“Astaga, bisa-bisanya aku kesiangan!”
Seorang gadis berlari tergesa-gesa menyusuri trotoar yang mulai ramai. Napasnya memburu, terengah-engah, seperti pelari maraton di garis akhir.
Rambut hitam panjangnya yang diikat asal-asalan, kini beberapa helainya sudah lepas dan menempel di pelipisnya yang berkeringat. Sepatu sneakers-nya yang berwarna pudar belepotan lumpur, menunjukkan jejak perjuangan yang gadis itu lalui pagi itu.
Ini adalah hari pertamanya bekerja, dan tentu saja, ia nyaris terlambat.
Gadis dengan mata hazel itu adalah Naomi.
Dibesarkan di sebuah panti asuhan sejak bayi, Naomi tumbuh menjadi gadis yang keras kepala, dewasa dan mandiri. Hidup telah mengajarkan nya untuk tak pernah bergantung pada siapapun, selalu berusaha berdiri diatas kakinya sendiri.
Setiap inci keberhasilannya adalah hasil jerih payahnya. Dan sekarang, di usia dua puluh tahun, Naomi harus bekerja keras bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga untuk membantu ibu panti yang tengah sakit keras, menopang sedikit beban hidup di pundak mungilnya.
Impian besar tak ada dalam kamus Naomi. Yang ada hanya satu, bertahan hidup dan memastikan orang-orang yang Naomi sayangi baik-baik saja.
Naomi sudah duduk di dalam bus kota yang mulai padat. Sesekali, ia melirik jam tangan murahan yang melingkar di pergelangan kirinya dan mendesah keras. Jarum jam sudah menunjukkan waktu yang kritis.
“Bagaimana ini?! Aku bisa dipecat sebelum bekerja!” desis nya pelan, tangannya meremas tali tas punggungnya yang usang. "Ini perusahaan kelima yang mau menerimaku bekerja. Astaga, setelah aku ditolak mentah-mentah berkali-kali!"
Wajah Naomi berubah cemberut, bibirnya manyun, menunjukkan kekesalan yang mendalam.
Gadis itu mendongak, lalu menggerutu lagi, kali ini sedikit lebih kencang, hingga suaranya memenuhi sebagian kecil ruang bus.
“Terakhir kali aku kerja, aku dipecat karena menendang otong bosku yang me sum dan mata keranjang itu! Salah siapa coba, main peluk-peluk orang sembarangan! Udah kayak cacing kepanasan aja!” ocehnya sambil menghentakkan kaki kesal, melampiaskan amarah yang masih membekas di hatinya.
Bus yang tadinya sepi, kini mulai terasa gaduh karena suara cempreng Naomi yang mengudara tanpa sensor, menarik perhatian beberapa penumpang lain yang tadinya terlelap atau asyik dengan ponselnya.
“Berisik! Kamu mengganggu tidurku, bodoh!” ucap seseorang dari kursi belakang dengan suara dalam dan datar, seperti guntur yang samar.
Naomi terkejut, matanya membelalak. Ia pun menoleh, ekspresi wajahnya yang kesal menjadi semakin kesal saat melihat sumber suara. Naomi mendapati seorang pria yang duduk dengan tenang di belakangnya.
“Apa kamu bilang?! Aku bodoh?!” pekik Naomi, tidak terima sembari menunjuk dirinya sendiri.
“Kecilkan suaramu!” ucap suara itu lagi, tegas dan dingin, tanpa sedikit pun nada basa-basi. Seperti seorang komandan yang memerintah.
Di belakang Naomi, duduk seorang pria dengan setelan jas hitam rapi. Pakaiannya terlihat mahal dan pas di tubuhnya yang tegap.
Wajahnya nyaris tak terlihat karena tertutup masker hitam yang menutupi hidung dan mulut, serta topi yang menaungi sebagian wajahnya.
Namun, dari tatapan tajam matanya yang terlihat sedikit di balik bayangan topi, Naomi tahu pria itu bukan orang sembarangan. Aura dominan dan intimidatif memancar kuat dari tubuhnya, membuat suasana di sekelilingnya terasa membeku.
“Ini angkutan umum, Tuan!” sahut Naomi dengan lantang, tidak gentar sama sekali. “Jadi suka-suka saya dong mau teriak, nangis, atau guling-guling! Saya juga bayar, bukan numpang gratis kayak parasit!”
Pria itu berdecak, terdengar jelas meski terhalang masker. “Ck. Menyebalkan.”
Naomi bersedekap, menatapnya sinis, siap melanjutkan debat seru mereka.
Tapi sebelum debat kecil yang aneh ini semakin panas, keduanya refleks berseru, “Turun di depan, Pak!” ucap mereka bersamaan, terkejut dengan kebetulan itu.
Mata mereka saling bertemu sejenak dan sama-sama terkejut.
“Heh! Kamu ingin menguntitku, ya?! Sampai-sampai turun juga bareng segala? Jangan-jangan kamu stalker!” Naomi mendelik.
Pria itu membalas dengan memutar bola mata malas di balik topinya, menunjukkan ekspresi jengkel.
“Untuk apa aku mengikuti gadis barbar tidak jelas sepertimu? Aku punya urusan lebih penting daripada menguntit orang lain.” balasnya dengan suara terdengar jengkel.
“Gadis barbar? Waw, hebat! Baru pertama kali bertemu tapi sudah menghakimi. Bagus sekali caramu menilai orang!” Naomi berkata dengan nada sarkas, lalu menunjuk pria itu dengan jari telunjuknya. “Saya tidak tahu harus bangga atau sedih bertemu orang seperti anda, Tuan.”
Beberapa menit kemudian, bus berhenti tepat di depan gedung tinggi berlapis kaca yang menjulang angkuh di tengah kota, terlihat mewah dan megah.
Naomi berdiri duluan, dengan tergesa-gesa membayar ongkosnya, lalu bergegas turun, seolah dikejar waktu yang tak bisa menunggu.
Pria itu berdiri tak lama setelahnya, merogoh kantong jaketnya untuk mengambil dompet. Namun, tangannya membeku di tempat.
Sebuah kepanikan kecil menjalar di hatinya. Dompetnya tidak ada. Dia pasti meninggalkannya di mobil.
Wajah pria itu menegang, menyadari bahwa dia telah meninggalkan dompetnya. Pria itu menoleh ke arah sopir bus yang mulai menatapnya, lalu beralih ke arah Naomi yang sudah mulai menjauh dengan langkah cepat.
“Gadis berisik!” panggilnya dengan suara sedikit meninggi sambil membuka masker. Teriakannya membuat Naomi berhenti.
Naomi berbalik sambil menghela napas sebal. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal yang begitu kentara.
"Ya ampun, ada apalagi sih?! Saya sudah terlambat masuk kerja, Tuan!"
"Berikan aku uang lima puluh ribu!" katanya tanpa malu, sambil mengulurkan tangan.
“Apa-apaan sih?! Baru kenal sudah minta uang? Anda ini pengemis yang pura-pura sok kaya, ya? Modus baru nih?” Naomi menyipitkan mata, menatap pria itu dari atas sampai bawah, menilai penampilannya yang kontras dengan permintaannya yang memalukan.
Pria itu menarik napas dalam, menahan amarah yang mulai naik ke ubun-ubunnya. "Aku lupa membawa dompet."
“Alasan klasik!”
“Apa kamu ingin sopir bus itu menunggu tanpa kepastian? Itu lebih keterlaluan, bukan? Dia bisa melaporkan ku.” pria itu menunjuk ke arah sopir bus yang memang sudah mulai menggerutu dan melihat ke arah mereka dengan tidak sabar.
Naomi mengerang pelan, lalu merogoh dompet kecilnya yang hampir kosong. Ia mengeluarkan satu-satunya uang yang tersisa, selembar pecahan lima puluh ribu rupiah yang kusut. Ini adalah uang terakhirnya untuk makan siang.
Dengan berat hati, Naomi memberikan uang itu pada pria bertopi hitam.
“Ini. Ambil. Tapi tolong jangan muncul lagi di depanku!” ucap Naomi dengan mata memicing, menatap pria itu dengan tajam. “Makanya, kalau tidak punya uang, jangan sok-sokan naik bus! Apalagi naik taksi online atau mobil pribadi! Jalan kaki saja!”
Tanpa menunggu balasan, Naomi berbalik dan berlari menuju gedung tempat di mana ia akan mulai bekerja. Ia tak ingin lagi berurusan dengan pria aneh ini.
Pria itu menatap kepergian Naomi, lalu tersenyum tipis dari balik maskernya. Ada kilatan ketertarikan di matanya.
“Berisik… tapi menarik.” gumamnya. Bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis yang tak terlihat oleh orang lain.
Pria itu memasukkan uang kembaliannya ke sakunya, lalu melangkah ke kantornya yang kebetulan adalah gedung yang sama dengan tempat Naomi bekerja.
Hai para readers, aku coba up ulang nih, siapa tahu masih dikasih kesempatan sama Ntoon, kalau enggak ya wassalam...
“Dari mana saja kamu? Tumben sekali terlambat datang,” ucap James, menatap Xander yang baru saja muncul di ruang kerjanya.
James sudah berdiri di sana, memegang map berisi berkas yang harus Xander tanda tangani. Pria itu selalu tepat waktu, jadi keterlambatan Xander pagi ini cukup membuat James heran.
“Macet!” Dengan langkah santai yang penuh aura dominan, Xander melepas jaket, topi, dan maskernya satu per satu. Dia hanya menyisakan kemeja putih yang sedikit longgar, lalu dengan santai pula, Xander melepaskan kancing kemejanya.
Wajah tampan Xander langsung terlihat jelas, menampilkan rahang tegas dan mata tajam yang menjadi ciri khasnya. Rambut hitam legamnya sedikit berantakan, menambah kesan maskulin. Jangan lupakan delapan kotak sawah yang terlihat sempurna di perutnya, membuat siapapun yang melihatnya akan menelan ludah.
“Macet? Apa aku tidak salah dengar barusan?” ujarnya. “Seorang Xander Macet-macetan di jalan? Kamu biasanya naik helikopter kalau sudah mepet waktu!” James mengangkat alisnya, tidak yakin dengan jawaban Xander. Dia mengenal Xander luar dalam, dan Xander bukan tipe orang yang mau terjebak macet.
Xander membuka laptopnya tanpa menoleh, jari-jarinya mulai menari di atas keyboard dengan kecepatan luar biasa. “Aku naik bus.”
“What?!” pekik James nyaris menjatuhkan map yang ada di tangannya. Matanya membelalak tak percaya, rahangnya sedikit terbuka.
“Kamu naik bus?! Astaga, kamu itu CEO! Bos besar. Koleksi mobilmu ada banyak, bahkan helikopter milik pribadi. Kalau Nicholas tahu, dia pasti menertawakan kamu sampai guling-guling di tanah!” lanjut James menggelengkan kepala, membayangkan reaksi saudara Xander yang paling suka menggodanya.
“Berhenti bicara dan jangan berisik!” Xander mengangkat tangan, menyuruh James diam.
Nada suaranya terdengar tegas dan tidak ingin diganggu gugat. Xander tidak ingin mendengar omelan atau ledekan lebih lanjut.
“Dunia pasti kiamat hari ini,” gumam James, masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia kemudian meletakkan map di atas meja kerja Xander, lalu bersedekap, menatap sahabatnya dengan senyum geli bercampur iba.
“By the way, ini dia. Kandidat terakhir untuk posisi sekretaris. Dan setelah ini, aku menyerah. Sungguh, Der, aku menyerah!” James mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah.
Xander melirik map itu dengan malas, tanpa minat sedikitpun. “Kenapa seperti menyerah perang saja nada bicaramu? Memang sesulit itu mencari sekretaris?”
“Ini karena ulah kamu sendiri! Sudah berapa sekretaris yang kamu pecat, hah? Semua dengan alasan yang tidak masuk akal!” James mulai menghitung dengan jari-jarinya. “Sudah lebih dari sepuluh orang dalam dua bulan ini! Itu rekor, Der!”
“Alasanku sangat masuk akal. Mereka menatapku terlalu lama. Itu sangat mengganggu.” Xander mengatakan hal itu dengan nada datar, seolah itu adalah alasan paling logis di dunia.
“Oh my God! Jadi menurutmu, seseorang yang menatap matamu itu layak dipecat?!” seru James, tangannya terangkat ke udara.
“Kalau begitu semua orang di kantor, mulai hari ini harus pakai kacamata hitam! Bahkan aku pun harus pakai biar tidak dipecat olehmu!” James merasa frustasi dengan standar aneh dan keegoisan Xander.
“Aku tidak butuh penggoda. Aku butuhkan mereka yang mau bekerja. Yang fokus pada tugasnya, bukan pada wajahku.” Xander berdiri seraya menatap James tajam.
“Kamu bukan pangeran Hollywood, dimana semua orang akan langsung jatuh cinta hanya karena senyumanmu itu. Tolonglah, sadar diri sedikit!” sindir James, meski memang sebenarnya ya, Xander memang sangat tampan, dengan daya tarik yang sulit diabaikan.
James tahu betul bagaimana para wanita di kantor akan bertingkah jika Xander tersenyum sedikit saja.
Xander mengabaikan ucapan James dan duduk kembali di kursinya. Tangannya mengetuk meja, menunjukkan bahwa dia ingin segera cepat menyelesaikan masalah ini. Dia sudah lelah mencari sekretaris baru.
“Kalau begitu, bawa dia kemari, sekarang!” perintah Xander, tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi.
“Baiklah. Tapi jangan salahkan aku kalau dia pun nanti kabur karena kamu terlalu menyebalkan!” James mengangkat tangan, menyerah, dia sudah tak sanggup lagi berdebat dengan Xander.
Tanpa menunggu jawaban, James keluar dari ruangan, meninggalkan Xander sendirian.
—
Xander bersandar di kursi sambil memijat pelipisnya. Pikirannya masih berkelana pada kejadian pagi tadi, tentang gadis cerewet di bus yang membuatnya harus merogoh uang dari orang asing.
Dia masih bisa merasakan sisa kekesalan, namun entah kenapa, ada senyum kecil yang muncul di wajah Xander saat mengingatnya.
Gadis itu menyebalkan, kasar, dan tidak tahu sopan santun. Tapi, dia nampak berbeda. Ada sesuatu yang aneh tentangnya, yang entah kenapa, membuat Xander merasa... terhibur.
“Gadis berisik,” gumamnya pelan, mengulang julukan yang ia berikan.
Pintu diketuk dua kali.
James muncul kembali, kali ini bersama seorang gadis di belakangnya. Xander melirik sekilas, bersiap untuk sesi wawancara yang pasti akan membosankan lagi.
“Xander, kenalkan, ini sekretaris barumu. Namanya Naomi.”
Xander pun menoleh dan langsung membeku di tempat. Matanya membelalak kaget. Begitu pula Naomi. Wajahnya langsung pucat pasi, seperti melihat hantu di siang bolong.
“Kamu?!” Mereka berseru bersamaan, suara mereka saling menindih.
James mengerutkan kening, bingung dengan reaksi mereka berdua.
“Apa kalian sudah saling kenal?”
“Tidak. Saya tidak mengenalnya,” Naomi cepat-cepat memutar tubuhnya, ingin kabur, melarikan diri dari situasi canggung dan mengerikan ini.
Rasanya Naomi ingin menghilang ditelan bumi.
Namun, Xander sudah lebih dulu menghentikannya.
“Selangkah saja kamu keluar, aku akan mematahkan kakimu!” ucap Xander dengan suara rendah dan mengancam.
“Saya tidak mau bekerja dengan pria menyebalkan macam anda! Anda itu kan pengemis yang pura-pura kaya!” ucap Naomi tak gentar sama sekali seraya menunjuk Xander.
“Dan aku tidak mau sekretaris yang cerewet dan terlalu banyak bicara!” balas Xander, dengan suara meninggi, tak mau kalah.
“Tuhan, tolong selamatkan kantor ini,” James menatap mereka berdua bergantian, merasa seperti di tengah-tengah perang dingin yang tiba-tiba pecah. Ia hanya bisa menggelengkan kepala.
“Naomi, kamu sedang butuh biaya berobat ibu panti, kan? Apa kamu yakin ingin pergi begitu saja?” tanya James mencoba menyadarkan Naomi akan kenyataan pahit hidupnya.
Ucapan itu seperti sebuah tamparan bagi Naomi. Dia menggigit bibir bawahnya, matanya terus menatap lantai. James memang benar. Saat ini, hanya perusahaan besar seperti inilah yang mampu memberikan gaji layak dan tunjangan yang cukup untuk biaya berobat ibu pantinya.
Naomi tidak punya pilihan lain.
“Pikirkan baik-baik,” kata James, sebelum keluar, meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan yang kini dipenuhi aura tegang.
Ruangan menjadi sunyi seketika, hanya suara napas berat Naomi yang terdengar. Ia berusaha menenangkan diri.
Naomi menegakkan tubuhnya meskipun dalam hati ia gemetar, berusaha terlihat tegar di hadapan pria yang paling menyebalkan yang pernah ia temui.
Xander kini berdiri tepat di hadapannya, hanya berjarak beberapa jengkal. Matanya menatap tajam gadis itu, seperti berusaha menembus lapisan pikiran Naomi, mencari tahu apa yang ada di baliknya.
“Berapa usiamu?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan yang mencekam.
“Dua puluh tahun,” jawab Naomi dengan suara sedikit bergetar.
Xander mengangguk kecil. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun. Namun, pertanyaan berikutnya membuat Naomi shock dan wajahnya langsung memerah padam.
“Apakah kamu masih per4wan?”
“Hah?” Naomi membelalak sekaligus merasa terhina dengan pertanyaan yang tidak pantas dan sangat pribadi itu.
“Jawab! Kenapa diam saja?!” bentak Xander dengan suara menggelegar di ruangan. Matanya tajam menusuk, menuntut jawaban.
“Apa hubungannya status itu dengan pekerjaan saya?!” tanya Naomi mengepalkan tangan, menahan amarah yang hampir meledak di dadanya.
Pertanyaan Xander benar-benar telah membuatnya terhina. Bagaimana bisa pria ini langsung menyerang privasinya?
“Aku tidak suka wanita yang gampang dibeli. Apalagi yang sudah biasa menjual diri,” ucap Xander menatap Naomi dengan tatapan menyelidik, seolah mencoba membaca isi pikiran gadis itu. “Di kantor ini, aku ingin tahu siapa yang berdiri di sampingku. Loyal atau pengkhianat.”
“Saya mungkin miskin, tapi saya bukan wanita murahan!” Naomi menatapnya balik dengan tatapan menantang, tak gentar sedikitpun.
Sungguh, Naomi merasa harga dirinya telah diinjak-injak.
Xander menatapnya lama. Ada kilatan aneh di matanya, bukan penghinaan, tapi lebih seperti sebuah ujian, sebuah penilaian yang mendalam. Dia bisa melihat sesuatu di balik mata berani gadis itu.
“Baiklah,” kata Xander akhirnya, memecah ketegangan yang mencekik. “Kamu diterima.”
“Apa?!” seru Naomi dengan wajah terkejut. Begitu mudahkah dirinya diterima setelah semua perdebatan dan pertanyaan tak masuk akal itu?
“Mulai hari ini kamu resmi menjadi sekretaris pribadiku. Tapi jangan berharap semua akan mudah bagimu!” Xander melanjutkan dengan nada datar namun penuh peringatan.
“Saya tidak minta dimudahkan oleh anda!” Naomi mengepalkan tangan, tidak suka dengan nada bicara Xander yang meremehkan.
“Kamu boleh mulai bekerja. James akan membimbingmu. Tapi ada satu hal yang harus kamu ingat.” Xander tersenyum tipis, sebuah senyum yang jarang sekali dia perlihatkan dihadapan orang lain.
Namun entah mengapa, senyum itu justru membuat Naomi merinding. “Jangan coba-coba menatapku lebih dari lima detik. Itu aturan pertamaku.”
Naomi langsung mengumpat dalam hati, aturan macam apa ini?! Dia pikir dia siapa? Artis Hollywood?! Pikirnya.
Naomi ingin sekali melempar sesuatu ke wajah pria arogan itu.
“Tenang saja, Tuan CEO yang terhormat. Saya bahkan tidak ingin melihat wajah menyebalkan anda lebih dari satu detik!” Naomi berkata dengan nada sinis.
“Bagus! Segera temui James!” titah Xander.
“Baiklah, Tuan,” ucap Naomi sambil berbalik dan berjalan ke pintu.
Dalam hati, Naomi masih terus memaki Xander dengan segala umpatan yang dia tahu.
Tapi demi ibu panti, Naomi akan bertahan. Apapun yang terjadi. Dia harus bisa mendapatkan pekerjaan ini dan menghasilkan uang.
—
“Pagi, James,” sapa Clara sambil tersenyum manis, lalu mendekati meja kerja James.
Rambut wanita itu disisir rapi, dengan pakaian yang stylish, dia tampak ingin menarik perhatian.
Clara menyandarkan tubuhnya di sisi meja, berusaha menarik perhatian James agar melupakan pekerjaannya.
“Pagi, Ra,” balas James, pandangannya masih terfokus pada layar komputer.
James terlalu sibuk untuk menyadari motif tersembunyi di balik senyum Clara. Dia hanya menganggap Clara sedang ramah pagi ini.
“Ini berkas yang CEO minta. Tanda tangan kontrak sekretaris baru.” Clara meletakkan sebuah map tipis di atas meja, sengaja sedikit menggesernya agar James mendongak.
James mengambil map itu sambil mengangguk. “Oh, terima kasih.” Ia membuka map, sekilas membaca judulnya. ‘Kontrak Sekretaris Naomi’
“Dia cantik?” tanya Clara tiba-tiba, masih berdiri di tempatnya.
Clara sedikit penasaran. Dia ingin tahu, seberapa besar ancaman pendatang baru ini bagi posisinya di mata Xander.
“Dia?” James mengernyit, tidak langsung memahami maksud pertanyaan Clara.
“Calon sekretaris bos yang baru itu, siapa lagi?” Clara sedikit mendesak, tak sabar menunggu jawaban. Nadanya bahkan kini terdengar ketus.
“Oh… ya, lumayan cantik sih,” James menjawab sekenanya, tidak terlalu memikirkan jawabannya.
Baginya, kecantikan seorang sekretaris bukanlah prioritas utama, yang terpenting adalah kemampuan bekerja.
Clara mengerucutkan bibir, tak puas dengan jawaban James. Ada rasa tak suka menyelinap di dadanya. Dia selalu mengira hanya dirinya yang menonjol di kantor ini, satu-satunya wanita yang patut diperhitungkan di mata Xander.
Nyatanya, kini ada pendatang baru yang mencuri perhatian, bahkan sebelum Clara sempat melihatnya.
“Eh, kamu mau kemana?” tanya James saat Clara tiba-tiba melangkah pergi, tanpa pamit.
“Aku sedang banyak pekerjaan,” jawab Clara dengan wajah judes, jelas menunjukkan kekesalan yang tak terucapkan. Clara merasa cemburu.
“Dia kenapa?” gumam James sambil menatap punggung Clara yang menjauh, tak mengerti perubahan sikap wanita itu.
James memutuskan untuk tidak ambil pusing. Lalu, melangkah keluar ruangan untuk memberikan berkas kontrak milik Naomi.
James berjalan menyusuri koridor kantor yang ramai, mencari sosok yang tertera di berkas itu.
Sesampainya di depan ruangan Xander, dia melihat Naomi yang tampak sedikit kebingungan.
“Tunggu, Naomi!” teriak James dengan suara cukup keras di tengah keramaian.
“Ya, Tuan. Ada apa?” tanya Naomi, menoleh ke arah suara, ia sedikit terkejut.
“Panggil aku James saja. Kita sama-sama pegawai di sini,” ujar James sambil tersenyum ramah. Ia tidak ingin Naomi merasa canggung atau terlalu formal. “Ikut ke ruanganku, kamu harus menandatangani berkas kontrak ini. Setelah itu, kamu harus menemui CEO lagi untuk minta tanda tangannya.”
“Lagi?” Naomi mendesah, raut wajahnya menunjukkan ketidaksenangan yang begitu kentara.
Naomi baru saja keluar dari ruangan Xander, dan jujur saja, pria itu membuatnya merasa tidak nyaman dengan pertanyaan dan aturannya yang sangat aneh.
Bertemu lagi dengannya? Membayangkannya saja sudah membuat Naomi mules.
“Kalau kamu keberatan, silahkan keluar saja,” James berbicara dengan tegas, tak memberi Naomi pilihan. “Kami akan cari penggantimu dengan segera. Ada banyak pelamar yang antre di luar sana.” James tidak ingin membuang waktu dengan orang yang setengah hati atau tidak serius.
“Baiklah.” Naomi menghela napas, jelas tidak suka dengan ancaman James.
Namun, dia tahu pekerjaan ini terlalu penting untuk dilupakan begitu saja. Naomi membutuhkan uang itu untuk ibu panti.
“Sudah memutuskan?” tanya James.
“Ya.”
“Kalau begitu, ikut aku.”
Naomi mengikuti James menuju ruang kerja pria itu, lalu duduk di depan meja saat James menyodorkan dokumen kontrak kepadanya.
“Baca dengan teliti dulu, baru tanda tangan. Tapi sebelum itu, kalau ada yang kamu–” belum selesai James bicara, Naomi sudah membubuhkan tanda tangan di halaman akhir dengan cepat.
“Hei! Bukankah aku bilang baca dulu?!” James terkejut dengan mata membulat, tak percaya dengan keputusan Naomi.
“Tidak perlu. Aku buru-buru, James. Aku tidak sabar ingin segera bekerja,” jawab Naomi, senyum tipis terukir di bibirnya. Dia sudah terbiasa dengan kontrak-kontrak pekerjaan.
James tertawa. “Kamu serius sekali. Rupanya kamu pekerja keras juga, ya. Baguslah kalau begitu.” Ada kekaguman dalam suaranya.
Naomi hanya tersenyum tipis. Sementara James mengambil kembali dokumen yang sudah ditandatangani.
“Oke, berikan ini ke CEO. Bilang kamu sudah tanda tangan. Setelah itu temui aku lagi, kita lanjut briefing dan aku akan menjelaskan tugas-tugasmu.”
“Siap.”
Dengan berat hati, Naomi kembali melangkah ke ruangan pria menyebalkan itu. Hanya mengingat namanya saja sudah membuat darahnya naik satu tingkat.
Aura pria itu begitu dingin, menakutkan, dan entah mengapa, membuat Naomi merasa tidak nyaman.
“Huft, sabar, Naomi. Sabar… lakukan semuanya demi Ibu,” gumamnya sambil mengetuk pintu ruangan CEO.
Naomi mengambil napas dalam untuk menguatkan dirinya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!