Gaun tidur sutra berwarna champagne membalut lembut tubuh Sahira Anderson yang kini kian berisi. Di hadapan cermin, ia tersenyum sambil mengusap perutnya yang membuncit. Sebuah senyum tipis yang penuh harap, penanda status barunya sebagai calon ibu setelah lima tahun penantian.
Menikah dengan Rames Andreas, seorang CEO tampan dan mapan dari keluarga terpandang, adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Hidup di rumah megah di pusat kota dengan janji cinta selamanya, semuanya terasa sempurna. Namun, belakangan ini, kesempurnaan itu mulai retak. Rames semakin sering pulang larut, dengan alasan urusan bisnis yang semakin sering ia dengar. Sahira mencoba menepis kecurigaan itu, meyakinkan diri bahwa suaminya hanya bekerja keras demi masa depan mereka.
Malam ini, Sahira berniat memberi kejutan makan malam romantis untuk menyambut kepulangan Rames dari perjalanan dinas luar kota. Ia sudah mengirim pesan, tetapi tak ada balasan. Rasa rindu bercampur cemas yang memuncak mendorongnya menghubungi asisten Rames, Rani. Jantungnya berdebar kencang, suaranya bergetar tak terkendali saat sambungan terhubung.
“Mbak Rani, apa Mas Rames sudah sampai di Jakarta?” tanyanya.
Suara Rani terdengar ragu. “Oh, Nyonya tidak tahu? Pak Rames sudah di Jakarta sejak kemarin. Saya lihat dari laporan pengeluaran, beliau menginap di apartemen pribadi di kawasan downtown.”
Dunia Sahira mendadak hening. Apartemen pribadi? Rames tidak pernah bercerita tentang apartemen lain. Firasat buruk yang selama ini Sahira tepis, kini datang menghantamnya. Tanpa pikir panjang, ia menyambar kunci mobil, mengenakan mantel, dan bergegas pergi.
Alamat dari Rani membawanya ke sebuah gedung pencakar langit mewah. Lift membawanya naik, seiring dengan debaran jantungnya yang semakin kencang, dipenuhi ketakutan dan secercah harapan bahwa semua ini salah. Saat pintu lift terbuka, Sahira menyusuri koridor sepi menuju unit 33B. Tawa seorang wanita terdengar dari balik pintu. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu yang tak terkunci itu.
Di ruang tamu yang dihiasi bunga-bunga, Rames duduk di sofa bersama wanita hamil lain. Napas Sahira tercekat. Wanita itu mengusap kepala Rames dengan lembut, sementara Rames membalas dengan sebuah kecupan di bibirnya. Realitas pahit itu terbentang di depan mata Sahira. Air mata yang selama ini ia tahan, kini tumpah membasahi pipi. Ia berdiri mematung di ambang pintu, menyaksikan pengkhianatan suaminya.
“Ma-mas?”
Rames tersentak, menoleh cepat. "Hira?" Ia bangkit. Di sampingnya, wanita itu menyunggingkan senyum tipis penuh kemenangan.
“Apa maksudnya ini, Mas? Kenapa kau bisa ada di sini bersamanya?!” bentak Sahira, menunjuk wanita itu yang kini berjalan mendekat.
“Kebetulan kau ada di sini,” ucap Julian dengan dingin, “sekalian saja aku beri tahu. Hubungan kami berdua lebih spesial darimu. Dan anak yang aku kandung ini adalah anak Rames.”
Ternyata, Julian adalah dokter tempat Sahira dulu berkonsultasi. Lebih mengejutkan lagi, Julian juga merupakan cinta masa lalu Rames. Karena fakta itu, Sahira berhenti menemuinya, tetapi sekarang mereka bertemu lagi dalam situasi yang mengerikan.
“Anak? Apa maksud dia, Mas? Jawab! Jangan diam saja!” teriak Sahira, menuntut kejelasan.
“Sahira, aku bisa jelaskan,” ujar Rames, kini berdiri di hadapannya.
PLAK!
Satu tamparan mendarat keras di pipi Rames, meninggalkan bekas merah yang menyala.
“Tidak perlu ada lagi yang dijelaskan. Aku sudah mengerti,” murka Sahira, memukul dadanya yang terasa sesak. “Aku kecewa padamu, Rames! Aku akan bilang ke Mama kalau kau berselingkuh!”
Julian tertawa terbahak membuat Sahira mengernyitkan dahi. "Bilang ke Mama? Hai, bodoh! Ibu mertuamu itu juga sudah tahu hubungan rahasia kami dan dia tidak keberatan dengan anak yang aku kandung ini."
Sahira menggeleng, mundur selangkah. “Tidak… tidak mungkin Mama mengkhianatiku.” Batinnya menjerit. Ia menunduk, mengepalkan tangan, lalu menatap Rames dengan penuh kekecewaan.
“Mas, sebenarnya aku ini apa bagimu? Kenapa kau tega melakukan ini? Kenapa?” Ia memukul-mukul dada Rames. Namun, Julian mendorongnya dengan kasar.
“Pergilah! Dia milikku, bukan lagi suamimu!” bentak Julian.
Amarah dan kebencian yang meletup membuat Sahira membalas, mendorong Julian lebih keras.
“Akhhh!!”
Julian terjatuh. Rames terkejut, berteriak, “Julian?!”
Sahira mematung, melihat Julian menjerit kesakitan. Suasana makin mencekam saat darah mengalir dari bawah tubuh Julian.
“Ram… perutku sakit…” rintih Julian.
Rames sontak memarahi Sahira, mencercanya tanpa ampun. “Dasar wanita sinting, bodoh! Apa kau mau membunuhnya dan anak kami?! Jika terjadi sesuatu padanya, aku tidak akan pernah memaafkanmu!”
Sahira membelalak tak percaya melihat Rames mendorongnya menjauh, lalu mengangkat tubuh Julian. “Rams, kita harus ke rumah sakit sekarang,” mohon Julian.
Rames mengangguk, namun langkahnya terhenti saat tangan Sahira menangkap kakinya.
“Mas… tolong… bawa aku juga…” pinta Sahira lirih, merasakan sakit yang sama. Darah menetes di antara kedua kakinya.
Rames dan Julian terkejut. Rames sempat tak tega, namun Julian memaksanya pergi. Mereka pun meninggalkan Sahira yang menjerit histeris.
“MAS!!”
Air mata Sahira kembali berderai, menyaksikan suaminya meninggalkannya demi wanita lain.
“Astaghfirullah, Nyonya?!” Rani, yang dihubungi Sahira, terkejut mendapati istri atasannya itu berjalan lemas di lorong apartemen. Cemas melihat darah di kaki Sahira, Rani segera membawanya ke rumah sakit.
“Oeeeekkk… oeeeekkk…”
Tangis dua bayi yang indah itu membuat Sahira merasa lega, sekaligus kecewa pada Rames dan ibu mertuanya yang tidak bersamanya. Mereka justru berada di sisi Julian yang keguguran sebelum melahirkan anaknya.
Sahira sempat berpikir, mungkin suami dan ibu mertuanya berkhianat karena anak yang ia kandung adalah perempuan. Namun, siapa sangka, salah satu bayi kembarnya adalah laki-laki. Ia menangis bahagia, memeluk kedua bayinya. Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Bayi laki-lakinya kejang-kejang. Rani dengan cepat memanggil dokter.
“Nyonya, Anda tenang saja, saya yakin bayi Anda pasti akan baik-baik saja,” hibur Rani, mengusap punggung Sahira.
Tapi takdir berkata lain. Kabar duka datang. Bayi Sahira tidak selamat.
“Tidak mungkin! Bayiku tidak mungkin mati! Dokter pasti bohong! Biarkan aku melihatnya!” jerit Sahira, meraung histeris. Hancur, ia jatuh tak sadarkan diri.
Tak lama setelah itu, Rames datang, melihat istrinya tergeletak tak berdaya. Ia tak perlu bertanya, ia sudah tahu semuanya.
Mendengar hal itu, ibu mertua Sahira marah besar. Ia merasa Sahira telah membohonginya dan membunuh cucunya dari Julian. Belum genap seminggu Sahira lepas dari kesedihan, ia dikirim ke rumah sakit jiwa. Ibu mertuanya tak mau mengurus Sahira yang telah dianggap gila. Sahira dikirim ke sana bersama cucu perempuannya yang dibencinya.
Rames kemudian menikahi Julian dan menceraikan Sahira. Tetapi sehari setelah menikah, Julian kabur membawa bayi laki-laki Sahira yang ternyata masih hidup. Rames kecewa, merasa dikhianati Julian, dan ia sadar bahwa Julian hanya ingin balas dendam karena dulu pernah dicampakkan. Rames pergi ke rumah sakit jiwa untuk meminta maaf dan menjelaskan kebohongan tentang kematian bayi laki-laki Sahira. Tapi Sahira sudah tidak ada di sana.
“Dia kabur juga?! Bagaimana bisa? Jangan-jangan Sahira pura-pura gila agar Mama mengusirnya dari rumah dan agar dia bisa bercerai dariku?” batinnya, lalu menerima panggilan telepon dari ibunya.
“Rames, pulang sekarang, Nak!”
“Ada apa, Ma? Apa Julian sudah ditemukan?”
“Rams, perusahaan kita bangkrut!”
“APA?!”
_____
Novel kedua ku, jangan lupa komen, subscribe, vote dan like setiap bab agar aku semangat sampai ceritanya selesai. Terima kasih ^^
Rames memacu mobilnya dengan kencang, meninggalkan kebisingan kota di belakangnya. Di sudut lain kota yang sama, Julian melangkah pelan menuju sebuah mobil yang dijaga ketat oleh dua pria bertubuh besar. Malam yang pekat membuat langkah kakinya terdengar jelas, memecah keheningan. Di gendongannya, sesosok bayi tersembunyi di balik selimut tebal.
"Nona Julian?" sapa salah satu pria itu, suaranya serak.
Julian mengangguk singkat. "Silakan masuk," perintahnya. Pintu mobil terbuka, menampakkan seorang wanita yang sudah menunggunya dengan sabar.
"Julian, akhirnya kau datang. Aku sudah menunggumu sejak kemarin," kata wanita itu, Balchia, tersenyum tipis.
Julian menghela napas lega, lantas membuka tudung selimut sang bayi. "Aku baik-baik saja, Chia. Tapi sekarang aku dalam pelarian dari Rames. Aku butuh bantuanmu," pintanya, suaranya bergetar.
Balchia mengamati bayi di tangan Julian, matanya berbinar licik. "Tenang saja, Julian. Aku sudah menghancurkan perusahaannya. Rames tidak akan mencarimu dalam waktu dekat. Dia pasti sedang sibuk mengurus kebangkrutan perusahaannya sekarang," jelasnya, nada suaranya penuh kepuasan.
"Terima kasih, Chia. Kau sudah banyak membantuku membalas dendam pada keluarga Rames," ucap Julian, suaranya terdengar tulus.
"Sama-sama," jawab Balchia, senyumnya makin lebar. "Omong-omong, apa bayi ini anakmu dengan Rames?" tanyanya, menunjuk bayi itu.
Julian menggeleng cepat. "Bukan. Aku tidak punya bayi."
"Lho, bukannya kau hamil?" Balchia terkejut, ekspresinya dipenuhi kebingungan.
"Tidak. Aku tidak pernah hamil dan tidak pernah melahirkan. Kehamilanku hanya sandiwara," gerutu Julian, nada suaranya dipenuhi kebencian. "Aku tidak sudi mengandung anak bajingan itu yang dulu pernah membuangku!"
Julian melanjutkan ceritanya, menjelaskan bahwa malam itu darah yang keluar adalah darah palsu dari kantong yang sudah ia siapkan. Perutnya yang membesar selama ini hanyalah kain yang dibentuk sedemikian rupa.
"Hahahaha!" tawa Balchia meledak. "Kau sungguh jenius! Atau jangan-jangan Rames yang terlalu bodoh?" sambungnya, seraya memegang perutnya yang kini terlihat besar.
"Omong-omong, apa kau juga serius hamil?" tanya Julian, menatap Balchia lekat.
Balchia menyeka sisa air matanya karena terlalu lelah tertawa. Ia membuka isi bajunya, dan perutnya langsung rata seketika. "Pfft… lihat, aku juga melakukan cara sepertimu, Julian."
"Kenapa kau tidak hamil sungguhan?" tanya Julian, bingung. Suami Balchia, Zander, jauh lebih kaya dan berkuasa daripada Rames. Seharusnya tidak ada masalah jika ia mengandung pewaris.
"Ayolah, Julian. Aku ini model papan atas. Kalau aku sungguh hamil, bentuk tubuhku akan berubah. Aku tidak mau itu. Lagipula, Zander itu mandul dan dia tidak pernah menyentuhku sama sekali," celetuk Balchia.
"Lalu, apa tanggapan suamimu?" tanya Julian, mulai merasa khawatir.
"Aku cuma bilang aku hamil dengan cara menggunakan bayi tabung."
"Dia percaya?" Julian meragukan hal itu.
"Tentu saja tidak. Tapi aku bilang kalau aku mencuri spermanya lalu menanamnya ke rahimku. Tapi dia tetap tidak percaya. Justru kakeknya yang malah percaya," jawab Balchia sinis. Tawanya kembali pecah, kali ini terdengar lebih kejam.
Julian terdiam. Ia ingat betul sperma yang ia dapat dari Balchia setahun lalu. Sperma itu yang ia tanam di rahim Sahira, yang kebetulan saat itu datang untuk berkonsultasi tentang program bayi tabung.
"Oh ya, kalau bayi ini bukan milikmu, apa mungkin bayi ini bayi suamiku, Julian?" tanya Balchia serius.
Julian tersentak, wajahnya pucat. "Bu-bukan!" jawab Julian ragu. Dalam hati, rencana lain mulai berkelebat. Ia melihat ini sebagai kesempatan emas untuk menjadi menantu Raymond, kakek Zander, yang punya kekuasaan absolut di dunia gelap. Jika ia mengaku bayi itu adalah anaknya dengan Zander, ia bisa hidup enak dan menyingkirkan Balchia.
"Cih, jika bayi ini bukan milikmu dan bukan bayi suamiku, lalu kenapa kau membawanya kemari?" tanya Balchia penuh selidik. Ia mulai curiga Julian merencanakan sesuatu.
"Maaf, Chia. Bayi... bayi ini milikku dengan Zander!" Julian mendorong Balchia, membuka pintu mobil, dan berlari secepatnya.
"Julian!" teriak Balchia, marah. Seketika itu juga, suara tembakan memecah keheningan malam.
Julian yang belum sempat berlari jauh, ambruk bersama bayi di tangannya. Dua tembakan dari pistol Balchia bersarang di punggungnya.
"Oeeekkk.... oeeekk..."
Bayi itu menangis kencang. Julian berusaha mendekapnya agar Balchia, yang kini berdiri di sampingnya, tidak bisa mengambil bayi itu. "Chia, tolong biarkan aku pergi," mohon Julian, sebelum darah menyembur dari mulutnya dan mengotori tubuh bayi Sahira.
DOR! DOR! DOR!
Tiga tembakan lagi menghantam Julian. Ia langsung mati di tempat, terbunuh secara tragis oleh tangan Balchia sendiri.
"Kau, bawa bayi itu!" perintah Balchia kepada salah satu anak buahnya.
"Nyonya, bagaimana dengan mayat wanita ini?" tanya anak buah yang lain.
"Buang ke laut atau kubur di gunung sana!" jawab Balchia kesal, menunjuk gunung di kejauhan. Ketiga anak buahnya segera membawa pergi mayat Julian.
Lima menit kemudian, sebuah mobil hitam datang. Balchia mendekati mobil itu dan terkejut hanya melihat dua anak buahnya di dalam.
"Kenapa cuma kalian berdua saja? Mana wanita itu?!" bentak Balchia dengan suara menggelegar.
"Maaf, Nyonya. Wanita itu berhasil kabur," jawab mereka ketakutan.
"APA?!" Balchia murka. Ia menampar kedua anak buahnya. "Segera cari dia! Jangan pernah kembali sebelum kalian menemukannya!" perintahnya, penuh amarah.
Teriakan Balchia membuat bayi Sahira menangis semakin kencang karena lapar.
"Sial, jangan menangis, bodoh!" bentak Balchia, hampir saja tangannya melayang ke arah bayi itu. Namun ia menahan diri, sadar rencananya akan hancur jika ia bertindak gegabah. Ia lelah dengan sandiwara ini. Sekarang ia harus mengurus bayi suaminya dari wanita lain, sementara ibu dari bayi itu berhasil kabur.
Mobil Balchia tiba di sebuah rumah megah bak istana. Ia keluar, terpaksa menggendong bayi itu agar ibu, ayah mertua, serta kakek suaminya tidak curiga.
Pintu rumah terbuka. Mauren, ibu mertua Balchia, terkejut melihat Balchia pulang sambil menggendong bayi.
"Balchia? Dari mana saja kau, Nak? Lalu, bayi siapa ini?" tanya Mauren, menunjuk bayi itu.
"Ibu, ini cucu Ibu, anakku dengan Zander," kata Balchia, dengan senyum palsu yang paling manis.
Mendengar itu, mata Mauren berkaca-kaca. "Sungguh? Cucu Ibu? Bayi ini cucu Ibu? Kapan kau melahirkan?" Mauren melirik perut Balchia yang sudah rata. Padahal ia yakin menantunya masih punya dua bulan lagi. Namun, wajah bayi mungil itu mirip sekali dengan putranya saat kecil, membuatnya yakin.
"Maafkan aku, Bu. Aku tadi pagi ingin memberitahu Ibu kalau aku mengalami pendarahan, tapi karena Ibu dan Ayah sedang keluar, aku tidak tega menelepon," tutur Balchia, berpura-pura sedih.
Mauren memeluk Balchia sejenak sebelum menggendong cucunya. Tiba-tiba, suara menggelegar terdengar, membuat bayi itu kembali menangis.
"Bohong! Bayi itu bukan cucu kita, Ma!" ujar Daren, ayah mertua Balchia. Daren memang membenci Balchia karena ia tidak sesuai dengan kriteria menantu di keluarga itu.
"Papa ini bicara apa? Jelas-jelas mukanya mirip anakmu waktu kecil, coba lihat sendiri," ujar Mauren tidak terima.
Daren berdiri di samping Mauren, lalu melirik bayi itu yang kini sudah tenang. "Cih, mirip sih mirip, tapi Papa masih tidak yakin. Mama tahu sendiri, Zander itu mandul. Dia pernah bilang ke Papa kalau dia tidak bisa punya anak," decak Daren, menunjuk Balchia. "Dia pasti hamil dengan laki-laki lain di luar sana!"
Dalam hati, Balchia geram dituduh berselingkuh.
"Atau bisa saja dia selingkuh dengan pak tua di sana!" Daren menunjuk Raymond, ayah mertuanya yang menuruni tangga karena mendengar pertengkaran.
Raymond terkejut dituduh demikian. "Apa maksudmu, Daren?!" murka Raymond, mantan bos mafia.
"Papa! Sudah, jangan bicara ngawur! Kasihan cucu kita menangis terus," tegur Mauren, mencoba menenangkan cucunya dan memisahkan keduanya.
"Ma, Balchia masuk ke rumah ini karena Ayahmu yang bodoh itu! Dan dari awal Mama juga tidak setuju kan Balchia menikah dengan Zander? Tapi kenapa sekarang Mama membela ular ini?" cerocos Daren, menunjuk Balchia lagi.
"DAREN!" teriak Raymond kesal. Namun, sebelum situasi memanas, sebuah tembakan ke udara menghentikan mereka. Mereka terdiam dan menoleh ke luar, di mana seorang pria menatap tajam ke arah mereka.
"Zander?"
Balchia segera berlari ke arah pria itu, memeluknya dengan pura-pura ketakutan. "Zander, akhirnya kau pulang juga. Aku sangat merindukanmu," ucap Balchia.
Namun, Zander malah mendorongnya dengan dingin.
"Menjauhlah dariku, jal'ang sinting."
Malam itu, mendung menggantung pekat. Di pinggir jalan yang sepi, Sahira berjalan sendirian sambil memeluk erat bayi perempuannya. Kakinya bengkak dan berdarah-darah, luka-luka itu yang ia dapatkan setelah berhasil kabur dari dua pria yang menculiknya dari rumah sakit jiwa.
"Tuhan, ke mana aku harus pergi?" gumamnya, langkahnya terhenti. Ia menatap wajah mungil sang bayi, lalu menepi dan duduk di bangku di sebuah toko kecil. Dengan perlahan, ia membuka kancing bajunya.
Setetes air mata Sahira jatuh, membasahi pipi bayi mungil yang kini menghisap air susunya dengan rakus. Pikirannya mulai melayang pada bayi laki-lakinya yang telah tiada. Ia pun melihat sebelah dada kirinya terus menetes. Andaikan saja putra kembarnya masih hidup, ASInya tak akan terbuang sia-sia seperti sekarang.
"Tidak apa-apa, sayang. Bagian ini juga milikmu," bisiknya, mencoba menyodorkan pu-ting yang lain.
Namun, jari mungil sang bayi justru mendorong tangannya, seakan tahu bahwa bagian itu milik saudara kembarnya.
"Maafkan Ibu, sayang. Kau harus mengalami semua ini. Maafkan Ibu juga sudah memisahkanmu dengan saudaramu. Ibu memang tidak berguna."
Sahira menunduk, merutuki dirinya sendiri sebagai ibu yang gagal. Kehilangan bayinya dan dikhianati pria yang ia cintai telah menghancurkan dunianya. Tetapi kehadiran bayi perempuannya memberinya alasan untuk bertahan. Namun, bagaimana ia bisa membuat putrinya tetap hidup? Sahira tidak punya apa-apa, dan kedua pria yang mengincarnya masih berkeliaran.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Sahira bangkit dan kembali berjalan. Ingin rasanya ia pulang, tetapi ke mana? Keluarga Rames pasti tidak akan menerimanya. Sementara orang tuanya sudah tiada. Ia tak punya siapa pun, dan selama ini hanya Rames yang menjadi tumpuannya.
Bruk!
Langkah Sahira terhenti, lututnya ambruk di tepi jalan. Ia memeluk bayinya yang sudah terlelap, air matanya berlinang seiring rintik hujan yang mulai membasahi jalanan. Perutnya sakit karena lapar.
"Apa aku... jual diri saja?" batinnya lalu memukul kepalanya. "Bodoh! Ayahmu sudah berjuang keras menghidupimu. Kau tidak boleh mengkhianati kasih sayang dan kepercayaannya!"
"Tapi aku sangat lapar," isak Sahira, memegangi perutnya. Tiba-tiba, ia merasakan jari mungil bayinya menyentuh pipinya, seolah menghibur.
"Terima kasih, sayang," bisiknya.
Sahira menarik napas panjang, lalu berlari kecil mencari tempat berteduh. Tiba-tiba, sebuah poster jatuh tepat di kakinya. Ia membungkuk, mengambilnya. Matanya terbelalak membaca tulisan besar:
“Dicari Ibu Susu.”
Di bawahnya, tertera alamat dan nomor telepon, disertai catatan tangan: "Butuh segera. Akan diberi imbalan besar, dua miliar."
Mata Sahira beralih ke putrinya yang terlelap dalam pelukannya. Tangannya yang dingin mengusap pipi si kecil. Air susu di dadanya yang menetes adalah anugerah, tetapi ia merasa tidak berdaya. Poster itu seolah menjadi jawaban atas doanya. Mungkin ini takdir yang diberikan Tuhan. Tanpa pikir panjang, ia melipatnya dan menyimpannya di saku jaketnya.
Saat Sahira melanjutkan langkahnya, sebuah mobil tak asing berhenti di depannya. Jantungnya berdegup kencang. Ia mundur, terkejut melihat sosok yang keluar.
"Nyonya Sahira?!" seru Rani, asisten suaminya, tak menyangka akan bertemu mantan istri bosnya di jalanan sepi itu.
"Maaf, kau salah orang," timpal Sahira, berbalik ingin pergi.
Namun, Rani dengan sigap menangkap tangannya. "Tunggu, Nyonya. Jangan pergi."
"Lepaskan aku, aku bukan istri atasanmu lagi," pinta Sahira, mulai memberontak.
"Nyonya, tolong ikut saya pulang. Apa Nyonya tega melihat bayi Nyonya tidur di luar yang sangat dingin ini?" mohon Rani, tatapannya penuh iba pada bayi dalam dekapan Sahira.
Sahira menunduk, bahunya bergetar hebat. "Kau mau bawa aku ke mana?" tanyanya lirih.
"Anda tenang saja. Saya akan membawa Anda ke rumah saya, bukan ke rumah Pak Rames."
Meskipun ragu, Sahira akhirnya masuk ke mobil Rani. Benar saja, asisten itu membawanya ke sebuah rumah kecil yang nyaman. Setelah bayinya diletakkan di tempat tidur, Rani menyuruh Sahira mandi, lalu memberinya makan. Air mata Sahira menetes. Lebih dari seminggu ia tidak menikmati masakan yang layak. Di rumah sakit jiwa, hanya nasi dan tempe yang menjadi makanannya sehari-hari.
"Baik, Nyonya istirahat dulu. Saya mau mandi juga," ucap Rani, mengambil handuknya dan masuk ke kamar mandi.
Melihat ponsel Rani di nakas, Sahira berniat mencoba menghubungi nomor di poster. Beruntung, ponsel itu tidak terkunci. Ia mengetik nomornya, tetapi tidak ada jawaban.
"Baiklah, besok aku akan pergi ke alamat itu," batinnya. Sahira meletakkan ponsel Rani kembali, lalu duduk di samping bayinya, dengan lembut mengusap pipi mungil itu.
Tiba-tiba, bel rumah Rani berbunyi.
"Rani, sepertinya ada orang di luar. Siapa yang datang?" teriak Sahira ke arah kamar mandi.
"Mungkin driver yang mengantar popok, Nyonya," balas Rani. "Maaf, Nyonya. Tolong bukakan saja pintunya. Uangnya ada di dalam laci."
Sahira mengambil uang itu, lalu keluar dari kamar. Begitu pintu terbuka, matanya membelalak. Di depannya berdiri seorang pria yang sangat ia kenal: Rames.
Sahira hendak menutup pintu, tapi Rames menahannya dan dengan cepat masuk, memeluk Sahira erat. Ia lega, Rani ternyata tidak berbohong.
"Menyingkirlah dariku, sialan!" seloroh Sahira, mendorong tubuh Rames dengan sekuat tenaga.
"Sayang, aku minta maaf. Maafkan aku. Aku salah. Aku seharusnya lebih percaya padamu daripada..."
Plak!
Lagi-lagi, tamparan Sahira mendarat di pipi Rames. Tamparan itu tak cukup untuk membalas luka hatinya.
"PERGI!! PERGI KAU DARI SINI!!" bentak Sahira lantang. Suaranya membuat bayi di kamar menangis.
Rani yang mendengar keributan, buru-buru menyelesaikan mandinya.
"Itu... itu pasti anakku!" ucap Rames, hendak ke kamar.
Sahira segera merentangkan kedua tangannya, menghalangi pintu. "Dia bukan anakmu! Anakmu sudah mati!" bentak Sahira, meluapkan seluruh amarah, kekecewaan, dan kebenciannya.
Rames langsung berlutut. "Sahira, maafkan aku. Aku sungguh minta maaf. Tolong beri aku kesempatan, sayang," mohonnya, mendongak penuh harap.
Namun, Sahira hanya menatapnya dengan jijik.
"Sahira, sebenarnya bayi laki-lakimu belum mati," ucap Rames, suaranya pelan.
"Apa?" Sahira terkejut.
Rames berdiri. "Ya, Sahira. Bayi kita belum mati. Aku berbohong. Aku sendiri yang menyuruh dokter membohongimu."
"Apa maksudmu sebenarnya?" tanya Sahira, bingung.
Sementara itu, Rani yang sudah selesai mandi, bergegas menenangkan bayi Sahira.
"Sahira, sebenarnya Julian keguguran sebelum melahirkan. Karena itu, aku 'menghadiahkan' bayi laki-lakimu kepadanya. Aku pikir Julian lebih baik darimu, tapi ternyata dia hanyalah penipu yang menjebakku hingga perusahaanku bangkrut. Sekarang, yang kumiliki hanya kamu. Kumohon, kembalilah padaku, Sahira. Kita bangun rumah tangga dari awal. Aku berjanji akan berubah," pinta Rames, meraih tangan Sahira dan menatapnya yang tertunduk.
Sahira malah tertawa hampa, lalu menghempaskan tangan Rames. "Benar-benar menjijikan. Kau membuatku muak."
"Sahira, aku tahu kau membenciku, tapi aku serius. Aku merasa bersalah dan ingin menebusnya," ucap Rames, menepuk dadanya.
Sahira tersenyum miris. "Baiklah, aku akan memikirkan tawaranmu. Tapi temukan dulu bayiku! Aku akan percaya jika bayi laki-lakiku kembali kepadaku!"
Di balik pintu, Rani tersentak mendengar syarat yang mudah itu.
Rames mengulas senyum bahagia, lalu melirik pintu di belakang Sahira yang tertutup. "Kalau begitu, apa aku boleh melihat bayiku, Sahira?"
Sahira menggeleng. Ia menunjuk pintu rumah. "Pergi dan jangan pernah kembali sebelum kau temukan bayiku."
"Tapi, Sahira, aku merindukannya," mohon Rames, yang belum pernah menggendong bayi itu.
Sahira tertawa getir. "Rindu? Setelah kau sadar, kau baru merindukan bayimu? Jangan harap kau bisa menemuinya semudah itu! PERGILAH, RAMES!"
Rames akhirnya pergi, daripada Sahira berubah pikiran.
"Mbak..." lirih Rani, membuka pintu kamar.
Sahira berbalik, mengambil bayinya dari Rani. "Kau pasti sangat ingin melihat ayahmu, Nak. Tapi Ibu tidak bisa membiarkan pria jahat itu melihatmu. Kalian adalah malaikat kecil Ibu, tidak mungkin Ibu mempertemukan kalian dengan iblis sepertinya."
Rani memeluk Sahira yang menangis tersedu-sedu. Meskipun belum menikah, Rani bisa merasakan penderitaan Sahira.
Pagi harinya, Rani terbangun dan terkejut tidak menemukan Sahira serta bayinya. Ia mengira Rames yang membawa Sahira pergi. Namun, ia menemukan secarik kertas berisi ucapan terima kasih dan pesan bahwa Sahira akan pergi ke tempat ia akan mulai bekerja.
Tentu saja, Sahira tak ingin menyusahkan Rani. Pagi itu, ia menuju alamat di poster. Setibanya di sana, Sahira ternganga melihat rumah mewah bak istana. Di depannya, sudah ada banyak wanita yang mengantre panjang. Melihat antrean yang tak putus, Sahira tidak yakin apakah ia akan diterima. Apalagi, ia berada di antrean paling belakang.
Pandangan Sahira beralih membaca papan nama di gerbang:
"RAYMOND HOME."
"Pantas saja gajinya dua miliar. Rumahnya sebesar istana. Apa keluarga ini keturunan bangsawan?" pikir Sahira, keraguannya semakin besar. “Semoga saja... penghuninya baik hati dan tidak sombong,” harap Sahira lalu tersentak mendengar sahutan bayinya.
“Oeekk...” Sahira sedikit tertawa, namun kemudian terdiam saat wanita di depannya menatapnya tajam, seolah risih kepada Sahira yang membawa bayinya.
“Cih, dia pasti datang untuk menggoda Tuan rumah.”
Sahira hanya bisa menunduk mendengar cercaan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!