"Adnan!"
Teriakan itu berhasil membuat rangkulan Adnan pada pundak Dita terlepas. Ia menoleh ke belakang dengan mata membola saat melihat Indira menatapnya tajam.
"Berani-beraninya kamu main gila sama dia! Kamu lupa kalau 1 minggu lagi kita nikah, hah?!"
Tatapan Indira begitu menyala-nyala. Suaranya menggelegar, membuat semua orang yang ada di kafe menatap heran.
"Dira ... Sayang. Aku bisa jelas—"
"Gak ada yang perlu dijelasin!" teriak Indira. Ia tepis tangan sang kekasih yang hendak merangkulnya. "Semua udah jelas! Kamu selingkuh sama sahabatku sendiri, Adnan!"
Bisik-bisik mulai terdengar dari sekitar. Ditambah tatapan orang-orang yang tampak sinis, membuat Adnan tak nyaman. Segera ia menarik tangan sang kekasih untuk keluar dari kafe.
"Lepas! Lepasin!"
Indira memberontak. Namun, tak berarti apa-apa. Adnan tetap berhasil membawanya keluar.
Kini keduanya berdiri di dekat parkiran, saling menatap nyalang.
"Jangan bikin malu, Dira! Ini tempat umum!" ucap Adnan penuh penekanan.
Indira terkekeh sinis. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Malu? Masih punya malu kamu? Kalau malu, harusnya kamu gak usah selingkuh, Adnan!" teriaknya. "Harusnya dari awal aku percaya sama orang tuaku kalau kamu itu bukan laki-laki waras! Kamu gila, Adnan!"
Lagi, teriakan Indira membuat banyak orang yang tengah melintas pun menoleh. Namun, ia tak peduli. Jika bisa, biar saja satu dunia tahu pria di hadapnnya ini adalah seorang pengecut.
"Tega-teganya, ya, kamu. Padahal ... Dita itu sahabatku, Nan. Kalau kamu suka sama dia, kenapa gak bilang dari dulu? Kenapa kamu malah mau nikahin aku, hah?!"
"Ya, karena kamu terlalu bucin sama dia." Suara Dita terdengar bersamaan orangnya yang muncul dari belakang Adnan. "Kamu tahu, Dir? Adnan itu kasihan sama kamu kalau sampai kalian batal nikah. Padahal, dia cintanya sama aku. Harusnya kamu paham, sih, dari dulu."
Indira menggeleng. Kedua tangannya terkepal di samping tubuh. Saat kepalan itu terangkat hendak mengenai wajah Dita, Adnan malah menahan.
"Jangan macem-macem atau pernikahan kita batal!"
Spontan Indira menoleh pada Adnan. Bibirnya melengkungkan senyum yang menutupi kepedihan. "Batal? Okey! Emang siapa yang masih mau nikah sama laki-laki tukang selingkuh kayak kamu? Aku gak sudi, Nan!"
Wanita berambut panjang itu menarik tangannya dari celakan Adnan. Melepas cincin yang tersemat dijari, lalu ia lempar ke wajah pria di depannya.
"Mulai sekarang, kita gak punya hubungan lagi!" tegasnya.
Setelah mengatakan itu, gegas Indira membawa kakinya pergi dari sana. Melangkah menyusuri jalan raya sembari menahan agar air mata tak keluar. Biarpun pernikahannya harus batal, tak apa. Sebab Ia bukan wanita lemah.
"Liat aja! Kalian berdua pasti menyesal!" geramnya.
Cukup lama melangkah, akhirnya Indira mulai merasa lelah. Sejenak ia beristirahat di sebuah halte tanpa menyadari ada seorang pria yang duduk di sana sejak tadi.
Pria itu menatap heran pada Indira. Apalagi saat melihat wanita cantik itu tiba-tiba menangis sembari menyandarkan kepala pada tiang.
"Dira?" panggilnya.
Sang empunya nama sontak menoleh. Dan seketika itu juga matanya membola sempurna.
"Rada?"
Indira sangat terkejut. Bagaimana bisa ia duduk berdampingan dengan Rada? Lagi, sejak kapan pria itu ada di kota ini?
"Kenapa nangis?" tanya Rada. Ia tak menghiraukan raut terkejut Indira.
Seolah tersadar, segera Indira menghapus kasar air mata di wajahnya. "Bukan urusan kamu!" ketusnya.
Alis Rada tertarik. Diam-diam bibirnya menyunggingkan senyum tipis melihat wajah sang mantan yang berubah kesal sembari membuang pandang. Tetap sama seperti Indira yang ia kenal 5 tahun lalu.
Diam-diam Indira melirik Rada dengan ekor mata. Bibirnya spontan berdecih karena menyadari pria itu terus menatapnya.
"Dih, ngapain liatin aku terus? Mau balikan? Ogah!" gerutunya dalam hati.
Setelah beberapa saat diselimuti keheningan, sebuah bus berhenti di depan mereka. Segera saja Indira bangkit dan masuk ke dalam bus tersebut diikuti oleh Rada. Bahkan pria itu sengaja mengambil duduk di samping mantan kekasihnya.
"Ck! Ngapian ikut-ikut segala, sih? Kamu gak punya kerjaan, ya?" tuding Indira. Suasana hatinya sedang kesal karena dikhianati sang tunangan, kini malah bertambah kesal karena bertemu sang mantan.
Sungguh ia pusing bukan kepalang.
"Rumahku dekat halte pemberhentian terakhir kalau kamu lupa."
Ah, iya. Indira lupa. Wajar sih, ia saja sudah tak bertemu Rada 5 tahun lamanya.
"Ngomong-ngomong, kamu lagi punya masalah?"
"Emang ada orang hidup yang gak punya masalah?"
Rada terkekeh. Indira benar-benar masih sama. Ciri khasnya sejak dulu adalah balik bertanya ketika diberi tanya. Tak jarang dari situ terjadi perdebatan kecil di antara mereka.
Hah, Rada sangat merindukannya.
Tak ada lagi percakapan di antara mereka hingga bus kembali melaju. Bahkan ketika Indira lebih dulu turun, tak ada satupun kata yang keluar dari bibir wanita itu.
Rada tak merasa tersinggung, sebab hubungan mereka memang tidak baik setelah kejadian 5 tahun lalu. Lebih tepatnya Indira yang kecewa atau bahkan mungkin ... menyimpan dendam padanya. Entahlah.
Pria itu menoleh ke samping, tepat ke kursi yang tadi sempat menjadi tempat duduk Indira. Namun, matanya menyipit seketika kala mendapati sesuatu tergeletak di sana.
"Ck! Udah dewasa pun masih aja ceroboh!"
Rada mengambil ponsel milik Indira yang tertinggal. Ia tatap layar kunci yang menampilkan foto sang mantan bersama seorang pria.
"Ternyata kamu beneran udah lupain aku, ya, Dir?" gumamnya pelan. Ia usap layar itu, tepat di bagian wajah Indira. Namun, tiba-tiba benda pipih tersebut mengeluarkan suara.
Sebuah panggilan dari kontak bernama "Sayang."
Hah, tanpa bertanya pun, Rada sudah tahu itu siapa.
Mulanya Rada mengabaikan panggilan dari Adnan. Namun, sepertinya pria itu tak ingin menyerah hingga sudah berkali-kali melakukan panggilan ulang.
Huft!
Sungguh menyebalkan! Mau tak mau, kini Rada menggeser ikon hijau di layar, lalu mendekatkan ponsel tersebut ke telinga.
"Halo, Sayang. Dira ... tolong jangan batalin pernikahan kita. Aku janji akan tinggalin Dita. Aku cuma mau nikah sama kamu. Please ...."
Sejenak Rada terdiam. Hingga setelah beberapa saat, ia berhasil menarik sebuah kesimpulan. Seketika itu juga dadanya bergemuruh hebat, seolah siap meledak.
"Jadi kamu yang buat Dira nangis? Berani kamu sakitin dia, hah?!"
Mobil tua berwarna silver yang dikemudikan Rada berhenti mendadak di depan sebuah rumah bercat putih gading. Setelah mematikan mesin, pria itu langsung membuka pintu dan keluar dengan langkah panjang. Matanya menatap tajam ke arah rumah yang terasa sangat familiar, meski sudah bertahun-tahun tak berkunjung.
Tanpa ragu, Rada berjalan cepat menuju teras, lalu berhenti di depan pintu kayu yang sedikit terbuka. Dari balik celah pintu, suara tangis terdengar samar, membuat ia menahan napas.
Rada tahu itu suara Indira.
Langkah pria itu berhenti sepenuhnya. Jemarinya sempat terangkat untuk mengetuk, tapi niat itu tertahan saat mendengar percakapan dari dalam.
"Ini semua memalukan!" Suara pria terdengar berat. Ia yakin itu Bagus—ayah Indira. "Undangan sudah disebar. Semua tetangga pasti sudah tahu. Masa kita harus membatalkan begitu saja?" lanjutnya.
Weni—ibu Indira terdengar menimpali dengan suara lembut, tapi khawatir. "Aku juga bingung, Pa. Tapi mau bagaimana lagi? Adnan sudah keterlaluan. Bisa-bisanya dia selingkuh sama sahabat anak kita sendiri. Aku gak mau punya menantu seperti dia, Pa!"
"Aku pun gak sudi punya menantu seperti dia, Ma. Sepertinya pernikahan ini memang harus dibatalkan daripada putri kita yang jadi korban nantinya."
Rada memejamkan mata sejenak. Suasana di dalam rumah itu sama panasnya seperti yang ia bayangkan. Namun, ia tidak datang hanya untuk mendengarkan atau sekadar mengembalikan ponsel Indira yang tertinggal. Ia datang untuk menyampaikan sesuatu yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Pria tampan dengan balutan kemeja putih dan celana hitam itu menghela napas, lalu mendorong pintu perlahan hingga terbuka sepenuhnya.
Langkahnya masuk membuat semua kepala menoleh. Weni yang tengah memeluk Indira refleks berdiri. Begitu pula Bagus. Sementara Indira yang sedang menangis, tersentak saat melihat siapa yang muncul di hadapannya.
"Rada?" gumam wanita itu dengan ekspresi terkejut. "Ngapain kamu ke sini?"
Rada tidak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya menatap lurus ke arah Bagus. "Om gak perlu batalin acaranya. Biar saya yang menikahi Dira.”
"Apa?!" Indira hampir berdiri saking terkejutnya.
Bagus memandang Rada tak percaya. "Tunggu ... kamu serius sama apa yang kamu ucapkan barusan?"
"Saya serius, Om," jawab Rada mantap. "Saya paham kalau Om dan Tante masih benci sama saya. Tapi, saya gak bisa lihat Dira menanggung malu. Anggap aja ini tebusan karena dulu saya pun pernah menyakiti putri kalian."
Weni melirik suaminya, lalu buru-buru memberi isyarat pada Rada. "Duduk dulu, Rad." Ia sampai lupa menyuruh pria muda itu untuk duduk di sofa saking terkejutnya.
Indira menggeleng tak percaya. Ini benar-benar konyol menurutnya. Bagaimana bisa ia menikah dengan Rada? Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan!
“Aku gak mau nikah sama dia!” seru wanita itu keras, memecah suasana.
Weni mencoba menarik lengan sang putri agar kembali duduk lagi. "Sayang, dengar dulu—”
“Enggak! Aku gak perlu denger apa-apa, Ma! Aku udah cukup kecewa sama Adnan. Dan sekarang mau ditambah lagi sama dia? Gak! Aku gak mau!" tegas Indira.
Bagus menghela napas panjang. Sungguh ia pun bingung menghadapi situasi ini. "Dira, kita semua paham kamu lagi marah dan kecewa, tapi kamu juga harus berpikir panjang, Nak. Coba kamu pikirkan matang-matang dulu, ya?"
"Betul, Sayang," tambah Weni pelan. "Kamu masih bisa berpikir setidaknya sampai besok. Ya? Mama yakin kalau Rada—"
"Apa? Rada apa, Ma? Mama mau bilang dia baik, iya?" bentak Indira sambil berdiri. Ia bahkan sampai tak sadar sudah meninggikan suara di depan orang tuanya sendiri.
"Apa Mama gak inget waktu dulu dia ninggalin aku gitu aja?" Suara wanita itu perlahan melemah. Matanya berkaca-kaca mengingat kenangan demi kenangan yang dilewati bersama Rada.
"Dia jahat, Ma .... Dia sama aja kayak si Adnan!"
Weni dan Bagus tak bisa berkata-kata karena tahu betul sakit yang dialami putrinya setelah ditinggal Rada.
Seketika Rada tertunduk. Ia memang pantas mendapat luapan amarah bahkan umpatan dari mantan kekasihnya. Namun, tak ada sedikitpun niat di hatinya untuk mundur.
"Dira ... aku tahu aku salah. Tapi tolong, percaya sama aku kali ini ... aja. Aku akan buktiin kalau aku gak seburuk yang kamu kira. Selama lima tahun ini, aku bahkan masih cinta sama kamu, Dir ...."
Indira menatap tajam mantan kekasihnya itu. "Ck! Cinta? Apa itu cinta, hah?!"
"Cukup!" Bagus segera menengahi. "Tolong jangan ribut. Kita kan bisa bicara baik-baik.”
Weni menarik nafas dalam. Kepalanya jadi bertambah pusing semenjak Rada datang. "Begini saja." Ia hendak memberikan usulan. "Lebih baik kita biarkan Dira berpikir dulu. Kamu bisa pulang sekarang kan, Rad? Soal jawaban Dira, Tante atau Om akan kasih tahu kamu nanti."
Rada mengangguk pelan, meskipun sebenarnya ia merasa keberatan. "Baik, Tante."
Indira terdiam. Menatap kosong pada punggung Rada yang kini sudah berada di luar rumah.
Weni perlahan mendekat, menggenggam tangan putrinya. "Sayang ... Mama gak akan maksa. Tapi kamu tahu sendiri, kita gak mungkin menarik undangan, atau menjelaskan ke semua orang soal batalnya pernikahan kamu sama Adnan. Nama baik keluarga juga harus kita jaga. Mama mohon, kamu pikirkan baik-baik, ya."
Indira mengangguk pelan. Meski air matanya sudah mengering, mata wanita itu masih sembab. Ia tak lagi bicara. Hanya diam dan menghindari tatapan kedua orang tuanya.
Setelah kepergian Rada, Indira memilih mengurung diri di dalam kamar hingga malam tiba. Ia duduk di pinggir ranjang ditemani cahaya remang yang berasal dari lampu tidur. Jari-jari tangannya menggenggam kain sprei erat. Pandangannya kosong. Pikirannya kacau.
Perasaan sakit karena dikhianati belum sempat pulih, kini ia malah disodori pilihan tak masuk akal. Dihadapkan pada wajah dari masa lalu yang dulu pernah ia cintai ... dan ia benci di saat yang sama.
Wanita cantik dengan mata sembab itu menarik napas dalam, lalu mendongak menatap langit malam lewat jendela yang terbuka. "Tuhan ... kenapa malah Rada? Gak adakah laki-laki lain selain dia?"
Aroma nasi goreng buatan Weni memenuhi ruangan. Indira duduk diam di meja makan, menatap kosong piringnya yang masih terisi penuh. Rambut wanita itu diikat asal. Wajahnya masih menyisakan sembab semalam.
Tepat di sampingnya, Bagus menyeruput teh hangat sambil sesekali melirik putri semata wayangnya dengan perasaan cemas. Meski kini Indira sudah mau keluar dari kamar, tetap saja wanita itu tidak makan.
"Makan, Sayang. Jangan cuma ditatap," ucap Weni lembut sambil duduk di seberang Indira.
Wanita itu mengangguk pelan, mengambil sendok dan mulai menyuapkan nasi ke mulut. Rasanya hambar. Entah karena ia yang tengah tak berselera atau memang begitulah rasanya.
Dua suapan berhasil masuk ke mulut Indira. Hingga ketika ia hendak memasukkan suapan ketiga, suara bel pintu terdengar, membuat gerakan tangannya terhenti di udara.
"Siapa yang datang pagi-pagi begini?" gumam Bagus sambil bangkit.
Akan tetapi, langkahnya langsung terhenti saat muncul sosok yang sangat tidak diinginkan merangsek masuk tanpa dipersilakan.
"Adnan?" Bagus menyipitkan mata.
"Om, saya mohon, kasih saya waktu sebentar aja. Saya cuma mau bicara sama Dira," pinta Adnan lirih. Wajahnya kusut dengan kantung mata yang menggelap seperti belum tidur semalaman.
Hanya melihat pemandangan tak sedap itu dari jauh, tampaknya tak membuat Weni puas. Wanita itu segera berdiri sambil menahan napas. Ia berjalan menuju ruang tamu yang menyambung langsung dengan ruang makan.
"Kamu masih punya muka datang ke sini, Adnan?" Wanita itu menatap Adnan tajam.
Indira yang mendengar nama itu langsung menoleh. Hatinya mencelos begitu melihat pria yang baru saja menghancurkan harapannya kini berdiri di depan sana.
"Tante, saya tahu saya salah. Tapi saya janji gak akan ulangi kesalahan itu lagi. Saya cuma mau nikah sama Dira, Tante," ujar Adnan sambil melangkah mendekat pada Weni.
"Stop di situ!" hardik Bagus. "Kamu sudah cukup bikin anak saya menderita!"
"Om, tolong. Sekali ini ... aja. Kita harus tetap menikah biar orang gak ngomong macem-macem. Saya gak mau keluarga kita jadi malu setelah ini, Om. Saya—"
"Lebih baik nama keluarga jadi buruk daripada saya harus izinkan Dira menikah sama pria brengsek seperti kamu!" Weni memotong cepat. Suaranya terdengar menggelegar.
"Tapi saya cinta sama Dira! Dan saya tahu dia juga masih cinta sama saya!"
Di tengah keributan itu, Indira masih duduk diam. Tangan wanita itu mengepal di atas pangkuan. Dadanya naik turun. Kulit putihnya berubah jadi merah padam karena emosi yang tertahan. Matanya tak lepas dari wajah Adnan yang terus memohon seolah kesalahannya mudah untuk dimaafkan.
"Dira ... ngomong, please. Bilang ke mereka kalau kamu masih mau nikah sama aku. Aku janji akan berubah. Kita bisa mulai dari awal," pinta Adnan dengan suara gemetar. Matanya menatap penuh harap pada wanita yang mungkin kini sudah berstatus mantan.
Perlahan Indira berdiri, membuat semua mata tertuju padanya. Weni dan Bagus terdiam, seolah menunggu apa yang akan sang putri lakukan.
"Stop, Adnan," katanya pelan, tapi tegas.
Pria itu tersenyum lirih dengan mata penuh harap. Namun, kata selanjutnya membuat senyuman itu lenyap dalam sekejap.
"Aku emang gak akan batalin pernikahan dan akan tetap menikah. Tapi ... bukan sama kamu."
Deg!
Suasana seketika hening. Bagus dan Weni saling pandang, sementara Adnan menatap Indira seolah tak percaya.
"Hah? Terus kamu mau nikah sama siapa, Dir?" tanyanya bingung.
"Saya."
Suara berat terdengar dari arah depan, membuat semua kepala serempak menoleh. Muncullah Rada dari arah pintu dengan kemeja biru dengan senyum tipis. Ia berdiri tegap, menatap Adnan seolah ingin mengatakan jika ialah pemenang.
Adnan terpaku. Rahangnya mengeras. Kedua tangannya terkepal kuat di samping tubuh. "Gak usah ikut campur! Kamu cuma masalalunya, Dira!"
"Tapi kenyataannya saya yang menang, kan?" balas Rada tenang.
"Sudah cukup!" Bagus segera melerai. "Keluar dari rumah saya sebelum saya benar-benar marah, Adnan!"
Adnan tampak ingin protes, tapi tatapan tajam Bagus dan kehadiran Rada membuatnya merasa tak akan menang. Dengan gigi terkatup dan wajah muram, ia pun pergi meninggalkan kediaman mantan calon mertuanya itu.
***
Setelah Adnan pergi, Indira dan Rada duduk di atas sofa yang sama. Saling berdampingan sesuai permintaan Bagus dan Weni. Mereka sengaja membiarkan dua orang itu untuk berbicara serius.
Indira masih memasang wajah ketus. Ia masih kesal pada Adnan, dan kini bertambah kesal karena Rada datang. Lagi, kedua orang tuanya malah meninggalkan ia berdua dengan sang mantan.
Sangat menyebalkan!
"Jadi, apa mahar yang kamu mau?" tanya Rada santai.
Indira mendengkus kesal. "Emang siapa yang mau nikah sama kamu?"
Sontak Rada mengangkat alisnya tinggi. "Bukannya kamu yang bilang sendiri tadi? Kamu gak amnesia, kan?"
"Dih, aku cuma bilang mau nikah sama orang lain. Gak nyebut nama kamu, tuh! Kamu sendiri yang tiba-tiba muncul!" ketus Indira. Ia melipat tangan di dada sembari membuang muka.
Rada tertawa pelan. Ia sangat paham watak keras seorang Indira Ayudhia. Meski begitu, ia pun masih mengingat jelas hal-hal yang bisa membuat wanita itu luluh.
Bermodal pengetahuan tentang Indira yang sudah hafal di luar kepala, Rada jadi bisa menanggapi kekesalan atau bahkan amarah wanita itu dengan sikap santai.
Pria tampan itu mengangguk-angguk kecil. "Oke. Kalau gitu, sekarang aku yang mau nikahin kamu."
"Aku gak mau!" seru Indira cepat.
Rada mendekat sedikit. Sorot matanya mendadak serius menatap wajah cemberut sang mantan dari samping.
"Denger, Dira. Aku serius dan gak akan ulang pertanyaan ini," ucapnya mantap.
"Indira Ayudhia, maukah kamu menikah denganku?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!