"Kenapa dia tidak mengakhiri hidupnya saja. Benar-benar pembawa sial."
"Diam. Jangan sampai ucapanmu ini di dengar orang lain."
Dua pelayan istana yang baru saja selesai mengantarkan makanan bergumam dengan berani.
"Meksipun dia telah di asingkan selama beberapa tahun. Tetap saja kita tidak bisa berbicara seenaknya. Yang Mulia selalu datang seminggu sekali ketempat ini. Itu menandakan jika hati Yang Mulia masih ada bersamanya." Pelayan di sampingnya langsung terdiam.
Mereka segera pergi setelah mengantarkan makan malam di istana dingin. Tempat yang selalu di hindari semua wanita istana.
Triiiinggg...
Suara denting lonceng angin yang tergantung di pintu dalam penghubung kolam ikan di samping ruangan. Terdengar cukup nyaring seperti biasanya. Tiupan angin malam juga mulai menyapa tanpa bisa di hindari lagi.
Krekekk...
Seorang pelayan wanita membuka pintu utama. Dia menggambil makanan yang ada di depan pintu. "Ratu, makanan sudah siap." Meletakkan nampan berisi lauk sayuran seadanya juga dua mangkuk nasi hangat.
Wanita dengan gaun putih susu bangkit perlahan setelah meletakkan rajutan yang sudah berbentuk pakaian kecil di tangannya. Wajah pucat tanpa riasan masih memancarkan kecantikan wanita mulia. Dengan suara lembut ia berkata, "Jangan hanya berdiri. Kamu juga harus duduk."
"Setelah saya menyalakan semua lilin. Saya akan ikut duduk bersama Yang Mulia," ujar Pelayan wanita tersenyum hangat. Dia berjalan kesetiap sisi ruangan membawa pemantik api di tangannya. Kehangatan mulai terasa di saat semua lilin di nyalakan. "Yang Mulia, semua barang sudah saya letakkan di tempat yang anda inginkan." Menyimpan pemantik di rak kecil pada ujung ruangan sebelah kanan. Dia melangkah mendekati meja makan.
Wanita yang telah duduk untuk beberapa saat itu tidak menyentuh sumpitnya sebelum pelayan setianya juga duduk. Dengan penuh ketenangan dia mengangguk dan tersenyum tipis memberikan tanggapan.
Seperti biasanya makan malam sederhana tetap bisa membuat mereka berdua menghabiskan semua hidangan tanpa keluhan.
Di suapan terakhir Ratu Wan Yurui meletakkan sumpitnya dengan lembut. "Jika kamu ingin pergi. Aku bisa membukakan jalan untukmu."
Pelayan wanita menatap kedua mata indah di hadapannya. "Yang Mulia bahkan tidak berniat pergi. Bagaimana mungkin saya pergi meninggalkan anda sendiri dalam kesunyian ini."
Senyuman penuh luka tersirat dalam di kedua mata cerah itu. Dia bangkit berjalan menuju kearah pintu bagian dalam. Cahaya rembulan malam itu terlihat sangat indah juga cerah. Bintang berhamburan membentuk rasi indah tanpa jeda. Tatapan lembut terarah pada pohon persik di taman kecil. "Dedaunan telah berguguran." Lukisan wajah tegas dengan tatapan cinta terlintas di benaknya. Hela nafas dalam menekan hatinya. Ada sesak yang tidak bisa ia keluarkan. "Aku hanya berharap kerinduan ini tidak akan pernah tersampaikan."
Pelayan wanita melangkah mendekat membawa mantel tebal terbuat dari bulu rubah pemberian Kaisar Ming Jing. "Udara malam sangat dingin. Jangan sampai yang Mulia sakit." Mundur tiga langkah kebelakang lalu berdiri diam.
"Ayun, aku tidak pernah menyesali pilihanku."
"Hamba tahu."
Kedua mata seperti cermin yang hampir pecah. "Tapi kenapa hati ini selalu sakit setiap mengingatnya." Ratu Wan Yurui menatap cahaya rembulan di langit malam.
"Itu karena hati Yang Mulia telah terpatri untuknya."
Senyuman luka membekas tanpa bisa di sembuhkan. "Setelah malam ini. Semua akan berakhir. Bukankah begitu?"
"Benar."
"Jika aku berharap bisa melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Apakah itu terlalu berlebihan?" Ujar Ratu Wan Yurui yang masih mengharapkan sebuah keajaiban.
"Tidak."
Deeree...
Duurrmmm...
Suara genderang terdengar berulang kali.
"Dia tetap saja datang," gumam Ratu Wan Yurui pelan.
Dari arah luar suara langkah kaki terdengar.
Bruukkk...
Pintu di buka cukup kuat. Dari arah pintu pria dengan wajah tegas dan terlihat cukup letih menatap diam. Nafasnya memburu dengan keringat bercucuran di seluruh keningnya.
Ratu Wan Yurui tersenyum kearah pria itu. "Yang Mulia." Memberikan hormatnya.
Kaisar Ming Jing membenarkan jubah naga di tubuhnya juga mahkota yang masih terpasang kuat di kepalanya. "Apa aku mengagetkanmu?"
"Tidak." Menggelengkan kepalanya. Dia melangkah perlahan mendekat untuk menyambut kedatangan suaminya. "Yang Mulia terlihat lesu. Duduk di sini, aku akan memijat kening Yang Mulia." Wanita dengan gaun putih itu menepuk lembut kearah kursi.
Melihat itu Pelayan Ayun segera keluar dari ruangan kamar utama.
Kaisar Ming Jing mengikuti keinginan istrinya. Dia duduk dengan tenang dan menikmati pijatan lembut dari tangan orang yang ia cintai. "Dia datang."
"Em. Aku tahu," saut Ratu Wan Yurui tenang. Dia masih memijat kening suaminya.
"Aku tidak akan membiarkan dia membawamu pergi lagi."
"Aku tahu."
"Kali ini. Aku pasti akan membunuhnya," suara Kaisar Ming Jing menekan.
Tidak ada tanggapan.
Tangan kekar Kaisar Ming Jing mencengkeram kuat pergelangan tangan lembut istrinya. Dia bangkit membalikkan tubuhnya menatap wanita yang selalu membuat hatinya merasa tidak tenang. Kedua matanya seperti bara yang siap membakar habis wanita di hadapannya. "Dia sudah merebut kesucianmu. Dan kini dia juga telah merebut hatimu dariku."
Rasa sakit terasa semakin kuat di tangan kanan Ratu Wan Yurui. Namun wanita itu terlihat biasa saja. "Yang Mulia, anda sudah menyakitiku." Suaranya terdengar sangat lembut.
Mendengar itu Kaisar Ming Jing melepaskan genggaman tangannya. Dia meraih lembut tangan istrinya, "Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu." Meniup pelan bekas genggaman tangan yang sudah terlihat jelas di pergelangan tangan istrinya. "Maafkan aku." Suaranya bergetar. Dengan cepat dia meraih tubuh istrinya mendekapnya kuat. "Aku sangat mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. A Rui, aku sangat mencintaimu."
Wanita di dalam dekapan itu hanya tersenyum tipis dengan rasa sakit di dalam hatinya.
Di saat pelukan itu di lepaskan. Kaisar Ming Jing menatap dengan senyuman. "Meskipun aku harus menghancurkan Kekaisaranku. Mengorbankan ratusan ribu nyawa di dalamnya. Aku tidak akan membiarkan dia memasuki gerbang Ibu Kota. Tidak ada yang boleh menyentuhmu selain diriku." Melangkah pergi meninggalkan ruangan dingin yang di tempati istrinya.
Ratu Wan Yurui melangkah mendekat tepat di depan pintu masuk. "Ayun, katakan kepada semua pengawal bayangan untuk segara menyiapkan jalan."
"Baik."
Malam itu Ibu Kota Ning harus memasang peringatan siaga karena Dewa perang Yu Xiao telah mengepung di segala sisi. Pria bertubuh baja dari Kekaisaran Yun berhasil menduduki beberapa kota. Menekan kepemimpinan Kaisar Ming Jing tanpa menyisakan celah.
Di aula istana semua pejabat penting pemerintahan berkumpul mencari solusi agar perang bisa di hentikan.
"Yang Mulia, kita terima saja tawaran dari Panglima Yu Xiao. Melepaskan tawanan dengan suka rela."
"Benar. Dalam situasi seperti ini tidak ada lagi cara yang lebih baik."
Semua pejabat terlihat telah setuju dengan usulan beberapa pejabat tinggi tingkat satu. Namun Kaisar Ming Jing justru terlihat duduk santai tanpa keresahan. Dengan wajah malas dia berkata, "Pewaris satu-satunya Kekaisaran Yun ada di tanganku. Bagaimana bisa aku membiarkan mereka membawanya dengan mudah." Memainkan cincin permata hijau zamrud di jari manisnya. Pandangan matanya menatap kearah salah satu pejabat yang telah mengusulkan hal yang bertentangan dengan keinginannya. "Aku rasa lehermu sudah tidak di butuhkan lagi."
"Yang Mulia, hamba bersalah." Bersujud penuh ketakutan.
"Yang Mulia, anda harus tenang." Semua orang bersujud.
Satu kibasan tangan pelan membuat dua prajurit pengawal kekaisaran datang menyeret pejabat Huan.
"Yang Mulia, hamba bersalah. Hamba mohon ampun."
Belum sempat dua prajurit pengawal kekaisaran menyeret keluar Pejabat Huan. Langkah mereka di hentikan sosok wanita Mulia di hadapan mereka.
"Lepaskan," ujar Ratu Wan Yurui dingin.
Dua prajurit pengawal kekaisaran saling berpandangan sebelum melepaskan Pejabat Huan.
Dengan tubuh gemetar Pejabat Huan bersembunyi di belakang Ratu Wan Yurui yang telah menyelamatkan dirinya dari kematian.
Melihat kehadiran istrinya Kaisar Ming Jing bangkit dari tahtanya. "Tidak seharusnya kamu datang," suaranya menekan.
Gaun berwarna merah darah bertaburkan permata di setiap sisinya. Terlihat indah juga megah. Mahkota yang selalu tersimpan rapat di lemari khusus pada akhirnya keluar dari tempat penyimpanan. Dia melangkah masuk dengan tatapan mata tegas penuh wibawa membuat pria agung di hadapannya merasa tidak nyaman. "Jika aku tidak datang. Apa Yang Mulia akan memberikan pengampunan untuk mereka semua?"
Semua orang yang ada di aula utama masih bersujud tidak berani bangkit.
Kedua tangan Kaisar Ming Jing menggenggam kuat. "Sekalipun kamu datang. Aku tidak akan melepaskannya."
Langkah Ratu Wan Yurui terhenti. Dia menatap dingin kedua mata tajam di hadapannya. "Saya mengerti rasa sakit yang ada di hati Yang Mulia. Namun kebencian di hatimu tidak seharusnya di bayar dengan nyawa rakyat di negeri ini."
Kemarahan yang tersimpan di hati Kaisar Ming Jing keluar seperti kobaran api yang melahab habis dirinya. "Mereka yang lebih dulu membuatku hina di mata semua orang. Menculik istriku di hari pernikahan. Menghancurkan harga diriku juga kemuliaan yang aku bangun perlahan selama puluhan tahun. Mereka yang seharusnya di salahkan. Semua orang bisa menentang keputusanku. Tapi kamu, tidak bisa."
Kedua mata tegas itu hampir saja di lucuti dalam perasaan bersalah. "Tapi kamu pemimpin negeri ini. Satu keputusan yang kamu ambil akan menjadikan perubahan besar dalam pemerintahan. Bahkan akan membawa kehancuran."
"Aku tidak perduli. Mereka harus membayar semua penghinaan yang telah mereka lakukan. Prajurit, bawa Ratu kembali ke istana dingin. Jangan biarkan dia keluar selamanya." Teriakan kuat Kaisar Ming Jing di ikuti guratan urat di lehernya yang menyembul keluar.
Semua prajurit pengawal kekaisaran yang ada di luar dan dalam aula utama hanya diam. Tidak bersedia mengikuti perintah Kaisar Ming Jing.
"Kenapa? Kalian ingin memberontak?" Kaisar Ming Jing langsung menatap kearah Ratu Wan Yurui. "Kamu ingin memberontak?"
"Apa Yang Mulia lupa. Ayahku seorang panglima dengan ratusan ribu prajurit setia. Setelah kamu menetapkannya sebagai pemberontak dan memenggalnya. Kepemimpinan prajurit Qiang jatuh di tanganku. Putri satu-satunya yang harus tinggal lama di dalam kegelapan istana." Kedua mata indah itu seperti mengalami retakan yang sulit di satukan. "Kebencianmu datang karena aku. Sudah seharusnya aku yang mengakhirinya. Setelah aku menyerahkan Putra Mahkota Yun kepada Panglima Yu Xiao. Aku siap menerima hukuman yang seharusnya." Ratu Wan Yurui mengibaskan tangannya lembut.
Sreenggg...
Semua prajurit pengawal kekaisaran langsung mengeluarkan pedang dari sarungnya.
Para pejabat istana bangkit dari lantai. Meski ada kelegaan di hati mereka. Tetap saja mereka harus membaca situasi agar kedepannya hidup mereka tetap aman.
"Jaga Yang Mulia, juga semua pejabat istana." Ratu Wan Yurui membalikkan tubuhnya lalu melangkah keluar dari aula utama. Di ikuti suara teriakan dari berbagai arah. "Baik."
Dengan gaun merah berlapiskan jahitan emas membentuk burung phoenix yang siap terbang. Mahkota permata merah delima yang ia kenakan menghiasi kepalanya. Tertata rapi membuat kekaguman bagi siapa saja yang memandangnya. Wanita mulia pilihan takdir berdiri tegap memandang langit pagi dengan lapisan rintik salju. Angin bertiup lembut dari timur menyapa wajah cantik penuh karisma.
Seratus ribu prajurit yang ada di bawah kendalinya telah siap mengikuti setiap perintah. Tepat di belakangnya pelayan wanita yang sudah mengabdi dengannya selama dua puluh tahun.
Dari depan seorang pria paruh baya datang membawa pedang di genggaman tangannya. "Yang Mulia, Putra Mahkota telah aman."
"Segara siapkan pasukan."
"Baik."
Sebelum melangkah pergi meninggalkan halaman istana utama. Ratu Wan Yurui sedikit membalikkan tubuhnya menatap ratusan anak tangga yang langsung menuju aula utama. Di barisan akhir anak tangga Kaisar Ming Jing berdiri tegap menatap dingin. Pria yang telah memimpin Kekaisaran selama sepuluh tahun terakhir itu hanya bisa terdiam melihat penghianatan dari istrinya.
Ratu Wan Yurui melangkah pergi di ikuti seratus ribu pasukan yang ada di bawah kendalinya. Mereka langsung mengarah kejalur utama Ibu Kota. Menuju gerbang tertinggi yang menutupi jantung Kekaisaran Jing. Di atas tembok setinggi tiga puluh meter Ratu Wan Yurui menatap ratusan ribu pasukan yang di pimpin Panglima perang Yu Xiao.
Lautan manusia di hamparan tanah berjarak seratus kilometer. Membentang jauh dengan tombak dan pedang di tangan mereka. Semua mata menajam siap membunuh siapa saja yang datang memprovokasi. Di barisan terdepan pria dengan zirah menatap tenang. Dia duduk di atas kuda putih pemberian orangtuanya saat masih berusia sepuluh tahun. Namun tatapannya berubah di saat melihat wanita yang pernah hidup bersamanya selama dua tahun.
Ratu Wan Yurui sedikit melirik kearah Jenderal perangnya.
"Baik." Pria itu langsung mengangguk mengerti. "Panglima Yu, kami bisa melepaskan Putra Mahkota Yun asalkan anda berjanji beberapa hal kepada kami." Teriakan kuatnya terdengar menggema. Karena mekanisme yang telah di pasang pada bagian tertentu di atas tembok tinggi dan bagian bawah tembok. Suara yang seharusnya tidak terdengar dari jarah jauh dan dari ketinggian. Bisa memungkinkan tersampaikan.
Di barisan garda depan seorang Jenderal tingkat dua mendekat. "Panglima, lebih baik langsung menyerang saja. Tidak perlu lagi berbicara omong kosong kepada mereka."
Panglima Yu Xiao melirik tajam kearah Jenderal itu. Dengan nada dingin dia berkata, "Lakukan kesepakatan."
"Baik," jawab Jenderal Ling menundukkan kepalanya. Setelah siap dia menatap kearah bagian atas tembok. "Jika penawaran yang kalian berikan sesuai. Kami akan siap menyetujuinya."
"Perjanjian perdamaian tertulis tanpa penyerangan."
Jenderal Ling menatap Panglimanya. Satu anggukan membuatnya paham. "Baik, kami menyetujuinya."
Satu prajurit langsung turun dengan tali yang telah di sediakan membawa gulungan surat resmi. Setelah sampai di bawah dia berlari kuat menghampiri Panglima perang Yu Xiao. Memberikan surat resmi sebagai tanda persetujuan.
Pria di atas kuda putihnya itu melihat isi di dalam gulungan surat resmi. Setelah beberapa detik dia menggambil belati di pinggangnya.
Sreeettt...
Belati menyayat telapak tangan kirinya. Darah segar mengalir dan di biarkan menetes pada ujung surat resmi. Satu tanda dari jempolnya membuat persetujuan tertulis yang telah di sahkan.
Prajurit itu berlari kembali membawa surat di tangannya. Dia memanjat kembali memberikan surat kepada Jenderal perang. Setelah melihat isi di dalam surat Jenderal perang memberikannya kepada bawahannya. "Segera kirim surat ini kepada Perdana menteri pertahanan."
"Baik."
Prajurit itu segera pergi melaksanakan tugas yang di berikan.
"Yang Mulia, kita sudah tidak bisa menahan pasukan Yang Mulia Kaisar terlalu lama."
"Buka gerbang utama. Biarkan Putra Mahkota Yun kembali," ujar Ratu Wan Yurui memberikan perintah.
"Baik." Jenderal perang segera pergi melaksanakan perintah.
Sekitar setengah jam gerbang Ibu Kota di buka hanya untuk memberikan jalan kepada Putra Mahkota Yun. Pemuda usia tujuh belas tahun dengan tubuh lemah penuh luka itu berjalan tertatih keluar dari gerbang Ibu Kota.
Panglima perang Yu Xiao memacu kudanya mendekat. Tepat di hadapan Putra Mahkota dia langsung menarik tubuh lemah itu agar bisa naik tepat di belakangnya.
"Ciahhh...." Kuda melaju pergi menjauh dari gerbang Ibu Kota. "Mundur." Semua pasukan segera mundur setelah mendapatkan perintah.
Dari atas tembok tinggi Ratu Wan Yurui menatap dengan senyuman indah di wajahnya.
"Yang Mulia, semua sudah berakhir," ujar Jenderal perang setelah menyelesaikan misinya.
Sedangkan di istana utama, Jenderal tertinggi Qing telah berhasil menyelamatkan Kaisar Ming Jing dari kepungan para pemberontak. "Menuju ketembok Ibu Kota." Berlari sekuat tenaga menuruni tangga di ikuti semua pasukan.
"Baik."
Wanita dengan gaun kemegahannya berdiri tegap di atas tembok pembatas. Dia menatap tenang menuju kearah para pasukan yang telah pergi menjauh. Wajah cantiknya tersapu angin yang membawa butiran salju. Di tangannya petasan isyarat di genggam kuat.
Setelah cukup jauh Panglima perang Yu Xiao mengalihkan pandangannya kebelakang. Saat dia sadar jika wanita dengan jubah indahnya berdiri tanpa rasa takut di ujung pembatas tembok. Dia menghentikan laju kudanya, "Yuuhhhh..." Jenderal Ling juga ikut berhenti.
"Bawa Putra Mahkota bersamamu," ujar Panglima perang Yu Xiao yang telah menyadari keanehan.
"Baik." Jenderal Ling segara mengambil alih penjagaan kepada Putra Mahkota.
Ciuuuu...
Dorrrrrr...
Petasan di tangan Ratu Wan Yurui di lepaskan. Ledakan di langit bahkan terdengar di seluruh Ibu Kota.
Ciuuu...
Dorrrr...
Ratusan petasan meledak dari setiap sudut Ibu Kota. Memberikan isyarat jika semua prajurit di bawah kendalinya telah mendengar perintah terakhir dari dirinya.
"Apa yang dia katakan?" Ujar Panglima perang Yu Xiao melihat kearah Ratu Wan Yurui.
Jenderal Ling menatap tenang mengikuti gerakkan bibir wanita di atas tembok tinggi itu. "Yu Xiao, jika ada kehidupan setelah kematian. Dan kita di pertemukan sebelum aku menikah. Aku pasti akan berlari kearahmu sekalipun kamu tidak mencintaiku." Ratu Wan Yurui menatap langit dengan tatapan mata berkaca-kaca. "Ming Jing, jika kematianku bisa membuatmu tenang. Tidak akan ada penyesalan yang tertinggal di hatiku." Jenderal Ling menghentikan kata-katanya.
Tangan panglima perang Yu Xiao bergetar. Saat dia ingin memacu kudanya pergi. Dia di tahan, "Tunggu." Teriak Jenderal Ling. "Aku sangat ingin beristirahat di padang sabana luas yang ada di perbatasan negara bagian. Lautan bunga terlihat sangat indah. Duduk santai menikmati harumnya udara luar bersama seseorang yang telah mengikatkan tali simpul mati di pergelangan tangan ini."
Mendengar itu nafas Panglima perang Yu Xiao semakin menekan kuat. "Ciahhhh..." Kuda di pacu sangat kuat.
Ledakan petasan terakhir terdengar.
Semua pedang yang ada di tangan pasukan Qiang di letakkan di leher mereka.
Ssreettttt...
Satu sayatan mematikan langsung di tarik penuh kekuatan. Darah menyembur kesegala arah mengalir seperti aliran sungai kecil di setiap tempat yang ada di Ibu Kota. Menandakan tugas mereka telah berakhir sebagai prajurit yang harus memberikan kedamaian negara. Kematian sebagai hukuman atas pemberontakan yang mereka lakukan.
Senyuman terakhir dari Sang Ratu terlihat sangat indah. Dia memejamkan kedua matanya lalu terjun bebas dari atas tembok tinggi Ibu Kota.
"Tidakkk..." Kaisar Ming Jing berlari sekuat tenaga berusaha meraih tubuh di hadapannya. Namun tangannya tidak pernah sampai.
Deeeemmmm...
Tubuh itu jatuh menghantam tanah yang telah terbalut salju. Darah mengalir tanpa henti di setiap bagian tubuhnya.
Panglima perang Yu Xiao melompat dari kudanya berlari mendekati wanita yang selalu ia rindukan selama sepuluh tahun terakhir. Langkahnya semakin pelan bahkan terjatuh berulang kali. Dengan semua tenaga yang tersisa dia meraih tubuh wanitanya. "A Rui," suaranya bergetar. Bahkan hampir tidak terdengar. "A Rui." Berusaha menggoyangkan tubuh tanpa nafas di dalam dekapannya. "Aaaaaaaa..." Teriakan rasa sakit menggema. "Tidak seharusnya aku membiarkanmu kembali. Aku salah, aku mohon kembalilah." Ribuan panah seperti menusuk tubuhnya tanpa henti. "Aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri di dunia ini. Aku salah, aku mohon kembalilah."
"Lepaskan dia..." Kaisar Ming Jing berteriak kuat. "Tidak ada yang boleh menyentuhnya. Bunuh dia, bunuh dia." Kesadarannya hampir hilang karena melihat istri yang ia cintai telah pergi untuk selamanya. Dia benar-benar hampir gila.
"Yang Mulia." Pelayan wanita yang selalu setia kepada Ratu Wan Yurui berlutut dengan surat di tangannya. "Surat terakhir Yang Mulia Ratu."
Dengan tertatih Kaisar Ming Jing mengambil surat itu. Dia membaca isi di dalamnya. "Aaaaaaaa..." Teriakan dan tangisan tidak bisa di tahan. Dia terjatuh bersimpuh penuh penyesalan. "Aaaa..." Kedua tangan halus itu di pukulkan ketubuhnya tanpa henti. "Aku bodoh. Aku sangat bodoh. A Rui... Maafkan aku."
Pelayan wanita menatap kearah langit. "Yang Mulia Ratu pesan anda telah tersampaikan. Sekarang waktunya hamba ikut dalam perjalanan." Racun yang telah ia simpan di bawah lidahnya langsung di telan.
Buurr...
Darah menyembur dari mulutnya selang beberapa detik saja nafasnya terhenti.
Panglima perang Yu Xiao mengangkat tubuh di dalam dekapannya. Tubuh mungil Wan Yurui terasa seperti batu ratusan kilogram. Bahkan tubuhnya hampir tidak mampu menahannya. Setiap langkah seperti menginjak jutaan duri yang telah tertanam untuk ia lalui. Air mata mengalir tanpa henti. Hati yang telah membeku untuk satu nama. Kini harus terkubur dalam satu jiwa bersama orang yang ia cintai.
Setelah kematian Ratu Wan Yurui Kaisar Ming Jing membuat menara tertinggi untuk mengenang mendiang istrinya. Di ruangan tertinggi di dalam menara tersimpan dua papan nama. Untuk Ratu Wan Yurui dan putranya dengan sang Ratu yang telah pergi lebih dulu sebelum di lahirkan.
Sedangkan ratusan ribu kilometer jauhnya. Di salah satu gua yang ada di padang sabana penuh dengan milyaran bunga. Tersimpan dua jiwa yang telah abadi dalam kematian.
"Ayahanda." Putra Mahkota Yun duduk dengan mendekap kedua kakinya. Saat Ayahandanya datang dia menatap dengan linangan air mata.
Kaisar Yun ikut duduk di samping putranya. "Pamanmu telah memilih jalannya sendiri."
"Mereka saling mencintai. Tapi hanya bisa bersama dalam kematian," ujar Putra Mahkota menatap penuh kesedihan.
Kaisar Yun menatap kearah mulut gua yang telah di segel rapat dari luar. "Kaisar terdahulu memang sangat kejam. Beliau menculik istri Pangeran keempat Kekaisaran Jing yang saat ini telah menjadi Kaisar untuk membuat propaganda. Wanita berparas cantik itu di berikan kepada Panglima Yu Xiao sebagai hadiah kemenangannya. Mereka hidup bersama selama dua tahun tapi tidak pernah sekalipun pamanmu menyentuhnya. Dia menghormatinya, mencintainya juga berharap orang yang ia cintai bisa hidup dengan ketenangan. Mereka hidup layaknya suami istri saling menghormati. Namun mereka juga tidak pernah saling memahami. Pamanmu tidak ingin terlalu mengikatnya dalam dilema. Karena pamanmu tahu wanita yang ia cintai bukan seutuhnya miliknya. Hingga Pangeran keempat berhasil merebut tahta dan berhasil merebut kembali yang seharusnya menjadi miliknya."
Mendengar kisah cinta penuh luka membuat Putra Mahkota tidak bisa menghentikan air matanya.
"Tapi saat ini mereka telah di satukan dalam keabadian. Mungkin ini akhir terbaik untuk mereka berdua," ujar Kaisar Yun sembari mengelus lembut kepala putranya.
"Raja kecil," suara terdengar menggema di telinga pria muda yang masih tertidur lelap namun penuh keringat di keningnya. "Raja kecil."
"Huh..." Pria muda itu terhentak kaget. Nafasnya memburu dengan wajah yang terlihat sangat pucat.
"Anda mimpi buruk lagi?"
Dia mencoba mengatur nafasnya dan menekan dadanya yang terasa sakit. "Sejak kecil aku memimpikan hal yang sama berulang kali. Wanita dengan gaun merah melompat di atas tembok tinggi. Namun anehnya aku tidak bisa melihat wajahnya." Keringat berjatuhan.
"Saya akan meminta pelayan menambahkan beberapa rempah penenang untuk anda," ujar Jenderal Ling.
"Tidak perlu. Kenapa kamu datang?" Raja Yu membenarkan brokat hitam tanpa terikat dan hanya di gunakan sebagai selimut di tubuhnya.
"Buronan utama sudah memasuki wilayah kekaisaran Jing. Seperti yang anda katakan. Sebelum dia memasuki wilayah Kekaisaran Jing. Pria itu menghubungi sekelompok orang secara rahasia dan kembali melanjutkan perjalanan menuju selatan." Mengeluarkan surat yang ada di balik ikatan pinggangnya. "Mata-mata juga sudah mengkonfirmasi setiap tempat yang dia datangi. Jika anda ingin menuntaskannya dalam waktu dekat. Saya akan segera berangkat menyelesaikan tugas." Jenderal Ling menjelaskan secara mendetail.
Raja Yu bangkit dari tempat duduknya. "Tetap pantau. Setelah kita melepaskan umpan. Tentu harus menunggu hingga ikan masuk kedalam perangkap." Dia berjalan menuju kearah jendela yang langsung terhubung dengan taman samping kediaman. "Segera siapkan pasukan. Kita akan berangkat besok pagi," ujarnya tegas.
"Baik." Jenderal Ling segara pergi melaksanakan tugasnya.
Sedangkan Raja Yu yang merupakan Panglima perang tertinggi di Kekaisaran Yun masih terdiam menatap kegelapan malam. Dia hanya ingin melihat dengan jelas wanita yang selalu menghantui dirinya sejak kecil. Namun saat dia ingin melihat jelas wajah itu. Ia terbangun dengan rasa sakit di dadanya. Bahkan air mata terkadang menetes tanpa henti. 'Dia siapa?'
Kilasan waktu seperti mimpi panjang yang tajam. Menyisakan ingatan utuh untuk gadis muda yang ada di belahan dunia lain. Di atas pohon persik dengan buah yang telah matang sempurna. Gadis muda bergaun merah darah merebahkan tubuhnya pada salah satu dahan. Tangan kirinya di gunakan sebagai bantalan. Sedangkan tangan kanan ia gunakan mengambil satu buah persik. Rumbaian gaunnya seakan jatuh melampai mengikuti arah angin bertiup.
Kereeesss...
Satu gigitan kecil menyisakan bekas pada buah persik.
Sesekali senyuman manis terlukis di wajahnya. "Kali ini, kamu tidak akan bisa menghindariku."
Takkkk....
Hantaman benda kecil yang langsung menuju kearahnya berhasil di hindari. Krikil kecil menghantam salah satu ranting yang ada di dekatnya. "Ayah berbuat curang. Bagaimana bisa menyerang putrimu sendiri saat tidak siap."
"Bocah tengik, kamu bahkan berani mengosongkan uang penyimpanan di kediaman ini. Masih saja mempermasalahkan kecurangan," ujar Panglima Wan Ding.
Dengan sikap santainya Wan Yurui berkata, "Ayah, kediaman ini tidak kekurangan uang. Aku hanya mengambil sedikit agar bisa meringankan beban para pengungsi."
"Kamu bilang sedikit! Ayah bahkan hampir tidak mampu membeli kue kering untuk camilan." Wajah Panglima Wan Ding memerah. "Selama satu bulan penuh kamu menggadaikan tiga surat tanah. Menjual semua hadiah pemberian Kaisar dan bahkan memberikan semua uang simpananku kepada orang luar. Tidak menyisakan untuk ayahmu sendiri. Turun..."
Wan Yurui tersenyum penuh ejekan.
"Aaaaa..." Panglima Wan Ding berteriak kesakitan. Saat telinga kanannya di jewer tangan lembut istrinya. Dia menatap dengan senyuman bodoh kearah istrinya. "Istriku." Suaranya melemah.
"Keluargaku memberikan mahar tidak ada habisnya meskipun di gunakan menghidupi seluruh orang di negeri ini selama beberapa generasi. Karena uang yang tidak seberapa itu kamu bahkan membentak putriku. Wan Ding, kamu sungguh berani." Nyonya Wan semakin menguatkan jewerannya.
"Istriku, aku berbicara dengan sangat lembut. Yang kamu dengar itu bukan teriakanku. Tapi dia!" Panglima Wan Ding menunjuk kearah burung Beo yang ada di pagar kecil di penuhi tanaman merambat.
Nyonya Wan menatap kearah putrinya. "Apa yang di katakan Ayahmu benar?"
Wan Yurui mengangguk yakin. "Ibu, memang dia yang berteriak kepadaku bukan Ayah." Menahan tawanya.
"Jika bukan karena kamu yang mengajarinya. Bagaimana mungkin seekor burung bisa berbicara kasar kepada putriku," Nyonya Wan menarik paksa suaminya pergi dari kediaman pribadi putrinya. "Kamu harus mempertanggungjawabkan kelalaianmu."
"Istriku, setelah ini aku pasti akan mengajari burung itu berbicara lemah lembut. Seperti suara indahmu saat memberikan nasehat kepadaku," ujar Panglima Wan Ding.
"Aku tidak mengatakannya."
"Aku tidak mengatakannya."
Burung Beo itu terus mengulangi kata-katanya.
Mendengar pembelaan burung Beo kesayangannya Wan Yurui tertawa lepas. "Menyelamatkan Ayahku lebih penting. Kamu harus memakluminya," ujarnya kepada Burung Beo itu.
"Kalian Jahat."
"Kalian Jahat."
Burung Beo terbang pergi kesegala arah.
Setelah kedua orangtuanya pergi Wan Yurui turun dari atas pohon. Dia berjalan santai menuju kearah paviliun cukup besar yang ada di atas danau buatan.
Dari arah lain pelayan setianya datang membawa beberapa kue kesukaannya. "Nona muda, dia sudah tiba."
"Biarkan dia masuk," ujar Wan Yurui sembari memakan kue kesukaannya.
"Baik." Pelayan Ayun pergi menjemput seorang pria muda yang telah menanti di pintu belakang.
"Nona sudah memanggil." Pelayan Ayun memberikan jalan.
Mereka berjalan menyusuri kediaman megah yang ada di Kota Lu. Sesampainya di paviliun dia melihat gadis muda dengan wajah cerah dan penuh ketegasan.
Wan Yurui bangkit dari tempat duduknya. Dia menatap tenang kepada pemuda yang telah ia kenal di kehidupan sebelumnya. "Apa kamu bersedia menjadi pengawal pribadiku?"
Pria muda itu cukup terkejut. Dia tentu tidak pernah menyangka jika Nona muda di kediaman panglima perang akan merekrutnya menjadi pengawal pribadinya. "Apa Nona bercanda? Saya bahkan tidak pernah berlatih menjadi prajurit perang. Hanya pelatih kecil di salah satu tempat bela diri."
"Jika kamu bersedia. Aku akan menempatkan kamu menjadi prajurit garda depan. Namun semua itu juga membutuhkan usaha yang harus kamu lakukan sendiri. Bisa bertahan atau tidak semua tergantung seberapa kuat tekatmu," ujar Wan Yurui memberikan kesempatan yang sulit di dapat orang lain.
"Baik. Saya bersedia," saut Pria muda itu penuh semangat. Beberapa waktu terakhir dia sudah binggung mencari uang tambahan untuk pengobatan Ibunya. Dan kini dia mendapatkan kesempatan untuk membeli kebutuhan Ibunya yang sedang sakit keras. Tentu dia tidak akan menolaknya.
"Namamu Qin Feng?"
"Benar."
"Mulai besok kamu bisa masuk kedalam barak militer dan melakukan pelatihan mandiri. Setelah pengujian kelayakan aku akan mengujimu sendiri," kata Wan Yurui melangkah mendekat menepuk pundak pria muda itu.
"Baik."
Setelah hari itu Qin Feng berlatih tanpa henti bahkan menunjukkan kekuatan dalam dirinya. Banyak dari prajurit yang selalu menantang dirinya dan semua prajurit itu harus mengakui kekalahan mereka.
Di lapangan militer Wan Yurui menatap diam kearah Qin Feng.
Seorang perwira mendatanginya. "Nona muda, di barak ini banyak orang yang lebih mampu dari dirinya. Tapi kenapa anda malah memilih seseorang yang belum matang untuk menjadi pengawal pribadi?"
"Suatu saat nanti kamu pasti akan mengerti mengapa aku memilihnya," saut Wan Yurui menatap penuh penantian.
"Aku sangat menantikannya."
Meskipun usia Wan Yurui saat itu baru lima belas tahun. Namun dia cukup di hormati saat berada di barak militer ayahnya. Bukan karena statusnya sebagai putri panglima perang. Tapi kemampuannya yang telah membuat banyak orang kagum dan yakin jika dirinya mampu menduduki posisi kuat di kemiliteran jika dirinya seorang pria. Sayangnya seorang gadis tidak akan memiliki kesempatan untuk itu. Peraturan pemerintah masih saja menyudutkan perempuan dari berbagai sisi. Dan masih banyak masyarakat yang memberikan anggapan jika seorang perempuan hanya bisa duduk di kediaman sebagai istri, menantu dan ibu yang baik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!