NovelToon NovelToon

First Love

Prolog

Nayna masih terpaku menatap pada satu titik, bahkan dia tak mengindahkan kata-kata pak Sapto yang tengah memberikan wejangan untuk anak didiknya.

"Nay, dipanggil tuh ... Nay, hei, halo, Nayna!" Yuli menyikut temannya karena kesal tak mendapat respons sejak tadi, sementara yang ditanya menoleh kaget dengan wajah kebingungan.

"Apaan, Yul?" bisiknya, lalu mengikuti gerakan mata Yuli ke arah seseorang. Nayna menunjuk dirinya sendiri, "saya?"

Dia mengangguk lalu beranjak mengikuti seorang guru yang memanggilnya. Dia dibawa ke ruang guru dan kembali keluar dengan sebuah map hijau di tangan.

Saat itulah, dia berpapasan dengan seorang siswa yang telah lama muncul dalam bunga tidurnya. Nayna melempar senyum ramah, namun siswa itu tetap dingin tanpa ekspresi apa pun. Bukannya menyerah, Nayna justru melupakan tugas yang seharusnya cepat disampaikan, dia justru memilih untuk mengejar dan menyapa pujaan hatinya.

"Hai, Aksa. Selamat ya atas prestasinya. Kamu hebat, keren," ucap Nayna sembari mengulurkan tangannya dengan malu-malu. Sedangkan Aksara hanya berdiri diam lalu pergi begitu saja meninggalkan Nayna dan uluran tangannya yang kosong tanpa balasan.

Sadar akan situasi, Nayna cepat menarik kembali lengannya dan berbalik, menatap pintu toilet pria, lalu tersenyum kecil.

Oh, mungkin Aksa lagi kebelet ya, makanya nggak sempet respons aku. Ya udah deh, masih ada waktu kok.

Nayna melenggang pergi dengan senyum masih terlukis di bibir. Namun, senyum itu lenyap saat pak Sapto dan beberapa guru menatapnya kesal.

"Kamu ke mana aja, Nayna? Ruang guru udah pindah? Atau kamu tadi jalannya muterin gedung sekolah dulu?" ucap pak Sapto tegas. Nayna hanya mengangguk pelan sembari mengucap maaf. Setelahnya dia pergi untuk bergabung dengan teman-teman yang bersiap pulang.

"Nay, jangan lupa, nanti malem ya. Syukuran di rumahnya Faiz. Aku jemput jam tujuh, acara mulai jam delapan." Yuli menahan lengan temannya yang bersiap lari saat melihat seseorang melambai di depan gerbang. Dia menoleh, "jam tujuh? Oke. Baju bebas, kan?"

Yuli mengangguk lalu menatap punggung Nayna yang berlarian kecil ke arah gerbang.

Nayna memasang helm di kepala, lalu duduk di belakang laki-laki dengan jaket kebanggaannya.

"Siap, Nona? Pegangan dong," ucap pria itu sambil melirik ke arah spion.

"Siap! Let's go! ... eh iya, Yah. Beliin es krim ya." Dia melingkarkan lengannya di pinggang sang ayah yang mulai melajukan sepeda motornya, menembus jalanan yang tetap padat di siang hari.

Rahmat tersenyum senang menatap spion, melihat putri semata wayangnya aktif bercerita, meski dia sendiri tak sepenuhnya mendengar.

"Ya nggak, Yah?" Nayna menepuk perut ayahnya, membuat Rahmat spontan menjawab, "hah? Apa?"

Nayna menghela napas, lalu mengusap perut ayahnya yang buncit sambil tertawa. Hingga tak terasa mereka sudah sampai di rumah.

***

Azan maghrib terdengar dari musala terdekat. Rahmat dan Siti bersiap jamaah, tak lupa mengajak serta buah hatinya. "Ayo, Nak. Selagi belum iqamah," ajak Siti setelah membuka pintu kamar Nayna. Tanpa menunggu lama, gadis itu segera beranjak, mengikuti kedua orang tuanya.

Sepulang dari musala, Nayna mendapati Yuli tengah duduk bermain ponsel di beranda rumah.

"Bentar ya, aku ganti dulu," ucap gadis itu sambil berlalu masuk, meninggalkan Yuli yang kini berbincang dengan ayah dan ibunya.

"Ayah, Ibu, Nayna pergi dulu ya, ada acara syukuran di tempat temen." Nayna mencium punggung tangan orang tuanya, lalu melirik sang ayah sambil memberi kode dengan ibu jari dan telunjuk.

"Sarangbeoo!" Rahmat menaikkan kedua lengan membentuk hati di atas kepala, sambil menggoyangkan pinggulnya.

"Ish, duit, Yah. Fulus, bukan saranghae. Kecentilan deh." Nayna menggerutu kesal. Lalu pergi dengan wajah cerah setelah mendapat apa yang diharapkan.

Di rumah Faiz, sudah banyak yang berkumpul dari teman sekelasnya. Dia mengedarkan pandangan mencari seseorang, lalu tersenyum senang saat melihat seorang pemuda dengan kemeja hitam dipadu celana berwarna abu-abu, memberi kesan elegan namun tetap misterius di matanya.

Satu per satu acara terlewati sudah. Kini mereka tengah menikmati hidangan yang telah disediakan tuan rumah. Nayna mengikuti Aksa yang keluar menuju halaman seorang diri.

Dia melihat Aksara tengah duduk diam di sebuah bangku, menghadap kolam ikan kecil di dekat pohon mangga. Nayna berdehem pelan, lalu duduk di samping pria itu yang melirik sekilas ke arahnya.

"Hai, Aksa. Habis ini, kamu mau lanjut ke mana?"

Hening tak ada balasan, sementara Nayna tak putus asa, dia menghadap Aksara yang masih menatap lurus ke depan.

Duh, kenapa malah disko ni jantung?

Ayo, Nay. Kamu pasti bisa. Selagi ada kesempatan, jangan sampai lolos lagi.

Nayna mengangguk pelan, lalu membuka suara.

"Aksa, boleh aku ngomong?"

Tetap hening, hanya gemericik air yang terdengar syahdu di telinga. Gadis itu kembali berkata, "maaf sebelumnya, aku mau jujur sama kamu. Aksa, aku ... aku, a-aku suka sama kamu. Ya, aku udah lama suka sama kamu, bahkan dari awal kita ketemu di hari pertama masuk kelas tujuh. Mungkin kesannya gimana gitu, cewek nembak duluan, tapi aku mau kamu tahu perasaanku dan ... aku harap, kamu mau jadi pacarku."

Nayna menghela napas pelan, menunggu jawaban dari pujaan hati. Dia tersenyum saat Aksara mulai mengubah posisi menghadap dirinya.

"Aku nggak suka kamu, nggak pernah suka cewek sepertimu, dulu, sekarang bahkan selamanya."

Dingin, namun menusuk. Membuat Nayna terdiam beberapa saat, lalu mengangguk pelan, berlari ke luar gerbang untuk pulang.

Kata demi kata yang dia dengar, terasa terus menghujani hatinya dengan ribuan jarum juga sayatan belati. Nayna menahan air mata sampai dirinya tiba di rumah, dia membayar ojek lalu berlari masuk.

Rahmat yang melihat Nayna datang, segera menahan dan melihat sepasang mata dengan tanggul yang siap jebol.

"Nak, kamu kenapa? Ada apa?" Rahmat membawa putrinya masuk ke dalam pelukan, detik itu juga, Nayna tak lagi mampu menahan tangis. Dia semakin terisak saat sang ayah mengusap lembut kepalanya.

"Nak, apa pun yang membuat hatimu sakit di luar sana, Ayah akan tetap ada di sini, untuk terus menjadi tempatmu pulang. Sudah, jangan nangis, anak Ayah kuat, anak Ayah perempuan hebat, tangguh dan sabar. Udah ya, sayang air matanya, nanti abis lho," bujuk Rahmat masih dengan gerakan membelai kepala sang anak.

Setelah tenang, Nayna pamit masuk kamar, lalu melanjutkan tangisnya di sana. Rasa sakit itu menjalar tanpa permisi. Membuat gadis itu memukul tempat tidurnya dengan batin yang terus menjerit. Dia menarik selembar foto dari bawah bantal, mengamatinya lalu meremas potret itu dengan rasa kesal.

"Ak-sa-ra. Semoga harimu baik-baik saja dan ... menyenangkan," lirihnya sembari tersenyum getir.

***

Bab 1. Suasana baru

Hari masih pagi, embun di pucuk dedaunan menggantung santai, enggan jatuh ke tanah. Kokok ayam jantan saling bersahutan, begitu juga dengan kicau burung yang bernyanyi riang di ranting dan dahan.

Di sebuah rumah sederhana, dengan halaman yang asri penuh warna warni bunga, terdengar teriakan seorang wanita sembari terus mengetuk bahkan menggedor pintu kamar anaknya.

"Nayna! Bangun, Nak. Nanti kamu telat, ini udah siang!"

Sementara seorang pria dengan kaos oblong dan sarung kotak-kotak, datang membawa secangkir teh hangat dari dapur. Tersenyum saat melewati istrinya yang masih berkacak pinggang.

"Masih pagi, Nay. Gerbang sekolah juga belom dibuka, tidur aja dulu, nanti setengah tujuh Ayah bangunin!" teriaknya sambil lalu. Membuat sang istri semakin kesal dan melempar kain serbet yang sejak tadi bertengger di bahunya. Dia mengikuti langkah suaminya sampai di teras dengan mulut terus mengomel tiada henti.

"Ssst ... Jangan sekarang, Bu," bisik pria itu -Rahmat. Sedangkan istrinya mengeryit heran, "kenapa?"

Rahmat menarik lengan istrinya lalu berbisik, "Ayah belum cetak tiket buat konser tunggalmu."

Tak perlu ditanya, keributan sudah pasti terjadi.

Nayna menatap kedua orang tuanya dari ambang pintu kamar, seragam putih abu-abu sudah melekat di tubuhnya. Ransel sekolah sudah menggantung di punggung, juga sepasang kaki yang terbalut kaos kaki putih. Gadis itu menghela napas, lalu melangkah ke arah meja makan, siap sarapan, mengisi energi untuk hari pertamanya di sekolah baru.

Ya, Nayna dan keluarga pindah ke kota karena sang ayah membuka cabang bisnisnya di daerah tersebut. Tak ingin pulang pergi setiap minggu ke tanah kelahirannya di desa, dia memboyong anak istri untuk turut serta di tempat baru.

Rahmat dan Siti menoleh saat terdengar suara kran air menyala, disusul denting suara perkakas dapur. Bergegas Siti beranjak ke dapur dan melihat anaknya berdiri di depan westafel.

"Nak, nggak usah, nanti seragammu kotor. Masa hari pertama nggak paripurna ... bentar-bentar, ini kenapa? Kenapa malah pakai gelang kayak gini? Sekarang kamu sekolahnya di kota, Nay. Bukan lagi di desa yang masih bebas pake aksesoris gini. Lepas!"

Siti menarik gelang hitam di pergelangan tangan kiri anaknya. Dengan cepat, Nayna berkelit, "jangan, Bu. Ini hadiah dari Ayah, masa nggak dipake, kan sayang. Ya nggak, Yah?"

Nayna mengedipkan sebelah matanya ke arah Rahmat. "Nah iya, Bu. Lagian nggak papa dia pake itu, dari pada jadi toko emas keliling, malah bahaya, apalagi ini kota."

Siti hanya menghela napas, lalu beranjak ke meja makan.

Setelah semua siap, Nayna pamit pada ibunya dan segera berlari keluar saat Rahmat memainkan klakson sepeda motor.

Dengan motor yang sama, Rahmat selalu menyempatkan mengantar putri semata wayangnya ke sekolah, selagi dirinya tak sibuk oleh pekerjaan.

"Yah, kenapa nggak beli mobil aja? Biar kita nggak perlu kepanasan atau kehujanan di jalan," tutur Nayna saat mereka berhenti di lampu lalu lintas dan tak sengaja matanya menatap ke samping kanan, di mana sebuah mobil avanza putih juga berhenti sejajar dengan kendaraan mereka.

"Nanti Ayah kasih tahu enaknya pakai motor, pegangan yang kenceng ya." Rahmat melirik spion lalu beralih pada lampu kuning yang baru saja menyala. Tak lama setelahnya, Rahmat tancap gas lalu berkelit di antara mobil dan kendaraan besar yang terjebak macet di jalanan depan. Tanpa banyak tanya, Nayna semakin mempererat pelukannya di perut sang ayah yang begitu lihai, di padatnya jalanan kota pagi hari.

Mereka sampai di depan gerbang sekolah yang masih terbuka lebar. Banyak pula siswa siswi yang baru saja datang, baik diantar, jalan kaki, maupun membawa kendaraan sendiri. Rahmat menerima helm putrinya, lalu tersenyum, "nah, udah tahu kan enaknya pakai sepeda motor? Kalau mobil, mana bisa balapan terus sendok sana-sini di kemacetan."

Nayna tertawa lalu mengangguk. Dia mencium punggung tangan ayahnya dan Rahmat menepuk kedua bahu anaknya seraya berkata, "tuan putri sekolah yang bener ya, inget pesannya?"

"Nggak boleh lemah, nggak boleh marah tapi kalau difitnah, pantang menyerah sebelum pelaku kalah," jawab Nayna sembari tangannya terulur memperbaiki helm sang ayah.

"Ayah hati-hati pulangnya, jangan ngebut lagi," sambung gadis itu dan berlalu masuk gerbang. Setelah beberapa langkah dia kembali menoleh dan melambai pada sosok pelindungnya selama ini.

Nayna celingukan mencari di mana ruang tata usaha, dia berjalan menghampiri seorang staf guru, lalu menanyakan apa yang dicarinya.

"Kamu murid baru ya? Nah ke sana aja, nanti di depan itu belok kanan."

Gadis itu nurut, lalu mengikuti petunjuk yang didapat dan melihat sebuah ruangan berpintu kaca dengan papan nama di atasnya. Dia masuk, lalu bertanya perihal ruang kelas dan juga seragam.

Setelah mendapatkan semua, Nayna berjalan menyusuri koridor dengan beberapa siswa siswi yang mengamati gerak-geriknya tanpa satu pun yang bertanya. Sementara Nayna terus mencari ruang kelas sesuai petunjuk dari guru di ruang TU.

Ini ke mana lagi ya? Kanan apa kiri? Duh, pake lupa segala.

Dia mendekati seorang siswi yang tengah berkumpul dengan teman-temannya. "Maaf, mau tanya. Kelas XI Akuntansi 3 di mana ya?"

Namun bukan jawaban yang didapat, mereka justru melirik sinis ke arah Nayna yang masih berdiri dengan seragam yang berbeda.

"Lo anak baru? Dari mana?"

Seorang gadis berambut panjang menatap Nayna dengan tatapan tajam.

"Iya, aku pindahan dari SMK Harapan," balasnya dengan senyum mengembang.

"SMK Harapan? emang ada ya? di mana? Perasaan di sini nggak ada." Gadis itu menatap teman-temannya lalu beralih pada anak baru yang masih berdiri canggung di dekatnya.

Nayna mengatakan di mana sekolah lamanya berada, namun, belum selesai dia bicara, kalimatnya sudah terpotong.

"Pantes, dekil banget. Ternyata anak kampung!" Mereka tertawa mencemooh, sementara Nayna melirik name tag di dada gadis itu.

Melda. Hm, menarik juga. Hari pertama disuguh drama seperti ini.

Nayna tersenyum, mengangguk lalu pergi dari hadapan mereka. Dia kembali berjalan celingak-celinguk mencari kelasnya.

"Hai, kamu anak baru ya? Kelas XI apa?"

Nayna terkejut dan menoleh saat pundaknya ditepuk dari belakang. Dia mengamati barisan kelas XI di koridor itu.

Nayna segera menjawab tanpa berharap lebih, setelah apa yang dia dapatkan dari Melda dan kawan-kawannya.

"Yuk ikut aku, kita satu kelas." Nayna digandeng melewati beberapa kelas lalu masuk ke salah satunya.

"Nah, ini kelas kita. Oh ya, kenalin, aku Tania. Kebetulan aku duduk sendiri, kamu bisa di sini sama aku." Nayna membalas uluran tangan itu, lalu mengangguk dan duduk di samping teman barunya.

Saat bel masuk berdering, ruang kelas menjadi ramai. Satu dua orang melirik ke arah Nayna, ada pula yang mengulurkan tangannya untuk mengajak kenalan.

Ternyata nggak semua nyebelin juga, mereka ramah.

Nayna tersenyum lalu menimpali pertanyaan dari teman-temannya sebelum guru masuk kelas.

Ruangan seketika hening, tatkala seorang guru pria masuk dengan tatapan tajam yang mengawasi seisi kelas. Kumisnya bergerak naik turun saat pria itu komat kamit, entah apa yang diucapkan.

"Jangan kaget, Nay. Dia guru killer di sini, namanya Mr. Jhon, lengkapnya Jono," bisik Tania sembari menutup mulutnya menahan tawa.

Brak!

"Ma-maaf, Pak, eh Mistar, Mister. Saya telat."

Seorang cowok masuk dengan rambut acak-acakan, Mr. Jhon mendekat lalu menarik telinga siswa itu.

"Kamu ya, nggak punya jam apa gimana? Begadang terus, berdiri! Jangan duduk sebelum saya perintah! Sudah berulang kali ... " kalimatnya terjeda saat seseorang mengetuk pintu lalu mengangguk hormat.

"Maaf Mister, saya telat."

Dia? Di sini? Satu kelas?

Nayna mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya terlihat, sementara Tania menepuk lengannya.

"Kamu kenapa, Nay?"

***

Bab 2. Hadiah anak baru

"Nay, kamu kenapa?"

Tania menatap teman barunya dengan wajah cemas, dia pikir Nayna tengah merasakan sakit di tubuhnya.

"Oh, aku nggak papa kok," ujar Nayna mengulum senyum. Namun seketika melebur saat seorang siswa berjalan ke arahnya.

Nayna cepat menunduk, menyembunyikan perasaan yang selama ini bercokol di hati tanpa pernah terobati. Dia menghela napas lega, ketika cowok itu melewati dirinya lalu menoleh saat Tania berbisik, "Nay, dia tadi ngelirik kamu lho. Wah, jarang banget dia kayak gitu ke cewek, orangnya kayak kulkas tujuh belas pintu."

Nayna mengikuti arah ekor mata Tania tepat ke bangku di belakang tubuhnya.

Kenapa harus ketemu lagi?

Semua buyar, saat Mr. Jhon memanggil.

"Tadi saya dengar, di sini ada murid baru? Tolong maju dan perkenalkan diri ke teman-teman semua."

Nayna melangkah maju, masih dengan tatapan sinis dari beberapa siswi di sana.

Jangan lemah, ingat. Anak ayah perempuan kuat!

Nayna mengangkat wajahnya, tersenyum lalu mulai memperkenalkan diri. Dia juga mengedarkan pandangannya ke seisi kelas, menatap wajah-wajah baru yang muncul di kehidupannya, di kota ini. Kecuali satu wajah yang telah lama berusaha dia lupakan, namun takdir justru mempertemukan mereka kembali dengan rasa canggung yang menyakitkan, bagi Nayna sendiri.

*

Saat bel istirahat berdering,Tania membawa Nayna keliling untuk memperkenalkan sekolahnya.

"Nah, ini barisan kelas XII, Nay. Tahun depan jadi kelas kita."

Mereka berjalan menyusuri koridor yang penuh dengan canda tawa dari siswa siswinya, ada juga yang menatap Nayna dengan pandangan tak biasa.

"Nay, mereka liatin kamu, mungkin karena seragamnya masih beda kali ya. Atau terpesona liat cewek cakep," bisik Tania dengan tawa tertahan.

"Nah, ini perpustakaan. Banyak banget bukunya, dari novel juga buku-buku sejarah ada di sini. Aku udah jarang masuk, nggak tahu kenapa, sekarang lebih suka baca online, Nay. Lebih praktis." Tania dengan semangat membara, memberi penjelasan tentang setiap sudut yang mereka datangi. Gadis itu juga menyampaikan beberapa gosip yang hangat akhir-akhir ini.

"Katanya sih, Nay. Aku juga belum tahu kebenarannya. Tapi di grup sekolah udah banyak yang bahas, ya mereka gitu, Melda cs bakal nembak cowok kelas XI. Menurutku, mungkin cowok yang dimaksud mereka ya si Aksara, secara dia kan dipepet terus sama uler keket itu. Sampai tu cewek bikin pengumuman tak tertulis yang bilang Aksara punya dia, nggak ada yang boleh deketin selain si uler itu sendiri."

Nayna mengangguk tanpa memberi balasan apa pun, baginya, tak ada yang menarik di sini selain belajar dan lulus dengan nilai memuaskan.

Bruk!

"Eh, eh, maaf, maaf, nggak sengaja." Seorang cowok mengambil bola basket yang mengenai lengan Nayna. Dia mengulurkan tangannya, "kamu Nayna kan? Kenalin, aku Sandy, panggil aja sayang, aww ... "

Tania menendang kaki cowok itu lalu mendelik, "jangan ganggu temenku! Dasar playboy!"

Nayna ditarik paksa untuk pergi. Sementara Tania yang masih mencekal lengan temannya, terus menggerutu sepanjang jalan. Baru saat mereka sampai di kantin, Nayna bertanya dengan nada penasaran.

"Kenapa, Tan? Kamu mantannya dia?"

Tania langsung menoleh, menatap tajam ke wajah Nayna. "Kamu tahu? Padahal kamu baru lho di sini."

Nayna tertawa melihat ekspresi temannya, "keselnya keliatan banget. Kayak ada dendam gitu."

Mereka tertawa, sementara Tania menunjuk menu yang ada di meja. "Mau apa, Nay?"

"Minum aja deh, bentar lagi masuk, kan?"

Tania mengangguk lalu pergi memesan dua gelas es teh.

Di saat yang sama, Melda cs mendekati meja Nayna lalu duduk di sana.

"Eh anak baru, denger-denger tadi ada yang bilang kalau lo dilirik my prince? Nggak usah keganjenan deh, dasar anak kampung!"

Melda menatap tajam ke arah Nayna yang tak sedikit pun gentar oleh gertakannya, membuat Melda semakin naik darah.

"Apa lo? Berani nantangin gue? Nggak usah nyolot lo ya, udik, dekil, bau lumpur, haha."

Nayna hanya diam, dia melirik ke arah Tania yang takut-takut untuk mendekat.

"Maaf ya, Kak. Aku datang ke sini buat belajar, bukan cari musuh, apalagi jadi cewek kegatelan. Lagi pula, dari tadi aku diam aja kok, Kakak sendiri yang terus ngoceh kayak burung minta makan."

Byur!

Melda merebut segelas es teh yang dibawa Tania, lalu menyiramkan ke kepala Nayna. Beberapa pasang mata menatap ke arah mereka, termasuk ibu kantin yang tercengang dengan mangkuk di tangan.

Nayna tidak marah, dia hanya membersihkan sisa es batu yang berada di puncak kepala, lalu mengibaskan rambutnya, sengaja mengenai seragam Melda.

"Iihh, seragam gue, dasar cewek kampung, awas aja, nggak bakal betah lo di sini." Dia berlalu pergi dibawa teman-temannya, sementara Tania cepat meletakkan bawaannya di meja, lalu membantu Nayna.

"Bajumu basah, Nay. Kalau nggak ganti, nanti masuk angin." Tania mengambil beberapa tisu lalu membersihkan seragam putih Nayna yang kini menjadi kecoklatan terkena teh.

"Nggak papa, aku ada seragam lain. Tadi kan udah dikasih sama TU."

Keduanya berlalu pergi menuju kelas mengambil seragam yang dimaksud, lalu pergi ke toilet.

Dari kejauhan, sepasang mata menatap kejadian itu dengan tangan masih di dalam saku celana.

Kamu belum berubah, masih seperti dulu. Nayna yang aku kenal.

Dia berlalu pergi saat seseorang memanggilnya dari tengah lapangan.

**

Sepulang sekolah, Nayna sudah siap menunggu jemputan di depan gerbang ditemani Tania.

"Nay, rumahmu di mana? Aku boleh main ke tempatmu nggak?"

Nayna mengangguk lalu menyebutkan sebuah alamat, "main aja, Tan. Kapan-kapan gantian aku ke tempatmu."

Obrolan mereka terhenti oleh suara seorang cowok di atas sepeda motornya.

"Nay, aku duluan ya. Oh iya, bentar." Tania berlari ke arah laki-laki itu, lalu menarik tangannya untuk turun.

"Nay, kenalin, ini Abangku, namanya Bang Dika, dia kuliah sambil kerja." Tania kembali menarik lengan kakaknya, untuk berkenalan.

Nayna membalas uluran tangan itu, lalu menyebutkan namanya.

"Senang bertemu denganmu," ucap laki-laki itu, lalu kembali ditarik sang adik dan melambai ke arah Nayna.

"Bye, Nay. Duluan ya."

Nayna menatap sepasang kakak adik itu, lalu tersenyum getir.

Enak ya punya kakak, nggak kesepian di rumah.

"Hayo, ngapain nih ngelamun di pinggir jalan? Eh, kok seragamnya beda? Yang putih ke mana, Nak?"

Rahmat yang baru datang, menatap putrinya heran, terlebih melihat rambut anaknya yang basah.

"Baru masuk udah suruh renang? Kamu bawa baju renang emangnya?"

Nayna menggeleng, lalu duduk di belakang tubuh ayahnya sambil tertawa renyah.

"Interogasinya nanti aja di rumah ya, Pak. Keburu cacing di perutku demo nih."

Rahmat ikut tertawa, lalu menepuk punggung tangan sang anak yang melingkar di perutnya.

"Oke, tuan putri. Lets go!"

Rahmat memutar gas, lalu melesat pergi meninggalkan gedung sekolah yang berdiri megah di padatnya kota.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!