NovelToon NovelToon

Rahasia Jiwa Puber Kedua

Damar

Damar bersyukur mendiang ayahnya telah menikmati hidupnya secara penuh. Seminggu sebelum ayahnya itu wafat, Sang Rakyan menatapnya dalam dari atas tempat tidur, dimana ia telah terbaring sebulan penuh karena sakit yang ia derita. Saat itu, dikelilingi orang-orang tercinta, menggenggam tangannya, Sang berkata, “Damar, tidak perlu bersedih terlalu lama setelah Papa tidak ada lagi. Papa sudah puas dengan kehidupan ini. Papa punya anak-anak dan cucu-cucu yang hebat. Papa juga sudah dapat cinta yang tak putus selama Papa hidup.”

Suara Sang masih sangat jelas, meski mungkin tidak dapat diucapkan dengan lantang seperti waktu ia masih muda dahulu.

Ibu Damar, istri Sang, Florentina Sumardi, duduk di atas kursi roda di samping tempat tidur. Rambutnya telah seutuhnya putih, tetapi masih diperlakukan sama dari dulu, dikuncir kuda. Ia seusia suaminya. Mereka berdua telah berpacaran sejak masih di bangku Sekolah Menengah Atas. Tangannya yang kurus juga menggenggam satu tangan Sang lainnya.

Sang memindahkan tatapannya dari Damar ke sang istri dengan susah payah. “Terimakasih sudah menemaniku selama lebih dari 60 tahun, Flo,” ujarnya, masih dengan suara yang jelas, meski volumenya sudah berkurang drastis.

Sang istri mengangguk pelan. Tidak ada air mata yang membayang di matanya. “Kalau kamu mau pergi, pergilah dulu. Kami sudah ikhlas. Kita akan segera bertemu lagi.”

Damar sudah berumur 60 tahun. Ia sudah bahkan sudah memiliki dua orang cucu dari anak-anaknya. Ia pun sudah merasa bahwa kehidupannya sempurna. Itu semua karena sang Ayah adalah contoh terbaik, role model kehidupannya, khususnya kehidupan pernikahannya. Damar tak pernah melihat pertengkaran hebat antara Sang dan Florentina selama hidup mereka. Sang adalah seorang ayah pekerja keras dan penuh perhatian. Ia tak pernah melewatkan masa-masa penting anak-anaknya. Bukan hanya ulang tahun Damar dan kedua adiknya, tetapi juga mengenai pendidikan, ketika mereka bertiga beranjak dewasa, sampai kemudian ketiganya menghadapi berbagai tantangan di dalam hidup. Sang selalu hadir buat mereka.

Damar juga meniru bagaimana Sang memperlakukan ibu mereka. Sedari kecil Damar mengenal Florentina sebagai seorang ibu yang pendiam. Florentina adalah seorang introver yang enggan sekali berhubungan dengan dunia luar. Ayahnya paham dengan sifat istrinya. Namun begitu Sang berhasil membimbing istrinya, memberikan pengertian tanpa memaksa, serta melayani sang istri dengan semestinya. Sang tahu cara menghargai Florentina. Damar dan kedua adiknya paham itu.

Ketika adik perempuannya, Gendhis, menikah, Sang menangis tersedu-sedu. Anak perempuan keduanya itu mirip sekali dengan ibu mereka. tidak hanya wajah dan perawakannya, Florentina dan Gendhis sama-sama introver, pendiam, dan kadang dingin. Sang sungguh bahagia anak perempuannya itu menikah, tetapi di sisi lain, Damar tahu bahwa hatinya terkoyak. Selain istrinya, Gendhis adalah perempuan kedua di dalam hidup ayahnya yang ia cintai. Apalagi Gendhis sangat menyerupai Florentina.

Dari sini, Damar tahu bagaimana Sang menghormati dan mencintai perempuan dengan seluruh jiwanya.

Damar ingin sekali menolak fakta bahwa ayahnya adalah seorang sosok ayah yang sempurna, terlalu sempurna bahkan. Selama hidupnya, ia selalu bertanya-tanya, adakah kelemahan atau keburukan dari seorang laki-laki bernama Sang Rakyan itu? nyatanya, sampai umurnya genap 60 tahun, sampai sang ayah wafat, bahkan sampai ibunya menyusul 2 tahun kemudian, Sang Rakyan adalah sungguh laki-laki tangguh, baik dan hangat yang hampir tiada cela.

Damar merasa mendapatkan beban yang begitu besar mengetahui bahwa laki-laki semacam itu sungguh ada di dunia. Bagaimana ia dapat mengemban tugas menjadi laki-laki paripurna bagai sang ayah?

Itu sebabnya ia, Gendhis dan Florentina, ibu mereka, tidak menangis secara berlebihan di waktu kematian Sang. Mereka merasa begitu diberkati karena memiliki hidup indah seperti ini. Hidup yang diusahakan mati-matian oleh sang ayah, jiwa dan raga. Jati, adik bungsu mereka pun, yang paling mewarisi kegigihan dan kerja keras Sang, berusaha mati-matian agar tidak merasa kehilangan. Ia yang paling dekat dengan Sang. Walau sekarang telah berusia 51 tahun, telah pula menyumbangkan banyak cicit bagi ayah mereka, Jati tidak pernah absen menemani sang ayah berbagi hobi yang sama, membuat model atau maket. Walau tangan Sang sudah tak stabil, setidaknya satu bulan sekali, ia menghabiskan waktu untuk melihat Jati menuntaskan setiap ‘proyek’ mereka. Keduanya suka sekali membuat maket meniru beragam bentuk bangunan dari kertas atau kayu. Bangunan-bangunan tersebut biasanya merupakan proyek bisnis keduanya, rancangan cabang perusahaan atau kantor, atau sekadar interpretasi khayali yang sama-sama mereka amini.

Wafatnya Sang tidak meninggalkan lubang yang besar di hati istri dan anak-anaknya, melainkan justru memberikan sebuah beban yang luar biasa berat, yaitu menjadi sosok yang sempurna bagai sang ayah.

Damar, juga telah mencapai usia senja. Telah banyak hal yang ia capai dan sudah banyak kebanggaan yang ia persembahkan pada ayahnya. Gendhis, menjadi perempuan tangguh di usia tuanya, berhasil membuat mendiang ayahnya tidak khawatir lagi. Jati, di usianya yang telah separuh abad, berhasil menuntaskan didikan langsung sang ayah dalam bidang bisnis dan personal skill-nya.

Berkat hidup sempurna yang diberikan mendiang sang ayah, ketika ibu mereka wafat kemudian pun, ketiganya telah rela dan bersiap.

“Aku malah bahagia Mama kini bersama lagi dengan Papa di surga,” ucap Gendhis.

Damar dan Jati mengamini.

“Dua tahun Mama malah menunjukkan keceriaan. Seakan-akan Mama bersiap-siap untuk bertemu Papa lagi. Aku membayangkan mereka kembali menjadi muda, seperti foto pernikahan mereka. Mama yang tidak pernah lepas menguncir rambutnya itu, dan Papa yang masih muda dan ganteng berjalan bergandengan tangan. Sama seperti sewaktu kita masih kecil,” tambah Jati.

Damar tersenyum lebar. “Kita harus menjaga warisan mereka, menjadi anak-anak sekaligus orang tua dan kakek nenek yang baik, yang melakukan yang terbaik bagi keluarga.”

Damar merangkul bahu kedua adiknya. Ketiganya akhirnya menangis sembari tertawa, merasakan emosi penuh memenuhi relung-relung dada mereka.

Tiga bulan kemudian, tanpa disangka, perasaan yang sudah dikuras, terpaksa kembali tertumpah. Gendhis tanpa sengaja menemukan ribuan fail word di laptop Sang, mendiang ayahnya. Semua fail itu berisi semacam tulisan atau surat dari sang ayah untuk ibu mereka.

“Mengapa bahkan setelah wafat pun, Papa masih meninggalkan kesan yang terlalu kuat bagi kita? Coba Mas Damar lihat, kamu juga baca sendiri, Jati. Papa selama hidupnya telah menulis curahan hati di laptopnya buat Mama. Aku tidak pernah mendengar Mama menceritakan ini. Kemungkinan Papa memang tidak memberikannya kepada Mama,” ujar Gendhis sembari menangis.

Berhari-hari, Damar, Gendhis dan Jati membaca secara acak setiap fail ayah mereka tersebut. Tulisan-tulisannya ditujukan buat, “Sayangku Flo.” Berisi tentang beragam curahan hati, termasuk keresahan, rasa rindu, pujian serta rayuan sang ayah.

Damar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku juga tidak tahu bahwa cinta Papa terhadap Mama sebesar ini.”

“Kita sama-sama tahu kalau Papa memberikan porsi perhatian dan cintanya kepada Mama dengan cara yang cukup, pas. Tidak terlalu berlebihan, dan juga tidak kekurangan. Tapi, kalian harus mengakui, kita sekali lagi dibuat terkejut atas betapa romantisnya Papa. Papa memang seorang penulis, kan. Pekerjaannya di dunia jurnalisme dan media itu sudah membawa Papa sampai mendapatkan berbagai penghargaan. Tetapi, menulis romantis dan penuh perasaan semacam ini?” Jati menggelengkan kepalanya, sama seperti Damar, “ … tidak pernah aku tahu.”

Gendhis menyeka air mata yang mengalir di pipinya yang sudah dihiasi keriput masa tua itu. “Ah, mengapa Mama tidak sempat membaca semua ini? Aku yakin Papa sadar, Mama yang pendiam dan introver itu mungkin tidak suka dengan hal beginian, makanya Papa terus menulis tanpa perlu mengutarakannya kepada Mama.”

Damar mendekat, memeluk adik perempuannya itu. Tubuh renta keduanya masih memberikan hangat persaudaraan dan darah yang sama seperti sewaktu mereka kecil dahulu. “Sudah, tak perlu khawatir dan sedih lagi. Di surga, Papa yang langsung memberikan fail-fail ini kepada Mama.”

Waktu pun berlalu setelah masa itu tanpa siapapun sadari bahwa curahan hati, pujian dan rayuan yang diketik sang ayah selama hidupnya itu sesungguhnya bukan ditujukan Sang bagi Florentina.

Gendhis

Gendhis menghargai kedatangan semua tamu pada upacara pemakaman ayahnya. Sang adalah seorang penganut agama Katolik yang taat, meskipun ayahnya itu selalu mengatakan bahwa ia bukanlah orang Katolik yang baik.

“Jangan tiru Papa, Ndis. Besok kalau kamu sudah dewasa dan berkeluarga, harus lebih sering ke gereja, memohon kepada Tuhan untuk ampunan atas dosa-dosa kita. Berikan contoh yang baik buat keluargamu,” ujar Sang sewaktu Gendhis masih remaja.

“Papa rajin ke gereja, kok,” jawab Gendhis pendek.

Sang tersenyum tipis, kemudian membelai rambut anak perempuannya itu pelan. “Nggak cukup, Ndis. Karena dosa Papa banyak, tiap Minggu ke gereja nggak bakal bisa menghapus semua dosa-dosa Papa.”

Gendhis tidak pernah bisa menerima penjelasan sang ayah. Namun, di kemudian hari, ia sungguh menjadi seorang umat Katolik yang taat, seperti permintaan Sang.

Karena menjadi sosok yang dihormati, tidak heran, tamu yang hadir untuk memberikan penghormatan terakhir mereka kepada Sang datang menumpuk. Bahkan pada requiem, atau misa untuk orang yang telah wafat, orang-orang beragam latar belakang agama berada di dalam gereja ataupun menunggu di luar. Mereka berniat hadir menghantarkan dan mengantarkan Sang menuju ke kehidupan berikutnya.

Gendhis melihat banyak orang yang ia kenal cukup baik. Ada Adijaya Sulaiman, yang juga panjang umur, meski usianya memang berada beberapa tahun lebih muda dibanding ayahnya, duduk di kursi roda di bagian paling belakang dalam gereja. Dulu ia adalah mantan rekan kerja Sang, seorang Editor in Chief kantor media dimana mereka bekerja bersama selama bertahun-tahun.

Ada pula Ernawati Juang bersama anak dan cucu-cucunya. Ia dahulu juga rekan kerja sang ayah, seorang SEO (Search Engine Optimization) specialist, yang sempat bertugas lama di Singapura untuk kemudian kembali ke Indonesia beberapa tahun sebelum masa pensiunnya.

Gendhis hampir-hampir hapal semua rekan kerja ayahnya. Sang selalu terbuka dan informatif dalam hal ini. Sang memiliki social skill yang tinggi dimana memang diperlukan di dalam profesinya tersebut. Itu sebabnya, Gendhis berserta saudara-saudaranya juga sedikit banyak dilibatkan dalam sisi hidup ayahnya yang satu itu.

Sebenarnya, masih banyak teman dekat atau kenalan ayahnya yang Gendhis tahu. Namun, banyak dari mereka juga sudah terlebih dahulu dipanggil oleh Tuhan walaupun kerabat mereka, baik istri, suami, atau anak-anaknya, hadir di dalam upacara kematian tersebut.

Gendhis memindai seluruh ruangan dan mendapati satu sosok lagi yang ia kenal dengan baik. Orang itu juga salah satu rekan ayahnya yang masih diberkati dengan kesehatan sehingga masih dapat menikmati kehidupan. Ie Ie Sia Sia, begitu ia biasa memanggilnya.

Wanita Tionghoa 70-an tahun itu adalah seorang Buddhis. Cukup taat, tetapi sama seperti Sang, Sia Sia menolak untuk digambarkan demikian.

“Gendhis, kita semua terikat dengan karma. Ie Ie punya terlalu banyak beban di hidup Ie Ie yang ini. Ie Ie tidak punya waktu untuk memperbaiki hidup supaya karma Ie Ie baik untuk kehidupan selanjutnya. Jadi, yang kamu lihat sekarang bukan karena Ie Ie orangnya taat. Ie Ie Cuma ingin merasa damai, paling tidak untuk kehidupan yang ini,” ujarnya suatu kala.

Gendhis ingat betul pada suatu masa. Ia berada di kantor ayahnya, DisPLAY Media. Gendhis sudah remaja saat itu, kelas 10, alias 1 SMA. Ia mengadu kepada ayahnya mengenai masalah di sekolah. Perundungan, seperti layaknya masalah awam yang dihadapi remaja. Sebagai anak perempuan satu-satunya, dan termasuk yang paling disayang, Gendhis dijemput sang ayah dan dibawa serta ke kantor.

Gendhis menceritakan semua masalah dan keluh kesahnya kepada Sang. Kelegaannya sang anak perempuan disempurnakan ketika ia bertemu Sia Sia secara tak sengaja.

“Ie Ie dengar sedikit dari Papa kamu soal bullying di sekolah. Jangan khawatir, Ie Ie kan juga perempuan, jadi pasti tahu masalah kamu. Pasti ada kelompok anak perempuan yang resek sama kamu, kan?”

Gendhis memicingkan matanya, terkejut. “Kok, Ie Ie tahu? Papa cerita?”

Sia Sia menggelengkan kepalanya. “Nggak lah. Papa kamu nggak cerita sampai situ. Cuma, kamu kan anaknya cantik, sama seperti Mama kamu. Populer, pinter lagi. Ya, cewek kayak gitu di sekolah pasti jadi magnet iri dengki cewek-cewek lain,” ujar Sia Sia sembari tersenyum.

Dari situlah awal kedekatan Gendhis dan Sia Sia, walaupun sebenarnya Gendhis sudah mengenal Sia Sia sejak ia masih kecil. Saat remaja itulah baru Gendhis tahu bahwa Sia Sia merupakan sosok perempuan yang seru dan dapat dipercaya.

Padahal, sewaktu lebih muda, ia pernah iseng bertanya pada Papanya, “Pa, Ie Ie Sia Sia itu nggak nikah-nikah ya? Padahal cantik. Tapi mungkin karena aneh ya orangnya?”

Sang terkekeh. “Aneh gimana?”

“Hmm … gayanya itu. Terus kayak ADHD gitu,” ujar Gendhis hati-hati.

Sang malah semakin tertawa. “Iya, memang ADHD dia. Ie Ie Sia Sia juga tahu, kok. Dia kan orang seni, Ndis. Tidak heran kalau orang seni seperti itu perilakunya.”

Gendhis setuju. Namun, bedanya, beberapa tahun kemudian ia paham bahwa keanehan diri seorang Sia Sia bukanlah kelemahannya, tetapi malah membuatnya menjadi sosok yang unik.

Setahu Gendhis, Sia Sia memang tidak menikah sepanjang hidupnya. Padahal berani sumpah Gendhis beranggapan bahwa Sia Sia adalah salah satu sosok perempuan yang paling cantik yang pernah ia lihat sepanjang hidup selain Florentina, ibunya sendiri.

Sewaktu masih muda, Sia Sia memiliki selera fesyen yang tinggi. Busana bergaya Korean atau Japanese style tidak lepas dari penampilannya. Tubuhnya yang tinggi itu mendukung setiap baju yang ia kenakan. Belum lagi wajah orientalnya yang manis sekaligus cantik nan megah di saat yang sama, membuat sosok Sia Sia tidak terlupakan di pikiran seorang gadis remaja seusia Gendhis saat itu.

Gendhis pernah berpikir bahwa Sia Sia memiliki sifat yang buruk sehingga tidak memiliki pasangan dan jodoh. Sia Sia memang cerewet. Topik pembicaraannya suka melompat-lompat ketika sedang berbicara. Belum lagi leluconnya cenderung garing dan tidak lucu. Pandangan matanya liar, tidak selalu fokus, tetapi malah kerap memandang datar da kosong. Parahnya lagi, Sia Sia sebenarnya introver. Berbeda dengan ibunya yang cenderung diam, Sia Sia luar biasa talkative tetapi tidak paham situasi dan kondisi. Ini karena sebagai social skillnya bisa dikatakan buruk.

Hanya saja, setelah bertahun-tahun mengenalnya, Gendhis sadar bahwa tidak memiliki jodoh bukanlah ketidakberuntungan bagi seorang Sia Sia. Gendhis berada di pihak rekan kerja ayahnya itu. Ia menjadikan Sia Sia sebagai sosok perempuan kuat, mandiri, dan ‘mahal’.

“Gendhis malah senang Ie Ie Sia Sia sendirian, Pa,” ujarnya acak dan tiba-tiba kepada Sang suatu masa saat ia sudah berada di bangku kuliah.

Sang menatap wajah anak perempuannya itu, kemudian seperti biasa, terkekeh. “Maksudnya?”

“Ya, Ie Ie Sia Sia terlalu istimewa. Cowok biasa akan menganggap dia cantik, tapi gila,” Gendhis tertawa, “… tapi sebenarnya ia hanya terlalu istimewa. Nggak ada laki-laki yang bisa seimbang dengannya, Pa.”

Sang tertawa lepas. “Dia memang gila, kok. Saking gilanya, kalau kamu bilang dia gila di depan wajahnya, dia pasti langsung setuju. ‘Bener, aku memang gila!’ gitu katanya.” Sang kembali tertawa. Bersama Gendhis.

Setelah misa kematian selesai, Sia Sia bersapaan dengan orang-orang yang ia kenal, termasuk Adijaya Sulaiman, Ernawati Juang, berserta anak-anak dan cucu-cucu pensiunan mantan rekan kerja Sang Rakyan.

Gendhis mengampiri mereka, sahabt-sahabat ayahnya sewaktu masih muda dan senang bekerja itu, menyalami dan memeluk mereka untuk kesekian kalinya hari ini. Ia bersama Damar dan Jati menerima bela sungkawa.

“Gimana kabarnya, Flo?” sapa Ernawati Juang sembari memberikan pelukan hangat kepada temannya itu.

Keriput yang menghiasi kulit keduanya sama sekali tidak memusnahkan kecantikan yang masih menggantung di usia senja mereka.

“Baik, Kak Juang. Baik-baik saja,” jawab Sia Sia pendek.

Gendhis tahu bahwa nama lengkap Sia Sia adalah Florencia Salim. Panggilan akrab keluarga dan orang-orang terdekatnya, terutama kerabat Tionghoa, adalah Sia Sia, yang diambil dari silabel akhir namanya, Florencia. Namun, orang-orang kantor biasa memanggilnya Flo, termasuk Adijaya Sulaiman, Ernawati Juang, dan tentunya Sang Rakyan, ayahnya sendiri.

Jati

Sama seperti Mas dan adiknya, Jati juga beranggapan mendiang Sang Rakyan adalah sosok ayah yang sempurna. Ia melihat Sang adalah seorang ayah yang adil. Sang sangat mempercayai Damar Wicaksana, anak sulungnya. Itu sebabnya Damar tumbuh menjadi sosok kakak tertua yang bijaksana dan berani. Bagi Gendhis Pertiwi, memang Sang terlihat paling menyayanginya sebagai satu-satunya anak perempuan. Namun, tidak ada yang iri, karena Gendhis tumbuh sebagai sosok penyayang tetapi tidak manja. Ia mendapatkan cinta dari Sang dengan penuh dan lengkap. Begitu juga bagi dirinya, Jati Wirawan. Ia adalah sosok dimana Sang begitu terbuka. Keduanya adalah pasangan ayah-anak yang paling sering berbagi. Itu pula sebabnya jati menjadi sosok yang terbuka dan mewarisi sifat ayahnya yang supel dan memiliki kemampuan sosial mumpuni itu.

Sebagai anak bungsu, Jati yang paling terlambat mengenal rekan-rekan kerja ayahnya dibanding Damar dan Gendhis. Namun, tetap saja, waktu telah cukup diberikan untuknya mengetahui secara utuh siapa mereka.

Berbeda dengan Gendhis yang mengidolakan Sia Sia, sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, ia melihat Ernawati Juang sebagai sosok perempuan tercantik di muka bumi.

“Hai, anak ganteng. Sedang nunggu Papa, ya? Mau jalan-jalan kemana akhir minggu ini? Mau ikut Tante Juang aja?” ujar Ernawati Juang ketika melihat Jati duduk berdampingan bersama Damar, Gendhis dan Florentina di kantor DisPLAY Media. Mereka saat itu sedang berencana pergi bersama keluar kota bersama Sang. Namun, Sang harus mampir dahulu ke kantor, membahas press release satu berita penting di website mereka. Sang sedang bersama Sia Sia, Adijaya dan beberapa staf di dalam ruangan kantornya.

Jati tersenyum lebar, terpana. Hatinya yang polos ingin sekali mengatakan bahwa ia rela dibawa atau diculik sekalian oleh Ernawati Juang. Kalau sang tante mau menunggunya dewasa, Jati pun ingin mencoba meraih hatinya, menjadi pacar sang idola.

“Loh, Tante nggak ikut rapat?” tanya Gendhis.

“Wah, iya nih. Baru mau nyusul. Sabar ya kalian, Papa sebentar aja rapatnya,” ujar Ernawati Juang. Ia menyapa Florentina dan melambaikan tangannya ke semua anggota keluarga Sang Rakyan.

Jati tahu Gendhis tidak terlalu suka dengan Juang. Waktu itu ia tidak terlalu paham makna kata-kata kakak perempuannya itu yang menyebut Juang sebagai perempuan yang ‘genit’ dan ‘terlalu menggoda’. Otak SD Jati hanya bisa menyinonimkan dua kata dan frasa itu dengan ‘cantik’ dan ‘memesona.

Untungnya, setelah dewasa, tidak ada lagi kecurigaan semacam itu kepada Juang, dan tidak satupun kepada teman-teman kerja ayah mereka. Juang yang menikah, kemudian sempat berpindah tugas ke Singapura. Ia hadir kembali ke negerinya untuk memberikan laporan kerja setiap beberapa kali dalam setahun. Juang pun beranak bercucu banyak, menjadikannya salah satu sosok yang paling dekat dengan Sang serta keluarganya. Ketidaksukaan Gendhis luruh seluruhnya.

Sebaliknya, Jati tak pernah berhenti mengagumi keberadaan sosok Juang.

“Jadi, cinta monyetmu itu sama Tante Juang masih ada sampai sekarang? Kamu udah punya istri, lho, Jat,” ujar Damar bertahun-tahun yang lalu.

“Ah, Mas iki. Ya nggak lah. Lagian itu namanya cinta monyet, ya kayak monyet, lompat-lompat aja.”

“Hmm … tapi kalau Mas perhatikan, sepertinya Juni, istrimu itu, memang mirip-mirip Tante Juang, ya?”

“Eh, apaan, sih, Mas. Kalau kedengeran Juni, mampus aku,” jawab Jati panik.

Damar tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi adik bungsunya itu. “Bercanda, Jat, bercandaaa ….”

Namun, walau menggemari seorang Juang, jujur Jati tidak mencari istri yang serupa dengannya. Jadi, kata-kata Damar memang ditujukan untuk menggodanya. Juni tidak memiliki kesamaan dengan Juang kecuali keduanya sama-sama cantik.

Harus diakui oleh Jati bahwa ayahnya adalah sosok yang tampan, good-looking. Ia masih ingat wajah ayahnya sewaktu masih muda, juga foto-foto lamanya sewaktu masih berpacaran dengan Florentina serta di awal pernikahan mereka. Sang Rakyan adalah laki-laki Jawa tulen yang keluarganya sudah terekspos dengan agama Katolik beberapa generasi sebelumnya, sampai di zaman pendudukan Belanda.

Ayah Jati yang asal Semarang itu berpacaran dengan Florentina Sumardi Durand, gadis Minahasa asal Manado yang memiliki paras cantik, seimbang dengan Sang Rakyan.

Keluarga Florentina berlatar belakang pemeluk agama Kristen Protestan, yang mana cukup awam sebagai agama mayoritas yang dianut warga Sulawesi Utara tersebut. Florentina juga bukan berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Selain berasal dari keluarga yang cukup berada, bila dirunut ke belakang, ia memiliki darah Eropa dari buyutnya yang merupakan orang Belanda.

Sang Rakyan sendiri, seperti cerita kedua orang tua Jati itu, sebenarnya berasal dari keluarga biasa saja. Tidak kaya, pun tidak bisa dianggap terlalu miskin. Kedua Mbah Kung dan Mbah Putri Jati bekerja di sektor pendidikan yayasan Katolik di Semarang sana. Itu yang membuat latar belakang dan landasan pendidikan Sang Rakyan telah kuat sehingga berguna bagi karirnya di masa depan.

“Kamu tahu seberapa sulitnya menikahi Mama kamu?” ujar Sang kepada Jati remaja.

“Lah, bukannya gampang, Pa? Kan Papa Mama sudah pacaran dari SMA.”

“Kalau itu sih karena memang kami suka sama suka dari awal. Masalahnya, Papa bukan berasal dari keluarga yang setingkat kaya dan terpandanganya dengan Opa Omamu itu. Kedua, Papa kan katolik, sedangkan Mama kamu dulu Protestan.”

Jati sadar bahwa perbedaan ini bukan permasalahan sederhana. Bagi umat non-Kristiani, sepertinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua agama tersebut. Namun, walau sama-sama mengimani Yesus Kristus, ada alasan mengapa Katolik dan Protestan dibedakan menjadi dua agama di negeri ini, bersanding dengan 4 agama lain yang diakui secara formal.

Masalah sosial kompleks dan rumit mengenai isu perbedaan kedua agama yang bersaudara ini cenderung bersifat budaya dan politis. Apalagi di daerah Timur negeri ini, dimana khusus untuk Sulawesi Utara, mayoritas warga adalah penganut Protestan, sedangkan di Nusa Tenggara Timur, Katolik mendominasi.

Pernikahan di antara kedua orang dari latar belakang agama ini kerap menimbulkan ketegangan. Anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut kerap menjadi ‘rebutan’ keluarga untuk dididik dengan cara yang mana, Katolik atau Protestan.

“Jadi, bayangkan. Opa Oma kamu yang Protestan tulen itu, membawa pola pikir dan budaya mereka sewaktu masih di Manado ke Semarang.”

“Jadi, Opa Oma melarang pernikahan Papa Mama?”

Sang mengangguk. “Cuma nggak terlalu lama.”

“Kok bisa?”

“Tanya Mama kamu. Katanya karena Papa yang paling ganteng dibanding cowok-cowok Protestan yang mendekati Mama bahkan sampai Mama selesai kuliah. Jadi, Opa Oma tidak punya pilihan.” Sang terkekeh.

Jati menggelengkan kepalanya tidak setuju. Menurutnya, hal paling mungkin yang bisa menyatukan pernikahan mereka, dimana Mama pun berkorban untuk meninggalkan iman Protestannya dan beralih ke Katolik, adalah karena cinta. Ya, cinta adalah alasan terkuat yang bisa membuat siapapun melakukan hal-hal mustahil dan mewujudkannya.

Jati, yang paling banyak berbagi dan mendapatkan cerita-cerita serta kisah-kisah luar biasa dari ayahnya, akhirnya mempraktikkan perilaku ayahnya tersebut. Cinta menjadi andalannya di dalam membina bahtera rumah tangga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!