Langkah Vania terhenti di depan gerbang SMA Garuda, tempat awal mulainya ia jatuh cinta dalam diam yang teramat dalam. Mitos bahwa cinta pertama tak pernah terwujud ternyata bukan isapan jempol. Ia adalah buktinya. Vania menghela napas berat, melihat dengan jengah area sekolah.
Kakinya melangkah dengan berat, matanya menyapu lautan manusia yang hadir dalam acara reuni klub sastra. Mencari sahabatnya yang sejak pagi sudah memaksanya untuk datang, padahal ia menolak, jelas alasannya tak ingin bertemu Jalu—cinta pertamanya.
Vania mengeluarkan ponsel, mencari nama di daftar kontak, lalu menelponnya.
“Okta! Lo di mana sih? Dicariin dari tadi gak nongol-nongol!” Ia mulai kesal, sebab sudah setengah jam dia menunggu sahabatnya itu. “Ngumpet di mana sih lo?”
“Sorry-sorry, tadi ngobrol dulu sama pak satpam. Kangen gue udah lama gak ketemu.” Jawab Okta enteng. Terdengar gelak tawa di seberang sana, Vania yakin itu akan berlangsung lama.
“Jadi lo masih di depan ? Pagi-pagi udah spam tapi baru dateng juga?” Vania menggeleng, heran dengan kelakuan sahabatnya itu.
Ia pun berbalik, hendak menjemput Okta dan bruk! Vania menabrak seorang pria. Dia Hampir terjatuh, tapi dengan sigap pria itu meraih tangannya.
“Kamu gak papa?” tanya pria itu cemas.
Tangan hangat yang menyentuh kulit Vania, membuat lidahnya tiba-tiba kelu, saat matanya mengenali wajah di hadapannya. Pria itu adalah Jalu Prasetya, sosok yang selama ini berusaha ia lupakan mati-matian. Vania terdiam, bibirnya kaku. Bahkan menyapa pun ia tak sanggup.
Jalu mengernyitkan dahinya, melihat Vania yang tiba-tiba mematung. Lalu detik berikutnya, ia baru mengenali wajah Vania yang terlihat familiar baginya.
“Kamu ... Vania ya? Bener kan?” tanya Jalu, ia menyambut dengan senyum lebar dan uluran tangan.
Vania hanya membalas dengan senyum setengah hati, ia mengusap telapak tangannya yang berkeringat dingin, sebelum meraih tangan hangat itu.
“Waahh ... udah lama yah kita gak ketemu. Dua tahun ada kali.” Jalu menatap Vania sejenak, senyum khasnya membuat jantung Vania berdebar.
“Udah bukan anak SMA, makin cantik aja.” Godanya sembari tertawa.
“Apa sih kak? Biasa aja, lah.” Vania tertawa kecil, pipinya mendadak merona. Kupu-kupu yang sempat hilang kini kembali menari. Ternyata, perasaan itu belum mati.
“Kak Jalu kesini sendiri?” ujar Vania, jemari lentiknya menyelipkan sehelai anak rambut ke belakang telinga.
“Oh, nggak. Itu sama pacar. Dia lagi ngambil dompetnya di mobil.” Ujar Jalu dengan santai.
Dan kalimat itu kembali meremukkan hatinya. Baru saja dia merasa di atas awan, sekarang tersungkur oleh kenyataan. Lagi-lagi Vania terdiam, tak tahu harus merespon apa. Ingin rasanya ia kabur, namun langkahnya tak sanggup, ia terlalu lemas.
“Tuh orangnya,” Jalu melambaikan tangan pada seseorang di antara kerumunan. “Sayang! Di sini!” serunya memberi arah pada sang kekasih.
Wanita dengan rambut tergerai anggun melangkah ke arah mereka. Berjalan bak model yang menguasai panggung. Tangannya bergelayut manja di lengan Jalu. Refleks Vania merapikan kemeja dan rambut cepol asalnya.
“Siapa?” Tanyanya dengan jutek. Matanya memperhatikan Vania dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seolah menguliti tubuhnya, mencari kesalahan yang ada.
“Kenalin, ini adik kelasku waktu SMA, Namanya Vania. Van, kenalin ini pacarku. Agnes.” Ujar Jalu, masih dengan senyum manisnya. Sedangkan Vania memaksa senyum karirnya. Namun, tidak untuk Agnes, ia tampak membisikkan sesuatu pada Jalu, tanpa melepas tatapannya pada Vania bagai kucing yang takut ikannya di curi.
“Kalau gitu kita duluan ya, Van. Agnes lagi nyari buku.” Ucapnya pamit.
Vania hanya mengangguk, dan tersenyum tipis, berharap dapat menyembunyikan perasaannya yang kacau. Ia menatap nanar punggung Jalu yang semakin menjauh, tiap langkahnya menarik satu per satu kenangan, seperti film yang diputar paksa.
Keramahan yang ia sangka sebuah ketertarikan, justru membuatnya terluka. Vania tahu, tapi ia tetap berharap. Hingga akhirnya, Jalu bersama gadis lain. Luka itu belum hilang, masih bernanah di dalam hatinya.
“Selama ini aku mengharapkan apa sih?” gumamnya pelan, ia meremas dadanya yang terasa sesak.
Hingga sebuah tepukan di pundak menyadarkannya dari lamunan. Sebab, Vania tak kunjung menyahut saat Okta datang menyapa.
“Lo sesedih itu ya nungguin gue?” tanyanya heran, melihat Vania diam sendirian seperti seorang anak kecil yang kehilangan ibunya.
“Gara-gara lo nih!” Vania berjongkok, membenamkan wajahnya, perasaannya kini kacau tak beraturan.
“Kenapa sih?” tanya Okta tercengang, menatapnya tajam karena membuat mereka jadi bahan tontonan.
Okta menarik Vania menuju kantin. Duduk di meja paling pojok menghindari tatapan orang-orang yang tadi penasaran. Vania meminum botol mineral sebanyak mungkin dalam sekali teguk. Mencoba menenangkan hati dan pikirannya yang sempat kalut. Sedangkan Okta masih sabar menunggu dengan tangan terlipat di dadanya.
“Lo masih belum move on juga? Ya ampun, Van...” Okta hanya memutar matanya seolah bosan. Saat mendengar penjelasan Vania tentang kejadian sebelum dirinya datang.
“Apa sih bagusnya si Jalu itu? Wajahnya aja standar, menang bacotnya doang. Orang lewat juga pasti dirangkul sama dia.” Ujarnya dengan nada kesal. Vania hanya tersenyum kecut, merasa terejek. Namun, mana bisa ia mengatur dengan siapa dia harus menyukai seseorang. Semua itu berjalan apa adanya tanpa bisa ia kendalikan.
“Gue kenali sama seseorang ya, masa lalu itu akan hilang dengan datangnya orang baru.” Usul Okta yang dibalas gelengan oleh Vania.
“Kasian lah, nanti cowoknya cuma jadi pelarian Nggak mau gue.” Tolak Vania.
“Terus mau sampai kapan lo galau terus?” tanya Okta, gemas dengan sikap Vania yang plin-plan.
Vania hanya mengangkat bahunya, ia juga tak tahu sampai kapan nama Jalu terus bersarang di hatinya. Ekor matanya masih menangkap postur tegap Jalu dari kejauhan. Meski sudah dua tahun tak bertemu, satu toleh saja cukup untuk mengenalinya di antara banyaknya manusia.
“Cinta kadang gak tau arah, Ta. Datang tiba-tiba dan ... gak semuanya bisa pulang.”
.
.
.
.
Vania Celesstine sedang memandangi pantulan dirinya di cermin. Sepasang mata bulat menyala, hidung yang lancip, serta bibir mungil menghiasi wajah kecilnya. Duduk dengan pasrah ketika Okta memainkan rambutnya.
"Bisa gak model yang lain?" Rayu Vania memelas.
"Enggak."
"Jelek ini, masa gue harus keluar rumah kaya gini? protes Vania lagi.
"Lo kan udah kalah main game tadi, ini hukuman!" serunya tak terima protes. Vania diam tak ingin beradu mulut lagi, sudah pasti dia akan kalah. Main game saja kalah!
"Tuh, cantik dan imut." Pujinya sembari mengangkat mahakaryanya. Okta mengepang rambut Vania dengan begitu rapi menjadi dua bagian.
"Kaya bocah SD."
"Cocok lah. Lo kan pendek." Candanya di sambut pukulan pelan di lengannya.
"Gue enggak mau keluar. Malu!"
"Yakin nih?"
"Padahal hari ini kafe Sunny launching menu dessert baru. Yakin nih gak mau?" tanya Okta sekali lagi. Dia tahu pasti apa kelemahan Vania. Pecinta makanan penutup, semua hal yang manis tak mungkin bisa dia tolak.
Vania memejam seolah menimbang, tetapi tak butuh waktu lama ia pun tersenyum dan berdiri dengan penuh semangat.
"Ayo, Ta. Tunggu apa lagi? Nanti keburu habis!" seru Vania.
Melihat itu Okta hanya menggeleng pelan dan menyusul Vania yang sudah keluar dari kamar. Vania pun berpamitan pada Sekar—mama Vania.
"Ma, Vania keluar dulu ya." Pamitnya.
"Iya, hati-hati naik motornya." balas Sekar tanpa menoleh, matanya sedang sibuk membaca koran pagi.
"Iya Ma."
"Ayah, Vania main dulu." Vania menyentuh bingkai foto keluarga yang di pajang. Mengusap lembut wajah pria yang sudah lama meninggalkannya. Ayahnya sudah berpulang semenjak ia berusia 7 tahun karena kecelakaan. Mamanya juga tidak ada niatan menikah lagi, dekat dengan pria lain saja tidak pernah. Mungkin sifat Sekar juga menurun pada Vania, yang hatinya masih terukir nama Jalu.
***
Vania melepas helmnya, merapikan poni dan beberapa helai anak rambut yang berantakan. Sedangkan Okta, masih sibuk memarkirkan motor matiknya dengan rapi.
Sebuah bangunan kecil di dekat taman kota, bernuansa musim semi menjadi tujuan utama mereka hari ini. Harum kopi menyapa indra penciuman Vania. Meski bukan penikmat kopi, deretan kue yang tertata rapi membuat Vania tak sabar ingin mencicipi.
Tiba-tiba ponsel Okta berdering.
"Van, gue angkat telpon dulu bentar ya. Lo masuk dan pesan duluan. Gue nitip ice americano."
Vania mengangguk dan masuk tanpa peduli urusan Okta. Yang terpenting buatnya hari ini adalah Brownies—Dessert favoritnya. Perpaduan antara manis dan pahit, seperti kenangannya bersama Jalu.
Ia mendengus pelan. Lagi-lagi, bayangan Jalu menyelinap. Entah sudah berapa kali sejak pertemuan terakhirnya itu, Vania terus memikirkan Jalu walau sejenak.
"Kak, pesen ice blend choco dengan ekstra whip creamnya satu, kue brownies satu. Sama menu dessert yang baru satu ya."
"Baik, kak. Ada tambahan yang lain?" tanya pegawai kafe itu dengan ramah.
"Oh iya, ice americanonya satu." Hampir saja Vania lupa pesanan Okta, bisa kena omel dia nanti.
Setelah memesan, Vania duduk di meja kosong. Suara musik akustik mengisi ruangan, menciptakan susana kafe yang menenangkan. Saat tengah menikmati hidangannya, suara ketukan di meja mengejutkannya.
Seorang pria tampan, dengan rahang tegas dan mata yang cukup tajam, tapi tetap terlihat ramah. Hidungnya mancung—standar cowok good-looking pada umumnya. Dia berdiri dengan memegang minuman di tangannya. Senyumnya manis, cukup untuk membuat beberapa wanita di kafe itu terpesona. Sayangnya, pesonanya tak berlaku untuk Vania.
"Sorry nih ganggu, boleh duduk di sini gak?" tanya pria itu masih dengan senyum manisnya.
Vania melirik sekitar, mencari alasan kenapa pria tampan itu ingin duduk bersamanya. Pantas saja, semua meja di kafe itu sudah penuh. Satu-satunya yang kosong hanya meja tempatnya sekarang, dengan tiga kursi tersisa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu fokus melanjutkan kegiatannya yang tertunda: menikmati hidangan manis favoritnya.
Pria itu duduk tanpa memutus pandangannya dari Vania, memperhatikannya dengan lekat seolah mencari sesuatu di wajahnya.
"Saya mau makan kue, tolong jangan ganggu." Pinta Vania.
"Sorry nih gue mau tanya. Lo lagi cosplay jadi Wendy di film Wednesday ya?"
Ada saja pertanyaan aneh macam itu, padahal Vania hanya mengepang dua rambutnya sudah dikira cosplay.
"Enggak." Jawabnya singkat, ia malas menanggapi. Mood-nya buat santai dan menikmati makanannya langsung ambyar. Apalagi, sahabatnya itu tak kunjung muncul, hingga es di minumannya mulai mencair.
Ketika Vania hendak menghubungi Okta, terdengar suara pintu kafe terbuka. Okta masuk bersama pria asing. Tapi yang menarik, pria asing itu justru terlihat terkejut melihat pria tampan yang duduk di samping Vania.
"Rayhan, kok lo bisa di sini?" tanya pria itu.
"Gue lagi nunggu si Ali, mau ngerjain tugas bareng." Jawab Rayhan santai.
"Sejak kapan lo deket sama Rayhan, Van?" Kini giliran Okta yang bertanya. Entah kenapa, situasinya seperti Vania yang ketahuan selingkuh.
"Enggak kenal, cuma numpang duduk aja." Balas Vania malas.
"Lagian yang harusnya tanya tuh gue. Siapa cowok di samping lo sekarang?" imbuhnya meminta penjelasan.
Spontan Okta tersenyum lebar sebari bergelayut manja di lengan pria itu.
"Kenalin, ini Pandu pacar gue." Ujarnya dengan tersipu malu.
"Sejak kapan? Kok gak bilang-bilang?" seru Vania terkejut.
"Sudah seminggu dan hari ini rencananya mau ngenalin Pandu ke elo. Sorry ya, gue baru cerita sekarang." Balas Okta mencoba menjelaskan.
"Oke, gue maafin sekarang. Tapi lo harus jelasin semuanya pas pulang."
Vania masih tercengang dengan kabar mendadak dari Okta. Ia juga merasa kikuk berada di antara orang-orang asing, dan kini menjadi pusat perhatian. Rayhan menatapnya terang-terangan, tanpa usaha menyembunyikan ketertarikan. Sementara itu, Okta justru meninggalkan dia seorang diri untuk memesan minuman lagi. Dan bagi Vania, momen itu terasa sangat lama!
"Udah kali, Ray. Ngeliatinnya gitu banget, bisa bolong tuh muka." Tegur Pandu.
Namun, Rayhan tak mengindahkan perkataan Pandu. Ia tak henti memandang, sembari menopang dagunya, mengamati Vania yang sibuk dengan kuenya.
"Lo mahasiswi dari Univ Merdeka?" tanya Rayhan pada Vania.
"Iya."
"Lo gak kenal gue?"
Vania mengernyit, merasa aneh dengan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
"Rayhan?"
"Sekarang lo inget?" terlihat mata Rayhan berbinar, ia mendadak girang.
"Apa sih? Kan tadi udah dikenalin sama Pandu dan Okta." Ujar Vania heran.
Sementara itu, Pandu hanya mengusap wajahnya, malu dengan tingkah konyol sahabatnya. Wajah Rayhan memang tampan, dan hal itu juga yang bikin dia kelewat percaya diri.
"Masa gak kenal? Seisi kampus kenal gue, minimal tau siapa itu Rayhan." Ungkap Rayhan masih tak menyerah.
"Udah, Ray. Gue yang malu ini." Lerai Pandu mencoba menghentikan sahabatnya yang berharga diri tinggi.
"Gak bisa, gue penasaran!" Timpal Rayhan.
"Anak presiden?" tanya Vania sembari menyeruput ice blendnya hingga tak tersisa.
Tawa Pandu pun pecah, takjub dengan pertanyaan Vania yang sukses membuat Rayhan melongo.
"Kalau bukan terus siapa? Yang namanya Rayhan bukan lo doang." Sambungnya.
Tak lama, Okta datang dengan membawa dua minuman. Heran melihat Pandu yang tertawa sampai tersengal. Sementara Vania sudah menghabiskan semua hidangannya. Rayhan menepuk-nepuk dadanya, seolah bersiap dengan sesuatu yang penting.
"Perkenalkan, gue Malik Rayhan Aryasetya."
Perkenalkan, gue Malik Rayhan Aryasetya." Pandu menirukan kalimat Rayhan yang tadi dilontarkan. Masih dengan tawanya sampai bulir matanya menetes.
"Diem lo!"
Rayhan menatap Vania yang kini sudah berpamit pulang, dengan Okta yang mengikutinya di belakang. Entah benar-benar ada urusan yang terlupa, atau memang dia hanya ingin menghindar saja. Rayhan berdecak pelan, ia merasa kesal seolah mangsanya lolos dari cengkraman.
"Kencan gue gagal gara-gara lo." Ujar Pandu menyalahkannya.
"Kenapa jadi gue?"
"Iya lah, karena pertanyaan absurd lo. Anak orang jadi ngerasa risi!" katanya dengan nada mengejek.
"Coba lo pikir lagi, kenapa dia bisa gak tau siapa itu Rayhan? Aneh banget kan?" Ucap Rayhan masih kekeh dengan pendapatnya.
"Emang penting banget buat lo?"
"Penting! Ibaratnya nih ya, gue artisnya Univ Merdeka! Berada di pelosok mana dia kalau ngampus, nyampe gak pernah denger tentang gue." Ucapnya penuh keyakinan.
Memang benar adanya, semenjak Rayhan masuk kuliah, dia sudah dijadikan primadona kampus. Bukan cuma parasnya yang rupawan, tapi juga karena suaranya yang khas—berat dan dalam, yang mampu menghipnotis siapapun yang mendengarnya. Ia adalah vokalis Band Delta yang berisikan Pandu dan Ali. Meski nama besar ayahnya sebagai pengusaha furniture terkenal masih melekat erat di belakangnya.
"Kalau kata gue ya, kurang kurangin pede lo deh. Gue yang malu." Protes Pandu.
"Tenang aja, orang ganteng itu bebas. Mau malu-maluin juga, gue tetep ganteng." Balasnya sambil menyibakkan rambut kebelakang, disambut beberapa suara kagum gadis-gadis di dalam kafe.
Pandu hanya menghela napas pelan, rasanya seperti berbicara dengan tembok, suaranya memantul balik ke dirinya sendiri.
Tak lama, Ali yang sedari tadi ditunggu, datang dengan wajah yang sumringah.
"Dari mana aja lo jam segini baru dateng. Ngaspal jalan?" sindir Rayhan.
Tanpa menanggapi, Ali duduk di samping Pandu dan meneguk minumannya tanpa sisa.
"Enak bener main samber aja." Ujar Pandu
"Kalian tau gak gue tadi papasan sama siapa?" tanya Ali tiba-tiba.
"Atta Halilintar?" jawab Rayhan.
"Bukan!"
"Pinkan Mambo?" jawab Pandu.
"Bukan artis."
"Bambang?" jawab Rahyhan lagi.
"Itu bapak gue." Ucap Ali mulai kesal sembari mengangkat gelas kosong.
Rayhan tertawa puas. "Terus siapa?"
"Gue tadi papasan sama Vania yang naik motor sama pacarnya Pandu." Ujar Ali.
"Bener kata kenalan gue di Klub Baca kampus, cantik dan imut banget. Apalagi rambutnya tadi di kepang, rasanya pengen gue jagain." imbuhnya dengan menggebu-gebu. Membuat Rayhan dan Pandu terheran.
"Iya tadi dari sini, dan pulang gara-gara anak ini." Ujar Pandu sambil menunjuk Rayhan dengan dagunya.
"Serius? Wah langka ini."
"Kenapa emang?" tanya Rayhan penasaran.
"Lo gak tau? kalau lo disukai banyak cewek-cewek di kampus, Vania juga banyak di sukai cowok-cowok di kampus terutama kakak tingkat."
"Terus?"
"Vania tuh vibes–nya kecil, imut, gitu, rasanya pengen ngelindungin aja. Tapi dia cukup penyendiri, kalau gak di kelas, ya di perpus. Dia juga selalu nolak semua cowok yang pernah nembak. Selalu menghindar kalau mau di deketin. Kalau bener dia duduk bareng kalian, itu udah termasuk rekor." Jelas Ali panjang lebar.
Rayhan dan Pandu hanya mendengarkan, tidak terlalu kaget, mereka telah ngalamin sendiri. Vania saja kabur, tak lama setelah mereka datang, walaupun karena ulah Rayhan juga.
"Rayhan juga mungkin gak bakal bisa deketin Vania." Celetuk Ali sedikit mengejek.
Namun, Rayhan merasa tersulut. Ia paling tidak suka jika ada yang meremehkannya dalam bentuk apapun. Apa yang diinginkannya, akan dia usahakan. Dan sejauh ini, ia selalu mendapatkannya.
"Gue bisa." Jawabnya penuh yakin.
"Gak yakin gue, itu cewek susah banget di deketin. Banyak kating yang nyoba juga, enggak pernah ada yang berhasil, tuh."
"Deketin cewek gitu mah gampang, dikasih kado sama perhatian dikit juga nanti kesemsem." Ucap Rayhan meremehkan.
"Kalau lo bisa deketin Vania sampai pacaran, gue joget velocity di tengah lapangan kampus!" Seru Ali.
"Oke, kalau gue gak bisa, si Hummer buat lo." Jawab Rayhan tak mau kalah.
"Mantap, dapet mobil!" Ujar Ali girang.
Mendengar celotehan dua sahabatnya yang mulai salah arah, Pandu mencoba menghentikan ide gila mereka.
"Apa sih, kenapa jadi main taruhan gini," ucap Pandu sedikit kesal.
"Nggak usah lah kalian jadiin perasaan anak orang buat becandaan, buang-buang waktu dan tenaga." Sambungnya lagi.
"Serius gue, Pan. Cewek mana sih yang gak tertarik sama gue?"
Sungguh, Pandu sudah berusaha mengingatkan tindakan Rayhan. Jika suatu saat dia menyesali perbuatannya, Pandu angkat tangan.
"Oke, deal yah!" seru Ali dengan mengulurkan tangan yang langsung di sambut oleh Rayhan tanpa pikir panjang.
***
Dalam ruangan berlantai marmer putih, Rayhan duduk di sofa abu-abu dengan elemen kayu di rangkanya. Tangannya sibuk memegang stik game dan matanya fokus menatap layar tv. Suasana malam itu sangat damai, dengan sinar bulan purnama menemaninya. Hingga sesuatu yang membuat fokus bermainnya runyam.
Ting
Notif chat dari Ali masuk, namun Rayhan tak langsung membalasnya, sebab ia sudah tau pasti apa isinya.
"Udah berhasil deketin Vania belum?"
Rayhan melempar ponselnya ke sembarang arah. Malas membalas. Sudah hampir seminggu ini Ali menerornya dengan hal yang sama. Seakan meledeknya, yang sampai sekarang belum bisa mendekati Vania, bahkan sekedar bertemu dengannya saja susah. Seolah mencari jarum di tumpukan jerami, batang hidung Vania tak pernah terlihat. Hingga membuatnya ragu kalau mereka satu Universitas.
"Ray!" terdengar suara wanita melengking memanggil namanya dari lantai atas.
"Ray! Sini!" pinta wanita lain yang tidak kalah melengkingnya.
Rayhan masih terdiam, berpura-pura tidak mendengar.
"Rayhan!" kini kedua wanita itu melolong bersamaan, hingga membuatnya bergidik ngeri.
Takut terjadi perang dunia ketiga, ia pun naik ke lantai atas menemui kedua kakak perempuannya yang berada di kamar.
"Rayhan menghadap pada nyonya Elsa dan nyonya Elma." Sapanya datar, badannya membungkuk seperti seorang pelayan.
"Lama banget sih lo, di panggil dari tadi juga." Ujar Elsa, kakak pertama Rayhan yang duduk di atas kasur dengan santai. Di sampingnya ada Elma—kembaran Elsa sekaligus kakak kedua Rayhan, ikut mengamati dengan ekspresi menyebalkan khas mereka.
"Iya iya, ini gue udah dateng. Kenapa?"
"Beliin pembalut dong, gue lupa stoknya udah habis." Perintah Elma dengan entengnya.
Rayhan memijit pelipisnya, perintah tidak masuk akal itu sukses membuatnya menahan amarah yang sudah tertahan di tenggorokan. Ingin rasanya ia mengumpat di hadapan kedua kakaknya itu, namun tentu saja ia tidak berani melakukannya.
"Beli sendiri lah, kalau nggak online atau suruh Bi Ijah yang beli." Protes Rayhan mencoba negosiasi.
"Lo lupa Bi Ijah lagi cuti karena anaknya melahirkan. Beli online lama, kita butuhnya sekarang." Jawab Elsa.
"Kita lagi PMS, lo mau kita ngamuk apa gimana? Lagian fungsi lo di rumah buat apa kalau bukan biat disuruh?" Ujar Elma yang kini sudah berkacak pinggang.
Merasa negosiasinya telah gagal, Rayhan memilih menerima dua lembar uang merah dari Elsa. Daripada dia harus mendengar wejangan dari kedua kakaknya yang sedang mode galak. Rayhan memilih pergi menuruti apa mau mereka.
"Beli berapa?" tanya Rayhan dengan setengah hati.
"Empat pack." Jawab Elma singkat.
"Jangan lupa yang ada sayapnya!" imbuh Elsa mengingatkan.
Rayhan mengangguk pasrah lalu pergi membeli pembalut bersayap untuk kedua kakak tercintanya. Supaya bisa terbang bebas, tanpa harus terus-terusan menjadikannya sebagai pesuruh di rumah ini. Aamiin.
Sebelum memasuki minimarket dekat perumahan tempat tinggalnya, ia menutup kepalanya dengan hoodie. Sekedar jaga-jaga, kalau ada yang melihatnya membeli keperluan pribadi wanita lalu menganggapnya mesum.
Saat sedang memilih pembalut bersayap, tak sengaja ia berhadapan dengan seorang gadis. Mata bulat itu sedang menatap lemari pendingin berisi berbagai jenis minuman. Jemari lentiknya mengetuk bibir mungil, seolah bimbang harus membeli apa. Gadis yang selama ini ia cari-cari, kini berdiri tepat di hadapannya—Vania Celesstine.
"Vania, hai. Lagi belanja juga?" sapa Rayhan berusaha ramah.
Namun, Vania mengernyitkan dahi, seperti mencoba mengingat siapa pria tinggi yang kini berdiri dihadapannya. Akan tetapi, tidak ada satupun nama yang terlintas di benaknya.
"Siapa?"
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!