Rinjani terbangun dengan kepala yang terasa berat. Ia menatap sekitar, cahaya temaram serta gorden yang tertutup membuat pandangannya cukup samar. Namun, ia sadar akan satu hal, ia berada di kamar dengan pria yang sedang berbaring tenang di sisinya. Tidur atau pura-pura?
“Astaga!” ia menjerit pelan dalam panik. Dengan tangan gemetar ia menyibak selimut, dan tubuhnya menegang saat mengetahui bahwa kondisi tubuhnya sangat mengenaskan.
Gadis berusia 23 tahun tersebut berusaha melangkah keluar dari kamar dengan sisa tenaganya.
“Kenapa aku bisa ada di sini?” lirihnya, air matanya jatuh seiring dengan langkah terseok yang berhasil membawanya keluar dari kamar itu.
Seingatnya, semalam ia hanya mendatangi sebuah pub yang ada di hotel tempat ia terbangun. Ada acara ulang tahun dari salah seorang teman. Mereka memang menghabiskan waktu sampai larut, dan yang Rinjani ingat ia sudah meninggalkan pub, sudah berada di lobi untuk menunggu taxi online datang.
Harusnya ia sudah di rumah, alih-alih berada di kamar dengan orang asing yang takut untuk Rinjani tatap.
Rinjani terisak, ia terduduk di sudut elevator sambil memeluk kedua lututnya, malang sekali ia. Apa yang akan ia katakan kepada kedua orang tuanya nanti, saat mereka tahu jika Rinjani tidak pulang semalam?
Sesampai di lobi, Rinjani melambaikan tangan ke arah taxi yang akan membawanya pulang. Jarak rumah yang tidak terlalu jauh membuat perjalanan begitu singkat.
“Sudah sampai, Mbak,” suara sopir memutus lamunannya.
Rinjani segera turun, ia menatap pagar yang tinggi di depannya. Entah takdir seperti apa yang sedang menunggunya. Rinjani tidak bisa menerka.
Suara sirine di udara berasal dari mobil jenazah yang tiba-tiba berhenti, membuat jantung Rinjani bagai berhenti berdetak. Di belakangnya sebuah mobil yang mengiring mobil jenazah itu juga berhenti. Rinjani tahu siapa pemilik mobil itu, Tante Desi– adik angkat Papanya.
“Eh! Kenapa bengong?! Buka pagarnya!”
Seolah tahu jika perintah itu untuknya, Rinjani segera membuka pagar yang semula enggan ia sentuh.
Mobil jenazah berlalu ke halaman rumah. Rinjani turut menyusul, ia masih bertanya-tanya siapa yang ada di dalam mobil itu.
“Bawa masuk ke dalam!” titah Desi.
Saat pintu mobil jenazah terbuka. Seketika mata Rinjani membola, ia membeku beberapa saat, sampai akhirnya ia menjerit.
“MAMA! PAPA!” Ia berlari menghampiri, tubuhnya limbung. Air mata membanjiri wajahnya. Kedua orang tuanya ... Kenapa? Bagaimana? Apa yang terjadi?!
“Tante … Mama sama Papa kenapa? Mereka kenapa?”
Desi tampak tak peduli, tanpa menghiraukan Rinjani yang malang.
“Tante?!” dengan suara parau akibat tangis, Rinjani kembali menjerit. Namun tetap tak ada jawaban. Para asisten rumah tangga hanya menunduk, ikut berduka atau menyembunyikan dusta?
“Bi, Mama sama Papa kenapa?” tanyanya pada Sulis. Satu-satunya orang yang ia percaya. Namun Sulis hanya menggeleng, wajahnya pilu.
Rinjani gemetar, ia memeluk kedua tubuh orang tuanya yang terbujur. Dunianya runtuh.
*
Waktu terus bergerak, kabar meninggalnya sepasang suami istri dari keluarga Harsa cukup membuat gempar media. Namun, semua wartawan ditolak oleh orang-orang suruhan Desi. Dan proses pemakaman dilangsungkan secara tertutup.
Sedangkan Rinjani, memilih mengantar kedua orang tuanya menuju peristirahatan terakhir. Air mata masih menemani langkahnya yang tertatih, di sisinya masih setia Sulis yang terus menemani dan menenangkan.
Saat liang lahat menelan dunianya, Rinjani kembali menjerit. Histeris. Lalu jatuh pingsan.
*
Rinjani akhirnya terbangun oleh aroma lavender yang menenangkan. Ia menatap sekitar, ternyata di kamar.
“Pelan-pelan, Non.” Sulis membantunya duduk.
“Bi, Mama sama Papa kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Sulis diam dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak ada jawaban.
“Bi …,” Rinjani memohon. Namun Sulis hanya memberinya makan siang yang ia bawa sebelumnya.
Rinjani menggeleng tidak berselera untuk makan. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, sosok Desi terlihat, wanita itu datang dengan ekspresi tajam, tak ada duka, tidak ada simpati di wajahnya.
“Turun sekarang! Aku ingin bicara denganmu!”
Rinjani menatapnya, “Tante belum jawab pertanyaanku, Mama dan Papaku kenapa? Apa yang terjadi?”
Senyum Desi begitu sinis, “Kalau kamu ingin tahu, harusnya semalam kamu di rumah, bukan tidur dengan pria lain!”
Jawaban Desi menghantam dada Rinjani bagai palu. Bahkan Sulis ikut tersentak.
Rinjani menggigit bibirnya, lalu menyibak selimut dan turun menyusul Desi. Dari ujung tangga, ia menemukan dua orang berpakaian necis sedang berbincang. Lalu percakapan terhenti saat Rinjani datang.
“Apa dia?” tanya salah satunya.
Desi mengangguk, “Sampaikan pada Tuan Darren, minggu depan dia bisa menikahinya.”
“Apa?!” Rinjani mendekat. Emosinya mulai tersulut.
“Orang tuaku baru saja meninggal. Dan Tante seenaknya menjodohkanku dengan orang yang nggak aku kenal?!” suara Rinjani meninggi.
Desi tersenyum miring dengan tatapan muak, “Orang tuamu mungkin sudah mati. Tapi hutang mereka belum!”
Langit masih berada di kamar hotel tempatnya menginap. Pria berusia 30 tahun itu menatap jalanan ibu kota yang berisik, sama seperti isi pikirannya sekarang, yang mencoba menyusun kepingan-kepingan ingatan semalam.
Kepalanya berat, bukan hanya karena sisa alkohol. Tapi karena pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban. Siapa perempuan itu?
“Permisi, Bos.”
Langit menoleh cepat, saat Taufan– Asistennya melangkah masuk.
“Gimana?” Langit langsung bertanya.
“CCTV rusak.”
Langit mengumpat kesal, “Hotel bintang 5, tapi keamanan nggak lebih dari indekos, lucu banget,” geramnya.
“Katanya sudah satu minggu rusak. Mereka baru tahu setelah saya meminta rekamannya,” imbuh Taufan.
Langit tak menjawab. Tatapannya tertuju pada ranjang yang kini berantakan. Ia memang tidak sepenuhnya mengingat apa yang terjadi. Tapi bekas darah yang ada di seprai semalam sudah memberi petunjuk, jika ia tidak sendirian.
“Anda ingin saya membawa seprai ini, Bos?” tanya Taufan. Pria itu mendekat ke arah ranjang setelah Langit mengiyakan.
Lalu Taufan membungkuk, tangannya meraih benda lain yang ia temukan di sisi ranjang, “Ada jepitan rambut,” tunjuk Taufan.
Langit meraihnya. Beberapa helai rambut terjebak di sela-sela gigi jepitan. Bukti yang terlalu kecil untuk diusut. Namun cukup memperkuat jika semalam bukan ilusi.
“Ini pasti rambut wanita semalam. Kamu simpan. Siapa tahu dibutuhkan nanti,” ujarnya.
Taufan segera menyimpan jepitan tersebut.
“Ada telepon?” tanya Langit, ia sedang memasang kembali Rolex miliknya.
“Pukul 7 pagi, telepon dari Ibu Olivia.”
Langit mengangguk datar, “Pasti nanyain kapan saya pulang,” gumamnya.
Taufan tidak menanggapi. Ia tahu benar ritme keluarga Alexander.
“Kita ke kantor. Saya ada meeting sama Darren siang ini.”
Taufan mengangguk dan segera berbalik.
Langit melirik sekali lagi ke arah ranjang, lalu keluar dari kamar itu. Peristiwa semalam tertinggal di sana, bersama misteri yang belum selesai.
**********
“Utang apa?” suara Rinjani terdengar ragu, tapi tegas.
Desi melempar map ke atas meja. Hingga isinya berhamburan, “Baca sendiri!”
Rinjani menyambar salah satu dokumen, matanya terbelalak saat membaca nama Darren Bumantara sebagai pemilik piutang.
“Nggak! Nggak mungkin!” bantah Rinjani.
“Aku tahu kalau aset dan harta papa masih banyak. Aku yakin bisa menutupi semua utang ini.”
Desi mencibir, “Aset yang mana?”
“Perusahaan papa, mobil mewah, perhiasan–”
“Mana? Tunjukkan!” tantang Desi.
Rinjani terdiam. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Dokumen aset itu ia tidak tahu disimpan di mana.
Desi menyandarkan tubuhnya, tersenyum puas, penuh kelicikan, “Orang tuamu hanya meninggalkan nama dan utang segunung. Dan satu-satunya cara keluar dari ini semua adalah nikah sama Tuan Darren.”
“Aku nggak mau!”
Rinjani menatap dua pria di depannya, ia tahu ia tidak punya pilihan. Tapi harga dirinya masih ada.
“Ayo bayar!” Desi mendesak dengan nada menekan.
Rinjani menelan salivanya dengan susah payah. Ia tidak memiliki uang, setelah lulus kuliah ia baru ingin mengabdi di perusahaan keluarganya.
“Aku akan kerja. Dan bayar semuanya. Aku cuma butuh waktu.”
“Kamu pikir mereka akan menunggu, hah?!” tanya Desi sinis.
Rinjani menggigit bibir,
“Pertemukan aku dengan atasan kalian, biar aku yang bicara padanya.”
Kedua pria itu diam, salah satunya menerima telepon saat ponselnya berbunyi.
“Nona Rinjani ingin bertemu Anda, Tuan.”
Beberapa saat hening, lalu pria itu mengangguk dan menutup telepon, “Tuan Darren bersedia bertemua Anda.”
“Ta-tapi–” Desi hendak protes.
“Tante, biar aku yang membereskan semua ini,” potong Rinjani dingin.
Desi mencibir, tapi memilih diam.
“Sore ini. Di hotel DB,” ucap salah satu pria itu.
“Hotel? Kenapa nggak di coffe shop?” tanya Rinjani ragu.
“Permintaan Tuan Darren. Hanya bertemu di tempat yang dia pilih,”
Senyum pria itu membuat Rinjani merinding, namun ia tetap mengangguk, “Ok, sore ini,”
******
Langit duduk di kursi ruangan VIP sebuah restoran, mengetukkan jarinya pelan ke meja, ia benci menunggu.
“Sorry Bro. Macet.” Suara bas itu terdengar saat pintu tiba-tiba terbuka.
Langit menatap pergelangan tangannya, “40 menit!” ujarnya sebal.
Darren terkekeh pelan, ia menarik satu kuris di seberang Langit, “Ya gimana, calon nyokap anak gue ngotot minta video call.”
Langit mendengus, “Nggak nyangka lo nikah duluan,”
“Gue juga nggak nyangka. Tapi ya, dunia emang penuh kejutan. Gue pikir hidup butuh sesuatu yang stabil. Lo ngerti ‘kan?”
Langit tak menanggapi, ia mengangsur map ke arah Darren.
“Kontrak yang lo minta. Udah lengkap. Lo bisa cek.”
Darren membuka map sekilas, lalu menutupnya lagi, “Oke. Gue tanda tangan nanti. Hari ini kepala gue penuh.”
Langit melipat tangan di dada, “Gue cuma penasaran, lo nikah beneran? Nggak sekedar mainan baru?”
Darren terkekeh pelan, “Beda, Lang. Ini bukan cewek party-an. Bukan yang biasa lo lihat nemenin gue di klub. Dia … polos.”
Langit menyipitkan mata. Sesuatu dalam nada bicara Darren terdengar aneh.
“Polos?”
“Iya. Beda. Gue bahkan belum nyentuh dia.”
Langit tidak bisa menahan tawa kecil, “Lo? Nggak nyentuh cewek yang lo bilang mau lo nikahin? Jangan bercanda, Ren.”
Darren menatapnya lurus, “Lo bakal ngerti sendiri nanti.”
Langit tidak membalas. Ia tahu siapa Darren. Ia tahu saat pria itu menyebut sesuatu yang ‘berbeda’ maka ada permainan yang lebih rumit di baliknya.
*****
Rinjani berdiri di depan elevator, mengeratkan lagi outer rajut yang ia pakai, mengatur napas yang mulai sesak. Hotel ini sangat mewah, sangat asing dan sangat dekat dengan luka yang baru saja ia dapatkan semalam.
Tangannya bergetar saat menyentuh tombol. Saat pintu terbuka, ia naik, lalu berjalan menyusuri koridor dengan langkah ragu. Salah satu pria sudah menunggunya di depan sebuah kamar.
“Nona Rinjani?”
“Iya.”
“Silakan masuk. Tuan Darren sudah menunggu.”
Saat ia melangkah masuk, pintu langsung tertutup dan terdengar bunyi kunci diputar dari luar.
Ruangan itu sunyi.
Seorang pria yang berdiri membelakanginya, memandang ke luar jendela, setelan jasnya rapi, aromanya mahal. Ia berbalik perlahan, menatap Rinjani dengan mata gelap yang mengintimidasi.
“Ingin bersenang-senang dulu, atau langsung ke inti pembicaraan kita?”
Tawa Darren pecah begitu saja saat wajah Rinjani terlihat pucat pasi. Cahaya lampu gantung mewah di kamar hotel itu seolah menyoroti kontras antara wajahnya yang pongah dan sorot mata Rinjani yang tajam menusuk, penuh kebencian dan kegelisahan.
“Saya ke sini hanya ingin membahas utang orang tua saya,” ucap Rinjani dingin.
Darren hanya mengangguk sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa berlapis kulit. Lalu, tersenyum menggoda.
“Silakan duduk di mana saja. Atau mau saya pangku juga boleh,”
Rinjani menatapnya tajam, menolak tawaran itu tanpa perlu kata. Tubuhnya tetap tegak berdiri, seolah keberadaannya tidak sudi bersentuhan dengan perabotan pria itu, apalagi orangnya.
“Saya akan lunasi utang itu. Saya hanya meminta waktu,”
Darren menyilangkan kaki dan bersandar santai, wajahnya tenang, tapi nada suaranya menyimpan racun.
“Satu bulan,” katanya, sambil mengangkat satu jari.
Mata Rinjani membesar, “Gila? Itu terlalu cepat.”
“Tapi itu kan tetap waktu,” balas Darren, menanggapi enteng seolah dirinya sedang menawar barang lelang.
Rinjani menghela napas panjang, “Apa tidak bisa diperpanjang jadi satu tahun?”
Alis Darren terangkat, “Kamu menawar saya?” Ia tertawa pelan, seakan permintaan Rinjani adalah lelucon usang.
Rinjani diam, menahan kata-kata yang sebetulnya ingin ia semburkan.
“Satu bulan!” tegas Darren, lalu berdiri. Ia mengeluarkan ponsel dan mulai mengetik sambil berbicara kepada seseorang di seberang.
“Alex, siapkan pernikahan saya. Satu bulan lagi.”
Jantung Rinjani seperti diremas.
“Saya tidak setuju nikah sama kamu! Saya bahkan belum mulai melunasi apa pun!”
“Oh iya?” Darren menatapnya sambil tersenyum menyebalkan, “Saya yakin kamu akan gagal. Kalau kamu lihat nominal yang harus kamu bayar. Kamu sendiri yang akan menyerah nanti.”
Ia menunjuk pintu kamar.
“Waktu dimulai dari sekarang, Sayang. Kita ketemu lagi nanti di tempat ini.”
Wajah Rinjani merah padam. Harga dirinya diremukkan oleh kalimat itu. Ia berbalik tanpa sepatah kata, keluar dari kamar dengan langkah terburu dan hati berkecamuk.
“Papa ...,” bisiknya lirih di lorong hotel, dan air matanya pun jatuh untuk kesekian kalinya.
*******
Pukul 9 malam, Rinjani akhirnya sampai di rumah. Tubuh dan pikirannya lelah, ia butuh istirahat. Namun bukan tempat ternyaman yang ia temukan, melainkan koper dan kardus berisi barang-barangnya, disusun rapi di teras depan.
“Bi, ini apa?” tanyanya panik, saat melihat Sulis berdiri di antara barang-barang itu dengan wajah pilu.
Tak berselang lama, Desi menjadi orang terakhir yang keluar dari rumah itu. Dengan wajah datar dan kaku.
“Tante kenapa barangku dibuang ke luar gini?”
Desi menyilangkan tangan di dada, matanya menatap Rinjani seolah beban yang harus disingkirkan.
“Apa yang sudah kau katakan kepada Tuan Darren? Waktu satu bulan? Kau pikir kau bisa melunasi utang itu?” cerca Desi.
Seolah tidak puas Desi kembali bicara, “Kau lihat, mereka menyita rumah ini, sebagai bentuk cicilan dari utangmu. Apa sulitnya kau menerima pernikahan itu. Ini semua pasti tidak akan terjadi!”
Rinjani menggeleng tak percaya, “Ini pasti salah. Aku udah minta waktu, bukan berarti aku menyetujui rumah ini diambil,”
Desi memijat pelan kepalanya, seolah lelah menghadapi kebodohan.
“Terserah!” dengan kesal Desi menarik kopernya, dan masuk ke dalam mobil yang akan membawanya pergi.
Semua asisten rumah tangga dengan raut putus asa dan sedih juga berlalu. Hanya Sulis yang masih menemani Rinjani yang sudah terduduk. Rinjani membuang napas dengan sesak, dadanya remuk saat harus merelakan rumah yang penuh kenangan dan tempat ia tumbuh.
“Kenapa dia jahat banget, Bi?” bisiknya lirih.
Sulis menggenggam tangan majikannya itu, hangat dan penuh kasih sayang.
“Udah yuk, Non. Kita pergi dari sini,”.
“Mau ke mana, Bi? Ini sudah malam, aku nggak punya tempat tinggal,”
“Ke kontrakan saudara Bibi aja, ya. Dia pasti mau terima kita.”
Tanpa pilihan lain, Rinjani mengangguk, ia memanggul sisa hidupnya yang terkemas dalam koper dan kardus, lalu meninggalkan rumah yang sudah bukan rumahnya lagi.
******
Rumah kontrakan saudara Sulis ternyata kecil dan sempit. Hanya ada satu kamar untuk mereka bertiga. Tapi Teh Ami, wanita baik hati pemilik rumah itu, menyambut Rinjani dengan hangat.
“Jangan sungkan ya, Neng. Maaf tempatnya seadanya.”
“Nggak apa-apa, Teh. Terima kasih banyak,” jawab Rinjani dengan suara serak.
Malam itu, saat semua sudah terlelap, Rinjani berbaring memandangi langit kamar yang sudah usang. Suara Sulis yang mulai mendengkur membuat suasana terasa makin sepi.
“Bi,” panggilnya.
Sulis membuka matanya pelan.
“Gimana kalau ... aku nikah aja sama Si Darren itu? Aku bisa minta rumah papa sebagai maharnya.”
Sulis terdiam, lalu menghela napas panjang, “Bibi nggak tahu, Non. Semua keputusan ada di tangan Non Arin. Yang bakal jalanin juga Non.”
Rinjani menatap langit-langit yang juga tak punya jawaban.
“Aku merasa semua ini seperti mimpi buruk. Aku nggak tahu, Bi ... setelah nikah, hidupku akan lebih baik atau justru makin kacau. Semua ... abu-abu.”
“Non yang sabar ya. Tuhan kasih cobaan sebesar ini karena Dia tahu, Non kuat.”
************
Seminggu berlalu, Rinjani masih tinggal di kontrakan sempit itu. Sulis sudah dapat pekerjaan, tapi Rinjani masih nihil. Dunia seperti menutup semua pintu untuknya.
Pagi itu, ia berdiri mematung di depan gedung megah tempat perusahaan Darren berada. Dengan tekad yang dihimpun dari semua kepiluan, ia melangkah masuk.
“Permisi, saya mau ketemu Tuan Darren,” ucapnya pada resepsionis.
“Maaf, sudah buat janji sebelumnya?”
“Sudah. Bilang aja saya Rinjani,” dustanya.
Beberapa menit kemudian, ia diarahkan naik ke lantai tempat Darren berada. Jantungnya berdentum dengan cepat.
Satu ketukan. Lalu suara berat dari dalam menjawab, “Masuk.”
Rinjani pun mendorong pintu itu perlahan.
Darren memandangnya dengan senyum menyebalkan, seperti predator yang menunggu mangsanya datang sendiri ke sarang.
“Kenapa, Sayang? Belum satu bulan ‘kan?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!