NovelToon NovelToon

Sepupuku Suamiku.

Bab 1.

Sah.

Sah.

Sah.

Kata sah kompak terucap dari mulut penghulu dan saksi pernikahan serta warga yang hadir di kantor desa setelah Mahardika melafazkan ijab qobul. Tak ada pesta ataupun sekedar perayaan, semua berlangsung cepat bahkan terkesan terburu-buru akibat desakan dari warga yang menganggap Mahardika dan Za telah melakukan tindakan tak senonoh dan mengotori kampung mereka, padahal faktanya Mahardika dan Za hanya ketiduran di mobil saat menunggu hujan reda. Ya, malam itu situasi tidak memungkinkan jika terus melanjutkan perjalanan sehingga Mahardika memutuskan menepikan mobilnya sejenak, tapi siapa sangka mereka justru ketiduran di saat menunggu hujan reda. Mungkin karena posisi mereka yang terlihat oleh warga tengah berpelukan sehingga tudingan tersebut dialamatkan kepada keduanya. Meskipun Mahardika dan juga Za telah menjelaskan kejadian yang sebenarnya, baik kades dan juga warga setempat menolak percaya dan memaksa mereka untuk dinikahkan.

Pernikahannya laksana mimpi buruk bagi seorang Zaliva Andira. Ingin rasanya Za segera bangun dari mimpi buruknya, akan tetapi semua itu tidak akan pernah terjadi sebab ini bukanlah mimpi melainkan kenyataan. Kini Za telah resmi berstatus istri dari saudara sepupunya sendiri, pria yang dijulukinya pria buaya darat.

Jujur, baik mama Thalia dan juga Mama Riri tak tega melihat Za menikah dengan cara seperti ini, mengingat seorang gadis pasti memimpikan pernikahan bahagia, bukannya menikah dalam kondisi memprihatikan seperti ini.

Mama Thalia mengusap jejak air mata di pipi putrinya. "Za jangan bersedih, mama dan papa pasti akan melangsungkan pesta resepsi untuk pernikahan Za dan Dika."

"Tidak perlu, mah." tolak Zaliva dengan wajah lemas tak bersemangat.

Mahardika yang duduk berdampingan dengan Za hanya bisa menghela napas melihat ekspresi saudari sepupu yang kini sudah sah menjadi istrinya tersebut.

Sebagai sesama wanita tentunya mama Thalia dan juga mama Riri mengerti betul bagaimana perasaan Za saat ini hingga kedua wanita paruh baya tersebut memutuskan untuk tak lagi banyak bicara.

Setelah semua urusan di tempat itu selesai, mereka pun berpamitan pada pak kades.

"Kamu mau kemana, Za?." Tanya papa Rasya dengan dahi berkerut ketika putrinya itu hendak masuk ke mobilnya.

"Mau pulang memangnya mau kemana lagi, pah." masih dengan tubuh lemas tak bersemangat Za menjawab.

"Maksud papah, kenapa kamu malah naik ke mobil papah bukannya ke mobil Dika?." papa Rasya memperjelas maksud ucapannya.

Za yang terlihat seperti orang bingung tersebut lantas menoleh pada abangnya, berharap Faras bisa sedikit melontarkan pembelaan untuk dirinya. Tapi sayangnya, Abangnya itu hanya diam saja. Ya, Faras diam saja karena menghargai ayahnya, jika ia bersuara demi membela adiknya tentu sama artinya ia telah meremehkan ayahnya, begitu pikir Faras, sehingga suami Inara tersebut memilih diam saja.

Sorot mata Za saat menatapnya mampu membuat hati Faras berdenyut nyeri. Maafkan Abang, Za, kalimat tersebut hanya terucap dalam hati Faras.

Mau tak mau Za pun akhirnya masuk ke mobil Mahardika.

Di sepanjang perjalanan tak ada obrolan apapun di antara Mahardika dan Za, keduanya sama-sama diam hingga mobil yang dikemudikan Mahardika tiba di kediaman papa Rasya. Za yang turun dari mobil Mahardika itupun langsung berlalu menuju kamarnya. Inara dan Zi yang melihat Za berlalu menuju kamarnya, segera menyusul.

Zi tidak dapat membendung air matanya ketika melihat saudari kembarnya duduk meringkuk di samping tempat tidur sambil memeluk kedua lututnya, Za terisak dalam tangis.

"Kak...." Zi mengayunkan langkah mendekati saudari kembarnya itu kemudian merengkuh tubuh Za. Inara turut menyusul langkah Zi mendekat pada Za.

Baik Zi maupun Inara sama-sama diam, tak seorangpun dari mereka yang mencoba melontarkan kalimat-kalimat sok bijak dihadapan Za, mengingat mereka sendiri belum tentu sanggup jika berada di posisi Zaliva saat ini, menikah dalam kondisi memperhatikan seperti ini.

Setelah tangis Za sedikit reda, Zi lantas mengurai pelukannya, mengusap jejak air mata di pipi saudari kembarnya itu.

"Kalian berdua beruntung bisa menikah dengan pria yang mencintai kalian, tidak seperti aku." Ungkap Za dengan tatapan menyedihkan.

Beberapa saat kemudian, Inara dan Zi pamit meninggalkan kamar Za ketika menyadari kedatangan Mahardika. Ya, Mahardika di minta oleh papa Rasya dan juga ayahnya untuk menyusul Za di kamarnya.

Za membulatkan matanya menyadari pergerakan Mahardika menutup pintu kamarnya.

"Tenanglah...! Aku tidak akan berbuat macam-macam, aku hanya ingin bicara berdua denganmu." ujar Mahardika seolah dapat membaca isi hati Zaliva.

Mahardika nampak menghela napas sebelum mulai berbicara.

"Apapun alasannya sampai kita menikah, sekarang kamu sudah menjadi istriku, dan otomatis mulai sekarang kau adalah tanggung jawabku."

"Apa maksudmu?." jangan pikir Za bertanya dengan nada lembut karena faktanya pertanyaan Za terdengar agak ketus, terlebih saat Mahardika mengakui dirinya sebagai istrinya.

"Aku ingin kamu ikut bersamaku kembali ke Jakarta!." Sekalipun Za agak ketus padanya, Mahardika tetap berbicara dengan tenang bahkan terkesan lembut.

"Aku tidak mau ikut bersamamu. Lagipula aku tidak mau tinggal bersama dengan lelaki buaya darat sepertimu." tolak Zaliva dengan nada yang masih terdengar ketus.

"Aku sudah membahas tentang ini pada kedua orang kita dan mereka sudah setuju sehingga kamu tidak punya pilihan lain, selain ikut bersamaku kembali ke jakarta, Za." Sebenarnya Mahardika sangat paham dengan perasaan Za, akan tetapi ia tidak bisa berlama-lama di kota ini sebab pekerjaannya di jakarta sudah menanti. "Satu lagi, kenapa kamu selalu menyebutku lelaki buaya darat?." imbuh Mahardika penasaran.

"Karena faktanya kamu memang lelaki buaya darat yang punya banyak kekasih."

Mahardika menarik sudut bibirnya ke samping mendengar jawaban Za.

"Memangnya kamu tahu dari mana kalau aku punya banyak kekasih, hm?."

"Ck...." Za hanya berdecih pelan tanpa berniat menjawab pertanyaan Mahardika.

Setelahnya, Mahardika pun berlalu meninggalkan kamar Za.

"Enak saja, memangnya siapa juga yang mau ikut dengannya ke jakarta." gerutu Za dengan nada kesal setelah kepergian Mahardika.

Jujur, kalau dari segi fisik, Za tidak dapat memungkiri jika Mahardika memiliki wajah yang tampan dan juga bentuk tubuh yang digandrungi oleh kaum hawa, tapi masalahnya Za tidak pernah membayangkan menikah dengan sepupunya sendiri.

Malam harinya.

Mereka semua telah berkumpul di meja makan guna makan malam bersama, termasuk Mahardika dan juga Za tentunya.

"Layani suami kamu, nak!." mama Thalia menasehati putrinya dengan nada lembut.

"Nggak papa Tante, Dika bisa sendiri kok." Timpal Dika yang tahu betul jika Za enggan melakukannya.

"Tidak bisa begitu Dika, sekarang Za sudah menjadi istri kamu, dan tugas seorang istri melayani suaminya." Papa Rasya ikut bersuara. Sementara papa Okta dan mama Riri memilih diam saja, memaklumi sikap Za, mengingat pernikahan mereka terjadi begitu cepat.

Ingin rasanya Za berteriak sekeras-kerasnya untuk menyatakan bahwa ia tak mau menjadi istri dari pria buaya darat yang duduk di sampingnya itu, namun Za hanya bisa memendam semua itu di dalam hati saja. Dengan berat hati ia mulai melayani Mahardika, mengisi piring dihadapan Dika dengan nasi dan juga lauk.

"Oh iya Za, karena sekarang Dika sudah menjadi suaminya Za maka sebaiknya Za tidak lagi memanggil Dika hanya dengan sebutan nama saja, tidak sopan!." imbuh papa Rasya mengingatkan putrinya.

"Tapi_."

"Zaliva Andira!." Sambar Faras, dan itu mampu membuat Za mengurungkan niatnya untuk menyatakan protesnya.

"Baik, bang." Kalau sudah abangnya yang bersuara, tidak ada pilihan lain selain mengiyakannya.

Mahardika mengulum senyum melihat Za yang begitu patuh pada abangnya, walaupun ia tahu betul jika di dalam hati Za ingin membantah tapi tidak memiliki keberanian.

Selamat datang di kisah Mahardika dan Zaliva...

Btw, bagi yang kurang berkenan dengan cerita yang aku sungguhkan mohon di skip saja, jangan memberikan vote buruk! Mari saling menghargai Antara penulis dan pembaca, sebab mengarang tak semudah membaca!.

Bab 2.

Setelah makan malam selesai lanjut mengobrol ringan di ruang tengah. Di saat yang lain sedang mengobrol, Za justru lebih banyak diam, sibuk dengan pemikirannya sendiri. Malam ini kedua orang tuanya pasti akan memintanya tidur sekamar dengan Mahardika.

"Za..." seruan ayahnya sekaligus membangunkan Zaliva dari lamunannya.

"Iya, pah."

"Jika kamu sudah mengantuk kembalilah ke kamar, dan jangan lupa ajak suami kamu sekalian, nak!."

Deg.

Baru juga dipikirkan, sekarang sudah terealisasikan, ayahnya meminta Za mengajak Mahardika beristirahat di kamarnya.

Dika yang duduk di samping Za memilih diam saja, yakin jika Za pasti akan menolak.

Zaliva beranjak dari duduknya. "Ayo, mas!." diluar ekspektasi. Bukannya menolak, Za justru mengajak Mahardika untuk beristirahat di kamarnya.

Tanpa menjawab ajakan Za, Mahardika pamit pada yang lainnya untuk kembali ke kamar lebih dulu.

Setibanya di kamar, Za hanya diam saja hingga Mahardika pun mencekal pelan lengan gadis itu.

"Kalau tidak suka, lalu kenapa mengajakku tidur di kamar ini?."

"Kamu pikir aku bisa menolak perintah papa, apalagi di depan bang Faras?." Jika sebelumnya Za berkata dengan nada ketus, malam ini intonasi Za terdengar pelan namun Mahardika bisa merasakan aura penolakan dari sorot mata istrinya itu.

Mahardika melepas cekalan tangan pada lengan Za, kemudian berlalu mengambil sebuah bantal di atas tempat tidur dan berlalu ke arah sofa. Za yang melihat tindakan Mahardika tersebut hanya diam saja, tak ada niatan di hati Za untuk menghentikannya, apalagi sampai mengajak suaminya itu berbagi tempat tidur dengannya.

Sesaat kemudian, Za pun merebahkan tubuhnya telentang di atas tempat tidur, menutupi tubuhnya dengan selimut hingga sebatas perut.

"Kenapa kamu ingin mengajakku ikut bersamamu?." tanya Za, tahu bahwa Mahardika belum tidur.

"Karena sekarang kamu adalah istriku." jawaban yang sangat masuk di akal terucap dari mulut Mahardika, namun akal Za tetap saja tidak terima dengan jawaban tersebut.

"Tapi kita tidak saling mencintai, dan kita menikah hanya karena desakan warga, Lalu kenapa kamu bersikap seolah-olah kita menikah karena saling menginginkan?."

Sontak saja Mahardika mengalihkan pandangannya pada Za, dan tatapan Mahardika kali ini mampu menciutkan nyali Zaliva.

"Mau tidak mau, suka tidak suka, besok kamu tetap harus ikut bersamaku kembali ke jakarta." Ucapan Mahardika masih terdengar pelan namun terkesan tegas. Padahal sejak dahulu bahkan beberapa detik sebelum mereka resmi menikah, Za tak pernah merasa segan membantah atau bahkan menentang Mahardika, tapi hari ini Za hanya bisa menggerutu kesal dalam hati.

"Apa nantinya kamu juga akan menuntut hakmu sebagai seorang suami?." Setelah terdiam untuk waktu yang cukup lama, Za kembali bersuara dengan melontarkan pertanyaan yang mampu membuat Mahardika menghela napas panjang dibuatnya.

"Aku hanya ingin menjalani kehidupan rumah tangga dengan semestinya, termasuk Memberikan nafkah lahir dan batin untuk istriku, apa itu salah?."

Deg.

Za tidak bodoh untuk mengartikan jawaban Mahardika, di mana secara tidak langsung pria itu memberi jawaban iya.

"Bukan masalah salah atau tidak, Dik _maksudnya mas Dika, tapi faktanya kita tidak saling mencintai lalu kenapa harus melakukannya?." Za langsung mengoreksi panggilannya, jangan sampai Mahardika mengadu pada ayah dan juga abangnya. Sebenarnya Za berat hati memanggil Mahardika dengan sebutan mas, mengingat ia lahir beberapa jam sebelum pria itu, tapi mau bagaimana lagi itu perintah dari ayah dan juga abangnya, Za hanya bisa mematuhinya.

"Bukankah kamu punya banyak kekasih, lalu kenapa tidak melakukannya dengan mereka saja, kenapa harus berencana melakukannya denganku." Imbuh Za dan kali ini Mahardika tak lagi memberikan respon apapun, pria itu diam saja.

Mungkin karena terlalu lelah memikirkan berbagai macam kemungkinan yang bisa saja terjadi di dalam kehidupannya kedepannya nanti, Za pun akhirnya terlelap. Mahardika yang tak dapat memejamkan matanya lantas bangun dari posisinya, mendekati ranjang, memperbaiki posisi selimut yang menutupi tubuh istrinya itu.

Mahardika mengulas senyum ketika teringat setiap kali Zaliva menyebutnya lelaki buaya darat. "Memangnya kamu tau dari mana kalau aku ini lelaki buaya darat." lirihnya.

Keesokan paginya.

Saat Mahardika pergi, hendak menyelesaikan urusannya di kota ini sebelum kembali ke jakarta, Za menemui ayah dan ibunya di kamar.

Setelah mengetuk pintu dan mendapat sahutan dari dalam, Za pun memutar handle pintu kamar ayah dan ibunya.

"Za ganggu nggak mah.... ?."

"Tentu saja tidak sayang, masuklah!." kata mama Thalia. Sementara papa Rasya yang tengah duduk di balkon kamar langsung beranjak mendengar suara Zaliva.

"Ada apa, sayang?." Mama Thalia bertanya dengan nada lembut. mengajak Za duduk di sofa kamarnya. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Za?." sambung mama Thalia. Sebagai seorang ibu, naluri mama Thalia mengatakan bahwa putrinya itu ingin mengatakan sesuatu.

"Apa boleh Za menolak ikut bersama mas Dika ke Jakarta? Za masih ingin tinggal di rumah ini, lagipula Za juga bekerja di kota ini, mah...pah...." pinta Za dengan tatapan nanar, berharap kedua orang tuanya mengerti dengan perasaannya.

"Nggak bisa begitu nak, sekarang kamu sudah menjadi istrinya Dika dan seorang istri sudah seharusnya berada di samping suaminya, nak." Papa Rasya mencoba memberi pengertian pada putrinya itu akan kewajiban seorang istri.

"Apa yang papa katakan benar sayang." Mama Thalia turut mendukung perkataan suaminya.

Kedua bola mata indah milik Za sudah nampak berkaca-kaca. "Apa papah dan mamah sudah nggak sayang sama aku sampai ingin aku pergi jauh?."

Mama Thalia sontak menggelengkan kepalanya. "Bukan, bukan begitu maksud mamah dan papah, anakku sayang. Papah dan mamah hanya ingin kamu menjadi istri yang baik dengan ikut kemanapun suami kamu pergi, sayang. Kasih sayang papah dan mamah tidak pernah berubah untuk kalian, kami hanya tidak ingin putri kami menjadi istri durhaka karena tidak menurut kepada suaminya, Zaliva." Mamah Thalia tak sanggup membendung air matanya. Sebagai seorang ibu tentunya mama Thalia sangat memahami perasaan putrinya, tapi ia tidak punya pilihan lain, Selain mendukung keputusan suaminya.

"Mama akan selalu mendoakan yang terbaik untuk rumah tangga kalian, nak."

"Maafkan Za, mah....pah...." Melihat ibunya menitihkan air mata, Za pun merasa bersalah karena sudah berpikir kedua orang tuanya tak lagi menyayangi dirinya sehingga mengizinkan Mahardika membawanya pergi jauh.

Sepeninggal putrinya, tangis mama Thalia pun pecah tak tertahankan.

"Sebentar lagi putriku akan pergi meninggalkan kota ini." gumamnya di sela tangis.

Papa Rasya merengkuh tubuh istrinya. "Sayang.... bukankah kau bersahabat baik dengan Riri, percayalah sahabat baikmu itu pasti akan menjaga putri kita dengan baik. Selain itu, mas Okta juga bukan hanya ayah mertua bagi Za, tapi juga paman baginya. Jadi, berhentilah berpikir negatif! Sebaiknya kita sama-sama berdoa agar Za dan Mahardika secepatnya saling menerima satu sama lain, menerima pernikahan mereka sebagai jalan takdir." Papa Rasya berusaha bersikap tegar dihadapan sang istri walaupun faktanya hati pria itu tak kalah sedihnya dibanding sang istri.

Bab 3.

Hari keberangkatan Za ke ibukota guna ikut bersama sang suami pun tiba. Dengan di antarkan oleh semua anggota keluarganya, Za hendak bertolak meninggalkan kota kelahirannya menuju kota Jakarta. Sebenarnya di ibukota ada Oma dan juga pamannya, karena aslinya sang ayah berasal dari ibukota hanya saja menetap di kota Surabaya guna mengurus salah satu cabang perusahaan Sanjaya Group yang ada di kota ini.

"Pah....mah....Za pamit." Zaliva menyalami ayah dan ibunya bergantian.

"Iya, sayang. Jaga diri kamu baik-baik di sana, Za!." pesan mama Thalia seraya mengusap lembut puncak kepala Za. Begitu pula dengan papa Rasya, cukup lama pria itu memeluk putrinya. "Jaga dirimu baik-baik, nak!."

Zaliva mengangguk mengiyakan.

"Bang, Za pamit." Za memeluk Faras, tanpa sadar air mata yang sejak tadi dibendung akhirnya lolos membasahi pipi gadis itu.

"Hm." tanpa di sadari oleh Za da-da Faras serasa ingin meledak menahan sesak melepas kepergian salah satu adik kembarnya itu.

"Zi, kakak pergi dulu, nanti kalau kamu kangen jangan lupa hubungi kakak ya!." Pamit Za. di bibir terukir senyuman, namun sorot mata tak dapat berbohong. Sebagai saudari kembar Za, Zi seakan dapat merasakan kesedihan Za saat akan berpisah dari keluarganya.

"Iya, kak. Kakak baik-baik di sana!." pesan Zi. Mungkin bagi orang lain perpisahan mereka terlihat berlebihan, tetapi bagi Za yang sebelumnya tak pernah jauh dari keluarganya, perpisahan ini terasa begitu berat, terlebih yang diikuti olehnya adalah pria yang tidak dicintai dan juga tidak mencintainya. Za sendiri masih belum tahu kehidupan seperti apa yang akan dijalaninya nanti di tempat barunya.

"Kakak ipar, aku pamit. Jangan lupa menjaga keponakanku dengan baik! Dan jika dia menginginkan sesuatu dari aunty nya, katakan saja padanya jika aunty nya sedang pergi, jadi tidak bisa menuruti keinginannya!." Za berucap dengan disertai senyum, lebih tepatnya senyum palsu agar ia terlihat baik-baik saja didepan semuanya. Ya, Za berpesan demikian karena Inara kerap kali meminta sesuatu yang aneh-aneh darinya, dengan alasan bayi dalam perutnya yang menginginkannya.

Inara hanya mengangguk sebab da-danya sudah terasa sesak menahan tangis.

Sebelum memasuki terminal keberangkatan, mama Thalia kembali menitipkan Za pada sahabat baiknya. "Ri, aku titip putriku!."

"Kau tidak perlu khawatir Thalia, aku pasti akan menjaga Za dengan baik!." balas Mama Riri, kemudian memeluk sahabatnya itu barang sejenak, sebelum sesaat kemudian berlalu, memasuki terminal keberangkatan menuju kota Jakarta.

Mahardika yang sejak tadi hanya diam, ternyata memperhatikan semuanya, terutama pengorbanan Za meninggalkan keluarganya demi ikut bersama dirinya. Walaupun Za ikut bersamanya bukan murni keinginan gadis itu, melainkan perintah dari orang tua serta abangnya, namun tetap saja Faktanya Za berpisah dengan keluarganya dan itu tidak mudah, begitu pikir Mahardika.

Tentu saja ketika berada di dalam pesawat, kursi yang ditempati oleh Za bersebelahan dengan kursi yang ditempati oleh Mahardika. Sementara papa Okta dan Mama Riri menempati kursi yang ada di deretan depan keduanya.

"Tidurlah jika kau lelah, sayang!." Untuk pertama kalinya Mahardika menyebut Za dengan sebutan sayang dan itu berhasil membuat kedua bola mata Za membulat dengan sempurna saking kagetnya.

Kalau saja posisi mertuanya jauh dari mereka, mungkin Za sudah mengumpat Mahardika akibat panggilan barunya itu.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam akhirnya pesawat yang mereka tumpangi tiba di bandara internasional Soekarno-Hatta.

Kedatangan mereka disambut oleh asisten pribadi Mahardika yang sudah sejak tadi menanti di bandara. Di sepanjang perjalanan Zaliva hanya mengarahkan pandangan ke jendela samping, bukan untuk menikmati pemandangan tetapi sibuk dengan pemikirannya sendiri.

Setibanya di rumah, Za di perkenalkan oleh mama Riri Sebagai menantunya kepada beberapa orang asisten rumah tangga dan juga pekerja lainnya yang ada di rumah itu.

"Mang, tolong antaran koper milik istriku ke kamar!." titah Mahardika pada mang Dodo, pria yang bekerja sebagai sopir di keluarganya.

"Baik, den." jawab Mang Dodo, kemudian berlalu, hendak melaksanakan tugas dari Mahardika.

Setelahnya, mama Riri pun meminta Mahardika untuk mengajak Zaliva ke kamarnya.

Setibanya di depan kamarnya yang berada dilantai dua, Mahardika membukakan pintu dan mempersilahkan Za masuk ke dalam. "Masuklah! Ini kamar kita." Ujar Mahardika.

Za mengayunkan langkah seraya mengedarkan pandangan ke seisi ruangan. Kamar yang luar dengan satu tempat tidur berukuran king size, ada tiga buah lemari pakaian, di sudut ruangan terlihat koleksi buku yang tersusun rapi di raknya, beberapa koleksi Foto Mahardika yang menggantung pada dinding kamar, dan ada pula satu buah sofa berhadapan dengan posisi televisi yang menggantung pada dinding kamar, serta di sisi lain ruangan terdapat sebuah pintu yang bisa dipastikan adalah pintu kamar mandi yang ada di dalam kamar tersebut.

"Jika butuh sesuatu beritahu padaku!."

Zaliva hanya diam saja. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh gadis itu sehingga tak menyadari perkataan Mahardika.

Setelahnya, Mahardika pamit ke ruang kerjanya. Beberapa hari berada di Surabaya membuat pekerjaan Mahardika sedikit menumpuk.

"Suami kamu mana, sayang?." tanya mama Riri, melihat Za tiba di meja makan seorang diri tanpa Mahardika.

"Siang tadi mas Dika pamit ke ruang kerjanya, mah." Jawab Zaliva apa adanya. Ya, sejak berpamitan ke ruang kerjanya siang tadi, hingga sekarang Mahardika belum juga kembali ke kamar.

Mendengar itu mama Riri lantas meminta Za memanggil Dika di ruang kerjanya. Za yang belum tahu di mana persis letak ruang kerja Mahardika hanya bergerak sesuai dengan arahan dari mama Riri.

"Sepertinya ini ruangannya." lirih Za seraya mendekat ke ruangan tersebut.

"Tok....tok...tok...." setelah mengetuk pintu dan mendapat sahutan dari dalam, Za lantas memutar handle pintu ruangan tersebut.

"Mama memintaku memanggil kamu buat makan malam." Mahardika yang tadinya berpikir bibi yang datang, sontak saja mengangkat pandangan dari berkas dihadapannya saat mendengar suara Zaliva.

Mahardika yang tengah serius bekerja tersebut pun langsung menutup berkas dihadapannya kemudian bangkit dari duduknya, menghampiri Za yang masih berdiri di ambang pintu. Setibanya dihadapan Za, Mahardika mengulurkan tangannya merangkul pundak Za, tindakan yang baru pertama kali dilakukan oleh Mahardika."Ayo!."Ajaknya. Za yang sedang tak ingin berdebat lantas membiarkan posisi tangan besar milik Mahardika tetap merangkul pundaknya hingga mereka tiba di meja makan.

"Mama tahu pekerjaan kamu banyak, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya saja meninggalkan istri kamu sendirian di kamar, Dika. Apalagi istri kamu belum terbiasa dengan suasana di rumah ini." mama Riri jadi gemas sendiri pada putranya yang gila kerja itu.

"Maafin Dika, mah. Lagian kalau Dika nggak kerja entar istri Dika mau dikasi makan apa?"

Deg.

Za terpaku mendengar jawaban Mahardika. Walaupun mereka menikah akibat kepergok warga tapi Mahardika serius ingin memulai rumah tangga bersamanya, pria itu bahkan sadar betul akan tanggung jawabnya sebagai seorang suami.

Mama Riri hanya bisa menghela napas mendengar jawaban putranya, mengingat apa yang dikatakan Mahardika ada benarnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!