mengizinkan mas Afi menikah lagi? Dengan mbak Desi?"

"Iya. Karena ini adalah wasiat dari kakak ipar kamu. Kamu setuju bukan?"

"Apa? Bagaimana mungkin?"

"Apanya yang bagaimana mungkin? Kamu gak mungkin tidak setuju bukan, Nindi?"

"Iya, kak Nindi. Jangan bilang kalau kamu gak setuju. Ini wasiat lho, kak." Hana malah ikut-ikutan memberikan penekanan.

Kata demi kata terus saja menusuk batin Nindi. Sungguh, dia tidak lagi bisa bertahan. Dia terpaksa memilih pergi meninggalkan kamar tidur mertuanya dengan perasaan berkecamuk.

Alhasil, inilah keputusan yang Nindi ambil setelah dia tiba di kamar tidur miliknya bersama Afi. Sang suami yang langsung menyusul istrinya itupun langsung menerima jawaban yang mengejutkan.

Badai rumah tangga mereka datang terlalu cepat. Padahal, mereka baru menikah selama enam bulan. Masih sangat muda usia pernikahan mereka. Bak kata pepatah, baru seumur jagung.

Sungguh sangat malang. Pernikahan yang masih sangat amat muda harus diterpa badai yang sangat dahsyat. Sampai-sampai, Anindia tidak punya pilihan lain selain melepaskan Hanafi gara-gara sebuah wasiat yang sangat menyakitkan.

"Mas Afi. Menikahlah! Karena ini adalah wasiat. Jadi, menikahlah dengan mantan kakak ipar mu itu."

Mata Afi yang sudah membulat itu kini berkaca-kaca. Dia yang duduk tak jauh dari Nindi, langsung beranjak bangun.

"Aku akan menikah. Tapi, tidak akan pernah bercerai dengan mu."

Deg. Kali ini gantian mata Nindi yang membulat. Tatapan matanya lurus ke arah Afi. Pria itu dulu sudah susah payah mengejar Anindia. Berusaha keras untuk mendapatkan cinta, lalu setelah itu, berjuang untuk mendapatkan restu dari kedua belah pihak.

Ya. Menikah dengan Anin, Afi butuh banyak perjuangan yang harus ia lewati. Mulai dari mendapatkan hati Anindia, hingga mendapatkan restu dari kedua belah pihak. Jadi, mana mungkin dia rela melepaskan Anin hanya karena sebuah wasiat. Sebisa mungkin, dia akan tetap berusaha keras untuk mempertahankan istri tercintanya itu agar tetap berada di sisinya.

"Aku akan menikahi mbak Desi hanya karena wasiat dari mas Ali. Tapi istriku, orang yang aku cintai, tetap kamu satu-satunya, Anin."

"Tidak, Mas. Aku tidak akan pernah siap berbagi suami dengan siapapun. Karena itu, lepaskan aku sebelum kamu menikah lagi."

"Aku rela kamu menikah. Tapi kamu harus menceraikan aku sebelum pernikahan itu berlangsung," ucap Anin lagi.

"Anindia! Aku tidak akan melepaskan dirimu. Kau tetap istriku sampai aku mati."

"Tapi aku tidak akan pernah sudi jika harus berbagi suami, Mas. Tidak akan pernah. Kamu bisa menikah lagi. Tapi aku tidak akan pernah jadi istrimu lagi."

"Baik kalau begitu. Maka wasiat yang mas Ali berikan padaku tidak akan pernah aku jalankan. Karena aku tidak akan pernah mau bercerai dengan mu."

"Afi!" Lantang suara Nisa memenuhi ruang kamar milik Nindi dan Afi.

Wanita tua itu ternyata sudah tidak tahan lagi. Dia tidak akan pernah membiarkan anak keduanya itu menolak apa yang dia katakan. Merestui pernikahan Afi dengan Nindi juga karena terpaksa. Karena bagi Nisa, Nindi sama sekali tidak cocok untuk anaknya.

Nindi datang dari keluarga sederhana. Anak tunggal yang hanya dibesarkan oleh seorang ayah. Karena setelah melahirkan Anin, ibu kandung Anin malah menghembuskan napas terakhir karena kehilangan banyak darah.

Nisa berpikir, wanita dari keluarga sederhana yang kehilangan kasih sayang dari sang mama, tidak akan pernah cocok untuk anak keduanya yang cukup luar biasa. Anaknya adalah pemuda yang berpendidikan tinggi. Anak kebanggaan yang bisa ia andalkan dalam menjalankan bisnis keluarga.

Itu terbukti dengan kemampuan Afi yang bisa memajukan bisnis keluarga setelah sang papa meninggal beberapa tahun yang lalu. Anak yang berbakat seperti Afi, harusnya menikah dengan orang yang luar biasa juga. Bukan orang yang biasa-biasa saja seperti Nindi ini.

Tapi sayangnya, mata dan hati Afi malah sudah terpaku pada Nindi. Sekeras apapun penolakan Nisa, tetap saja tidak berhasil membuat anak keduanya itu menyerah. Yang pada akhirnya, Nisa lah yang harus mengalah. Terpaksa memberikan restu pada gadis yang sama sekali tidak ia sukai sebagai menantunya.

#02

Lalu, untuk Desi. Nisa sayang bukan kepalang. Selain berasal dari keluarga terpandang, wanita itu juga punya pendidikan yang sangat bagus. Anak pertamanya, meskipun tidak punya bakat apapun, tapi bisa menikah dengan gadis yang ia anggap cukup luar biasa seperti Desi. Bukankah itu berkah yang sangat luar biasa?

Nisa menatap lekat wajah anak dan menantunya secara bergantian. Perlahan, dia bergerak mendekati Nindi. Lalu, plak. Sebuah tamparan dia hadiahkan ke wajah menantu yang tidak ia inginkan ini.

"Mama!" Afi kaget bukan kepalang. Sedang Nindi, dia hanya bisa terdiam sambil menahan air mata agar tidak jatuh.

"Apa yang mama lakukan? Kenapa mama tampar Nindi, Ma?"

"Kenapa aku tampar dia? Karena dia tidak tahu diri, Afi."

"Dia tidak tahu dari masa asalnya. Dia tidak pernah mau bersyukur dengan apa yang dia punya. Dia sungguh tidak tahu malu."

"Ma."

Anindia yang sebelumnya diam dengan wajah tertunduk, kini sudah mengangkat wajahnya. Linangan air mata terlihat di mata indah milik sang wanita cantik. Tatapan mata yang biasa teduh, kini sudah berubah tajam menusuk.

Hati yang sakit adalah penyebabnya. Hati yang sakit mampu mengubah perasaan sayang jadi benci. Hati yang sakit, bisa mengubah yang lemah jadi menakutkan.

Anindia bangun. Tatapan tajamnya seakan tidak berkedip. Terus menatap wajah Nisa tanpa berubah sedikitpun. Seringai menakutkan terlihat.

"Barusan, mama bilang, aku tidak pernah bersyukur? Aku tidak tahu diri, dan aku tidak tahu malu. Jadi, tolong katakan padaku, Ma. Apa yang harus aku syukuri sekarang! Apakah aku harus bersyukur ketika suamiku mau menikah lagi? Apakah-- "

"Anin. Tenang, Nin. Tolong jangan jawab apa yang mama katakan," ucap Afi memotong perkataan Nindi. Afi juga berusaha mencegah Nindi yang ingin terus melangkah.

Sungguh. Afi cukup terkejut akan sisi asing yang baru saja Nindi perlihatkan. Karena selama ini, dia tidak pernah melihat sisi yang menakutkan itu dari sang istri.

"Anindia. Tolong, tenanglah. Jangan jawab mama. Jangan bertengkar dengan mama. Mama itu orang tua. Selaku anak, kita harus mengalah."

Tatapan tajam Nindi langsung beralih ke arah Hanafi. Sedikit merinding, tapi Afi berusaha untuk tetap tenang. Namun, belum sempat Anin bicara, sang mama yang baru saja dibela anaknya semakin besar kepala. Langsung angkat bicara lagi.

"Sekarang lihat, Afi! Inilah wanita yang dulunya kamu perjuangkan. Wanita yang kamu anggap baik. Kamu puji-puji depan mama. Sekarang lihat! Dia sudah menampakkan wajah aslinya. Wajahnya sungguh mengerikan."

"Ma. Tenanglah. Jangan bicara lagi. Anin-- "

"Cukup, Afi. Mama juga tidak ingin berdebat. Mama hanya ingin kamu melakukan apa yang telah kakak mu wasiatkan. Tapi kenapa? Kenapa istrimu malah menjadi penghalang?"

"Afi. Dulu, saat kamu ingin mendapatkan restu dari mama, kamu berusaha sangat keras. Setelahnya, barulah mama merestui pernikahan kalian. Lalu sekarang, kenapa istri yang kamu perjuangkan jadi seperti ini, ha? Kenapa dia malah jadi wanita yang sangat egois?" Sang mama terus memberikan penekanan pada anaknya.

Ucapan itu membuat Nindi tidak tahan lagi. Dia yang sudah kesal, semakin di buat kesal dengan kata-kata yang mertuanya ucap. "Aku? Egois? Apakah mama tidak salah bicara?"

"Cukup, Anindia. Jangan berdebat lagi. Jangan bantah apa yang mama katakan."

"Mas Afi. Aku membantah? Pokoknya, aku sudah tidak tahan lagi. Aku sudah tidak bisa untuk bertahan. Kesabaran ku sudah habis. Jika kamu ingin menikah, aku bersedia. Tapi, jangan pertahankan aku agar tetap menjadi istrimu. Itulah keputusan terakhirku. Aku ingin pisah. Kita bercerai. Maka kamu bebas untuk menikah lagi."

"Cukup, aku bilang! Cukup! Kita tidak akan bercerai. Aku tidak akan-- "

Sang mama yang merasa terpojok, seketika mengeluarkan jurus pamungkasnya. Jurus, sakit. Tiba-tiba saja, Nisa langsung merasakan sesak pada dadanya. Dia langsung merintih kesakitan. Dan, perlahan jatuh ke lantai.

"Mama!" Wajah panik Afi terlihat dengan sangat jelas.

Teriakan itu langsung memanggil Hana untuk datang ke kamar kakak keduanya. Dengan wajah penasaran, Hana melontarkan pertanyaan. "Apa yang terjadi, Kak?"

Wajah penasaran itu langsung berubah panik saat melihat kakak keduanya berusaha merangkul sang mama yang sedang terjatuh di lantai. "Mama!"

"Hana. Panggilkan dokter!"

Tanpa menjawab, Hana langsung melakukan apa yang kakaknya katakan. Suasana rumah sangat tegang sekarang. Segalanya terasa tidak baik-baik saja.

Afi memindahkan mamanya ke atas ranjang. Sambil menunggu dokter yang Hana panggilkan datang, dia terus membelai tangan mamanya dengan perasaan bersalah. Sementara itu, Nindi yang juga merasa bersalah akan apa yang sedang terjadi, hanya bisa diam di ujung ranjang.

Beberapa waktu kemudian, dokter yang Hana panggil datang. Sesaat kemudian, Desi yang sedang tinggal di rumah yang berbeda, juga ikut datang karena panggilan dari Hana. Maklum, Desi adalah menantu sekaligus ipar terbaik di hati keluarga Afi. Jadi, tentu saja kabar apapun akan dibagikan dengan wanita tersebut.

"Hana. Apa yang tejadi pada mama? Kenapa mama bisa sampai pingsan, Han?"

Pertanyaan Desi membangkitkan amarah yang tertahan dalam hati Hana. Dengan tatapan penuh dengan marah, Hana menatap lekat wajah Nindi.

Telunjuk ia arahkan ke Nindi. "Semua gara-gara dia. Dialah yang telah menyakiti mama. Dialah yang telah membuat mama pingsan. Aku heran, mungkin, dia sangat tidak suka tinggal di keluarga ini sampai sering bikin ulah."

"Hana! Jaga ucapan mu." Bentak Afi dengan nada tinggi sesaat setelah mendengar adiknya bicara kasar tentang sang istri.

Tentu saja bentakan itu semakin menambah rasa tidak suka Hana pada kakak iparnya. Dengan wajah kesal, dia tatap si kakak yang sedang memunggungi mereka.

"Kenapa, kak? Kenapa kamu selalu saja membela dia? Apakah dia sebegitu pentingnya buat kamu sampai saat dia menjadi penyebab mama pingsan pun kamu tetap ada di pihaknya? Kamu tetap bela dia walau dia salah. Apakah mama tidak lebih penting darinya?"

"Hana, cukup!"

"Afi. Sudah. Jangan bentak Hana lagi. Hana bicara begitu hanya karena dia sedang emosi. Tolong, jangan perkeruh suasana."

"Hana. Kamu juga jangan bicara lagi ya. Kalian sama-sama sedang dipengaruhi oleh amarah yang tinggi. Jadi, sebaiknya, jangan keluarkan kata-kata kalian. Jika tidak, keadaan yang sedang kacau akan semakin bertambah kacau nantinya."

Ucapan yang Desi keluarkan bisa membuat Hana dan Afi bungkam. Inilah kenapa Hana paling suka Desi. Dia terlihat sangat tenang. Bisa menjadi penengah dalam segala hal. Maklum, orang kalau sudah suka, apapun kondisinya, tentu saja akan terlihat baik. Begitu pula sebaliknya. Jika sudah tidak suka. Sebaik apapun orang tersebut, tetap saja, kesannya akan buruk.

Sesaat kemudian, setelah si dokter memeriksa kondisi Nisa. Dokter itu meminta mereka yang ada di kamar untuk keluar. "Bisakah kalian keluar dulu? Nyonya Nisa butuh udara segar sekarang."

"Apa yang terjadi dengan mama saya, Dok? Apa mama baik-baik saja?" Afi bertanya dengan wajah tegang.

"Saya perlu memeriksanya lagi. Jika memang kondisinya sangat buruk, kita harus membawanya ke rumah sakit. Jadi tolong, berikan saya waktu untuk berduaan saja dengan Nyonya Nisa. Dengan begitu, saya bisa lebih leluasa dan juga lebih fokus lagi untuk melakukan tugas saja dalam memeriksa kondisi fisik nyonya Nisa."

#03

Karena ucapan si dokter, Afi dan juga yang lainnya langsung keluar dari kamar tersebut. Mereka menunggu dengan cemas di ruang tengah yang letaknya tak jauh dari kamar tempat Nisa berada.

Menunggu dengan cemas di ruang tengah. Desi bergerak menghampiri Afi secara perlahan. Desi duduk di samping Afi, tanpa merasa enggan sedikitpun. Tidak pula dia pikirkan bagaimana perasaan Nindi selaku istri dari pria yang sedang ia dekati.

Satu sentuhan lembut Nindi jatuhkan ke pundak Afi. Sedikit aneh buat Nindi, tapi tidak ada masalah bagi Desi. Desi malah terlihat bahagia saat dia berhasil memberikan sentuhan itu pada adik iparnya.

"Fi. Tenanglah. Mama pasti akan baik-baik saja. Tidak perlu cemas. Dokter Bram adalah dokter keluarga yang sudah bekerja di keluarga kita cukup lama. Dokter Bram sudah cukup hafal bagaimana kondisi mama. Aku yakin, dia juga pasti bisa mengobati mama dengan baik."

Hanafi dengan wajah sedih melihat Desi lekat sesaat. Setelahnya, anggukan pelan dia berikan. "Iya, mbak. Semoga saja, mama gak papa."

Pemandangan itu membuat hati Nindi tidak nyaman. Sampai-sampai, dia tidak bisa untuk tetap bertahan di sana. Desi yang bertingkah seolah tidak ada yang salah dengan apa yang sedang ia lakukan. Lalu Afi, pria itu juga bersikap sama. Seolah, apa yang sedang terjadi bukanlah masalah besar.

Mereka tidak memberikan batasan sedikitpun. Padahal, antara perempuan dan laki-laki, tentu saja punya batasan yang harus di jaga. Apalagi saat ini, Desi adalah seorang janda. Di tambah dengan rencana keluarga yang akan menikahkan mereka berdua. Harusnya, Afi bisa menjaga hati istrinya sekarang. Tapi sayang, itu tidak dia lakukan.

Entah apa yang ada dalam pikiran Hanafi sebenarnya. Sampai-sampai, ketika Nindi beranjak, dia tidak menyadari kepergian istrinya sama sekali.

Berbeda dengan Afi, Hana cukup peka akan keadaan tersebut. Dia yang melihat kecemburuan di mata Nindi, langsung tersenyum jahat. Hana pun segera menyusul Nindi dari belajang.

"Nindi, tunggu!"

Seketika, langkah kaki Nindi yang ingin terus melangkah menuju ke arah dapur, tertahankan. Nindi pun membalikkan tubuhnya dengan malas.

"Kamu panggil aku dengan nama?" Nindi berucap enggan.

Eh ... yang diajak bicara malah semakin menjadi-jadi. Sambil melipat tangan di atas perut, Hana melihat Nindi dengan pandangan penuh cemooh. "Iya. Terus, kenapa? Emang kamu layak aku panggil kakak atau mbak gitu? Sayangnya, aku rasa nggak tuh. Kamu gak layak. Kamu gak layak jadi kakak iparku."

Kesal sebenarnya hati Nindi setelah mendengar ucapan adik iparnya ini. Namun, dia merasa kalau dirinya tidak perlu untuk meladeni gadis ini. Karena semakin di lawan, maka gadis ini akan semakin menjadi-jadi.

"Terserah kamu," ucap Nindi sambil beranjak memutar tubuhnya kembali. Dia berniat untuk melanjutkan langkah kakinya untuk meninggalkan tempat tersebut.

Namun, tangan Hana malah dengan cepat menahan tangan Nindi. Tatapan kesal pun Hana perlihatkan dengan sangat jelas.

"Tunggu! Mau ke mana kamu? Aku belum selesai bicara. Gak ada sopan santunya kamu ya. Main pergi gitu aja."

"Mau bicara sopan santun dengan ku? Memangnya, kamu punya sopan santun?" Balas Nindi yang semakin membuat darah Hana semakin tinggi.

"Kamu!"

"Ah, heh ... aku rasa, tidak perlu marah-marah padamu sekarang. Karena sebentar lagi, kamu sudah bukan bagian dari keluarga ini lagi," ucap Hana mengubah cepat wajah kesalnya pada Nindi.

Senyum kecil mengejek Hana perlihatkan. "Kamu lihat seperti apa sikap kak Desi pada kakak ku tadi, bukan? Dan, seperti apa pula tanggapan kakak ku untuk kakak iparnya."

"Nindi. Mereka itu adalah pasangan yang cocok. Ganteng saam cantik, pintar sama pintar. Terus, latar belakang keluarga kita sama lagi. Gak kayak kamu. Entah salahnya di mana kakak tengahku itu sampai harus menikah dengan kamu yang datang dari keluarga yang serba tidak cocok jika untuk di satukan dengan kakak ku yang luar biasa itu."

"Nindi-Nindi. Jika kamu sadar diri sejak awal, kamu gak akan bersedia nikah dengan kakak ku. Tapi sayangnya, kamu gak sadar diri. Lalu sekarang, saat kakak ku menerima wasiat, kamu malah menjadi penghalang. Kamu benar-benar gak sadar diri ya, Nin."

Setelahnya, Hana malah dengan kasar mencengkram satu pundak Nindi dengan tangannya. Tatapan tajam gadis itu perlihatkan. "Dengarkan aku baik-baik. Selamanya, kamu tidak akan pernah aku anggap sebagai kakak ipar, Nindi. Kakak iparku hanya satu sampai kapanpun. Hanya kak Desi satu-satunya. Aku tekankan padamu, Nindi. Jika kamu berniat jadi penghalang untuk kak Afi menikah dengan kak Desi lagi, kamu akan tahu akibatnya. Paham!"

Hana mendorong pundak Nindi dengan kasar. Sungguh, gadis yang lebih muda dua tahun dari Nindi ini benar-benar tidak tahu sopan santun. Jika memang tidak ingin menganggap Nindi sebagai kakak iparnya, setidaknya, tahu di mana batasan diri. Bagaimanapun, Nindi adalah orang yang lebih tua dari dia. Tidak bisa bersikap seenaknya seperti barusan.

Setelah mengeluar semua unek-unek yang ada dalam hatinya, Hana langsung beranjak pergi. Nindi hanya terdiam saja. Bukan takut untuk melawan. Hanya saja, tidak ingin. Dia merasa, belum saatnya dia melakukan perlawanan ini. Bagaimanapun, dia sudah tidak lagi ingin bertahan di keluarga ini. Dia hanya ingin berpisah sekarang. Tak ingin lagi bersama. Karena mungkin, pernikahan mereka memang salah sejak awal.

Di sisi lain, dokter yang merawat mama Afi sudah pun keluar dari kamar. Dia datang untuk bertemu dengan Afi. "Pak Hanafi. Bisa bicara empat mata? Saya ingin sampaikan seperti apa kondisi fisik nyonya Nisa."

"Dokter. Baiklah. Ayo kita bicara di kamar tamu."

"Hm."

Si dokter mengikuti Hanafi menuju ruang tamu. Sampai di sana, mereka langsung memulai obrolan mereka dengan serius.

"Pak, kondisi ibu anda semakin rumit sekarang. Kesehatannya semakin memburuk. Beban hati yang terlalu berat membuat kondisi fisiknya drop terlalu cepat. Kalau dibiarkan terus berlanjut seperti ini, saya tidak tahu lagi harus melakukan apa. Karena tekanan batin bisa membuat nyonya Nisa ... menyerah untuk bertahan hidup."

Deg. Jantung Afi berdetak dua kali lebih cepat. Matanya membulat. Dia tidak ingin percaya dengan apa yang baru saja dokter katakan. Tapi, benaknya malah membenarkan perkataan tersebut. Karena memang kenyataannya, akhir-akhir ini, terlalu banyak hal yang terjadi dalam keluarga mereka. Sang mama sedang berduka atas kepergian anak pertama yang dia sayang. Lalu sekarang, dihadapkan dengan penolakan yang dia lakukan. Bagaimana bisa kondisi fisik sang ma baik-baik saja setelah menerima semua masalah ini?

"Dokter. Apa yang harus saya lakukan sekarang? Apa yang bisa saya lakukan agar mama bisa kembali membaik, Dok?"

Si dokter terdiam sesaat sambil menatap lekat wajah Afi. Sesaat lamanya, setelah itu, barulah dokter itu bicara. "Tidak banyak yang bisa pak Afi lakukan. Hanya satu hal saja yang bisa membuat fisik nyonya Nisa membaik. Yaitu, buatlah hati nyonya Nisa selalu bahagia. Hanya ini cara satu-satunya yang bisa saya sarankan, Pak."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!