NovelToon NovelToon

AKU BUKAN AYAHNYA, TAPI DIA ANAKKU

BAB 1

Siang itu, Agustus 2014. Udara Jakarta lebih panas dari biasanya.

Musim kemarau sedang galak-galaknya. Aspal meleleh. Kepala nyut-nyutan. Dan aku masih di atas motor, mengenakan jaket hijau yang sudah bau matahari.

Aku salah satu dari ribuan orang pertama yang mendaftar ojek online waktu itu.

Setelah kena PHK dari pabrik bulan lalu, aku nggak punya banyak pilihan.

Uang pesangon nyaris habis. Cicilan motor belum lunas. Jadi ojek online adalah satu-satunya jalan cepat yang masuk akal. Minimal, bisa makan hari ini.

Dua hari dua malam aku nyaris tanpa tidur. Onbit terus. Orderan datang silih berganti.

Penumpang, makanan, paket. Semuanya kuantar.

Kadang harus berdebat dengan ojek pangkalan yang merasa wilayah mereka direbut. Tapi aku masih bisa bicara baik-baik.

Karena aku tahu, mereka juga sedang bertahan. Sama sepertiku.

Keringat mengucur deras di dahiku.

Cuaca panas bukan main. Tapi aku tetap senang.

Hari ini aku bawa makanan kesukaan Larasati. Istriku.

Usianya baru 21 tahun. Masih muda, cantik, dan dulu... penuh harapan.

Hari ini genap empat tahun pernikahan kami.

Aku berharap dia senang. Minimal tersenyum. Minimal bilang "terima kasih". Itu saja sudah cukup.

Motorku kuparkir di halaman kos.

Ya, kami tinggal di kos-kosan sempit. Bukan karena kami suka gaya hidup sederhana. Tapi karena aku memilih berpisah dari keluarga mertuaku.

Alasannya? Katanya ingin mandiri.

Tapi sebenarnya... Laras malu.

Dia malu tinggal di rumah orang tuanya dengan suami seperti aku—anak panti yang bahkan nggak tahu siapa orang tua kandungnya.

Aku membuka pintu kosan.

Laras sudah rapi. Wajahnya bersih, sudah bersolek.

"Cantik sekali istriku," gumamku dalam hati.

Mungkin... mungkin hari ini dia mulai menerimaku.

Aku bahagia. Sungguh bahagia.

Hari ini empat tahun pernikahan kami.

Aku bawa pizza kesukaannya.

Kupikir dia akan tersenyum. Menyambutku. Mengatakan sesuatu yang hangat.

Tapi yang kudengar justru...

“Riko, aku mau bercerai.”

Kalimat itu seperti palu godam.

Jantungku nyaris copot. Berdetak tak karuan.

Tanganku lemas.

Kantung plastik berisi pizza jatuh ke lantai, pelan. Tapi suaranya terasa memekakkan telinga.

“Ke… kenapa, Ras?” tanyaku pelan. Suaraku gemetar. Tenggorokanku tercekat.

Laras tidak menatapku. Dia hanya berdiri di ambang pintu kamar, wajahnya datar.

“Doni sudah pulang dari Jepang. Aku harus bercerai darimu, Riko,” jawabnya tenang, seolah itu hal paling biasa di dunia.

Aku belum sempat berkata apa-apa.

Dia sudah melangkah melewatiku. Aroma parfumnya masih tertinggal. Langkahnya ringan, seperti beban sudah terangkat dari pundaknya.

Saat mencapai pintu, dia berbalik sebentar.

Tatapannya tidak dingin. Tapi juga bukan sedih. Hanya... kosong.

“Kamu urus Melati. Doni nggak mau ada anak.”

Lalu pintu tertutup.

Dan untuk beberapa detik, dunia terasa benar-benar sunyi.

Hanya ada pizza yang dingin di lantai, dan aku—seorang suami yang ditinggalkan tanpa sempat mempertanyakan apa pun.

Tak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di halaman kosan.

Aku berdiri mematung di ambang pintu.

Doni.

Dia turun dari mobil dengan santai, membuka bagasi, lalu membantu Laras mengangkat koper.

Seperti tak terjadi apa-apa. Seperti ini memang bagian dari rencana mereka sejak lama.

Aku hanya berdiri. Menatap. Tak mampu bergerak.

Kurang apa aku sama dia?

Aku berusaha sekuat tenaga membahagiakan Laras.

Aku menikahinya bukan karena cinta waktu itu—tapi karena ingin menyelamatkan nama baik keluarganya.

Laras hamil di luar nikah. Doni kabur entah ke mana.

Dan aku... aku hanya seorang rekan kerja ayahnya.

Ayah Laras—Pak Ferdi, atasanku di pabrik—datang ke rumah kontrakanku malam-malam. Dia memohon. Berlutut.

“Tolong, Riko… selamatkan anak saya…”

Dan aku setuju.

Karena aku bodoh. Karena aku pikir ini bisa jadi awal hidup baru.

Laras cantik. Keluarganya punya nama.

Kupikir, mungkin dengan menikahinya… hidupku akan lebih baik.

Walau aku tahu… anak yang dikandungnya bukan anakku.

Kurang apa aku sama Laras?

Empat tahun menikah, aku tak pernah mengeluh.

Walau aku... bahkan tidak diizinkan menyentuhnya.

Bukan karena marah. Bukan karena benci. Katanya, dia belum siap. Katanya, dia trauma. Dan aku… aku percaya. Aku sabar.

Laras alergi pada anak kecil. Itu juga alasannya.

Jadi sejak Melati lahir, aku yang mengurus semuanya.

Aku yang membersihkan kotorannya.

Aku yang mengganti popoknya di tengah malam.

Aku yang mencuci pakaian Laras dan Melati.

Aku yang meracik susu formula, memasak nasi, membeli lauk, membereskan rumah.

Aku jadi ayah sekaligus ibu.

Dan semua itu kulakukan tanpa mengeluh. Sedikit pun tidak.

Karena aku berharap... suatu hari nanti Laras akan berubah.

Mungkin dia akan luluh. Mungkin dia akan melihat perjuanganku.

Mungkin dia akan belajar mencintaiku, walau semua ini dimulai dengan kebohongan.

Tapi harapan itu... berakhir hari ini.

Hari ini, Laras meminta cerai.

Dan sebelum aku bisa mengatakan setuju atau tidak—dia sudah pergi.

Naik mobil bersama Doni.

Meninggalkan pizza dingin dan seorang pria yang masih mematung di depan pintu.

Bersama seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

Dia pergi. Tepat di depan mataku.

Dengan koper-koper dan senyum kecil yang tak pernah kuberikan padanya.

Dia pergi... meninggalkan anaknya.

Anak dari hubungannya dengan Doni.

Aku marah.

Aku muak.

Aku kesal bukan main.

Kenapa hidupku begini?

Tanpa pikir panjang, aku ambil jaket ojolku.

Aku pakai helm.

Langkahku cepat, padat, penuh amarah.

Sudah cukup. Aku sudah dipermainkan terlalu lama.

Kenapa aku harus bertahan?

Melati bahkan bukan anakku.

Secara hukum, tak ada satu pasal pun yang mewajibkanku mengurusnya.

Dia bukan darah dagingku.

Bukan bagian dari hidup yang kuimpikan.

Aku melangkah ke pintu.

Tekadku bulat.

Aku akan pergi. Hari ini juga.

Biar Laras tahu rasanya ditinggalkan.

Tanganku menggenggam gagang pintu.

Kupelintir pelan.

Pintu mulai terbuka...

Dan saat itu juga—

“Yah... aku haus... yah, mimi cucu...”

Suara kecil itu menggema di telingaku.

Pelan. Lembut. Patahkan semuanya dalam sekejap.

Melati...

Anak yang kutunggu saat proses kelahirannya.

Anak yang kuadzanin saat dia lahir ke dunia, kugendong dengan tangan gemetar, kubisikkan iqamah di telinganya.

Anak manis yang selalu berlari memelukku setiap aku pulang.

Anak yang selalu merentangkan tangan kecilnya, seolah dunia akan runtuh kalau aku tidak memeluknya.

Melati... yang selalu ingin tidur di pelukanku.

Yang setiap malam menarik-narik baju ini dan bilang, "Yah, temenin ya."

Anak yang entah bagaimana, selalu membuat rasa lelahku lenyap.

Langkahku terhenti.

Aku berbalik.

Kubuka helm. Jaket ojol kulepas perlahan.

Kuhirup napas dalam-dalam, lalu berjalan ke dapur.

Kukeluarkan panci kecil. Kupenuhi dengan air. Kutaruh di atas kompor.

Air mulai panas. Tapi mataku justru yang lebih dulu memanas.

Tak terasa... aku terisak.

Entah karena kesal. Entah karena sedih. Entah karena bingung harus memilih siapa.

Lalu suara kecil itu terdengar dari balik pintu kamar.

Pelan. Lembut. Merayap sampai ke lubuk hati.

“Yah…”

“Kok nangis, Yah?”

Aku diam. Tak mampu menjawab.

“Aku nakal ya…?”

Kalimat itu menghantam lebih keras dari semua luka yang pernah kupikul.

Dan air mataku... akhirnya jatuh.

Tak bisa kutahan lagi. Tak bisa kubendung.

Tetes demi tetes jatuh ke lantai dapur. Panas. Perih.

Mungkin ini puncaknya. Mungkin memang harus tumpah dulu semuanya.

Aku berbalik.

Melati berdiri di ambang pintu, memeluk boneka kecilnya.

Matanya polos. Tidak paham apa-apa. Tapi tatapannya... seperti mengerti segalanya.

Aku berjongkok.

Kupeluk dia erat-erat.

Kecil. Hangat. Dan satu-satunya alasan kenapa aku masih bertahan hari ini.

“Maafkan Ayah, Nak…”

Hanya itu yang bisa kuucapkan.

Suara serak. Dada sesak.

Melati tidak menjawab.

Dia hanya menepuk-nepuk punggungku pelan.

Seolah ingin bilang,

“Tenang, Yah… Ayah baik-baik saja.”

KALAU RAMAI AKU TERUSIN, KALAU ENGGAK KITA UDAHAN,

bab 2

tidak ada keeajibanku mengurus melati dia bukan anakku dia bukan darah dagingku..aku akan meninggalkannya tapi....

tapi aku tidak bisa meninggalkan melati

wajahnya cantik usianya belum genap 4 tahun, anak yang sedang lucu-lucunya,cerewet, banyak bertanya, Laras kadang marah karena menerima rentetan pertanyaan dari melati

senyumnya, tawanya, bahkan tangisnya apakah aku sanggup kehilangan itu semua..berat sekali hatiku..

"Ayah... aku haus..."

Suara Melati, memecah lamunanku.

"Yah, bobo, yuk," ucap Melati, menarik tanganku menuju kasurnya.

Aku mengikutinya, merebahkan diri di sampingnya. Melati menyedot susu dari dotnya dengan lahap, lalu meletakkan dotnya di samping bantal. Mata mungilnya menatapku, dan getaran di hatiku semakin kuat.

"Ayah cengeng," katanya dengan nada khas anak kecil, "kok ayah nangis?"

Aku tersenyum getir, mengusap air mata yang tak bisa kubendung. "Ayah menangis karena melihat Melati makin hari makin cantik," jawabku, membohongi diriku sendiri. Padahal, sama sekali aku tidak bahagia.

Orang bodoh mana yang mengatakan aku bahagia? Siapa yang berani berkata seperti itu? Mereka tidak tahu. Mereka tidak mengerti. Mereka tidak merasakan.

Empat tahun. Empat tahun aku menunggunya, berharap, dan mencintainya dengan sabar. Empat tahun aku tak pernah menyentuhnya. Dan hari ini, dia pergi.

"Cinta tak harus memiliki," itu semua omong kosong. Itu semua dusta. Buktinya, aku sakit. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang robek saat dia meninggalkanku.

"Yah, mama mana?" tanya Melati.

Jantungku kembali terasa sakit, seolah ditusuk sembilu yang sama berulang kali. Haruskah aku jujur? Haruskah aku katakan, "Ibumu sudah pergi bersama bapak kandungmu, dan dia menyuruhku merawatmu"? Tapi kata-kata itu terlalu kejam untuk telinga mungilnya. Terlalu pahit untuk ditelan oleh hatinya yang masih polos.

"Ibu sedang pergi sebentar, nanti juga pulang," jawabku, lagi-lagi mengucap kebohongan yang sama. Berharap, suatu saat nanti, kebohongan itu berubah menjadi kenyataan.

"Pulang? Mungkinkah?"

Kalimat itu berulang kali mengoyak pikiranku. Rasanya tidak mungkin. Cinta Laras pada Doni tidak pernah mati. Ia hanya tertidur, menunggu waktu yang tepat untuk terbangun. Cinta memang membutakan segalanya. Doni menghamilinya, lalu meninggalkannya. Aku, si pahlawan kesiangan, datang untuk menyelamatkan nama baiknya.

Aku terpaksa menikahinya. Dan sekarang, dia pergi. Pergi dengan Doni. Laras sangat bodoh. Bodoh karena mencintai pria yang tidak pantas. Tapi yang paling bodoh adalah aku. Aku seharusnya tidak sok jadi pahlawan, seharusnya aku tidak menikahinya. Masih banyak perempuan di luar sana. Aku memang kere, tapi wajahku tak jelek. Aku yakin masih banyak yang mau denganku.

Aku memang bodoh. Dan sekarang Laras meninggalkan Melati untukku. Mereka yang membuat anak, mereka yang seharusnya bertanggung jawab, tapi justru meninggalkannya begitu saja. Anak ini sekarang menjadi tanggung jawabku.

Pikiran itu terlintas di kepalaku: seharusnya Laras menyerahkan Melati ke panti asuhan, atau aku saja yang mengantarkan Melati pada mertuaku. Ya, itu ide bagus. Biar mereka yang merasakan, biar mereka tahu apa yang Laras perbuat. Ini bukan lagi urusanku, bukan lagi tanggung jawabku.

"Yah..." ucap Melati, kepalanya terbaring di pangkuanku. "Yah... temenin aku," bisiknya.

Suaranya begitu lembut, selembut bulu-bulu di kepalanya yang kuusap perlahan. Dia bukan darah dagingku. Dia anak dari dua manusia yang mengkhianatiku. Seharusnya aku buang saja dia. Seharusnya aku lampiaskan sakit hati ini padanya.

Tapi, sanggupkah aku? Sanggupkah aku hidup tanpa Melati? Sanggupkah aku kehilangan senyumnya?

"Ah, Laras saja berani, kenapa aku tidak?" bisikku pada diri sendiri. Tapi, "Ah!" dadaku terasa sakit, baru niat saja meninggalkan Melati hatiku sudah remuk.

"Ayah akan nemenin Melati," ucapku, membelai rambutnya dengan lembut.

"Yah, dongeng lagi dong," pintanya.

Dia memang paling suka saat aku bercerita. Aku mulai menceritakan kisah-kisah heroik, termasuk tenggelamnya kapal Van der Wijck. Aku menghayati setiap kata, Melati terdiam, matanya berbinar-binar.

"Yah, ayah hebat. Ayah harus seperti Zainudin, ya? Ayah harus banyak uang, ya?"

Aku tersentak. Ucapan Melati seperti tamparan di wajahku.

"Benar kata Melati, lelaki harus banyak uang," batinku. Ucapan polosnya itu, tanpa sadar, menampar kesadaranku. Zainudin bisa memulangkan Hayati ke kampungnya, bisa dihormati banyak orang, semua karena uang. Uang bukanlah segalanya, tapi uang bisa menjadi alat untuk mencapai segalanya.

Terpuruk bukanlah solusi. Aku harus bangkit. Aku harus banyak uang. Tapi bagaimana? Menjadi ojek online? Tidak masuk akal.

"Yah, kenapa diam?" tanya Melati, suaranya mengejutkanku dari lamunan.

"Ayah sedang membayangkan jadi Zainudin," jawabku lantang, "dari miskin menjadi kaya."

"Yey! Ayah pasti bisa! Kalau Melati besar, Melati akan ajak ayah naik kapal Van... Van..." ucapnya, bibir mungilnya kesulitan menyebut nama kapal Van der Wijck.

"Makanya kamu jangan malas belajar," ujarku sambil tersenyum, "kamu harus pintar."

"Iya, aku enggak akan jadi Hayati. Aku akan jadi Zubedah!" ucap Melati, bibir mungilnya kesulitan menyebut nama itu.

Astaga. Sepertinya aku terlalu berat menceritakan dongeng sebelum tidur pada Melati. Seharusnya aku ceritakan saja dongeng kancil mencuri mentimun. Pernah kucoba, tapi dia tidak suka.

"Baguslah," jawabku, "tapi harus juga seperti Siti Fatimah, anak yang sayang sama ayahnya. Boleh jadi Zubaidah yang licik, tapi sesekali saja."

"Tidak," ucap Melati dengan bibir manyun, "aku mau pintar kayak Zubedah! Aku enggak bodoh kayak Hayati."

"Ya, ya, sudah, terserah kamu," jawabku, membelai rambutnya. "Yang jelas, kamu harus jadi orang baik."

Melati mulai menguap, kantuk menguasai dirinya.

"Yah, kok mama belum pulang, sih?" tanyanya dengan suara serak.

"Sudah tidur, Nak," bisikku, menepuk-nepuk punggungnya hingga ia terlelap. Pertanyaan itu, yang tak pernah ku jawab jujur, kembali menggantung di udara. Aku memandang wajahnya yang damai, dan janji untuk menjadi Zainudin, untuk menjadi orang yang layak dibanggakan Melati, semakin menguat di dalam hatiku.

Aku pun tertidur, memeluk Melati. Tidur memang lebih baik daripada terus-menerus memikirkan Laras. Pagi datang. Tiba-tiba, kaki Melati menendang kepalaku. Aku terbangun, tetapi Melati masih terlelap.

"Awas kau penyamun! Jangan kau sakiti ayahku!"

Ternyata Melati sedang bermimpi. Dia menjadi Zubedah yang melawan para penyamun, dan aku adalah ayahnya yang ia lindungi.

Aku terbangun. Kesiangan. Bergegas kuambil air wudhu dan melaksanakan salat Subuh. Setelah itu, aku masak air. Kubuatkan susu untuk Melati dan kopi untukku. Pandanganku jatuh pada pizza yang tak pernah disentuh Laras. Ku hangatkan, lumayan untuk sarapan.

Semua sudah beres, saatnya aku membangunkan Melati. Tapi, saat hendak melangkah, ketukan di pintu menghentikanku. Aku membuka pintu. Di sana, berdiri Pak Ferdi dan Ibu Rosidah, mertuaku.

"Kami mau mengambil Melati," ucap Ibu Rosidah.

Deg. Jantungku terasa sakit.

bab 3

Aku seharusnya senang. Melati bukan lagi urusanku. Aku bisa hidup sendiri, tanpa beban mengurus anak yang bukan darah dagingku. Tapi, entah kenapa, hatiku terasa sakit.

"Tugas kamu sudah selesai," kata Pak ferdi. "Laras akan menikah dengan Doni dalam waktu dekat, dan kami akan langsung dibawa ke Jepang."

"Tugasku sudah selesai."

Kalimat itu berulang kali berdengung di telingaku, seolah menjadi suami Laras adalah sebuah pekerjaan kontrak. Setelah masanya habis, aku dibuang begitu saja. Dulu, mereka setengah mengemis memintaku menikahi Laras, menyelamatkan nama baik keluarganya. Dan sekarang, mereka bilang, "tugasmu sudah selesai."Hatiku terasa sakit. Bukan hanya karena Laras akan menikah lagi. Bukan hanya karena aku ditinggalkan begitu saja. Tapi juga karena aku harus kehilangan Melati. Anak yang bukan darah dagingku. Anak yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku.

"Melati hanya bisa hidup denganku. Biarkan dia denganku," ucapku. Kalimat itu mengalir begitu saja, murni dari lubuk hatiku yang paling dalam.

"Tidak bisa," jawab Ibu Rosidah tajam. "Dia bukan anakmu, biar kami yang urus."

Benar. Melati memang bukan anak kandungku. Mereka tahu itu. Dan mereka tak pernah sedikit pun mempertimbangkan pengorbananku, menghormatiku, yang sudah merawat Melati seperti anakku sendiri

"Tidak bisa," ucapku, suaraku meninggi. "Aku yang akan mengurus Melati!"

"Jangan membantah. Kalau kami gugat di pengadilan, memang bisa apa kamu?" kata Pak Ferdi, menusuk hatiku.

Benar-benar aku tak dihargai. Beratkah dia mengucapkan sedikit terima kasih padaku? Sekarang, mereka akan membawaku ke meja hijau, seolah aku penjahat. Aku yang menyelamatkan nama baik mereka, aku yang membesarkan cucu mereka selama empat tahun, dan sekarang mereka mau mengambilnya.

"Tunggulah sampai Melati bangun," ucapku.

"Terlalu lama, jangan bertele-tele, kami banyak urusan," balas Ibu Rosidah.

Mereka masuk begitu saja ke dalam kosan. Aku hanya bisa diam, bingung harus berbuat apa. Melati, yang masih terlelap, diambil begitu saja dari kasurnya.

"Ayahhhhh!" Melati menjerit.

Jeritan itu menusuk hingga ke ulu hati. "Melati," gumamku.

Aku bergegas, ingin kembali merebutnya. Namun, Pak ferdi dan Arsyad menghalangiku. Mereka menahanku, sementara Ibu Rosidah membawa Melati pergi. Perpisahan ini terasa begitu menyakitkan, lebih dari luka mana pun.

Lengkingan tangis Melati masih menyayat hatiku. Air matanya, yang terakhir kali kulihat sebelum pintu mobil itu tertutup, seolah masih membekas di mataku. Melati dimasukkan ke dalam mobil, dan aku hanya bisa berdiri diam, terpaku.

Aku duduk lemas di kasurku, menjambak rambutku sendiri. Boneka, dot, susu formula, dan beberapa mainan Melati, semuanya menyimpan kenangan indah kebersamaan kami. Saat Laras pergi dengan Doni, aku tak sehancur ini. Tapi saat Melati pergi, aku merasa duniaku runtuh.

Hari itu aku hanya diam, seperti mayat hidup. Benar, bukankah seharusnya ini yang kuinginkan? Hidup sendiri tanpa tanggung jawab. Aku bisa banyak menabung, tak perlu lagi memikirkan uang untuk susu formula, popok, mainan, atau makanan Melati.

Tapi kenapa, di tengah semua kemudahan itu, yang kurasakan hanyalah kehampaan yang menyesakkan?

Tapi ternyata itu salah. Lelaki tak bisa hidup sendirian. Lelaki hidup untuk orang lain. Makna seorang lelaki adalah bekerja keras demi orang-orang yang dicintainya. Empat tahun aku bekerja penuh semangat, tanpa kenal lelah, demi Laras dan Melati. Dan kini, mereka tidak ada. Hidupku terasa hampa..

Aku merasa suntuk. Hampa. Akhirnya, aku memutuskan untuk "onbit", mencoba melarikan diri dari kesunyian kamar yang menyesakkan. Malam itu, di bawah lampu-lampu jalan yang buram, aku nongkrong di depan kantor, menunggu takdir menjemput.

Lima kali orderan selesai. Tapi setiap kali itu pula, keluhan datang. Terlambat datang. Salah jalan. Ngerem mendadak. Ah, kenapa hidupku jadi sekacau ini? Hanya karena kehilangan seorang wanita?

"Jika sakit karena cinta, maka cari cinta yang baru." Kata-kata itu terdengar begitu mudah diucapkan. Tapi rasanya, kata-kata itu sama sekali tidak mudah untuk dijalani.

"Kenapa lu murung terus, Bro?" ucap Andi, teman ojek online-ku.

"Enggak apa-apa, Bro," jawabku singkat.

"Bro, kemarin aku antar makanan ke sebuah apartemen," lanjut Andi, "pas aku lihat, kok kayak Laras, ya? Apa lu sekarang udah tinggal di apartemen?"

Aku menatap Andi, seolah tak percaya. Pertanyaannya menusuk tepat di jantung. Kenapa secepat itu? Mereka sudah tinggal serumah? Padahal aku belum resmi bercerai dari Laras.

Andi menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan. "Malah ngelamun," ucapnya. "Jika istrimu berkhianat, tinggalkan saja."

Aku memandang Andi. Dia tahu. Semua orang tahu. Aku tak bisa lagi menyembunyikan kenyataan yang menyakitkan ini.

"Laras bersama seorang lelaki kemarin, Bro," katanya.

Aku menghembuskan napas berat. Tak ada lagi yang bisa aku sembunyikan. Tak ada lagi kebohongan yang bisa kuceritakan pada diri sendiri.

"Dia sudah pergi bersama kekasih lamanya, dan akan menikah dalam waktu dekat," ucapku. Aku tahu, mungkin kau mengira aku tidak tahu. Aku tahu. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

Andi menatapku, matanya penuh empati. "Lu harus perjuangkan hak asuh Melati, Bro. Anak itu pintar, dan anak tidak boleh diasuh oleh orang tua yang selingkuh. Dampaknya nanti akan buruk."

Saran Andi terasa seperti tamparan. Ia benar. Melati tidak pantas tumbuh dalam kebohongan. Dia pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan aku adalah satu-satunya orang yang bisa memberikannya.

Aku ingin sekali mengatakan pada Andi bahwa Melati bukan anakku. Tapi bagaimana bisa? Selama ini, dengan penuh kebanggaan, aku selalu mengatakan Melati adalah anak kandungku.

Belum sempat aku menjawab, Toni datang dengan tergesa-gesa.

"Riko... Melati kok nangis-nangis di pinggir jalan dekat rumah mertuamu?" ucap Toni.

Deg! Darahku berdesir."Kok ada di jalan?" tanyaku pada Toni.

"Aku enggak tahu... aku mau ambil dia tapi malah marah," jawab Toni.

"Mertuaku ke mana?" tanyaku, bingung.

"Itu dia," jawab Toni. "Mereka hanya menyaksikan Melati menangis tanpa ada usaha menenangkan."

Toni menatapku, matanya penuh makna. "Melati terus berteriak 'Ayah'," ujarnya.

Jantungku berdegup keras, pikiranku kosong. Aku memasukkan kunci motor, menyalakannya, dan melesat secepat kilat menuju rumah mertuaku. Hampir saja aku menabrak mobil di depanku. Tak peduli. Yang ada di pikiranku hanya satu: Melati.

Dan sampailah aku di depan rumah mertuaku.

Pemandangan itu membuat hatiku pilu, menyesakkan dada hingga sulit bernapas. Melati, duduk di tanah. Baru tiga hari, tapi berat badannya seperti berkurang. Rambutnya yang biasa rapi, kini acak-acakan, kotor oleh debu.

"Ayahhh... aku ingin Ayah!" tangisnya histeris, memanggil namaku di antara isak tangisnya.

Dan Ibu Rosidah, yang berdiri tak jauh darinya, hanya memandang. Tanpa ada usaha untuk menenangkan, tanpa ada sedikit pun empati di wajahnya

Aku memarkirkan motorku dengan tergesa. Aku berlari, menerobos jarak yang memisahkan kami. "Melati," ucapku lirih, suaraku tercekat.

Dia melihatku, matanya yang sembap langsung berbinar. Bangkit dari tanah, dia berlari ke arahku, memelukku erat, seolah tak ingin melepaskanku lagi. "Ayah... aku ingin sama Ayah," tangisnya.

Hatiku tersayat. Aku tahu, aku bukan ayah kandungnya. Tapi dalam pelukan ini, dia adalah anakku. Selamanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!