NovelToon NovelToon

HOT POLICE VS DOKTER MAFIA

Pekerjaan Mengerikan

Lampu operasi menyorot tajam ke atas meja stainless steel yang dipenuhi darah. Ava terlihat tenang, karena sudah terbiasa dengan situasi yang bagi sebagian orang mengerikan.

Di hadapannya, terbaring seorang pria bertato ular naga di dada—mayat yang baru saja dibawa oleh anak buah Don Vittorio.

"Apakah kondisinya bagus?” tanya Mark, tangan kanan sang bos, sambil berdiri di sampingnya.

Ava mengangguk. Dia sudah tidak merasakan mual lagi. Tidak seperti dua tahun lalu, saat pertama kali dipaksa melakukan ini.

Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menggerakkan pisau bedah-nya dengan lihai. Kulit perut terbuka, darah mengalir pelan.

Organ-organ dalam terlihat utuh. Ginjal yang akan menjadi targetnya masih bagus—dan itu lah yang dicari mafia.

*

*

Dua tahun lalu, Ava adalah seorang dokter muda berprestasi di rumah sakit terkenal. Hidupnya berubah dalam satu malam ketika kakaknya, Alex, ternyata merupakan salah satu anak buah seorang mafia besar—Don Vittorio.

Atas permintaan kakaknya itu dan juga demi keselamatannya—dia terpaksa menerima pekerjaan itu karena Ava hanya memiliki Alex dan karena selama ini Alex lah yang membiayai kuliahnya.

"Kami hanya butuh kau untuk membedah mayat-mayat yang kami punya. Kami memilihmu karena kau adalah adik Alex dan pastinya bisa dipercaya,” kata Mark kala itu.

Lalu Mark melanjutkan, “Setidaknya mereka masih berguna meskipun sudah mati. Mereka semua penjahat—jadi tak perlu merasa bersalah. Mayat-mayat ini punya organ yang masih bisa dijual," kata Mark saat membawa Ava malam itu ke markas besar mereka. “Kau akan digaji besar, sepuluh kali lipat dari gajimu di rumah sakit, dan tak akan rugi jika kau bekerja bersama kami.”

Ava terpaksa setuju. Setiap minggu, ada satu atau dua mayat yang dibawa ke gudang bawah tanah yang dijadikan ruang operasi darurat.

Korban-korbannya selalu penjahat—musuh mafia yang mati dalam perang geng.

Tapi malam ini berbeda.

"Yang ini masih hangat," ucap Mark sambil menyalakan rokok.

Ava menatap mayat itu. Luka tembak di kepala. Tapi yang membuatnya kaku adalah cincin di jari mayat tersebut—cincin yang sama persis seperti milik dokter Aldo, seorang dokter senior yang dulu pernah menjadi rekan sejawatnya di rumah sakit tempatnya bekerja.

“Dia salah satu rekanan kami di rumah sakit. Kami bekerja sama sebelumnya. Dan dia ingin lapor polisi karena anaknya sudah mengetahui aktivitas ilegalnya,” kata Mark menjelaskan.

Tangan Ava berhenti sebentar. Secara tak langsung, Mark memberitahu Ava bahwa tak boleh ada penghianatan di dalam organisasi itu, atau nyawa taruhannya.

"Ada masalah?" tanya Mark, matanya menyipit.

"Tidak," Ava membisu, melanjutkan pekerjaannya. Hatinya mungkin sudah begitu beku dan dingin karena pekerjaan mengerikan ini.

Setelah operasi selesai, semua organ yang masih bagus dimasukkan ke dalam cooler box.

Mark memberinya amplop tebal—seperti biasa. Dan setelah semuanya telah selesai, Ava pun kembali pulang.

*

*

Pintu apartemennya dibuka dengan gerakan pelan karena Ava begitu lelah. Di dalam, dia melihat sang kakak duduk di sofa sambil menyesap wine nya.

Ava menatap kakaknya dengan mata lelahnya. “Ada apa kemari?”

“Kau masih membenciku?” tanya Alex.

Ava meletakkan tas-nya dan berjalan ke arah dapur. “Apakah ada gunanya membencimu?”

“Aku akan pergi ke Spanyol. Don memintaku untuk ikut.”

“Kau kemari hanya untuk memberitahuku hal itu? Bukankah biasanya kau melakukan apa pun yang kau mau tanpa minta pendapat dariku?” tanya Ava.

“Aku akan pergi dalam waktu yang lama.” Hening sejenak. “Kau tak pernah membawa pistolmu. Kau bekerja dalam lingkungan yang berbahaya, Ava. Bawalah selalu pistol yang kuberikan padamu.”

“Hmm … tak perlu khawatir. Aku bisa menjaga diriku, bahkan aku lah yang menjagamu selama ini,” sindir Ava.

Akex beranjak berdiri dan meletakkan gelas wine di meja. “Berhati-hatilah.” Lalu pria itu berjalan ke arah pintu.

Ava tak menjawab apa pun dan memilih sibuk menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.

Sang Polisi

Malam itu, Devon Revelton melangkah keluar dari gedung kantor polisi. Tas kulit berisi dokumen rahasia digenggamnya erat.

Meeting yang baru saja diikutinya telah menetapkannya sebagai pemimpin operasi khusus untuk menjerat Don Vittorio dan jaringan mafia perdagangan organ ilegal yang sudah merambah ke beberapa negara.

"Ini bukan sekadar kasus lokal, Devon. Mereka punya koneksi di Eropa dan Asia. Satu langkah salah, anak buah kita bisa mati," kata Kepala Polisi tadi, wajahnya sangat serius.

Devon menghela napas panjang. Dia tahu risiko ini. Tapi dia sudah siap dengan segala risikonya sejak dia memutuskan untuk masuk ke kepolisian, mengikuti jejak sang kakek.

*

*

Devon menyalakan sebatang rokok, menghirupnya dalam-dalam. Asapnya mengepul di udara sebelum menghilang.

Matanya tertuju pada sebuah kafe di seberang jalan. Bukan kopi yang dia cari, melainkan seseorang.

Kafe itu sepi, hanya beberapa pengunjung yang duduk di sudut-sudut gelap. Devon memilih meja di belakang, dekat pintu darurat.

Tak lama kemudian, seorang pria dengan jaket hoodie hitam duduk di depannya.

"Kau terlambat," bisik Devon.

"Jaringan Vittorio ada di mana-mana. Aku harus pastikan tidak ada yang mengikutiku," jawab pria muda itu, menurunkan hoodie-nya. Wajahnya terlihat pucat, matanya berkantung lelah.

Devon mengangguk. "Apa kau bawa apa yang kuminta?"

Pria itu mengeluarkan flashdisk dari saku jaketnya. "Semua ada di sini. Rekaman operasi ilegal, daftar pembeli, bahkan rute pengiriman organ ke luar negeri."

Devon mengambil benda kecil berwarna hitam itu, memeriksanya sebentar sebelum menyimpannya di saku dalam jaketnya. "Sudah setahun kau masuk ke dalam organisasi itu. Seminggu lagi, pastikan kau tak ada di markas mereka karena kami akan merangsek masuk dan melumpuhkan mereka.”

Pria itu mengangguk. "Ya, aku mengerti.”

*

*

*

Setelah pertemuan singkat itu berakhir. Devon berjalan menyusuri apartemen mewahnya yang memiliki sistem keamanan canggih.

Begitu sampai, dia langsung mengunci pintu dan memastikan alarmnya tak bermasalah. Komputernya hidup, dan dia memasukkan flashdisk itu.

Layar monitor dipenuhi dengan dokumen-dokumen rahasia. Foto-foto mayat dengan luka bedah, daftar nama-nama penting yang terlibat, bahkan catatan transfer uang ke rekening gelap.

*

*

*

Pagi pun datang, tapi Devon masih tak beranjak dari meja kerjanya. Dia masih begitu serius mempelajari skema jahat dalam organisai mafia itu.

Devon berniat untuk membasmi semua bisnis gelap mafia itu tanpa terkecuali. Operasi penggerebekan dan penangkapan ini harus berhasil.

Bukan karena kenaikan pangkat yang dia kejar, karena jelas dia tak membutuhkan itu di saat dirinya adalah seoranh pewaris kaya raya yang merupakan keturunan keluarga konglomerat.

Dia hanya ingin organisasi gelap itu hancur dan tak lagi menjalankan bisnis kotor yang mengerikan.

*

*

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Devon akhirnya mandi dan bersiap ke kantor polisi seperti biasanya.

Dia memang terbiasa tak tidur jika ada kasus besar dan berat. Hal inilah yang membuat ibunya khawatir dan berniat untuk menikahkannya agar ada yang mengurus dan mengatur hidupnya lebih sehat.

Namun, Devon merupakan tipe yang tak suka diatur dan lebih suka tenggelam dalam pekerjaannya yang sangat menantang adrenalinnya.

*

*

Sebelum menuju kantornya, Devon pergi ke sebuah kafe untuk membeli kopi agar matanya bisa terbuka ketika mengikuti meeting penting nanti.

“Americano panas no sugar,” gumam seorang wanita pada sang kasir yang ada di depan antrian Devon.

“Aku juga,” ucap Devon di belakang wanita itu.

Wanita itu berbalik menengok pada Devon dan memandangnya tajam. “Kau tak bisa mengantri ya?”

“Pesanan kita sama, jadi tak ada salahnya aku—“

“Tapi itu sama saja menyerobot antrian,” potong wanita bertopi hitam dengan mata tajam itu.

Devon hanya tersenyum miring dan memberikan lembaran uang pada wanita itu. “Kau kutraktir saja. Tak rugi, kan?”

“Aku bukan peminta-minta!” Wanita itu kembali menghadap ke arah kasir dan membayar kopinya.

Setelah kopinya selesai, dia langsung berbalik pergi tanpa menoleh pada Devon sama sekali. Devon mencium bau antiseptik pada aroma wanita itu, bukan parfum yang biasanya dikenakan oleh sebagian besar wanita.

Mulai Menemukan Titik Terang

Lembaran laporan investigasi tampak berantakan di atas meja kerja Devon.

Devon mengusap matanya yang sudah merah akibat kurang tidur. Tiga hari nonstop menyelidiki jaringan dokter ilegal Don Vittorio, tapi hasilnya tetap nihil.

"Damn it!!" umpatnya, melemparkan dokumen itu.

Detektif Mendez di sebelahnya menghela napas. "Mereka punya sistem yang rapi. Setiap dokter pakai identitas samaran, lisensi palsu, bahkan tempat rahasia untuk operasi."

Devon berdiri, berjalan mondar-mandir di ruangan itu.

"Pasti ada pola. Aku harus mencarinya," bisiknya tiba-tiba.

*

*

Malam itu, Devon menyelinap ke gudang penyimpanan arsip salah satu rumah sakit yang diduga salah satu dokternya bekerja sama dengan Don Vittorio.

Dengan senter kecil, dia menyisir tumpukan berkas operasi lima tahun terakhir.

‘Tujuh kasus kematian pasien dengan luka bedah aneh. Dua belas laporan organ hilang saat autopsi.

Semuanya terjadi di hari Kamis.’

Tak lama, dia menemukan berkas terakhir. Sebuah nama muncul berulang sebagai dokter penanggung jawab. Dr. Aldo Quentin.

"I got you," gumam Devon. Dan kemudian pria itu kembali ke kantornya.

*

*

Kantor Devon dipenuhi oleh papan yang penuh dengan foto, dokumen, dan benang merah yang menghubungkan satu nama ke nama lain.

Di tengahnya, foto Dr. Aldo—seorang ahli bedah yang tiba-tiba menghilang.

“Dia salah satu dokter bayangan Don Vittorio,"* gumam Devon sambil menatap layar komputernya yang masih menyala. “Tapi kenapa menghilang sekarang?"

Keesokan harinya, setelah semalaman menganalisis data tentang Aldo, Devon memutuskan untuk melacak Aldo.

Tapi apa yang dia temukan justru semakin membingungkan.

Di catatan Polisi, tidak ada laporan orang hilang atas nama Aldo. Itu artinya keluarganya tidak mengajukan pencarian orang hilang.

Devon mengernyitkan keningnya. ‘Seorang dokter dengan karier cemerlang, tiba-tiba lenyap tanpa jejak, dan tidak ada yang peduli? Impossible.’

*

*

Akhirnya Devon pergi ke rumah Aldo bersama rekannya, Mendez.

Rumah megah bergaya Mediterania itu kini kosong. Taman yang dulu tampaknya terawat sekarang dipenuhi rumput liar.

Sebuah papan "TERJUAL" tergantung di pagar besi.

Devon mengetuk pintu tetangga sebelah dan bertanya tentang Aldo.

"Ah, Dokter Aldo? Aku tak tahu dia di mana. Tapi keluarganya pindah ke Swiss," kata seorang wanita tua dengan logat Italia kental.

"Kapan?"

"Beberapa minggu lalu. Tiba-tiba saja."

"Jadi Aldo tak ikut?”

Wanita itu mengangguk. "Dia bercerai dengan istrinya sebulan sebelumnya. Aku pernah melihat mereka bertengkar hebat di depan rumah, dan juga dengan anaknya."

Devon mencatat detail itu. Perceraian mendadak. Penjualan rumah terburu-buru. Kepergian tanpa kabar.

“Apakah ini artinya dia tidak pergi, melainkan dihilangkan?” kata Mendez.

Devon mengangguk. “Ya, aku merasa dia sudah dilenyapkan. Mungkin karena tahu terlalu banyak.”

*

*

Tengah malam Devon baru saja keluar dari kantor polisi. Ducati-nya melaju cepat menyusuri jalan yang sepi.

Jarum speedometer menunjukkan 140 km/jam.

‘Masih ada laporan yang harus diselesaikan,’ pikirnya sambil menggeretakkan giginya. ‘Kasus ini sudah mulai menemukan titik terang. Beberapa hari lagi aku harus bersiap untuk penggerebekkan di markas mereka.’

Tak lama, terdengar suara benturan logam yang mengerikan mengguncang kesunyian.

Dua mobil sedan bertabrakan frontal 200 meter di depannya. Satu mobil terbalik, yang lainnya hancur di bagian depan. Asap pun mulai mengepul.

Devon segera mengerem, ban motornya sampai berbunyi di aspal. Tanpa pikir panjang, dia melepas helm dan berlari menuju lokasi kecelakaan.

*

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!