NovelToon NovelToon

Ditipu Kekasih, Dinikahi Tuan Muda Kaya

01. Pulang

.

"Apa kau benar-benar akan pulang, Aya? Tidak ingin berpikir ulang?"

Lima tahun lamanya Cahaya, atau yang biasa akrab dipanggil Aya, mengabdi sebagai pembantu rumah tangga di kota metropolitan. Hari ini, ia akan pulang, karena lima hari lagi adalah hari pernikahannya. Senyum lebar terukir di wajahnya, mencerminkan kebahagiaan yang selama ini ia rindukan. Akhirnya, ada seseorang yang menerima dirinya apa adanya, mencintainya dengan tulus.

Nyonya Shifana, majikannya, menatapnya dengan sendu. Rasa kehilangan tampak jelas di mata wanita yang masih cantik di usianya yang tak lagi muda itu. Nyonya Shifana, istri dari Tuan Dirgantara, telah menganggap Aya sebagai bagian dari keluarganya. Sesuatu yang acap menimbulkan rasa iri di antara sesama pembantu.

"Iya, Nyonya. Saya minta maaf jika ada salah kata dan sikap selama bekerja di sini," jawab Aya, air mata menetes membasahi pipinya. Berat rasanya meninggalkan keluarga kaya yang telah begitu baik padanya. Mereka telah memberinya lebih dari sekadar gaji. Mereka telah memberinya keluarga.

Akan tetapi, ia juga ingin memiliki kehidupan sendiri, sebuah rumah tangga yang ia impikan sejak lama. Usia dua puluh empat tahun bukanlah usia muda lagi untuk seorang gadis desa. Teman-temannya, kebanyakan, telah memiliki anak usia lima tahun. Dan jujur saja, ia merasa iri. Selama ini ia bersikap cuek, tapi sesungguhnya itu hanya untuk menutupi rasa sesak di dadanya.

Jauh di atas tangga, tersembunyi di balik pilar besar, Marcel Dirgantara, tuan muda kedua rumah besar itu, menyaksikan interaksi antara Aya dan Nyonya Shifana dengan ekspresi datar. Sorot matanya menyimpan makna yang hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Tuan muda yang memiliki bekas luka di wajahnya, hingga wajah itu menyerupai topeng yang mengerikan, sejatinya menyembunyikan luka batin yang jauh lebih dalam, sebuah rahasia yang terpendam.

Marcel Dirgantara, diam-diam mencintai Aya, Cinta yang tumbuh perlahan namun begitu kuat. Kehadiran Aya telah mengisi kekosongan di hatinya, menghiasi hari-harinya yang selama ini dipenuhi oleh kesunyian dan rasa rendah diri.

Akan tetapi rasa takut menghalanginya untuk mengungkapkan perasaannya. Ia takut ditolak, takut Aya merasa jijik pada wajahnya yang buruk rupa.

Melihat Aya bersiap untuk pergi, hati Marcel seperti diremas. Kepergian Aya berarti kepergian cahaya kecil yang selama ini menerangi kegelapan dalam hidupnya. Marcel menghela napas panjang, mencoba meredam perasaan yang bergejolak di dalam hatinya. Ia tak mungkin menahan Aya untuk tetap tinggal. Aya berhak memiliki kehidupannya sendiri.

"Apa kamu sudah siap, Aya? Aku akan mengantarmu ke terminal bis.”

Marvel Dirgantara, tuan muda pertama muncul di tengah percakapan Aya dan Nyonya Shifana. Pria yang selalu tersenyum hangat.

“Tidak usah, Tuan Muda. Saya naik taksi saja." Aya merasa tak enak hati. Walaupun dirinya akrab dengan Tuan Muda pertama, tapi merepotkan tuan muda keluarga Dirgantara juga bukan hal yang bagus.

Marvel menggeleng lembut. "Tidak apa-apa, Aya. Lagipula, aku juga sedang ingin keluar sebentar." Nada suaranya tegas, menunjukkan bahwa ia tak akan menerima penolakan.

Aya ragu sejenak, memandang wajah ramah Marvel, lalu mengangguk. "Baiklah, kalau Tuan Muda memaksa," jawab Aya setengah bercanda. Tuan muda pertama memang baik pada siapa saja.

“Kamu ini!” Marvel menggeplak kepala Aya.

“Nyonya, Tuan Muda jahat.” Aya berpura-pura merengut dan mengadu pada nyonya Shifana.

“Syukurin. Lagi pula setelah ini dia tidak akan bisa menggodamu!”

“Nyonya….?” Aya berpura-pura merajuk karena tidak dibela.

Marvel tertawa tergelak.

Marcel, yang berada tak jauh dari mereka, menatap mereka dengan tatapan datar. Dua tangannya terkepal. Rasanya seperti ada yang menusuk jantungnya. Sakit. Pedih. Aya tertawa lepas bersama Marvel, tawa yang tak pernah ia lihat ketika bersama dirinya.

Di hadapan Marvel, Aya tampak begitu riang, berbeda sekali dengan sikapnya yang kaku dan canggung setiap kali berhadapan dengannya. Kontras yang menyayat hati. Sakit rasanya, bisa melihat tak bisa memiliki.

Akhirnya mereka bersiap berangkat. Aya menarik koper besarnya berjalan di belakang Marvel. Marcel menatap kepergian mereka dengan hati hancur. Setelah hari ini, ia benar-benar kehilangan harapan.

Cahaya, menghentikan langkahnya. Seolah merasa ada sesuatu yang tertinggal. Menoleh kebelakang, tak ada apapun. Aya menggerakkan kepalanya menatap ke atas. Tatapannya bertumbuk pada pria yang sejak tadi memperhatikan dalam diam. Aya memutar kembali kakinya hingga mereka berhadapan lurus.

Entah kenapa Aya merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Kenapa tiba-tiba merasa berat untuk melangkah?

“Ahh, tidak. Ini pasti karena aku sudah bekerja di sini dalam waktu lama,” batinnya.

Dua pasang mata masih saling tatap, Aya merasa dadanya berdebar kencang. Gadis itu menundukkan kepala lalu membungkukkan badan, pertanda dia meminta ijin undur diri. Berdiri tegak, kembali menatap wajah Marcel sebentar, lalu membalikkan badan. Mengambil napas dalam, membuang sesak yang tiba-tiba hadir, entah karena apa, ia juga tak tahu, lalu melangkah pergi.

“Selamat tinggal, Tuan Muda Kedua,” ucapnya dalam hati.

*

*

*

Perjalanan pulang terasa panjang. Makhluk manis dalam bis itu menatap keluar jendela. Ada banyak gedung-gedung bertingkat, ruko berjajar di pinggir jalan, meninggalkan kota, melewati hutan jati yang luas, melintasi hamparan sawah hijau yang terbentang.

Semilir angin masuk melalui jendela yang terbuka, menerpa wajah ayu nya. Ia akan pulang. Bertemu dengan ibu yang sudah enam bulan tidak berjumpa sejak ia pulang kampung terakhir kali. Satu-satunya keluarga yang ia miliki. Kenangan masa kecil bercampur aduk dalam benaknya.

*

*

*

Enam jam terkantuk-kantuk dalam bis, akhirnya Aya sampai juga di desa. Turun di terminal, lalu melanjutkan perjalanan dengan menumpang ojek.

Aya disambut hangat oleh ibunya. Rumah mereka yang dulu kecil, beratap seng dan berdinding bambu, kini telah berubah. Lima tahun merantau ke kota, Aya berhasil merubah perekonomian keluarga.

"Aya... Kamu sudah pulang, nak?” lirih Bu Ningsih, air mata bahagia membasahi pipinya yang mulai dihiasi keriput. Bu Ningsih membuang sapu ijuk di tangannya, berlari kecil menghampiri, memeluknya erat-erat.

"Ibu.. Aya pulang." Aya membalas pelukan ibunya, air matanya juga menetes. "Aya pulang, Bu."

Bu Ningsih tersenyum lebar. "Alhamdulillah, kamu sudah sampai dengan selamat, Nak. Bagaimana perjalananmu tadi?” Wanita tua itu mengusap kepala Aya dengan lembut.

"Alhamdulillah, aman, Bu..." Aya memeluk ibunya makin erat, merasakan kehangatan yang selama beberapa bulan ini ia rindukan.

Mereka berdua segera masuk ke dalam rumah. Aya mengerutkan kening. Bukankah kalau mau ada hajatan, rumah pasti ramai dengan tetangga yang bantu-bantu? Tapi kenapa terasa sunyi sekali. Tak ada seorangpun tetangga ada di rumahnya.

Aya merasa sedikit aneh. Walaupun memang hajatan akan diadakan di rumah mempelai pria, sesuai permintaan calon suaminya. Namun, bukankah seharusnya juga ada selamatan atau apalah keperluan lainnya. Apalagi hari H tinggal lima hari lagi.

“Kenapa tidak ada tetangga yang datang bantu-bantu, Bu?” Aya tak bisa menahan penasaran akibat rasa janggalnya.

“Engg, itu, Nak…”

02. Ke rumah Yuda

.

“Kenapa tidak ada tetangga yang datang bantu-bantu, Bu?” Aya tak bisa menahan penasaran akibat situasi yang terasa janggal.

“Engg, itu, Nak…”

“Sana bersih-bersih dulu, habis gitu istirahat. Kamu pasti capek.” Bu Ningsih tidak melanjutkan apa yang sebelumnya hendak iya ucapkan. Wanita tua itu malah menyuruh Aya untuk bersih-bersih sebagai pengalihan.

Aya mengangguk. Ia lalu berdiri sambil menyeret koper besarnya ke kamar. Koper yang dibelikan oleh nyonya Shifana.

“Kenapa Mbakyu tidak mengatakan saja semuanya langsung kepada Aya?” Partini, satu-satunya tetangga yang dekat dengan Ningsih dan kebetulan berada di sana menatap wanita tua itu sendu.

“Aku tidak tega, Par. Dia terlihat bahagia. Aku tak tega membuatnya menangis. Apalagi dia pasti masih capek habis perjalanan jauh.” Bu Ningsih menghela napas berat, lalu menyandarkan punggung lelahnya pada sandaran kursi.

“Aku juga tak tega, Mbakyu. Tapi bukankah lebih cepat dia tahu lebih baik? Kalau besok dia mengajak ke sana, dan baru mengetahuinya, dia justru akan dipermalukan.” Partini menghapus air matanya.

“Setidaknya biarkan Aya istirahat dulu.” jawab Bu Ningsih.

*

*

*

Keesokan harinya, dengan didampingi oleh ibunya dan Bu Partini, Aya berangkat menuju rumah Yuda, calon suaminya. Sepanjang perjalanan, Aya tak henti-hentinya tersenyum. Tubuhnya panas dingin, rasa gugup dan bahagia bercampur jadi satu.

Semua persiapan pernikahan telah diatur oleh Yuda dan keluarganya. Pernikahan akan dilangsungkan di rumah mempelai pria, mengurangi beban Aya dan keluarganya. Mereka hanya perlu menyiapkan sejumlah dana, tanpa perlu bersusah payah menyiapkan apa pun. keluarga Yudha ingin meringankan beban Bu Ningsih yang sudah tua, janda pula. Begitu kata pria itu.

Namun, sesampainya di rumah Yuda, suasana bahagia itu seketika sirna. Sebuah pemandangan yang tak pernah terbayangkan oleh Aya sebelumnya menyambut mereka.

Di atas sebuah kursi panjang, terlihat Yuda, calon suami Aya, duduk berdampingan dengan seorang wanita cantik yang sangat anggun. Wanita itu mengenakan kebaya berwarna merah muda, dengan riasan yang sempurna. Ia tampak begitu akrab, bahkan sangat mesra dengan Yuda. Wanita itu tampak tersenyum manis dan sesekali berbisik di telinga Yuda.

“Ahh, ini dia. Cewek kampung yang tergila-gila pada Yuda. Kebetulan kalian datang. Ayo sini, biar aku kenalkan dengan calon istri Yuda yang sesungguhnya.” Seorang wanita seusia dengan Bu Ningsih mendekati mereka. Dia adalah Bu Sumini, ibunya Yuda.

Aya masih mencoba mencerna apa yang baru didengar dan apa yang kini ia lihat.

"Apa maksudnya, Bu?" tanya Aya, suaranya bergetar, mendekati tempat duduk Yuda. dengan langkah berat. Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi pipinya yang pucat. Ia menatap Yuda dengan tatapan yang penuh luka dan kecewa. “Katakan, Mas! Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah kita akan menikah?”

Namun, jawaban yang ia terima jauh lebih menyakitkan daripada yang pernah ia bayangkan. Bukan dari Yuda, pria itu terlihat menatapnya dengan pandangan rumit.

Bu Sumini, Ibunya Yuda berdiri tepat di depan Aya, menghalangi Yuda dari pandangan Aya. Wajahnya angkuh penuh penghinaan.

"Heh, perawan tua kampungan! Dengan melihat ini, kamu seharusnya sadar. Kamu itu tidak pantas untuk putraku. Putraku harus mendapatkan pendamping yang sepadan, bukan wanita pincang seperti kamu!"

Kata-kata itu menusuk hati Aya bagai sebilah pisau. Kekurangan fisiknya kembali diungkit. Ia terhuyung mundur, tubuhnya gemetar hebat. Rasa sakit dan malu bercampur aduk dalam hatinya. Semua harapannya hancur berkeping-keping. Bu Sumini memang sejak dulu tak pernah suka padanya, tapi ia tak pernah menyangka akan diperlakukan sehina ini.

Air mata mengalir semakin deras, membasahi pipinya. Ia merasa begitu kecil, begitu lemah, di hadapan keluarga Yuda yang sombong dan kejam itu.

Perkataan Bu Sumini memancing semua tetangga ikut mencibir.

“Lihat tuh, si Aya! Udah cacat, gak tahu malu pula. Sok mau kawin sama anak orang kaya!” teriak seorang perempuan paruh baya dari balik tirai penyekat ruangan.

“Ibunya juga nggak tahu malu! Anaknya cacat, masa pingin besanan sama orang kaya!” sahut yang lain, diikuti gelak tawa sinis.

Air mata Aya berlinang. Jika hanya dirinya yang dihina ia takkan masalah titik ia sudah terbiasa dengan itu, tapi ini adalah ibunya. Ibu yang melahirkannya, yang merawatnya sejak kecil. Ia tidak terima.

Aya memeluk erat tubuh ibunya yang gemetar menahan tangis. Cibiran-cibiran itu menusuk lebih dalam daripada rasa sakit akibat pengkhianatan Yuda.

“Ibu kenapa itu tidak katakan sebenarnya waktu aku tanya kemarin?” Aya merasa malu sekaligus sakit hati. Namun lebih merasa kecewa pada ibunya yang tak berani jujur padanya. Andaikan saja ibunya mengatakan sejak awal.

Bu Ningsih mengusap air mata Aya dengan lembut. “Ayo kita pulang saja, Nak?” Bu Ningsih kemudian memeluk Aya, mencoba memberikan kekuatan.

Melihat Bu Ningsih yang lemah membuat Bu Sumini semakin jumawa. Wanita berpakaian glamour itu menatap sinis dengan dua tangan bersilang di depan dada.

“Heh, Ningsih! Apa kamu itu tidak pernah mengajari anakmu untuk bercermin? Sadar diri dong perbedaan keluarga kita ini bagaikan langit dan bumi. Anakku ini sudah menjadi PNS. Masa iya dia akan menikah dengan wanita pincang yang hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Apa itu sepadan?”

Aya mengambil napas dalam-dalam seraya menyeka air matanya. Menatap tajam ke arah Yuda dan pasangannya. Lalu beralih ke arah Bu Sumini. Perlahan Aya melepaskan pelukan ibunya.

“Lalu kenapa selama ini tidak bicara? Kenapa selama ini hanya iya saja? Bahkan sepuluh hari lalu mas Yuda masih meminta transferan uang untuk menyewa perlengkapan pernikahan.” suara Aya lantang bergema di ruang yang dihias mewah.

Suasana seketika riuh. Para tetangga yang sedang bantu-bantu dan masih berada di sana saling berbisik dan saling bertanya.

“Apa? Jadi selama ini Yudha meminta uang dari Cahaya?”

“Wah wah. Jika itu benar, Yuda benar-benar keterlaluan.”

“Tidak tahu malu. Tidak mau orangnya, tapi mau uangnya. Apa Yuda hanya berniat menipu?”

“Ternyata anak bu Sumini hanya orang yang pintar memanfaatkan orang lain.”

Mengetahui keluarga mereka menjadi bahan pergunjingan membuat Bu Sumini merasa geram.

“Kamu…!” sebelah tangan Bu Sumini terangkat ke udara hendak menampar mulut Aya yang telah dengan lancang mempermalukan keluarga nya di depan keluarga calon besan. Namun, dengan cepat Aya menangkisnya.

“Katakan, Mas! Kenapa kamu memberi janji pernikahan jika dari awal keluargamu merasa aku tidak layak. Apa aku pernah mengemis cinta darimu!”

Yuda terpaku, wajahnya memerah. Ia tak mampu menatap mata Aya yang menatapnya tajam. Kebohongan yang selama ini ia jaga dengan susah payah, bahkan dari keluarganya sendiri, kini terbongkar di depan umum. Ia tergagap, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Ibu Sumini, yang tadinya berwajah angkuh, kini terlihat panik. Namun sesaat kemudian kembali berkata lantang.

“Kamu ini bicara apa? Kamu itu ngelindur ya? Kami ini keluarga kaya raya. Untuk apa meminta uang pada gadis miskin sepertimu? Gadis miskin yang hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga memangnya berapa gajimu?”

Wanita tua itu merasa sangat marah, karena Aya berani mencoreng muka mereka di hari bahagia putranya. Apalagi para tetangga dan keluarga calon besan sudah mulai bertanya.

Seorang wanita paruh baya, salah satu keluarga calon besan, berdiri dan menatap Yuda tajam.

“Yuda, apakah benar apa yang dikatakan gadis itu?” tanyanya.

03. Tuduhan pencemaran nama baik

.

Yuda, apakah benar apa yang dikatakan gadis itu?” Seorang wanita paruh baya salah satu anggota keluarga dari besan bertanya.

Tetangga-tetangga lain juga ikut bersuara, menuntut penjelasan dari Yuda dan keluarganya. Suasana menjadi semakin ramai dan tegang.

“Tidak! Itu sama sekali tidak benar!” Yuda menyangkal ucapan Aya. Namun, kata-katanya terbata-bata, membuat keluarga calon mertuanya merasa tidak yakin.

Yuda kembali berpikir mencari alasan yang tepat. “Aya yang pernah mengutarakan isi hatinya pada saya, tapi saya menolaknya. Mungkin karena itu ia merasa sakit hati.”

Penjelasan Yuda membuat keluarga calon mertuanya mengambil nafas lega. Bagaimanapun mereka tidak mau jika di awal pernikahan putri mereka ada skandal Yudha dengan gadis lain.

“Kenapa kamu jahat sekali, Yuda?” Tanpa gentar Aya menatap pria itu tajam. Tak ada lagi sebutan ‘Mas’ seperti sebelumnya.

“Kamu yang pertama kali mendekatiku. Kamu yang mengatakan akan menikahiku. Kamu yang bicara menerima aku apa adanya. Dan karena itu aku bahkan mendukungmu. Mengirimkan sebagian gajiku setiap bulan padamu, demi pendidikanmu, demi impianmu menjadi seorang PNS. Tetapi ternyata, setelah semua cita-citamu tercapai seperti ini balasanmu?”

Suasana yang semula menjadi lebih tenang kembali riuh mendengar apa yang diucapkan oleh Cahaya. Kasak kusuk berdengung seperti kumpulan lebah. Mereka bingung omongan siapa yang lebih benar, Cahaya ataukah Yuda?

Wajah Yuda merah padam. Cahaya benar-benar mengupas kulit wajahnya tanpa perasaan.

“Kamu ini bicara apa? Uang siapa yang kamu akui?” Yuda menyangkal ucapan Cahaya.

Suasana semakin tegang. Aya berdiri tegak menghadapi Yuda dan keluarganya. Warga desa yang semula sedang bekerja di dapur ikut berkerumun, berbisik-bisik, mata mereka menyaksikan drama yang tengah tayang.

"Jadi kamu mau menyangkal, Yuda? Kamu tidak mau mengakui bahwa kamu menjadi PNS adalah karena keringatku yang menjadi babu selama di kota. Gadis yang dihina oleh ibumu ini, yang dikatakan pincang, yang diejek sebagai perawan tua, gadis inilah yang telah membuatmu sukses seperti sekarang.” Cahaya menepuk-nepuk dadanya sendiri yang terasa sesak.

“Tidak masalah kalau kamu tidak mau menikah denganku. Tidak masalah juga jika ibumu menolak kehadiranku. Tapi, kembalikan uangku!" seru Aya, suaranya bergetar namun tetap tegas.

Yuda menyeringai, wajahnya tak menunjukkan sedikitpun penyesalan.

"Jangan menuduh kami sembarangan, Aya! Darimana kamu mendapatkan uang sebanyak itu? Kamu itu hanya seorang pembantu rumah tangga. Memangnya berapa gajimu sampai berani mengakui telah membiayai pendidikanku? kalau kamu tidak mundur sekarang juga, aku akan membuat laporan dengan tuduhan pencemaran nama baik!"

Keluarga Yudha ramai-ramai membela Yudha, suara-suara mereka membanjiri ruangan, menenggelamkan suara Aya. Ancaman-ancaman terlontar, membuat Ningsih semakin khawatir.

Kepala Desa yang memang menjadi salah satu tamu undangan, wajahnya tampak serius. “Jadi ini bagaimana? Apa benar Nak Yuda selalu menerima uang dari nak Cahaya?” lelaki paruh baya itu mencoba bersikap bijak.

“Tentu saja itu tidak benar, Pak Lurah!” Bu Sumini maju sebelum Yuda menjawab.

“Saya punya orang tua kaya. Mana mungkin saya minta uang pada gadis miskin?”

Yuda dan keluarganya dengan licik menceritakan versi mereka, seolah-olah Aya yang berbuat salah.

"Buktinya ada, Pak lurah! Saya punya catatan. Dan saya menyimpan semua bukti transfer dari rekening saya ke rekening Yudha!” Aya menatap mereka tanpa gentar. Mencoba menjelaskan, namun suaranya kalah lantang oleh suara-suara yang saling beradu.

Ningsih menarik tangan Aya. "Sudahlah, Aya. Kita pulang. Kita akan mencari jalan lain."

“Tapi, Bu?” Cahaya menolak. Ia tidak rela hasil kerja kerasnya selama beberapa tahun dinikmati begitu saja oleh keluarga Yuda.

Namun, bu Ningsih tetap menarik tangan putrinya. Keluarga Bu Sumini adalah keluarga terpandang. Apalagi mereka memiliki koneksi yang kuat. Ia tidak mau putrinya menjadi bulan-bulanan mereka. Biarlah mereka kehilangan uang, asal putrinya tidak mendapatkan masalah di kemudian hari.

*

*

*

"Kenapa ibu menarik ku pulang? Itu uangku, Bu."

Cahaya dan ibunya telah kembali ke rumah mereka yang kini tak lagi reyot seperti dulu, Ningsih mengusap air mata Aya. "Jangan putus asa, Nak."

Aya memeluk ibunya erat-erat, air mata masih membasahi pipinya. "Tapi Ibu… uang itu adalah hasil kerja keras Aya. Kalau saja ditabung kita bisa membeli sawah dan disewakan. Tetapi dengan enaknya dia menikmati semua hasil kerja kerasku. Aku tidak rela, Ibu!”

Ningsih menatap mata putrinya dengan penuh keprihatinan.

"Apa menurutmu mereka akan mengembalikan uangmu, Nak? Tidak. Warga juga tidak akan ada yang membela kita. Sudah menjadi tradisi, kebenaran milik orang miskin tidak akan pernah menang melawan kesalahan milik orang kaya. Hukum di desa kita masih tumpul ke bawah.”

Aya memejamkan mata membenarkan kata-kata ibunya. Tetapi dadanya masih terasa sakit. Perasaan tidak rela itu benar-benar nyata. Benarkah ia harus mengikhlaskannya?

*

*

*

Ungghhhh….

Cahaya yang menggeliat merentangkan tangan meregangkan otot tubuhnya yang terasa kaku.

“Jam berapa sekarang?” gumamnya.

Aya mengerjapkan matanya yang membengkak karena terlalu banyak menangis. Sama sekali tidak menyesali Yuda yang memilih wanita lain. Tetapi hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun yang hilang akibat kebodohannya yang begitu mudah percaya pada lelaki penipu seperti Yuda.

Mengikat rambutnya asal, gadis itu tak ingin terus-menerus terpuruk. Turun dari ranjang, lalu berjalan menuju ke arah kamar mandi untuk mencuci wajah.

Jika di masa lalu, di rumahnya hanya memiliki satu kamar mandi yang letaknya terpisah jauh di belakang rumah, hasil kerjanya selama bertahun-tahun sebagai pembantu rumah tangga telah membuatnya memiliki kamar mandi yang berada di dalam kamar. Semua itu ia syukuri kini. Walaupun ada kenyataan pahit yang juga harus ia telan.

Keluar dari kamar, ia ingin mengisi perut. Menahan lapar tidak akan mengembalikan uangnya. Uang itu hanya akan kembali jika dia kembali bekerja keras.

“Assalamualaikum…”

Terdengar salam dari luar rumah saat ia baru saja mau menyuapkan makanan ke dalam mulut.

"Wa'alaikum salam." terdengar suara ibunya menjawab.

“Ada apa Pak RT?” Terdengar suara ibunya di telinga Aya, membuat gadis itu segera berjalan ke depan.

“Nuwun sewu, Bu Ningsih. Penjenengan sama Mbak Aya dipanggil untuk datang ke balai desa.” Pak RT menyampaikan maksud kedatangannya datang ke rumah itu.

Cahaya dan ibunya saling pandang. Balai desa? Kenapa mereka dipanggil ke sana? Ada masalah apa?

“Ada apa ya Pak RT?” tanya Aya yang tak ingin menyimpan penasaran.

Pria paruh baya yang dipanggil dengan nama Pak RT menatap Cahaya penuh rasa iba.

“Mas Yuda melaporkan Mbak Aya dengan tuduhan pencemaran nama baik.”

Duar …

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!