NovelToon NovelToon

The War Duke'S Prison Flower

Kutukan dalam darah

“Bawa dia pergi.”

Perintah itu meluncur dari bibir Duke Orion dengan dingin yang membuat darah siapa pun membeku. Tidak ada penekanan suara, tidak ada teriakan, hanya datar—tapi justru karena itu setiap kata terasa lebih mematikan daripada ayunan pedang. Tatapannya menusuk, begitu dingin, nyaris tanpa kehidupan. Ruangan besar itu seketika sunyi, seolah udara sendiri enggan berani bergerak.

Rosella gemetar, tubuhnya rapuh seperti dedaunan yang diterpa badai. Ia menggeleng cepat, matanya basah penuh air yang jatuh berderet dari sudutnya. Rambut pirang panjang yang biasanya tertata kini berantakan menutupi wajah pucatnya, gaun lusuh putih melekat basah oleh keringat dingin di tubuhnya yang menggigil.

“T–tidak! Tuan Duke! Kumohon … jangan!” suaranya pecah, memohon dengan nada penuh putus asa. “Aku akan melakukan apa pun … apa pun yang kau perintahkan … asal jangan serahkan aku pada mereka!”

Namun lelaki itu—sosok yang memegang nasib ratusan jiwa—tetap diam. Wajahnya bagaikan batu, tak sedikit pun terguncang oleh ratapan di hadapannya. Bahkan sekilas, seolah matanya tidak benar-benar melihat Rosella, melainkan menatap tembus melewati dirinya.

Salah seorang jenderal maju, langkahnya berat. Valdrosh Duskbane. Tubuh besar dan kasar itu berdiri seolah gunung menjulang, rambut gondrong kusutnya jatuh ke bahu, dan sorot matanya memandang Rosella dengan jijik bercampur api nafsu. Senyum miringnya terbentuk, senyum pria yang terbiasa merampas tanpa pernah peduli pada jeritan korban.

“Tuan Putri Rosella yang tidak terhormat,” katanya, nadanya penuh olok-olok. Ia mendekat, menunduk sedikit, menatap gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan yang membuat kulit merinding. “Kau masih berani memohon kepada lelaki yang bahkan tak sudi menyebut namamu dengan hormat? Kau ini bukan siapa-siapa. Kau tawanan perang. Itu saja.”

Tawa kasar terdengar dari sisi lain, disusul suara berat penuh ejekan. “Hahaha! Benar! Daripada membusuk di ruang dingin ini, bukankah lebih baik dia berguna … menemani kita di tenda sebelah? Hm?”

Rosella menjerit, histeris, tangannya meraih kaki meja di sampingnya, mencengkeram erat seakan benda mati itu adalah jangkar terakhir untuk menyelamatkannya. Kukunya menancap begitu keras hingga retak, darah tipis mulai keluar. Tubuhnya ditarik ke belakang oleh tangan-tangan kasar para prajurit, gaunnya terseret, lututnya menghantam lantai batu, tapi ia tetap mencoba bertahan.

“Tuan Duke! Kumohon! Jangan biarkan ini terjadi padaku!” suaranya parau, bercampur tangis.

Namun, sang Duke tetap tak menoleh, tak berkata apa pun. Diamnya adalah hukuman. Diam yang lebih kejam daripada sepuluh ribu cambukan.

Rosella meronta sekuat tenaga, tapi sia-sia. Jeritan terakhirnya memecah udara, namun tak ada yang menghiraukan. Ia diseret keluar ruangan, kukunya mencakar lantai, meninggalkan goresan samar bercampur darah di sepanjang jalannya.

Malam itu adalah awal dari neraka.

~oo0oo~

Hari demi hari, bulan demi bulan, Rosella hidup bukan sebagai manusia, melainkan sebagai boneka yang direnggut tanpa ampun. Tubuhnya dirusak, harga dirinya dihina, jiwanya dilumat hingga hampir tak bersisa. Ia tidur di kandang kuda, makan dari sisa-sisa basi yang dilempar penjaga. Rambut pirang yang dulu berkilau berubah jadi belitan kusut. Kulitnya pucat, matanya kosong.

Enam bulan. Atau mungkin enam tahun. Waktu tak lagi punya arti.

Namun satu hal tetap tersisa, ia masih bernapas. Meski seharusnya ia sudah mati berkali-kali, Rosella bertahan.

Sampai malam itu. Malam hujan yang mengguyur seperti ratapan langit, malam di mana dingin merayap ke tulang.

Di kandang kuda, ia kembali dipaksa. Veyrund, Kaelric, Valdrosh—serigala-serigala yang sama. Mereka menyerang, menertawakan, menghina. Tapi kali ini, Rosella berbeda.

Ia tidak menangis.

Tidak menjerit.

Tidak memohon.

Ia diam.

Tangan kurusnya bergerak perlahan, meraih gunting besar berkarat yang tergeletak di sisi kandang. Dan saat tubuh besar Veyrund menindihnya—gunting itu menancap dalam ke leher pria itu.

Jeritan menggema. Darah memercik, mengalir deras, membasahi jerami dan wajah Rosella. Tubuh raksasa itu tumbang, menghentak lantai dengan dentuman berat.

Namun kebebasan singkat itu hanya sesaat. Kaelric menghantam wajahnya dengan keras, dan Valdrosh, dengan geram, menusukkan belati ke perut Rosella.

Tusukan itu membuat tubuhnya melengkung, napasnya tercekat. Darah hangat mengalir deras, membasahi gaun lusuhnya. Rosella jatuh, tubuhnya gemetar di antara lumpur dan hujan yang masuk melalui celah atap kandang.

Tapi bukan luka itu yang paling menyakitkan.

Tangannya bergetar meraba perutnya—dan saat itulah ia merasakan denyut halus yang melemah. Kehidupan kecil di dalam rahimnya … anaknya.

Air mata bercampur hujan mengalir di pipinya. Senyum getir terukir di bibirnya, senyum terakhir yang penuh kutukan.

“Bahkan … jika aku harus menjadi hantu … aku akan membalas dendamku pada kalian semua …!”

Itulah sumpah terakhirnya. Dunia merenggut segalanya, tapi dendam itu tertanam, tumbuh bersama napas terakhirnya.

Tubuhnya lunglai, terbaring tak bernyawa.

“Sudah mati,” gumam Kaelric, menyeka darah di sarung tangannya.

Valdrosh mendengus, memandang tubuh lemah itu dengan jijik. “Dia menyusahkan sejak awal. Setidaknya sekarang dia diam.”

“Kalau Duke tahu soal ini ….” Kaelric tampak ragu.

“Tidak akan,” potong Valdrosh datar. “Orion tidak peduli pada hal sepele. Perempuan ini tak lebih dari sampah. Buang saja.”

Mereka mengangkat tubuh Rosella, membungkusnya seadanya, lalu menunggang kuda di bawah hujan deras. Perjalanan sunyi menuju danau utara terasa panjang. Hanya suara tapak kuda, hujan, dan derasnya angin malam.

Di tepi danau berkabut, mereka berhenti.

Tanpa doa, tanpa belas kasihan, tubuh Rosella dilempar ke dalam air.

Byur!

Tubuh itu tenggelam perlahan, gaun lusuhnya mengembang sebentar, lalu ditelan kegelapan. Gelombang kecil merambat ke segala arah, menghilang seolah tak pernah ada yang jatuh.

Tak ada yang tahu. Tak ada yang peduli.

Kecuali … waktu.

~oo0oo~

“Hhh—Haaah!”

Rosella terbangun, napasnya tercekik. Tubuhnya basah oleh keringat dingin. Ia duduk tegak di atas jerami, tangannya mencengkeram lehernya sendiri, matanya liar menatap sekeliling.

Dinding batu lembap. Lantai jerami busuk. Jeruji kayu. Bau besi tua.

Ia meraba wajahnya, perutnya. Utuh. Tanpa luka.

“Tidak mungkin! Ak–aku sudah mati.”

Bisikan itu terhenti ketika air mata jatuh. Ingatan tentang bayi di dalam kandungannya menyayat hati. Ia menunduk, memeluk perutnya. “Anakku ….”

Tangisnya pecah, tapi berbeda. Kali ini bukan hanya kesedihan, melainkan kesadaran baru, ia hidup kembali.

Langkah perlahan membawanya ke celah jendela kecil. Fajar belum tiba. Hanya langit hitam pekat yang menatapnya.

Tahun 1589, di bawah kepemimpinan Kekaisaran Ashgrath. Hari kedua belas.

Hari pertama ia menjadi tawanan.

Rosella menggenggam jeruji kayu. Matanya menyala, bukan lagi kosong, melainkan berisi bara dendam.

“Orion, Valdrosh, Kaelric, Veyrund …,” desisnya lirih, setiap nama bagai kutukan. “Aku akan membuat kalian semua merasakan neraka yang pernah kalian ciptakan untukku.”

Tiba-tiba suara prajurit terdengar mendekat, bersamaan dengan bunyi kunci yang dimasukkan ke dalam lubang.

“Bangun, tawanan! Duke memanggilmu!”

Rosella menoleh. Wajahnya sama, tapi sorot matanya berbeda. Dinginnya menelan ruangan. Ia berdiri perlahan, tanpa tergesa, dan melangkah keluar dengan gaun lusuhnya menyapu lantai batu.

Dalam hatinya, ia berjanji.

‘Aku akan tersenyum di hadapanmu, Orion. Seperti gadis lemah yang kau kira tak berdaya. Dan saat kau lengah … aku akan menghancurkanmu dari dalam.’

Rosella menurut tanpa membantah, pintu besi tertutup di belakangnya.

Dan untuk pertama kalinya sejak kematian itu, Rosella melangkah dengan tenang, membawa dendam yang kini hidup bersamanya.

Dendam tidak pernah mati. Ia hanya menunggu waktu untuk bangkit.

.

.

.

Bersambung

Api dan Belati

Seorang prajurit yang menggiringnya maju satu langkah, seketika menunduk di hadapan sang Duke dengan sikap formal militer. Tubuhnya kaku, napas tertahan seolah menahan rasa hormat dan ketakutan sekaligus. Dentingan sepatu prajurit itu menyatu dengan gema aula, menimbulkan resonansi yang menegangkan, seperti pukulan palu yang lambat tapi pasti menghantam ketenangan ruangan.

"Yang Mulia. Kami telah membawa gadis ini," ucapnya dengan suara tegas, tapi tetap rapi, selaras dengan protokol militer yang ia pelajari sejak kecil.

Duke Orion hanya melirik sekilas ke arah prajurit itu, tanpa ekspresi yang jelas. Tatapan singkatnya seperti cambuk yang melayang di udara, menusuk kulit dan tulang. Sekali lagi, ia berbicara dengan nada datar namun memerintah.

"Kalian boleh pergi."

Prajurit itu segera mundur, langkahnya berat namun teratur. Ia meninggalkan Rosella seorang diri di tengah aula besar yang berlapis batu dingin. Semua mata seketika tertuju padanya, dari tamu undangan sampai jenderal yang menunggu di sisi ruangan. Hening yang menggantung di udara terasa seperti lapisan besi, lebih berat daripada dentuman genderang perang yang pernah menggema di medan tempur. Suara langkah terakhir prajurit itu seakan menutup tabir antara dunia luar dan pertarungan yang baru saja dimulai di mata.

Tatapan Orion melintasi tubuh Rosella dari ujung kepala hingga ujung kaki, tak menyembunyikan sedikit pun perhatian yang ia berikan. Tidak ada sopan santun. Tidak ada belas kasih. Tidak ada rasa bersalah yang terselip di balik senyumnya. Hanya keheningan dingin yang penuh penghakiman, tajam dan menusuk.

Rosella berdiri diam, seperti batu di tengah sungai yang deras, merasakan tatapan Duke yang membakar kulitnya. Ada panas yang menusuk dari matanya, tetapi ia tetap tegap. Tidak mundur. Tidak kali ini.

Duke Orion menyandarkan satu sikunya ke sandaran kursi, wajahnya setengah tersembunyi dalam bayangan. Akhirnya ia membuka mulut, nada suaranya tenang, datar, namun menggigit seperti bilah besi yang lama direndam dalam salju yang membeku.

"Kudengar para bangsawan di Vermont memiliki tarian mereka sendiri."

"Tarian Virellea, bukan?"

Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi Rosella. Sebuah senyum samar muncul di sudut bibirnya, bukan senyum hangat, bukan pula ramah. Lebih mirip kepuasan seorang pemburu yang menatap mangsanya masih berusaha bertahan di dalam jebakan.

"Sttt ...," desisnya perlahan, suaranya lembut, tapi sarat ancaman. "Namun melihat penampilanmu sekarang, kau lebih menyerupai seorang penggoda, Tuan Putri."

Kata-kata itu halus, tetapi mematikan. Ia seperti jarum kecil yang menancap jauh ke dalam dada Rosella, meninggalkan sensasi panas yang menyakitkan. Beberapa jenderal tertawa kecil. Valdrosh bahkan menepuk pahanya, menikmati situasi ini seperti hiburan murahan yang menyenangkan bagi mereka.

Rosella mengangkat dagunya perlahan, tanpa membiarkan kemarahan atau rasa terhina terlihat. Sebuah senyum tipis mengembang di sudut bibirnya. Senyum itu bukan manis, bukan jinak. Tapi liar, penuh duri dan ancaman tersembunyi.

"Benarkah, Tuan Duke?" suaranya keluar dengan nada yang tegas, menantang, sekaligus menahan bara emosi yang ingin meledak.

"Kalau begitu ... kita lihat saja."

"Apakah kau benar-benar bisa menahannya mulai dari sekarang?" Rosella berucap, suaranya bening, namun berisi bahaya tersembunyi. Kalimat itu seolah tali yang ia tarik, memancing reaksi dari Duke yang selama ini terlihat tak tergoyahkan.

"Musik!" serunya lantang, suara itu bergema di aula batu, menembus setiap sudut dengan kekuatan yang tak terlihat namun nyata.

Begitu musik dimainkan, denting lembut harpa mengalun seperti desir angin malam yang membelai kulit. Irama itu merambat perlahan, menembus dada siapa pun yang mendengarnya, menimbulkan sensasi aneh antara ketegangan dan kecantikan yang memabukkan. Semua mata tertuju pada Rosella—wanita muda dalam gaun keperakan tipis, berkilau seperti embun beku yang menari di bawah cahaya bulan. Bukan gaunnya yang membius, tetapi cara ia bergerak penuh kendali, terukur, dan memikat tanpa terlihat dipaksakan.

Rosella melangkah maju, setiap gerakan perlahan, anggun, dan penuh perhitungan. Seolah setiap langkahnya adalah tetes racun yang ia titipkan dengan presisi, setiap tarikan napas seirama dengan ritme musik yang memutar aura bahaya dan misteri di seluruh aula. Kedua tangannya terangkat, membentuk lengkungan sempurna seolah menyambut malam, kemudian turun perlahan, menyapu udara seakan mengusap luka yang belum kering, luka yang tersimpan dalam diam selama bertahun-tahun. Kepala menunduk sepersekian detik, lalu menoleh ke arah Orion dengan lirikan tajam dari balik bulu mata lentik.

Bibirnya melengkung, bukan senyum hangat, tapi ejekan lembut yang menusuk, memikat, dan nyaris berbahaya. Ia berputar sekali, kaki kanan diangkat ringan, rambut pirangnya berayun membentuk lingkaran cahaya yang memikat. Udara seketika menjadi tegang, tercekik dalam diam, karena gerakannya mengalir seperti air jernih, tetapi menyimpan arus deras yang bisa menyeret siapa pun ke dalamnya.

Langkah berikutnya lebih berani. Ia mendekat langsung pada Duke yang duduk tenang di singgasananya. Ia menari bukan sebagai tawanan, bukan pula sebagai putri yang dilucuti kehormatan. Ia menari seperti wanita yang tahu tubuhnya adalah alat, dan malam ini ia menggunakannya seperti algojo yang memegang pisau terakhirnya.

Jari-jarinya menari di udara, membentuk pola misterius, setiap putaran pinggul dan lirikan mata mengandung makna yang lebih tajam daripada kata-kata. Ia tidak sekadar menghibur—ia menantang, membalas, dan menegaskan keberadaannya di dunia yang telah merampas segalanya darinya.

Saat tubuhnya berbalik, lengannya menyapu udara tepat ke arah Orion, lalu ia bersimpuh perlahan di lantai, tangan terangkat tinggi, wajah menoleh ke arah pria yang telah merenggut kehidupannya. Matanya menatap lurus ke mata Orion, hazel yang berkilat seperti api dalam gelas kristal. Bibirnya berucap lirih, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk mengguncang dada sang Duke:

"Bagaimana, Tuan Duke? Masih bisa menahan diri sekarang?"

Rosella kemudian naik ke pangkuan Duke Orion dengan gerakan halus namun penuh bara. Sehelai rambut pirangnya meluncur, menyentuh pipi pria itu saat ia menyesuaikan posisi. Gaunnya tipis, berkilau, mengalir seperti air malam yang membelai permukaan gelap tempat tidur, menambah ketegangan yang terasa hampir tak tertahankan.

Dalam tangannya, sebuah teko porselen kecil bergemerincing lembut, seperti detak jantung yang halus di tengah ruang yang menahan napas. Ia menuangkan teh ke dalam cangkir, uapnya naik perlahan, menari seperti kabut tipis antara dua musuh yang saling mengintai dalam diam.

Namun tak ada yang lebih panas dari tatapan Rosella saat itu, dan tak ada yang lebih membakar daripada keheningan Duke Orion yang memilih menahan diri.

Setelah cangkir terisi, Rosella menyodorkannya, tapi seperti seorang penari yang tahu persis kapan harus memutus musik sebelum klimaks, ia menarik cangkir itu kembali perlahan. Suara seraknya rendah, nyaris bisikan di telinga Orion:

"Tuan Duke, akan lebih menggairahkan jika yang kutuang adalah segelas anggur merah."

Ia menoleh, mendekat, wajah mereka hanya berjarak napas. Senyum itu adalah luka: indah, tajam, menyimpan niat tersembunyi yang tak terhitung.

"Anggur yang kuat, pekat ... dan mungkin sedikit memabukkan." Ia menambahkan, lalu meletakkan cangkir kembali ke meja. Tangannya bergerak menyapu dada Orion, turun perlahan ke sisi jubahnya, seakan menandai wilayah, seakan mengingatkan bahwa malam ini, permainan telah dimulai.

Orion tetap tak bergeming, rahangnya mengeras, jemarinya mengepal samar. Pandangannya menajam, membekukan napas siapa pun yang menyaksikan. Malam itu, sesuatu dalam diri Rosella telah menembus batasnya, menimbulkan getar yang ia jarang rasakan. Ia membaca setiap maksud tersembunyi, setiap ancaman yang terselip dalam kelembutan gerakan Rosella. Ini bukan rayuan, bukan cinta, bukan permohonan—ini ancaman terselubung, dikemas dengan keanggunan dan kematangan yang mematikan.

Orion mencondongkan tubuh sedikit ke depan, hanya sejengkal, dingin, lembut, namun berbahaya. Tangan kirinya terangkat, mencengkeram pergelangan Rosella dengan ketegasan baja, tanpa melukai. Ia menatap lurus ke dalam mata gadis itu.

"Kau bermain api, Putri," gumamnya rendah. "Dan kau lupa satu hal penting."

Rosella menatap balik tanpa gentar. Napasnya tertahan.

"Api ... adalah temanku," jawabnya.

Senyum tipis Orion muncul, bukan ancaman kali ini, tapi pengakuan diam-diam: permainan Rosella telah menembus sesuatu yang selama ini ia sembunyikan. Perlahan, ia mengambil cangkir teh, menyesap sedikit, tetap menatap wajah gadis yang duduk di pangkuannya.

"Teh ini pahit," katanya. "Aku tidak bisa menikmatinya."

Rosella turun dari pangkuan dengan gerakan cepat tapi terkontrol, amarah kecil berkedip di matanya. Para tamu berdiri, mulai bertepuk tangan, terpukau oleh pertunjukan yang baru saja mereka saksikan, tanpa menyadari bahwa panggung tadi adalah medan perang, bukan hiburan.

"Lancang!" teriak Veyrund, menunjuk ke arah Rosella, suaranya menggelegar seperti petir.

"Bagaimana bisa seorang putri bangsawan mencoba menggoda Duke kami?!"

"Jendral Veyrund, apa maksudmu?!" Rosella membalas tajam, suaranya menusuk balik seperti bilah belati.

"Bukankah seharusnya kau sadar diri, jika kau adalah seorang tawanan?!"

Suara Veyrund menggema di aula, menghantam dinding batu, tepuk tangan berhenti. Harpa membisu. Para tamu menunduk, terjebak dalam ketegangan yang menusuk seperti dingin baja pada kulit.

Rosella berdiri tegak, wajahnya merah padam—bukan malu, tapi terbakar rasa terhina. Bahunya tetap tegak, jari-jarinya mengepal diam-diam, menahan bara yang mulai membara.

Suara berat dari atas singgasana membelah udara.

"Cukup."

Satu kata. Sederhana, tapi mampu menghentakkan seluruh udara di aula besar. Ruangan itu seketika hening, seakan dunia berhenti sejenak untuk mendengarnya. Jantung para jenderal berdegup tak menentu; napas mereka tertahan. Veyrund terhenti di tempatnya, tubuhnya membeku, lututnya seolah melemah, matanya menunduk dalam-dalam, menyembunyikan rasa takut yang samar.

"Jendral," suara Duke Orion mengalir, tenang, tapi setiap kata memiliki bobot berat seperti palu besi yang menghantam, memaksa siapa pun untuk tunduk. "Aku tidak butuh penjaga mulut. Terutama dari orang yang tidak tahu bedanya tarian dan pemberontakan."

Veyrund mengangkat wajahnya sedikit, ragu, seperti ingin melawan tapi menyadari bahwa satu langkah yang salah bisa berakibat fatal. "Tapi Yang Mulia—"

"Aku menyuruhnya menari. Dan dia menari."

Tatapan Orion lurus, menembus, tajam seperti pisau, menusuk langsung ke dada siapa pun yang menatapnya. Tidak ada nada tinggi, tidak ada kemarahan yang berlebihan—hanya ketenangan yang begitu pekat sehingga menekan lutut siapapun yang berdiri di sekitarnya.

"Kalau kau ingin memprotes pilihan hiburanku, lakukan di medan perang. Bukan di meja makan."

Kata-kata itu seperti cambukan. Veyrund menunduk lebih dalam, rahangnya terkepal, tubuhnya bergetar sebentar sebelum sepenuhnya tunduk. "Ampun, Yang Mulia," gumamnya, tak tersisa keberanian untuk melanjutkan.

Aula kembali sunyi. Suara yang tersisa hanyalah langkah sepatu Rosella—pelan, mantap, pasti. Setiap langkah menekan lantai kayu dengan ritme tekad yang tak tergoyahkan. Dagunya tetap terangkat, punggungnya lurus, menandakan keberanian yang tidak memerlukan kata.

Saat ia hampir melewati jajaran jenderal dan tamu, tubuhnya menahan sejenak. Rosella menoleh ke belakang. Sekali, dua kali. Matanya bertemu dengan Duke Orion. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, namun pandangannya adalah pesan yang membakar ruangan—tidak perlu kata, semua telah tersampaikan.

'Aku belum selesai.'

Orion membalas tatapan itu. Matanya seperti batu gelap yang menyimpan bara. Tidak ada kata yang diucapkan. Tidak perlu. Mereka saling memahami; pertempuran yang sesungguhnya baru saja dimulai, meski tak seorang pun di ruangan ini menyadarinya.

Beberapa jam kemudian, setelah perjamuan usai dan para tamu mulai bubar, Duke Orion tetap duduk di singgasananya. Bayangan obor menari di wajahnya yang hampir tidak pernah memperlihatkan emosi. Hanya sedikit perubahan di garis rahangnya—apakah itu kemarahan, atau ketertarikan, sulit ditafsirkan.

Ia mengangkat tangan, memberi isyarat pada salah satu pengawal di pintu. Suaranya tetap dingin, tapi setiap kata membawa bobot yang tak bisa diabaikan.

"Bawa dia ke kamarku."

Pengawal itu tertegun, matanya membesar. Tidak seorang pun menyangka perintah itu akan keluar di tengah semua mata yang mengawasi. "Yang Mulia ...?"

Orion menoleh singkat, tatapannya datar, tanpa emosi, hanya ketegasan yang menembus ruang.

"Aku tidak ingin dia disentuh oleh jenderal, prajurit, atau tamu manapun pun malam ini. Jika ia suka menari di depan singa, maka biarkan saja dia tidur bersama ketakutannya."

Ruangan itu seketika menjadi sunyi, hening seperti liang kubur. Para jenderal saling bertukar pandang, ragu, tapi tak ada yang berani bersuara. Bahkan Veyrund, yang tadi hampir melawan, kini hanya mengepalkan rahangnya, menunduk sepenuhnya.

Rosella tetap diam. Tapi caranya berdiri, tegap, bahunya tidak merosot, dagunya tetap tinggi, sudah cukup berbicara tanpa kata. Tidak ada rasa takut di matanya; hanya tekad yang mengalir dalam diam, dalam setiap helaan napas. Detak jantungnya berirama seperti genderang perang, siap meledak setiap saat.

Ia tahu—perintah itu bukan perlindungan, bukan belas kasih. Ini adalah ujian. Atau ... jebakan.

~oo0oo~

Malam itu tiba.

Kamar pribadi Duke Orion berdiri di tengah barak militer yang keras dan dingin, bukan sekadar kamar tidur perwira perang—lebih seperti benteng kedua. Dinding batu abu-abu tinggi menjulang, rak senjata di pojok, meja penuh peta, dan tempat tidur besar berlapis kain beludru gelap yang menelan cahaya obor. Setiap sudutnya memancarkan ketegangan, otoritas, dan rahasia yang tak tersentuh.

Di ambang pintu, Rosella berdiri. Diam. Rambut pirangnya menjuntai lembut, tapi kini balutan tipis kain malam transparan melingkupi tubuhnya. Tidak ada penjaga. Tidak ada saksi. Hanya dirinya, dan sebilah belati perak tersembunyi di balik pita pinggangnya—satu-satunya peninggalan ibunya, satu-satunya bukti kehormatan yang tersisa, darah dan rumah yang direnggut begitu kejam.

Langkahnya pelan, setiap gerakan diperhitungkan. Lantai kayu berdecit lembut di bawah kaki telanjang, bayangan di dinding menari mengikuti geraknya. Setiap tarikan napasnya adalah persiapan, setiap detik adalah pengukuran waktu dan ruang, menunggu.

Pintu di seberang terbuka perlahan. Langkah berat Duke Orion terdengar. Mantelnya tersampir tanpa rapi, pistol dilepas dan diletakkan begitu saja. Ia tidak menoleh, tidak menyambut.

"Tidurlah. Jangan membuatku kehilangan kesabaran malam ini."

Nada itu, dingin, tajam, lebih mematikan dari baja yang disimpan di dinding.

Rosella menurut. Perlahan ia naik ke ranjang, berbaring di sisi yang berlawanan, punggung menempel ke kasur. Matanya menatap gelap, pikirannya lebih gelap lagi. Setiap helaan napas pria di sampingnya ia hitung, setiap denyut jantungnya ia ukur. Menunggu.

Ketika bunyi napas berat dan dalam terdengar, Rosella tahu saatnya.

Ia duduk perlahan. Tangan masuk ke balik kain pinggang, mencabut belati perak peninggalan ibunya. Cahaya obor di dinding memantul di permukaan logam, menari-nari seakan memberi nyawa pada niatnya.

Ia berjalan perlahan, langkah ringan tapi pasti. Bayangan Orion terlihat damai, terlalu damai.

Rosella berdiri tepat di samping ranjang. Tangannya gemetar, tapi tidak ragu. Belati itu diangkat tinggi, kedua tangan menggenggam gagang erat.

'Kau mencabut mahkotaku. Kau menjatuhkanku. Dan sekarang kau tidur seolah tak bersalah.'

'Kalau dunia ini harus kubakar untuk mendapatkan kehormatanku kembali, maka aku akan mulai dengan lehermu.'

Ia mengayun.

Namun belum sempat ujung pisau menyentuh kulit Orion …

Sebuah tangan kokoh dan dingin mencengkeram pergelangan tangannya, sekuat baja.

Rosella terperanjat. Napasnya tertahan. Matanya membelalak dalam keterkejutan.

Kepala Orion menoleh perlahan. Matanya terbuka sepenuhnya. Biru, tajam, jernih. Bukan mata seseorang yang baru bangun, tapi mata yang tak pernah tidur, yang selalu waspada, menunggu.

Dan untuk pertama kalinya, Rosella merasakan dingin yang lebih tajam dari baja belatinya sendiri. Tatapan itu tidak berkata apa-apa—tapi seolah menyatakan satu hal.

'Aku sudah menunggumu.'

.

.

.

Bersambung

Tarian di sarang serigala

Tatapan mereka sempat bersitatap. Namun tak lama, Orion menarik tubuh ramping itu ke ranjang, membenamkan Rosella di bawah tubuhnya—posisi yang cukup intim untuk membuat jantung siapa pun berpacu.

Senyum miring muncul di wajah sang Duke, lalu salah satu tangannya melingkar ke leher Rosella dan mencengkeram erat. Tubuh gadis itu refleks menegang ketika ia merasakan napas hangat pria itu mendekat di telinganya.

“Sejak awal kau menari, aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan,” bisik Orion, suaranya rendah dan menusuk, membuat bulu kuduk Rosella berdiri.

Namun Rosella tak gentar. Meski napasnya tercekat, matanya tetap menatap tajam ke arah pria itu.

“A–ku ... akan membunuhmu ....” desisnya pelan, tercekik, tapi sarat tekad.

Tawa Orion terdengar pelan, meremehkan, seolah kalimat barusan tak lebih dari bisikan angin. Ia melonggarkan cekikannya, lalu menyibak rambut Rosella ke belakang dengan santai.

“Tubuhmu terlalu ringkih, tak punya kekuatan. Dengan apa kau hendak membunuhku? Keberanian? Dendam?” tanyanya, senyumnya tak hilang, namun penuh sindiran.

Rosella perlahan bangkit, sorot matanya masih tajam. Tapi hanya sesaat—sebelum ia berlutut dan menunduk, wajahnya berubah penuh duka dan suara bergetar.

“Tuan Duke ... maafkan aku. Ak–aku hanya ... terbawa emosi,” lirihnya nyaris seperti tangisan. Namun di balik ekspresi lembut itu, tidak ada harap. Tidak ada permintaan belas kasih.

Ia hanya bermain peran.

Orion memandangnya lama, seolah menimbang.

“Awalnya aku berniat memberimu sedikit kelonggaran. Tapi siapa sangka, baru sehari kau menjabat sebagai tawanan, kau sudah mencoba membunuhku,” ucapnya tenang.

“Bukankah itu cukup berbahaya, Putri Rosella?”

Ia berdiri tegak. Dingin. Tegas. Suaranya meluncur seperti pisau.

“Varron. Bawa dia keluar dari hadapanku.”

“Lihat apakah para jenderal bisa menjinakkan tikus kecil ini.”

“Saya di sini, Yang Mulia!” sahut Varron cepat, membungkuk hormat dengan tangan di dada.

“Segera, Yang Mulia.” Tanpa menunggu aba-aba kedua, Varron maju, mencengkeram lengan Rosella, dan menggiringnya pergi.

Namun tak seperti sebelumnya, kali ini Rosella tidak menangis. Tidak pula meronta. Ia berjalan tenang, membelakangi sang Duke, dan saat bayangannya menghilang dari pandangan ....

Seulas senyum semirk muncul di bibirnya—dingin, tajam, penuh maksud.

Duke Orion benar-benar menepati janjinya, ia menyerahkan Rosella kepada para jenderalnya.

Varron pergi tanpa sepatah kata setelah menuntaskan tugasnya, meninggalkan sang tawanan berdiri seorang diri di tengah tenda besar yang dipenuhi aroma anggur, peluh, dan hasrat lelaki.

Rosella berdiri tegak dengan dagu terangkat, seolah tempat itu bukan kandang serigala—melainkan panggung yang sudah ia kuasai. Di hadapannya, lima jenderal menatap penuh antisipasi.

Valdrosh menyeringai miring, tatapannya bagai api yang menyambar tubuh Rosella dari atas ke bawah.

“Cepat juga Yang Mulia sadar bahwa gadis yang ia ajak ke ranjang ternyata punya otak bulus,” ucapnya penuh kemenangan.

Ia mendekat satu langkah, suaranya dalam dan berani.

“Tuan Putri ... bukankah kau tak punya pilihan selain melayani kami malam ini?”

Namun Rosella hanya tersenyum manis, seolah ucapan itu hanyalah angin yang lewat di telinganya.

“Bagaimana mungkin?” sahutnya lembut, nadanya manja namun terukur.

“Jenderal Valdrosh seharusnya tahu, aku hanya menarikan sebuah tarian indah untuk Tuan Duke. Tidak ada yang salah, bukan?”

Responsnya terdengar seperti pujian untuk Orion, tapi justru itulah yang membuat Valdrosh semakin terpikat—dan tersulut.

Sementara itu, Veyrund dan Kaelric menikmati pemandangan dengan terang-terangan. Keduanya bersandar santai, namun tatapan mereka menyusuri setiap inci tubuh Rosella dengan minat tak tersembunyi.

Di sisi lain, dua jenderal lainnya—Thalvane dan Elaris—hanya duduk diam, tampak tak nyaman. Keduanya telah beristri, dan meski terbiasa membantai tanpa ampun di medan perang, malam ini terasa berbeda—kotor dengan cara yang tak bisa dibela oleh pedang mana pun.

Valdrosh melangkah lebih dekat, suaranya mengandung ejekan.

“Apa hebatnya menari untuk Duke? Yang ada kau hanya kelelahan tanpa lirikan, tanpa pujian. Di sini, kau bisa menyenangkan kami, dan kami—percayalah—akan memperlakukanmu ... dengan adil.”

“Benarkah?” Rosella mencondongkan tubuh, suaranya manis, tapi tatapannya nyaris seperti belati yang terselip di balik senyum.

“Tentu saja.”

Tangan Valdrosh terangkat dan menyentuh pipi Rosella. Sentuhan itu lembut, namun menjijikkan. Ia menyapukan jarinya seperti menikmati barang rampasan yang baru dibuka bungkusnya.

Rosella menahan diri mati-matian. Ingin rasanya menampar wajah itu, mencabik bibirnya yang berbicara seolah-olah ia punya hak. Tapi ia tetap diam—untuk sekarang.

“Baiklah, teman-teman.” Suara Valdrosh menggelegar. “Mari kita lihat ... bagaimana si cantik ini akan menari!”

Namun saat kegaduhan hendak dimulai, dua sosok berdiri dari kursinya nyaris bersamaan.

“Jenderal Valdrosh,” ucap Elaris, nadanya datar namun tegas. “Maaf, sepertinya kami harus keluar.”

Valdrosh melirik kesal, mengangkat alis dengan sinis.

“Sudahlah kalian ... pergi saja!” ucapnya sambil mengibaskan tangannya seperti mengusir anak ayam.

Tanpa menanggapi lebih jauh, Elaris dan Thalvane bertukar pandang, lalu memberi hormat singkat layaknya sesama jenderal. Keduanya berbalik dan meninggalkan tenda tanpa suara.

Kini tinggal tiga pria, satu wanita, dan satu permainan yang baru saja dimulai.

Valdrosh dan kedua jenderal lainnya kembali tersenyum.

“Ayo, cantik. Menarilah!” seru Valdrosh penuh semangat.

Rosella membalas dengan senyum tenang. Ia mengangkat jemarinya, mulai mengayunkannya perlahan—membuka pertunjukan dengan gerakan selembut desir angin malam.

Tarian malam ini adalah Erliryn’s Lament, tarian ratapan dari wanita patah hati. Gerakannya lemah gemulai, penuh lirikan sayu dan air mata yang disengaja. Tarian ini diciptakan untuk menggoda—seolah meminta pelukan, padahal hanya mempermainkan.

Ia bergerak lembut, bergelayut manja pada Valdrosh, membuat pria itu bersandar lebih dalam di kursinya. Sementara Veyrund dan Kaelric bersorak riang, sesekali meniup siulan kekaguman.

Namun ketika Valdrosh hendak menarik Rosella ke dalam pangkuannya, gadis itu mengangkat satu jari—menggoyangkannya pelan, sebuah penolakan halus yang elegan.

Pertunjukan belum selesai.

Valdrosh sempat tampak kecewa, tapi tak berkata apa-apa. Ia hanya kembali menikmati keindahan yang disuguhkan di hadapannya.

Rosella perlahan berlutut di hadapan sang jenderal. Jemari lentiknya menyentuh wajah sangar itu dengan lembut, menyusuri rahang Valdrosh hingga ia meraih teko arak. Dengan gerakan anggun, ia menuangkannya ke cangkir, lalu menyodorkannya langsung ke bibir pria itu—membantunya meneguknya dengan tangan sendiri.

Setelahnya, ia beralih ke Veyrund dan Kaelric. Kali ini, ia menyuguhkan anggur merah dengan gaya berbeda—masih dengan tubuh gemulai, tapi tatapan matanya jauh lebih tajam, seolah menyisipkan racun dalam lirikan.

Ketiga jenderal itu larut dalam kenikmatan, tak menyadari bahwa malam itu, bahaya tengah mengintai salah satu dari mereka—pelan namun pasti.

Beberapa menit kemudian, Rosella menunduk anggun, menyempurnakan gerak terakhirnya.

“Para jenderal ... malam sudah larut. Aku harus kembali ke ruang tahanan. Tapi jangan khawatir, aku akan menghibur kalian lagi esok hari,” ucapnya lembut.

“Mengapa tidak menginap saja di sini?” tanya Kaelric, nada suaranya menyimpan kekecewaan.

“Benar. Kau seharusnya tinggal lebih lama. Mungkin... menjadi teman tidur?” lanjut Veyrund tanpa malu.

Rosella tetap tersenyum lembut.

“Mungkin akan ada waktunya. Tapi malam ini bukan saat yang tepat,” katanya dengan nada manja namun penuh kendali. “Aku benar-benar lelah ... atau kalian sudah tak puas dengan hiburanku?”

Ia memasang ekspresi sedih—mata yang sayu dan suara yang sedikit menurun. Raut wajah itu berhasil menusuk simpati mereka.

Ketiganya tampak tersentuh.

Valdrosh terkekeh.

“Baiklah. Besok kau bisa kembali. Tapi ingat, setelah itu ... jangan harap bisa kabur dari kami,” ujarnya dengan nada bercanda, namun Rosella tahu—di balik tawa itu, ada ancaman yang nyata.

“Baik, para jenderal,” jawab Rosella sambil membungkuk anggun.

Dan malam itu, ia meninggalkan kamp jenderal—tanpa luka, tanpa satu sentuhan pun yang melewati batas.

Namun dari kejauhan, sepasang mata memperhatikannya dari celah pintu yang sedikit terbuka.

Orion berdiri diam di balik bayangan, menyaksikan semuanya tanpa suara. Bibirnya tak bergerak, tapi sorot matanya mencatat setiap gerak Rosella dengan teliti.

“Yang Mulia.” Suara Varron terdengar pelan saat ia tiba, berdiri tepat di samping sang Duke dan menunduk hormat.

“Katakan,” jawab Orion singkat, seolah telah tahu bahwa laporan sedang menantinya.

“Saya menemukan bukti bahwa Jenderal Valdrosh melakukan penyelundupan garam.”

“Aku tahu,” balas Orion datar. “Kau boleh pergi.”

“Baik, Yang Mulia.”

Namun baru beberapa langkah berjalan, suara sang Duke menghentikannya lagi.

“Tunggu.”

Varron segera menghentikan langkahnya, menoleh penuh perhatian.

“Selidiki semua gerak-gerik Putri Rosella. Ke mana pun ia pergi.”

Suara Orion tetap datar—tenang, nyaris tanpa nyawa. Tapi perintah itu lebih dingin dari malam yang menggigit tulang.

“Baik, Yang Mulia. Saya akan laksanakan.”

.

.

.

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!