NovelToon NovelToon

DUDA LEBIH MENGGODA

1

Monica Pratiwi terbangun dengan perasaan gelisah. Bukan karena telat bangun atau lupa mencuci piring, melainkan karena hari ini adalah tanggal yang telah ia hindari selama sebulan: 4 Agustus, ulang tahunnya yang ke-28. Di kamar kecilnya yang rapi di perumahan padat penduduk Depok Timur, ia menatap langit-langit, merenungkan hidupnya yang masih "jomblo".

Jam menunjukkan pukul 06.02 pagi. "Ya Allah... Umurku sudah 28. Pagi ini belum ada ucapan cinta, yang ada cuma notifikasi promo cicilan motor!" gerutunya, meraih ponsel di bawah bantal. Benar saja, tak ada ucapan selamat ulang tahun dari siapa pun, kecuali pesan dari ibunya: "Neng, hari ini ulang tahunmu. Mama doakan semoga segera menikah. Biar Lala bisa menyusul juga. Masa adik menikah duluan, sih?"

Monica mendesah. "Lala, Lala lagi. Apa hidupku hanya untuk menjadi jembatan pernikahan Lala?" Lala, adik perempuannya yang lebih muda dua tahun, telah berpacaran sejak kuliah dan ingin segera menikah. Keluarga Monica masih memegang teguh mitos Jawa: kakak perempuan harus menikah lebih dulu. Jika tidak, konon akan selamanya jomblo, rezeki tersendat, atau rumah tangga adik tidak bahagia. Beban itu sepenuhnya ada di pundak Monica. Ia harus segera menikah, padahal belum memiliki calon.

Suasana pagi di rumah kecil dua lantai yang ditempatinya bersama orang tua terasa sunyi namun tegang. Rumah mereka berada di gang sempit, tetapi nyaman. Ayahnya, Pak Darto, pensiunan petugas keamanan kampus. Ibunya, Bu Rini, ibu rumah tangga yang gemar membandingkan anaknya dengan anak tetangga.

Di meja makan, Monica menyantap nasi goreng buatan ibunya yang terasa hambar. Mungkin karena pikirannya kalut, atau karena ibunya memasaknya sambil menggerutu soal jodoh. "Mon, Mama terus ditanya Tante Yuli, kapan kamu nikah. Masa kamu kalah cepat sama Rini anaknya Bu Retno? Dia dulu tomboy banget, sekarang sudah punya dua anak!" cerocos ibunya sambil menyapu halaman.

Monica menghela napas, menyesap teh hangat tanpa gula. "Ma, itu urusan Tuhan, bukan urusan jam tangan. Tidak semua orang waktunya sama."

"Tapi kalau kelamaan, bisa jadi Tuhan pikir kamu tidak niat," jawab ibunya, tersenyum licik dari balik tirai jendela.

Monica hampir tersedak.

Pukul 07.30, Monica bersiap berangkat kerja. Ia mengenakan blouse putih gading dan rok span krem, rambutnya dikuncir rapi. Di depan cermin, ia mengamati penampilannya. Ia cukup menarik, bahkan sering dikatakan mirip aktris sinetron era 2000-an.

Ia bekerja di Jakarta Selatan sebagai sekretaris pribadi di PT. Anugerah Medika Sentosa, perusahaan distribusi alat kesehatan. Perjalanan dari rumah ke kantor memakan waktu lebih dari satu jam dengan KRL dan ojek online, tetapi ia sudah terbiasa.

Sesampainya di gedung perkantoran 10 lantai, Monica masuk dengan lencana karyawannya yang sudah kusam. Ia melewati lobi, menyapa satpam, lalu naik lift ke lantai 8, tempat divisi eksekutif berada. Di sanalah ia hampir setiap hari berinteraksi—atau lebih tepatnya, bersitegang—dengan bosnya, seorang duda tampan bernama Teddy Indra Wijaya.

Teddy, CEO perusahaan, diperkirakan berusia 37 tahun. Tinggi, tenang, bermata tajam, dan selalu mengenakan setelan rapi. Ia jarang bicara, apalagi tersenyum. Namun, kehadirannya selalu membuat karyawan perempuan memperbaiki penampilan. Yang membuat Monica penasaran, Teddy sudah bercerai, tetapi alasannya dirahasiakan. Ia tidak punya anak dan tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan mana pun.

"Pagi, Monica," sapa Amanda, rekan kerjanya.

"Pagi juga. Rasanya hari ini ingin resign saja," keluh Monica sambil menyalakan komputer.

"Kenapa? Ulang tahun, ya?" goda Amanda.

Monica mengangguk lesu. "Tapi sepertinya tidak ada yang mengucapkan selamat, kecuali Mama... dan itu pun sindiran."

Amanda tertawa kecil. "Sabar. Kadang jodoh datang dari arah yang tidak terduga."

Monica mendesah. "Iya. Tapi arah itu sepertinya sedang macet parah."

Sebelum mereka melanjutkan obrolan, suara berat memecah suasana. "Monica," suara itu dari pintu ruangan direktur. Teddy berdiri di sana, menatap Monica. "Saya perlu bicara. Sekarang."

Monica menelan ludah, melirik Amanda yang tersenyum menggoda. Ia bangkit, dan melangkah ke ruangan Teddy, pria yang secara tidak langsung telah ia sebut dalam doanya pagi tadi. Jika doa itu terkabul... Monica akan sangat terkejut.

Begitu Monica memasuki ruangan Teddy, hawa dingin langsung terasa, entah karena pendingin ruangan atau aura sang direktur. Ruangan Teddy minimalis, didominasi warna abu-abu dan hitam, elegan dan dingin seperti pemiliknya.

Monica berdiri tegang di depan meja Teddy, jantungnya berdebar. Teddy mendongak dari laptopnya, menatap Monica tanpa ekspresi. "Duduklah," katanya singkat.

Monica duduk, berusaha tenang, kaki disilangkan, postur tubuhnya tegak seperti di drama Korea. Teddy menutup laptopnya, membuka map coklat. Jari-jarinya panjang dan rapi, terlihat profesional. Monica memperhatikan sejenak, lalu buru-buru menunduk, menyadari tatapannya terlalu lama.

"Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan," kata Teddy, suaranya tenang namun membuat jantung Monica berdebar kencang.

"Baik, Pak. Tentang proyek rumah sakit kemarin? Saya sudah kirim laporan lewat email," jawab Monica.

Teddy menggeleng pelan. "Bukan soal pekerjaan."

Kalimat itu membuat Monica memikirkan skenario terburuk: dipecat, dituduh melanggar kebijakan, atau diminta lembur tanpa bayaran?

"Saya akan langsung ke intinya," lanjut Teddy. "Perusahaan sedang dalam tahap finalisasi kerja sama dengan investor Jepang. Mereka konservatif dan sangat memperhatikan citra CEO."

Monica mengerutkan kening. "Baik... dan hubungannya dengan saya?"

Teddy menghela napas, menatap Monica intens. Tatapannya tajam, namun ada sedikit keraguan. "Mereka hanya akan menyetujui kerja sama jika saya sudah menikah."

Monica membelalak. "M-maksud Bapak?"

"Saya tidak punya waktu mencari pasangan dalam waktu dekat. Jadi... saya membutuhkan seseorang untuk berpura-pura menjadi istri saya. Sementara. Sampai kontrak kerja sama selesai."

Hening. Monica mendengar detak jantungnya sendiri. Ia menunggu Teddy tertawa, tapi wajahnya serius.

"Dan Bapak ingin saya...?" Monica menunjuk dirinya sendiri, tak percaya.

"Ya. Kamu yang akan menjadi istri pura-pura saya," jawab Teddy, tenang, seperti menawarkan pekerjaan tambahan.

Monica hampir tertawa, tapi hanya bisa bergumam, "Ya Allah, ini beneran?"

Teddy melanjutkan, "Saya tahu ini tidak biasa. Tapi kamu orang yang saya percaya. Kamu tahu ritme kerja saya, cerdas, dan cukup... menarik."

Monica mengangkat alis. "Cukup?"

Teddy hampir tersenyum. "Sangat menarik, jika itu membantu keputusanmu."

Ini nyata. Bukan mimpi, bukan sinetron. Atasannya menawarkan kontrak pernikahan palsu.

"Kalau saya tolak, bagaimana?" tanya Monica pelan.

"Kamu tetap bekerja seperti biasa. Saya tidak akan memaksa. Tapi, jika setuju, ada kompensasi."

Teddy memberikan selembar kertas. Monica membacanya—matanya hampir melotot.

Rp 50 juta per bulan selama kontrak, plus satu unit apartemen.

Monica menelan ludah. "Ini... bukan jual diri, kan, Pak?"

Teddy menggeleng. "Ini kerja sama. Profesional. Tidak ada kewajiban selain tampil sebagai pasangan suami istri di depan publik dan relasi. Tidak lebih."

Monica memejamkan mata. Wajah ibunya, Lala, sindiran tetangga, dan tekanan usia 28 menyerbu pikirannya. Doanya tadi pagi terngiang: "Ya Allah, jika Engkau tidak mengirimkan jodoh, duda juga tidak apa-apa..."

Ia membuka mata, menatap Teddy. "Boleh saya pikir-pikir dulu, Pak?"

Teddy mengangguk. "Tentu. Tapi keputusan harus diberikan sebelum akhir pekan. Investor datang hari Senin."

Monica berdiri, kaku. Ia membungkuk, lalu keluar ruangan. Teddy menatap punggungnya. "Aku tidak salah pilih orang," gumamnya.

Monica berjalan ke mejanya dengan langkah gemetar. Di pikirannya, hanya satu kalimat berulang: "Ya Allah... ini doa yang dikabulkan atau jebakan, sih?"

2

Monica begadang semalaman, bukan karena kopi susu, melainkan karena kalimat "Kamu yang akan menjadi istri pura-pura saya" yang bergema di kepalanya. Ia terjaga, menatap langit-langit, berharap jawaban jatuh dari sana. Tawaran itu terlalu besar, mengejutkan, dan absurd.

Di satu sisi, ia sangat membutuhkan uang: ayahnya sakit, rumah butuh renovasi, dan ibunya mengeluh soal cicilan kulkas. Di sisi lain, ini bukan tawaran biasa, menyangkut reputasi, harga diri, dan masa depannya. Nikah bohongan dengan bos? Apa kata tetangga, dunia, dan terutama, ibunya?

Pagi itu, di meja makan, ibunya memulai cerita tentang Ratih, tetangga yang akan dilamar setelah dua bulan kenal lewat Facebook. "Kamu kapan, Mon? Jangan kelamaan milih, nanti keburu habis stoknya. Paling nggak, kalau ada duda kaya, nggak masalah lah ya..." kata ibunya.

Monica hampir menyemburkan tehnya. "Bu!" serunya.

"Apa? Mama cuma bilang kalau ada duda mapan, ganteng, punya mobil, rumah sendiri, dan nggak punya anak, ambil aja, Mon! Masa kamu nunggu yang lahir lagi?"

Monica menutup wajahnya. Terlalu tepat. Terlalu mirip Teddy Indra Wijaya. Ini pertanda?

Pukul 10.00, Monica di kafe dekat kantor, mengambil cuti setengah hari untuk berpikir. Amanda, penuh rasa ingin tahu, menunggunya.

"Kamu dipanggil ke ruangan bos kemarin, kan? Terus? Gimana? Dia nembak kamu?" goda Amanda.

Monica melotot. "Nggak lucu, Ndut. Ini serius."

"Aduh... jangan bilang dia suruh kamu pura-pura jadi... istri?"

Monica hampir menjatuhkan sendok garpunya. "Kamu peramal?"

Amanda terkejut. "Serius?! Mon! Ini kayak drama Korea yang kita tonton kemarin! Marry Me for Business!"

"Persis. Bedanya, ini Jakarta Selatan, bukan Seoul. Dan aku bukan aktris utama," gumam Monica.

Amanda berbisik, "Kamu harus terima, Mon! Berapa banyak cewek yang mau jadi sandal jepit Mas Teddy?"

"Ini bukan soal tergoda duit. Ini... soal mental."

Amanda mengangkat alis. "Dan kamu masih punya mental nolak 50 juta per bulan plus apartemen?"

Monica terdiam. Tawaran itu menggiurkan, tapi siapa yang mau jadi istri bohongan? Ia mengacak rambutnya frustrasi. "Ndut, ini bukan cosplay! Ini hidup gue!"

"Tapi kamu bisa bantu keluarga. Lepas dari omongan tetangga. Bisa... menyelamatkan adik kamu yang nggak sabar nikah."

Kalimat itu mengenai hatinya. Keputusan ini bukan hanya tentang dirinya. Ada keluarga, reputasi, dan Lala.

"Kalau aku setuju, dan gagal... aku bakal jadi bahan ketawa seumur hidup."

Amanda tersenyum. "Tapi kalau berhasil, kamu bisa jadi istri beneran Mas Teddy. Duda keren, sarang duit... Siapa tahu Allah lagi ngasih lewat plot twist."

Monica melihat pesan terakhir Teddy. Tangannya bergetar, ia mengetik: "Saya setuju, Pak. Tapi saya punya syarat." Lalu mengirimnya. Hidup Monica berubah.

Teddy menatap layar ponselnya, ekspresi tak terbaca. Pesan singkat Monica baru saja masuk: "Saya setuju, Pak. Tapi saya punya syarat." Ia bersandar di kursi kulit hitamnya. Ruangan yang biasanya dingin terasa sedikit lebih... hidup. Bibirnya terangkat samar—bukan seringai puas, melainkan lega. Langkah pertamanya berhasil. Ia langsung membalas: "Kita bertemu jam lima sore ini. Saya kirim lokasi."

Monica memandangi ponselnya, jantung berdebar kencang. Kegugupan berubah menjadi campuran deg-degan, panik, dan sedikit bersalah. Ia belum memberitahu siapa pun di rumah, apalagi ibunya.

Pukul 16.30, Monica merapikan diri di toilet kantor. Ia ingin terlihat serius, namun tidak murahan. Pukul 17.00, ia menuju lokasi yang dikirim Teddy—bukan restoran mewah, melainkan café pribadi tersembunyi di Cipete, yang hanya bisa diakses tamu undangan.

"Tempatnya nggak biasa. Kayak... café rahasia mafia," gumam Monica saat melihat pintu kayu besar tanpa papan nama.

Suasana café remang-remang, musik klasik mengalun pelan. Teddy sudah duduk di pojok, mengenakan kemeja hitam sederhana. Aura bosnya tetap kuat.

Monica duduk, mencoba mengatur napas. Teddy menatapnya, lalu berkata pelan, "Saya senang kamu setuju."

Monica mengangguk. "Tapi saya tidak akan setuju tanpa syarat, Pak."

"Tentu."

Monica mengeluarkan kertas berisi lima syaratnya:

1. Pernikahan ini tidak boleh menyentuh urusan fisik. Tidak ada kontak pribadi di luar kepentingan publik.

2. Tidak ada tidur serumah, kecuali di acara luar kota yang memaksa. Dan itu pun kamar terpisah.

3. Tidak ada campur tangan dalam kehidupan pribadi masing-masing di luar ‘peran’ saat tampil di publik.

4. Tidak boleh ada tekanan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang serius setelah kontrak berakhir.

5. Jika sewaktu-waktu saya ingin mundur, saya berhak melakukannya tanpa paksaan dan tanpa intimidasi.

Teddy membaca semuanya dengan tenang, lalu mengangguk. "Saya setuju. Tapi saya juga punya satu syarat tambahan."

Monica menegang. "Apa?"

"Kamu harus tinggal sementara di apartemen yang akan saya sediakan. Jika media ingin memverifikasi hubungan kita, kamu sudah ada dalam ‘lingkungan’ saya."

Monica terkejut, tapi secara logis, permintaan itu masuk akal. "Apartemen itu besar. Ada dua kamar tidur. Kamu bisa pilih satu, dan saya tidak akan ikut campur privasimu," jelas Teddy.

Monica menghela napas. "Saya... akan pertimbangkan itu."

"Kita bisa tulis semua ini dalam kontrak. Akan saya serahkan pada bagian legal."

Mereka terdiam sejenak.

"Monica," suara Teddy lebih pelan, lebih dalam. "Saya tahu ini tidak mudah. Tapi saya akan memastikan kamu tidak dirugikan."

Monica menatapnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat sedikit ketulusan di balik sorot mata tajam itu.

"Baik, Pak. Kita jalani sesuai kesepakatan."

"Dan, satu lagi," Monica menambahkan sambil tersenyum tipis, "Kalau suatu hari saya jatuh cinta beneran, dan bukan karena kontrak... itu bukan kesalahan saya, kan?"

Teddy terdiam. Kemudian, dengan tatapan dalam yang sulit ditebak, ia menjawab pelan, "Kalau itu terjadi, mungkin... bukan kamu saja yang akan melanggar kontrak."

3

Monica berdiri di depan gedung kantornya, langit mulai gelap. Jam 17.05, ia ragu untuk masuk. Di tangannya, surat mutasi dari Bu Ratna, ditandatangani Teddy Indra Wijaya.

"Beneran, nih... aku dipindah jadi sekretarisnya Pak Teddy?" gumamnya, tak percaya. Bukan hanya jabatannya, tapi siapa atasan barunya: duda tampan, kaya raya, dingin, dan terlalu sempurna. Monica bahkan sempat berpikir Teddy setengah vampir, karena awet muda.

"Aduh, Mon... tahan napas. Naik lift, ketok pintu, senyum manis. Kamu cuma sekretaris, bukan dilamar," gumamnya, lalu masuk lift.

Lantai 12 sepi, hanya suara AC dan aroma kopi dari pantry. Di ujung lorong, pintu kaca bertuliskan "Direktur Utama - Teddy Indra Wijaya" terlihat gagah dan intimidatif.

Monica mengatur napas, lalu mengetuk. "Masuk," suara berat Teddy terdengar.

Suaranya dalam dan tegas, membuat jantung Monica berdebar. Ia masuk perlahan, menutup pintu. Teddy duduk di balik meja besar dari kayu jati, kemeja putihnya rapi, lengan tergulung, jam tangan mewah melingkar di pergelangannya. Wajahnya dingin, serius, namun tampan luar biasa.

"Monica Pratiwi," katanya tanpa melihat Monica.

"I-iya, Pak," jawab Monica gugup.

Teddy mendongak. Mata mereka bertemu. Monica merasa seperti tersedot ke dalam pusaran tekanan darah tinggi.

"Kamu sekretaris baru saya. Mulai besok, semua agenda, surat, meeting, hingga pemesanan kopi harus kamu tangani."

"Iya, Pak," sahut Monica cepat.

Teddy berdiri, mengambil map merah, dan berjalan mendekat. Monica mencium wangi parfum maskulin yang mahal. Kakinya terasa lemas.

"Dan satu lagi," ujar Teddy, menyerahkan map itu.

"Ya, Pak?"

"Di luar jam kerja, saya tidak suka dihubungi kecuali sangat penting. Jangan ganggu saya dengan hal remeh. Saya tidak suka basa-basi."

"Iya, Pak."

Teddy kembali ke kursinya. Monica berbalik hendak keluar. Sebelum tangannya mencapai gagang pintu, Teddy berkata, "Dan, Monica..."

Monica menoleh.

"Saya nggak suka sekretaris yang terlalu gugup. Santai saja, selama kamu nggak cari masalah."

"I-iya, Pak," katanya, lalu buru-buru keluar.

Di lorong, Monica bersandar di dinding, napasnya berat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.

"Ya Allah... ini baru hari pertama udah kayak wawancara jadi menantu."

Monica bergegas ke ruangan barunya, tepat di depan ruang direktur. Ruangan kecil namun nyaman, dengan meja, dua kursi tamu, dan rak file kosong. Di mejanya, sudah tersedia komputer, telepon, dan tumpukan kertas agenda. Ia duduk, membuka map dari Teddy, menghela napas panjang. Ia masih tak percaya: dari admin biasa di lantai 5, menjadi sekretaris direktur utama yang terkenal galak dan cuek.

"Yah, mau nggak mau dijalani. Siapa tahu gaji naik, jodoh ikut naik," gumamnya, lalu membuka laptop dan memeriksa agenda.

Belum lima menit, telepon berdering. "Monica," katanya saat mengangkat.

Suara datar dari seberang langsung terdengar, "Bisa minta tolong buatkan kopi hitam, tanpa gula, dua sendok kecil. Sekarang." Itu suara Teddy.

Monica melongo, "I-iya, Pak. Segera saya buatkan."

Ia bergegas ke pantry, berjuang dengan mesin kopi otomatis. "Dua sendok kecil kopi hitam, tanpa gula," gumamnya, memastikan takaran.

Sambil menunggu kopi, ia mengintip bayangannya di microwave. Dandanannya masih rapi, tapi rasanya seperti anak magang yang terus diawasi.

Di ruang direktur, Monica mengetuk pelan. "Masuk." Ia meletakkan cangkir kopi di meja Teddy.

"Silakan kopinya, Pak."

"Terima kasih," jawab Teddy datar, hampir tanpa menoleh.

Monica hendak mundur, tapi Teddy berkata, "Besok pagi kamu ikut saya ke rapat klien. Di luar kantor. Pukul delapan sudah siap di lobi. Jangan telat."

Monica terdiam, lalu mengangguk cepat, "Baik, Pak."

Ia keluar dengan perasaan campur aduk: senang dipercaya, tapi panik karena harus ikut ke luar kantor—bangun subuh, dandan maksimal, dan siap mental.

Di ruangannya, ia menjatuhkan diri ke kursi. "Ya Allah, ini direktur atau aktor drama Korea sih? Kaku, tegas, tapi bikin deg-degan setengah mati," gumamnya, memijat pelipis.

Baru adaptasi, sudah ada tugas luar. Hidupnya akan jauh lebih kompleks. Apalagi jika benar dugaan teman-temannya: Teddy punya masa lalu yang rumit. Dan entah kenapa, firasatnya berkata, cepat atau lambat, ia akan terseret ke dalamnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!