NovelToon NovelToon

Falling In Love Again After Divorce

Setelah Tiga Tahun

Ariana melirik arlojinya, sudah pukul 19.30 Wib. Ariana sudah menyiapkan dua cangkir teh hangat, satu diletakkan di sisi kiri miliknya dan satu lagi di kursi sebelah kanan yang biasa diduduki oleh Sean Montgomery, suaminya. Meski ia sendiri tahu Sean tidak akan meminumnya. Namun bodohnya Ariana terus mengulanginya selama tiga tahun ini.

Tak lama, Sean memasuki rumah dengan jas hitam pekat dan dasi yang sudah dilonggarkan.

Ariana berdiri, tangannya menyentuh sisi gaunnya seolah hendak merapikan sesuatu yang sebenarnya tidak berantakan.

“Kamu sudah pulang? Saya sudah buatkan teh.” kata Ariana pelan.

Sean mengangguk. “Hmmm.” jawabnya datar.

Pria itu berjalan melewatinya, sedikit melirik ke arah teh yang masih mengepul. “Terima kasih.”

Tidak ada pembicaraan lanjutan. Ariana juga sudah tidak berharap lagi. Mereka bukan suami dan istri yang saling mencintai di drama Korea yang biasa ia tonton.

Ariana menyesap tehnya perlahan. Sedangkan Sean membuka laptop miliknya lalu mulai sibuk mengerjakan sesuatu. Entahlah, Ariana tidak mengerti huruf dan angka itu. Ariana menoleh menatap wajah Sean yang seperti biasa selalu tajam, tenang, tanpa cela, tanpa celah. Ia tidak tahu bagaimana cara menyusup ke dalam pikiran suaminya. Yang Ia tahu Sean tidak akan mengizinkannya begitu tahu yang masuk adalah dirinya. Seseorang yang sudah menunggu selama tiga tahun. Ariana mencintainya sendirian.

Teh di cangkir Sean mulai mendingin, pria itu sama sekali tidak berniat untuk mencicipinya. Ariana tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap uap dari cangkirnya sendiri, menyaksikannya hilang sedikit demi sedikit.

Makan malam sudah tersedia di atas meja makan. Hanya mereka berdua yang makan di sana. Ariana duduk dalam diam, memotong kentang kecil-kecil dengan hati-hati. Hal yang ia pelajari selama tinggal di rumah ini.

Meja makan mereka panjang, cukup untuk delapan orang, tapi hanya dua kursi di ujung yang dipakai setiap malam.

“Kamu masih mau tambah?” Ariana bertanya dengan suara yang lembut.

Sean menggeleng. “Tidak.”

Ia menyuap sepotong wortel panggang, mengunyah pelan. “Mama Florence menelepon tadi siang,” ucapnya kemudian. Sean tidak mengangkat wajahnya meski yang Ariana bicarakan adalah ibunya sendiri.

Dengan pelan Nesa berkata “Katanya dia akan datang besok tapi tidak bilang datang di jam berapa.”

“Terserah padanya.” Ucap Sean lalu kembali fokus ke makanan miliknya.

Itu saja.

Setelah itu keheningan mulai menyapa. Ariana sudah terbiasa dengan suasana ini.

“Kamu mau teh setelah makan?” Lagi-lagi Ariana mencoba mencari topik pembicaraan.

Sean menggeleng. “Terima kasih.”

Ariana mengangguk lalu membalik garpunya, ia sudah selesai. Ia ingin bertanya hal lain, namun Ariana mengurungkan niatnya. Ia tahu pria ini, suaminya, tidak ingin berbicara lebih jauh dengannya.

Selesai makan, Sean berdiri lebih dulu. Ia pergi tanpa meninggalkan suara. Ariana menatap tempat duduk yang ditinggalkannya. Selalu seperti ini. Wanita itu berdiri, membereskan piring lalu melipat serbet linen milik Sean dengan presisi. Pria itu suka kesempurnaan.

Ariana membiarkan air mengalir ke atas piring-piring di wastafel, namun tangannya hanya diam tidak langsung mencucinya. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan bunyi air menjadi satu-satunya suara yang hidup dalam rumah yang terlalu senyap untuk disebut rumah. Sampai kapan Ariana harus berada di dalam situasi ini. Ia sudah sangat lelah sekali.

Bel terdengar dari luar pintu rumah. Ariana tahu siapa yang berdiri di balik pintu bahkan sebelum ia membukanya. Tidak banyak orang yang datang ke rumah itu tanpa memberi tahu lebih dulu. Saat pintu dibuka, Florence Montgomery berdiri di ambang pintu seperti ialah pemilik rumah yang sebenarnya. Memang benar, dia dan Seanlah pemilik rumah ini. Bukan Ariana, ia bukan siapa-siapa di sini.

“Mama,” ucap Ariana lembut, membuka space mempersilahkan mama mertuanya masuk. “Silahkan masuk, saya akan ambilkan teh untuk Mama.”

Florence mengenakan mantel wol biru tua, rapi dan mewah, tidak akan ada setitik pun debu yang berani menghiasi bulu mantelnya. Di pundaknya tergantung tas kulit mengilap senilai ratusan juta dan di lehernya tergantung kalung mutiara yang dapat membeli satu rumah mewah di kawasan elit kota ini.

“Teh hangat, tidak terlalu manis. Dan Ariana…” Florence memindai tubuh Ariana dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Gunakan perhiasanmu, jangan menunjukkan kelas rendahanmu di dalam keluarga kami!”

Ariana mengangguk, tidak melawan atau sekedar memberi pernyataan. Ia mempersilakan mama mertuanya masuk, lalu berjalan ke dapur.

Ketika Ariana kembali dengan teh, Florence sudah duduk di kursi favorit mendiang suaminya yang kini jarang dipakai siapa pun. Ariana meletakkan cangkir di atas meja kecil dengan alas renda. Florence mengangkatnya, mencicip sedikit, lalu meletakkannya kembali di tempat sebelumnya.

“Sean di kantor?” tanyanya.

“Di lantai atas, masih bekerja Ma.”

Florence menaruh cangkirnya, lalu memandang Ariana dengan ekspresi manis yang Ariana tahu beracun. “Saya telah bertemu seseorang di acara makan malam keluarga teman lama. Seorang gadis muda dengan latar belakang keluarga jelas. Ayahnya mantan duta besar, sejak kecil dia bersekolah di luar negeri. Dia cantik, sopan dan berpendidikan tinggi.”

Ariana tidak merespon. Ia hanya duduk tenang, dengan jemari yang saling memilin bergantian. Ariana tidak kaget dan tidak pula merasa harus mempertahankan posisi. Ariana sudah tahu suatu saat hal ini pasti akan terjadi. Dan ya… mungkin inilah waktunya.

Florence mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Sean juga menyukainya. Saya bisa melihat… ketertarikan di dalam dirinya.” Ucapnya dengan penuh penekanan seolah menunjukkan Ariana tidak ada apa-apanya dibanding gadis itu.

“Saya tahu kamu perempuan yang baik. Tapi kita tidak bisa menipu nasib terlalu lama. Kamu dan Sean… kalian seperti dua orang yang duduk di sisi berbeda dari jendela yang sama. Sampai kapanpun tidak akan layak jika disatukan. Cih… Saya bahkan tidak mengetahui dari bibit busuk mana kamu tumbuh.”

Hening

Ariana tidak berniat menyanggah sedikit pun pernyataan itu.

Florence menegakkan duduknya. “Saya tahu kamu sangat ingin menjadi bagian dari keluarga kami. Tapi sesuatu yang tidak cocok harus segera dilepaskan sebelum menjadi terlalu rusak.”

Manis namun licik. Ariana mengenal iblis yang sesungguhnya sejak pertama kali menginjakkan kaki di dalam keluarga ini.

Ariana berdiri perlahan, mengambil cangkir Florence. “Mau saya buatkan teh lagi Ma?”

Florence berdiri juga. “Tidak perlu. Saya sudah cukup lama di sini. Waktu saya terlalu berharga hanya untuk mengunjungi kamu.”

Saat Florence berjalan menuju pintu, Ariana mengikutinya tanpa suara. Florence berhenti sebentar di ambang pintu, lalu menoleh.

“Nama perempuan itu Clarissa, dia tahu cara berdiri di keluarga Montgomery,” katanya, “Dia tidak seperti kamu yang bersikap seperti orang dungu saat berhadapan dengan partner bisnis Sean. Saya tidak menyalahkannya, faktanya kamu memang tumbuh di jalanan. Saya pergi…”

Ariana membuka pintu, pandangannya tetap tenang. “Sampai jumpa Ma.” Nesa bersandar di pintu setelah tertutup.

Jangan tanyakan apakah hatinya sakit atau tidak, Ia sudah lupa bagaimana rasanya ‘sakit hati’

Semakin Tidak Terlihat

Ariana berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun biru gelap yang menjuntai sederhana hingga mata kaki. Bahan satin itu tidak mengilap, tidak mencolok, tapi jatuh rapi mengikuti tubuhnya. Rambutnya disanggul ke atas hingga memperlihatkan lehernya yang jenjang. Ia menatap bayangannya di cermin sejenak hanya untuk memastikan bahwa segala sesuatu tepat berada di tempatnya. Ariana ulangi, Sean menyukai kesempurnaan.

Ariana membuka pintu bersiap untuk pergi. Satu lagi, Sean tidak suka menunggu.

Sean berdiri tepat di depan pintu dibalut setelan jas hitam dengan kemeja putih bersih dan dasi abu-abu muda. Dia memang terlalu sempurna, terlalu sempurna untuk sekedar disamping Ariana. Ha ha ‘Si upik abu’ kata mama mertuanya saat pertama kali datang kesini.

Ariana mengikuti langkah Sean tanpa kata. Tidak ada pujian ataupun komentar tentang gaunnya. Tidak ada kalimat “kamu cantik malam ini”. Namum Ariana tak menunggu, sudah tidak lagi. Ia sudah terlalu lelah untuk sekedar menaruh sedikit harapan. Harapan bahwa Sean akan mencintainya.

“Ada sesi penghargaan jam tujuh. Setelah itu makan malam dan perkenalan beberapa relasi baru.”

Ariana mengangguk. “Apakah saya perlu berdiri di atas panggung bersamamu?”

Sean menoleh sebentar. “Tidak. Tapi akan ada sesi foto bersama keluarga direksi. Kamu boleh ikut berdiri jika mau.”

Ariana tersenyum tipis mengerti arti ucapan pria itu. “Tidak perlu, saya akan menunggu di meja saja.” Sean tidak menginginkannya untuk berada disana.

***

Lobi hotel dipenuhi cahaya kuning hangat, kristal gantung berkilauan di atas langit-langit ballroom. Aroma parfum mahal dan wine berusia puluhan tahun mengambang di udara. Beberapa pelayan langsung menyambut mereka di depan pintu kedatangan. Tidak… bukan mereka, tapi hanya Sean.  Ariana berjalan di samping Sean, bersama namun tak saling bersentuhan.

Begitu mereka masuk, suasana berubah. Mata orang-orang berbalik secara otomatis. Wajah-wajah dari majalah bisnis, pemilik galeri, putra dan putri duta besar, pemilik restoran, pewaris merek furnitur besar, semua orang mengenal Sean.

“Akhirnya datang juga!” ucap seorang pria paruh baya yang berdiri di dekat meja minuman.

“Sean, congratulations untuk ekspansi terakhir. Itu sangat hebat sekali,” ujar seorang wanita bergaun merah yang memegang dua gelas prosecco.

Sean tersenyum sopan, pujian sudah bukan kata asing di telinganya saking seringnya mendengar kata itu. Bisnis adalah bisnis. Apa yang ditunjukkan dihadapan matanya saat ini bukanlah wajah asli mereka.

Ariana tetap berdiri di sampingnya, Sean tidak memperkenalkannya atau sekedar menunjukkan bahwa mereka cukup dekat untuk membuatnya merasa dihargai. Ariana terkekeh di dalam hati, inilah dirinya yang sebenarnya. Tidak terlihat bahkan barang secuil pun. Kadang ia bertanya-tanya, untuk apa dibawa kalau tidak diinginkan. Bukankah dunia terlalu kejam padanya?

Seorang pria muda bersetelan abu-abu memperhatikan Ariana sesaat, lalu bertanya, “Maaf, Anda sekretaris Tuan Montgomery?”

Sebelum Ariana menjawab, Florence muncul dari sisi kanan ballroom, seperti sosok aristokrat yang baru selesai memberi perintah kepada pelayannya. Ia mengenakan gaun hitam elegan, rambutnya tersanggul sempurna, bibirnya merah tua seperti lukisan lama.

“Ariana,” ucap Florence dengan suara yang cukup keras untuk didengar tamu di sekitarnya, “akhirnya sampai juga. Saya sempat mengira kamu tidak ikut.”

Ariana tersenyum kecil, ‘Dia berharap aku tidak ikut, aku tahu itu.’

Florence tersenyum manis, lalu menoleh ke sekelompok wanita yang menatap Ariana penasaran sebab gadis itu datang bersamaan dengan Sean Montgomery. “Ini Ariana, sekretaris Sean.” Ucap Florence segera. Ia tidak akan membiarkan Ariana memiliki celah untuk dikenal sebagai istri Sean, menantunya.

Wanita-wanita itu tersenyum cerah mendengar pernyataan Florence sesuai dengan yang mereka ekspektasikan. Mereka kembali menatap ke arah Florence tanpa mempedulikan keberadaan Ariana.

‘Aku memang selalu tidak terlihatkan?’ Batin Ariana.

Florence melangkah mendekat, lalu berbisik pelan di telinga Sean, “Nanti setelah sesi foto, Segeralah temui investor dari Singapura. Clarissa juga ada di sana.”

Ariana tidak menoleh, tapi ia mendengar dengan jelas.

Sean hanya mengangguk pelan.

Florence lalu kembali menatap Ariana dan berkata cukup keras, “Duduklah di meja sebelah sana. Sesi foto ini khusus untuk keluarga inti Montgomery.” Dia menunjuk meja si sudut ruangan. Yah, pada akhirnya Ariana akan selalu semakin tidak terlihat. Sean juga tidak mengatakan apapun untuk menahannya pergi.

Seorang pelayan menawarkan segelas anggur. Ariana menerimanya dengan tenang. Segelas minuman ini mengingatkannya pada kejadian pengalaman pertamanya meminum anggur. Mabuk berat hingga mempermalukan keluarga Montgomery. Florence semakin tidak menyukainya saat itu begitupun dengan Sean yang merasa Ariana selalu mempermalukannya. Sean malu punya istri sepertinya.

Ariana menghela napas panjang lalu meminum seteguk kecil, sedikit menoleh ke belakang dimana Florence dan Sean yang tengah berbincang dengan tiga orang tokoh penting dari media. Sean… sama sekali tidak melihat kearahnya sekalipun.

Dari kejauhan seseorang memanggil nama Sean, semua orang bergantian menyapanya seolah memang dialah bintang utama malam ini.

Florence melangkah ringan di depan mereka, gaunnya bergerak seperti air tenang yang tidak pernah menyentuh tanah. Ia mengarahkan langkah ke salah satu sudut ballroom yang lebih redup cahayanya, sebuah ruang kecil tempat para tamu istimewa berkumpul dalam lingkaran privat.

“Itu dia Clarissa.” Ucap Florence menarik tangan Sean menemui calon menantu yang dia dambakan selama ini. Wanita yang pantas berdiri disamping putranya, pewaris satu-satunya di keluarga Montgomery.

Ariana mengikuti arah matanya.

Seorang perempuan muda berdiri di tengah ballrom dengan segelas champagne di tangannya. Rambut hitam pekatnya disanggul separuh, gaunnya berwarna gading dengan potongan leher tinggi dan lengan renda tipis. Sexy dan sangat mencolok, sekali bergerak mampu mengalihkan beberapa pandangan pria hanya padanya. Sempurna, seperti kata kesukaan Sean.

Florence memberi isyarat halus kepada Clarissa, yang segera melangkah mendekat dengan langkah ringan.

“Clarissa,” sapa Florence, suaranya hangat dan bersahabat, “Dia baru kembali setelah dua tahun di London, lulusan hubungan internasional dengan predikat magna cumlaude Sean.”

“Senang bertemu lagi, Tante Florence.” Clarissa tersenyum pada Florence namun sudut matanya hanya fokus pada satu orang, Sean Montgomery.

Florence melanjutkan, “Clarissa pernah magang sebentar di kantor kita kalau saya tidak salah?”

“Betul, sewaktu Pak James masih aktif.”

Sean menatap Clarissa lalu berkata pelan, “Saya ingat. Kamu ikut membantu bahan konferensi di tahun terakhir Papa menjabat.”

Clarissa mengangguk, sedikit tersenyum. “Saya masih simpan fotonya di meja kerja. Itu pengalaman berharga untuk saya.”

Sean hanya mengangguk kecil, tanpa menanggapi lebih jauh.

Florence tersenyum puas, pemandangan ini yang ia inginkan sejak dulu. Pendamping yang setara untuk putranya, bukan si upik abu itu.

Clarissa bercerita tentang pengalamannya selama menempuh Pendidikan di Inggris. Tentang museum dan salju, gadis itu mencoba berbagai topik untuk menarik perhatian pria incaran seluruh wanita di kota inu. Sean sesekali menanggapi dengan ringan namun tetap profesional.

Ariana memperhatikan semuanya dalam diam. Tapi di detik itu juga ia tahu, sebentar lagi…ya sebentar lagi hubungan ini akan selesai.

“Kupikir Clarissa akan sangat cocok membina hubungan bilateral dengan kita.” Bisik Florence di telinga Sean.

Ariana menyendokkan potongan salmon kecil ke mulutnya. Rasanya asin dan manis lalu lidahnya kembali hambar. Seperti hidupnya saat ini, tanpa rasa. Ia melihat tangan Sean mengambil gelas dari kejauhan, tangan itu tangan yang sama dengan tangan menyentuh tubuhnya malam-malam sebelumnya. Tapi malam ini, tangan itu tak tampak mengenalnya. Dia fokus pada satu wanita… wanita yang kelak akan menggantikan posisinya disisi Sean. Ia terus saja memandangi Sean, berharap pria itu menoleh padanya… sekali saja. Untuk yang terakhir, namun Ariana tetaplah Ariana si upik abu.

‘Jika aku tidak duduk di sini malam ini, apakah ada yang sadar?’

Ariana terkekeh pelan. Bodohnya dia bertanya sesuatu yang sudah dia ketahui jawabannya, tentu saja tidak.

Saat Itu Akhirnya Tiba

Di dalam mobil hanya mereka berdua bersama sopir. Masih teringat jelas Clarissa ingin ikut bersama namun entah apa dan bagaimana tidak jadi. Padahal Ariana sudah bersiap-siap pulang menggunakan taksi. Ariana fokus pada pemandangan di luar jendela yang basah oleh embun sisa-sisa hujan sore tadi. Sean duduk di sampingnya. Kemejanya masih rapi, tidak ada yang berubah darinya kecuali dasinya yang sudah sedikit dilonggarkan.

“Terima kasih sudah datang malam ini.” Ujar Sean membuka suara pertama kalinya sejak mereka memasuki mobil ini.

Setelah jeda yang cukup lama, Ariana berkata tanpa berpaling, “Sama-sama.” Pemandangan di luar jendela seolah lebih menarik dari pria di sebelahnya.

Sean menoleh sedikit. “Kamu terlihat… baik malam ini.”

Kalau boleh, Ariana ingin tertawa. Kalimat itu terdengar seperti… mmm formalitas. Seharusnya Sean mengatakannya saat pertama kali melihatnya dengan balutan gaun mewah ini atau sebelum mereka tiba di pesta atau paling tidak sebelum Clarissa menyebut nama Sean dengan santai seolah mereka memang ditakdirkan sedekat itu.

Walau begitu Ariana tetap mengangguk kecil. “Terima kasih.”

Ariana sedang belajar menjadi asing, hanya untuknya. Sebab bagi Sean, dirinya memang sudah asing sejak dulu.

Sean menoleh sekilas pada wanita di sampingnya, merasa ada yang tidak biasa. Ariana yang dulu menangis diam-diam di sisi ranjang, Ariana yang memohon untuk sekedar diberi perhatian dan Ariana yang menatapnya berbinar-binar penuh cinta.

Dan ketika mobil akhirnya berhenti di halaman rumah mereka, Ariana membuka pintu pelan dan melangkah turun tanpa berkata apa-apa. Melangkah tanpa menoleh ke belakang. Sean merasa ada yang berbeda, namun pria itu mencoba acuh melangkahkan kaki berlawanan arah dari Ariana.

***

Ariana duduk di ujung sofa kamar mereka, menyelimuti dirinya dengan selimut tipis yang biasa ia pakai saat membaca. Ariana bukan gadis pintar akademik atau anak yang dari kecil sudah berteman dengan bisnis. Ariana banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku di rumah. Ia tidak bisa melakukan hal yang disuka, karna apapun yang ia sukai semua tampak buruk di mata Montgomery. Sean muncul dari balik pintu dengan piama satin mewah miliknya.

Ia berbicara tanpa melihatnya. “Kamu belum tidur?”

“Saya baru saja membaca,” jawab Ariana, berjalan pelan ke ruang kosong di sisi lain ranjang. Hidupnya memang lucu sekali, suami istri mana yang masih menggunakan kata saya setelah tiga tahun menikah.

Sean naik ke atas tempat tidur dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang.

Ariana meletakkan buku miliknya di atas nakas lalu duduk di tepi ranjang, dia melepaskan jepitan indah yang menghiasi rambutnya lalu menyisirnya dengan jari-jari. Sudah waktunya untuk tidur, waktu baginya untuk lupa pada dunia yang menyedihkan ini.

Sean menatapnya sebentar, lalu menjulurkan tangan ke arahnya. Seperti seseorang yang meminta sesuatu tanpa bertanya kau mau memberinya atau tidak. Ariana tahu apa yang pria itu inginkan. Mereka berbaring berdampingan bukan karna cinta namun karena ikatan pernikahan yang dipaksakan. Tangan Sean menyentuhnya dengan cara yang ia tahu, Ariana tidak menolak. Apapun yang terjadi ini tetaplah kewajibannya sebagai seorang istri meski ia tahu… dirinya tidak diinginkan untuk sebuah kata cinta. Hanya saat pria itu membutuhkan tubuhnya sebagai pelampiasan kebutuhan seorang pria. ‘Dia hanya memeluk tubuhku, tapi tidak pernah memeluk jiwaku.’-Ariana.

Ariana mengatur irama napasnya yang tidak beraturan. Dulu baginya ini adalah ikatan keintiman suami dan istri yang saling mencintai. Tapi sekarang tidak, tubuhnya hanya pelampiasan nafsu. Tidak ada pelukan setelahnya, tidak ada bisikan kata-kata cinta ataupun ciuman lembut di dahi. Hanya napas yang perlahan kembali teratur dan lampu meja yang masih menyala sampai Ariana bangkit dan mematikannya.

Ketika Sean sudah lelap dengan tidurnya, Ariana tetap terjaga. Ia memandangi langit-langit kamar, lalu memutar tubuhnya menghadap dinding.

Tidak ada lagi air mata, sebagaimana Ariana menghabiskan hari-harinya menangisi Sean selama ini. Pria yang ia pikir pangeran yang akan menjaganya yang seorang diri. Ariana, gadis kecil yang tumbuh sendirian di jalanan tanpa keluarga dan sanak saudara. Kata Florence ia hanyalah sampah yang dipungut oleh suaminya dan didaur ulang menjadi barang bagus. Tapi sekali lagi bagi wanita itu dan putranya sampah tetaplah sampah.

***

Keesokan harinya Sean muncul dari lorong, tanpa jas, hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung rapi. Ariana melirik pada arloji miliknya, ini terlalu cepat. Hal penting apa yang membuat Sean membuang waktunya untuk pulang lebih cepat ke rumah ini. Pria itu menghadap Ariana seperti seseorang yang hendak memulai rapat penting.

“Ada yang ingin saya bicarakan.” Ucap Sean.

Sean bukan orang yang akan mulai bicara lebih dulu atau izin meminta waktu orang lain kecuali untuk hal penting.

Ariana meluruskan kakinya. “Bicara saja Sean, aku mendengarkan.”

Sean menghela napas panjang sebelum melanjutkan pembicaraan.

“Aku sudah berpikir cukup lama… tentang kita.” katanya dengan tegas.

Ariana diam mulai menangkap sinyal kemana arah pembicaraan ini akan berlabuh.

Sean melanjutkan. “Kita tidak saling menyakiti tapi kita juga tidak benar-benar hidup bersama.”

‘Bohong, kau menyakitiku’

Sean menatapnya Ariana, ingin melihat respon seperti apa yang akan diberikan oleh wanita yang berstatus sebagai istrinya ini.

“Aku tidak pernah bisa mencintaimu bahkan setelah tiga tahun kita menikah.”

‘Benarkah? Sungguh benar-benar tidak bisa ya. Lalu kenapa kau menyentuhku seolah kau membutuhkanku?... bahkan semalam… ah sebegitu tidak berartinyakah…’

Ariana tahu pertanyaan ini pertanyaan bodoh, dan bodohnya ia menanyakan pertanyaan yang sudah ia ketahui jawabannya. Ariana mengejek dirinya sendiri, diceraikan setelah ditiduri tadi malam. ‘Dunia apa yang sedang Tuhan berikan untuk kutinggali.’

“Aku ingin kita berpisah, Ariana. Bercerai secara baik-baik.”

‘Kalau baik-baik tidak mungkin berpisah.’

Jantung Ariana berdetak lebih cepat. Malam ini akhirnya benar-benar datang, kata perpisahan itu akhirnya keluar dari bibir orang yang masih ia cintai, cinta pertamanya, pria pertamanya.

“Ini bukan karena kamu,” kata Sean, nyaris seperti pengakuan. “Dan bukan karena orang lain. Aku hanya… merasa aku bukan orang yang bisa membahagiakanmu.”

‘Huh, bukan karna orang lain? Kau pembohong! Kau menceraikanku setelah bertemu dengan wanita itukan?’

Ariana hanya mampu mengucapkan kalimat-kalimat itu di dalam hati. Ariana tidak menangis tidak juga memberikan reaksi berlebihan. Hanya diam dan mendengarkan Sean kembali berbicara. Ariana ingin menikmati suara itu sebentar lagi.

Ariana menatap Sean dalam-dalam selama mungkin

“Ariana…” Bisik Sean.

“Aku tahu.” Ariana melanjutkan dengan suara tenang, “Aku sudah tahu cukup lama kalau namaku tidak pernah ada di sana.” Nesa memandang dada Sean. “Dan bodohnya aku tetap tinggal… karena aku mencintaimu.”

Sean tidak bicara, pria itu mengetahui cinta Ariana. Di bola matanya tersirat cinta yang begitu besar saat menatap dirinya.

Ariana berdiri pelan lalu menatap Sean sekali lagi, meraup kepuasan untuk menyimpan bayangan wajah pria itu dalam sudut hatinya yang mulai mati.

“Aku menunggu surat perceraiannya segera tiba.”

Wanita itu melangkah ke arah tangga dengan terburu-buru. Ariana sudah mempersiapkan diri sejak lama, namun kenapa… detik ini rasa sakit masih menggerogoti hati kecilnya.

Sean melihat kepergian Ariana tanpa ekspresi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!