NovelToon NovelToon

Jadi Ibu Susu Anak Mantan Selingkuhan

Menolak Bertanggung Jawab

#1

“Aku ada pertemuan setelah ini, cepatlah!” Kalimat Sean membuat Elma bergegas dengan pengering rambutnya.

Setelah selesai, wanita itu ikut duduk kemudian menikmati makan siang, “Ada yang ingin aku beritahukan padamu.”

Denting sendok dan garpu mereka beradu dengan piring, keduanya makan dengan cepat usai menguras tenaga untuk sesi pergulatan siang ini.

“Hmm, katakan saja sambil makan,” jawab Sean tanpa minat, kedua matanya tak lepas dari ponsel yang ia letakkan di sebelah piringnya.

Elma meraih tas kemudian menyodorkan sebuah stik panjang berwarna putih, “Ini.”

Sean mengernyitkan keningnya. “Apa, ini?”

“I'm pregnant.” Elma menunjuk 2 garis sejajar berwarna merah.

Namun, justru reaksi aneh yang Elma dapatkan. “What!? Kamu gila, ya?”

“Jangan bilang aku gila!” desis Elma geram.

“Ah … came on, Babe. Jangan bilang sekarang kamu mau minta aku bertanggung jawab.”

“Tentu saja, karena ini anak kamu.”

Sean tertawa sinis, “Kamu tahu, selama ini hidupku sangat bebas, dan seharusnya setelah kamu memaksaku tidur denganmu malam itu, kamu langsung melakukan antisipasi. Apalagi setelah itu kita sering melakukannya.”

Bibir dan rahang Elma bergetar. “Kita melakukannya suka sama suka, tak ada paksaan, dan tak ada niat mendapatkan keturunan. Dan aku tak suka terjebak dalam pernikahan, jadi apapun itu aku tak akan mengakui anak itu,” sambung Sean,

Sean mengangkat kedua bahunya dengan tatapan mengejek, “Well … bisa saja itu anak orang lain, kan? Suami kamu, misalnya.”

Kedua mata Elma memanas, hatinya sakit mendengar ucapan Sean yang seakan-akan merendahkan dirinya. “Aku tak pernah lagi tidur dengan suamiku, ini anak kamu!” Elma menegaskan, suaranya mulai parau bercampur tangisan.

“Itu bukan urusanku, karena kita sudah sepakat hanya friend with benefit. Kamu bebas tidur dengan siapa saja, aku pun begitu. Jadi kita impas, kan?”

Tangis Elma semakin kencang, namun Sean benar-benar tak memiliki belas kasihan. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nanti masa depannya, karier gemilang yang ia impikan, apa masih mungkin untuk ia dapatkan? Karena tanpa sadar ia sudah merusak dirinya sendiri.

“Kalau kamu keberatan dengan kehadiran bayi itu. Singkirkan saja dia, masalah selesai!”

“Kamu lebih kejam dari pada seekor binatang!” desis Elma, namun Sean hanya cengengesan tanpa rasa berdosa sedikitpun.

“Syukurlah jika kamu paham, ini pertemuan kita yang terakhir. Aku tak mau lagi terlibat apapun denganmu.”

Sean berdiri, mengemasi barang-barangnya sebelum meninggalkan kamar yang menjadi saksi pergulatan mereka beberapa saat yang lalu.

•••

Tiga bulan kemudian.

“Dengan ini, Hakim memutuskan, Anda berdua resmi bercerai.”

Tok!

Tok!

Suara ketuk palu hakim, laksana suara ketukan palu kematian. Miris, sedih, namun, tak bisa berbuat apa-apa, karena semua ini bermula dari kesalahannya sendiri.

Apalagi yang Elma harapkan, pertanggung jawaban dari suaminya? Tentu itu hal yang mustahil, walau ada beberapa pria yang rela menerima. Tapi bagi suami Elma itu adalah sebuah pantangan.

Elma tak sanggup lagi, menatap wajah kecewa mantan suaminya, pria itu pergi begitu saja setelah palu hakim diketuk. Hanya punggung tegap serta bayangan tubuhnya saja yang terlihat.

“Ayo pulang! Bikin malu saja.” Suara Pak Rusli sangat dingin, wajahnya yang keriput berkabut rasa kecewa mendalam. Karena ternyata Elma telah sengaja menuang kotoran ke wajah kedua orang tuanya.

“Ayah, Maaf.” Hanya kalimat itu yang sanggup Elma ucapkan.

“Ayah memaafkanmu, tapi semua itu belum bisa menutupi rasa kecewa serta kebencian Ayah pada perbuatan hina yang sudah kamu lakukan.”

Sesudah itu, tak ada perbincangan berarti hingga mereka tiba di rumah kembali.

“Huh! Tak disangka, anak perempuan yang mereka banggakan, ternyata murahan,” bisik para tetangga yang tengah menatap sinis ke arah Elma yang baru saja turun dari mobil bersama sang ayah.

“Katanya kebanggaan, tapi ternyata tak bermoral.”

“Pantas diceraikan, wong hamil anak pria yang bukan suaminya, amit-amit banget, ya.”

“Makanya, Bu. Kalau punya anak gadis, jangan cuma pinter, tapi pendidikan moral dan agama juga harus ditanamkan.”

Elma hanya bisa menutup telinga, menelan semuanya bulat-bulat, inilah resiko perbuatannya yang sangat memalukan. Yakni tidur dengan pria yang bukan suaminya.

•••

Prang!

Sebuah panci melayang dan mendarat tepat di hadapan Elma, “Anak kurang ajar! Berani-beraninya melawan larangan Tuhan! Sudah merasa paling jumawa, hah!” Omelan Bu Kartika menyambut kedatangan Elma dan Ayah Rusli.

Wanita yang kini berwajah garang itu maju mendekati Elma yang mulai beringsut takut. “Kamu bilang itu anak suamimu,” ucap Bu Kartika sambil menoyor kening Elma.

“Kamu bilang, kalian bercerai karena salah paham, dan tak menemukan solusi untuk bersama, hah?!” Kembali Bu Kartika menoyor kening Elma, bukan hanya sekali, namun, berkali-kali tiap kali mulai melontarkan kata-kata.

“Maaf, Bu. A-aku tak bermaksud membohongi Ayah dan Ibu,” ucap Elma pasrah, menerima semua kata-kata, amukan, serta ocehan ibunya.

Bu Kartika memegang kedua pundak Elma, menggoyangkannya dengan keras ke depan dan belakang, sambil berkata, “Kami membesarkanmu dengan kepala tegak, penuh rasa bangga, memberikan semua yang terbaik. Tapi ternyata balasannya apa? Hanya kubangan kotoran yang kamu lempar ke wajah Ibu dan Ayahmu!”

Bu Kartika memukul tubuh Elma bertubi-tubi dengan menggunakan telapak tangannya sendiri, agar Elma mengingat baik-baik perkataannya.

Elma semakin menunduk sedih, tak ia hiraukan rasa sakit yang mendera tubuhnya setiap kali pukulan Bu Kartika mendera tubuhnya, “Bu! Sudah Bu!” jerit Alya adik Elma. “Kasihan bayi Kak Elma,” imbuhnya.

“Biar saja bayi ini mati, lahir sekalipun, Ibu tak akan menganggap dia sebagai cucu!” Teriakan Bu Kartika mengakhiri amarahnya siang itu.

Ayah Rusli pun tak bisa berbuat banyak, ia tak seperti istrinya yang bisa meluapkan amarah sedemikian rupa.

“Kak Elma, istirahatlah, biar aku yang menenangkan Ibu.” Alya menengahi, gadis itu begitu patuh, dan penurut walau tak sepintar Elma dalam hal belajar. Karena itulah ia hanya mengambil sekolah SMK supaya bisa segera bekerja, tak perlu lagi kuliah.

Elma menatap kepergian adiknya, selama ini adiknya cukup mengerti dan mau mengalah untuk dirinya. Tapi kini, justru yang menjadi kebanggaan adalah yang menorehkan rasa malu tak tertahankan.

Pak Rusli berbaring di kursi panjang yang ada di ruang tamu, Elma tahu sang ayah tak bisa tidur, tapi memilih diam karena memendam rasa kecewa yang teramat dalam.

Sore harinya.

“Pak, bangun. Bapak belum sholat ashar,” panggil Bu Kartika, sambil menggoyangkan lengan suaminya. Tapi, lengan yang baru saja ia sentuh, tiba-tiba lunglai jatuh ke sisi tubuhnya begitu saja.

“Pak! Pak!”

Musibah memang tak bisa diduga kapan datangnya, sore itu Ayah Rusli dinyatakan meninggal dalam tidurnya.

•••

Ingpo tidak penting!! Ini adalah cuilan kecil kisah mantan menantu Marina, tapi Othor ganti nama pemeran wanitanya, biar ada suasana baru. 🤓

Jadi, apakah Tuan Ulat Bulu dan bayi sultannya akan tampil disini atau tidak, wallahu a'lam 🤣

Selamat menikmati, semoga terhibur.

Pergi Dari Rumah

#2

“Pasti ini nasib sial, karena ada warga yang zina.” 

“Ah, masa, sih?”

“Lho, belum pernah dengar, kalau zina itu bisa menimpakan azab bagi orang-orang sekitar, yang bahkan tak pernah melakukannya.” 

“Waduh, kok serem?” 

“Kalau begitu, jangan sampai wanita itu tinggal di komplek kita.”

“Iya, benar, jangan sampai kita kena azab atau nasib sial.” 

Tanah makam Pak Rusli, belum juga mengering, tapi bisikan sumbang dari para tetangga itu sudah nyaring berbunyi. Sekuat apapun Elma mencoba menulikan pendengaran, namun, melihat Bu Kartika tak nyaman keluar rumah membuatnya merasa semakin bersalah. 

Elma mengusap perutnya yang kian membesar, ia tak membenci kehadiran bayi itu, walau papanya tak mau bertanggung jawab. Elma hanya menyesal pernah melakukan perbuatan hina yang jelas-jelas dilaknat Allah, yakni berzina. 

“Maafkan Mama, Nak. Karena kesalahan Mama, kelak kamu harus menyandang gelar tak mengenakkan seumur hidupmu,” bisik Elma pada janin dalam kandungannya. 

Tok! 

Tok! 

“Kak,” panggil Alya usai mengetuk pintu. 

“Masuk saja.” 

Pintu terbuka usai Alya memutar handlenya, “Makan dulu, Kak. Kasihan bayi Kakak, pasti sudah kelaparan karena sejak semalam Kakak tidak makan dengan benar.” 

“Kakak tidak lapar, Al.” Elma menggeleng sambil menatap keluar jendela. 

Alya duduk di sisi Elma. “Bayi ini tidak bersalah, Kak. Setidaknya jika Kakak berniat membesarkannya, Kakak jangan dzolim dengan membiarkan dia kelaparan.” 

Ucapan Alya membuat Elma kembali meneteskan air mata, “Kamu tidak membenci Kakak?” 

Alya menggeleng, “Jika aku ikut-ikutan membenci Kakak, apa cerita dan jalan hidup kita akan ada perbedaan?” 

Elma termenung sesaat, “Daripada sibuk dengan perasaan benci, bukankah lebih baik kita jalani dengan benar, dan ikhlas. Sepahit apapun omongan orang, lama-kelamaan mereka juga akan diam, bukan?” 

Alya mengusap punggung Elma yang kini bergetar akibat menahan tangis. “Ini salahku, karena memikirkan perbuatan bejatku, Ayah jadi— meninggalkan kita.” 

“Bukan, Kak. Ayah pergi karena takdir hidupnya hanya sampai disini.” Kalimat Alya cukup menghibur Elma, tapi tetap saja rasa bersalah itu tak mudah ia tepis. 

Akhirnya Elma bersedia keluar kamar, setelah mengurung dirinya di sana sejak pemakaman Pak Rusli semalam. Bahkan Elma sama sekali tak keluar rumah untuk membereskan barang-barang yang berantakan usai acara pemakaman. Karena ia tak sanggup menengadahkan wajahnya dan  bertemu para tetangga. 

Di meja makan hanya terhidang nasi dan lauk seadanya, Elma maklum karena mereka masih dalam suasana duka. “Makanlah, Kak. Maaf, hanya ini sisa bahan-bahan yang bisa ku olah.” 

“Nanti, pergilah keluar dan ambil uang, Kakak yang transfer.” 

“Simpan saja uang Kakak untuk persiapan melahirkan, kelak pasti banyak sekali kebutuhan yang harus Kakak siapkan,” tolak Alya. 

Tapi Elma menggeleng, “Cukup, kok. Walau Kakak yang bersalah, tapi Mas Burhan sangat baik dengan merelakan sebagian besar harta kami untuk Kakak bawa.” Bibir Elma bergetar, tak kuasa menahan tangis ketika teringat kebaikan hati mantan suaminya. 

Padahal selama menikah, Elma tak bisa berperan jadi istri yang baik, tapi ketika berpisah, Burhan memberikan 80% harta gono-gini mereka. 

“Sebaik itu suamimu, tapi kamu masih tega mengkhianatinya, apa kamu tak pernah berpikir sebelum bertindak, hah!” teriak Bu Kartika yang kebetulan mendengar ucapan Elma. “Dasar tak tahu diuntung!” 

Nasi yang hendak masuk ke mulut Elma, kembali ia turunkan, Elma menangis sesenggukan. Kalimat Bu Kartika semakin membuatnya mengingat semua kebaikan hati Burhan yang selalu memanjakannya. 

•••

Beberapa hari kemudian, Elma sudah memutuskan, ia akan pergi meninggalkan rumah orang tuanya, ia tak bisa membiarkan Bu Kartika hidup dalam rasa malu karena memiliki anak seperti dirinya. 

Elma sudah mentransfer sebagian uangnya untuk digunakan Ibu dan adiknya, sementara untuk dirinya sendiri, sudah ia perhitungkan dengan cermat segala kebutuhan yang kelak ia beli sebelum dan sesudah persalinan. 

Elma bahkan sudah siap kembali bekerja, tak lama setelah melahirkan. Pengalaman bekerja di kantor sebagai konsultan, tak akan ia sia-siakan. 

“Maafkan Elma, Bu. Elma pamit, agar tak terus menerus membuat Ibu malu karena memiliki anak sepertiku,” ucap Elma lirih ketika berpamitan dengan Bu Kartika di depan pintu kamarnya. 

“Semoga ibu sehat-sehat dan panjang umur.” 

Ruang ICU

#3

Satu tahun kemudian. 

“Halo, Sus.” Elma menjawab panggilan teleponnya, kebetulan sedang tidak ada klien yang ia harus hadapi. 

“Bu, Eve sesak nafas.” 

Jantung Elma berdetak kencang, ia bergegas mengemasi barang-barangnya agar bisa segera pulang. “Aku pulang sekarang.” 

“Tania, aku pulang duluan, ya. Suster bilang, Eve sesak nafas.” 

Tania adalah teman Elma semasa kuliah, sedikit banyak wanita itu tahu kondisi yang Elma alami. Dan Elma juga sangat bersyukur karena Tania tak pernah mempermasalahkan kondisinya yang kerap libur atau pulang terlebih dahulu, jika anaknya tiba-tiba sakit. 

“Hmm, pulanglah, Klien berikutnya tak jadi datang, karena ada urusan mendadak.”

“Thanks, ya. Maaf karena aku sangat merepotkan, seperti biasa, kirim saja ke surel semua daftar pekerjaanku, akan kuselesaikan samb—”

“Pulang saja dulu, jangan pikirkan pekerjaan, utamakan anakmu.” Tania menyela ucapan Elma. 

Elma mendekat dan memeluk Tania sesaat, “Thanks, ya. Aku tak akan pernah melupakan kebaikanmu.” 

“Cepatlah, Eve menunggumu.” 

Elma pun bergegas pergi, ia memacu kencang mobilnya agar segera tiba di rumah. 

Jika hanya sekedar demam biasa, Elma tak akan sepanik ini. Tapi kondisi Eve berbeda dengan bayi pada umumnya, gadis kecil itu menderita penyakit jantung bawaan sejak lahir. Jadi, sesak nafas ringan, bisa memperburuk kondisinya. 

Sewaktu hamil, Elma menghadapi banyak tekanan dari kanan kirinya, hingga ia sedikit abai pada kondisi janin dalam kandungannya. 

Penyakit yang seharusnya bisa dideteksi sejak dalam kandungan, justru baru Elma ketahui dia hari setelah melahirkan Evelyn. Rasa bersalah Elma semakin besar, setelah tahu bahwa kondisi semacam ini juga diakibatkan oleh sikap ibu yang sedikit abai selama masa kehamilan. 

“Sabar, ya, Eve. Sebentar lagi Mama sampai di rumah.” Elma bergumam, sambil terus memohon untuk keselamatan Eve. 

Beberapa menit kemudian, Elma pun tiba di rumah, “Assalamualaikum, Suter!” ucap Elma begitu tiba di rumah. 

Elma sengaja mencari rumah sewa yang tak terlalu jauh dari tempat kerja, agar ia bisa segera pulang, jika ada kondisi darurat semacam ini. 

“Bu, semua sudah siap.” Suster Nia menyambut kedatangan Elma, sementara Eve sedang dalam gendongannya. 

Elma bersyukur sekali karena Suster Nia begitu cekatan ketika bekerja, Elma sengaja mencari pengasuh anak yang memiliki latar belakang pendidikan perawat. Agar bisa ia percayai untuk memantau kondisi bayinya sewaktu-waktu dibutuhkan. 

Elma segera meraih Eve, mengusap lembut putri kecilnya yang selalu berusaha untuk kuat melawan sakit yang ia derita. Tubuh Eve begitu kecil akibat sakit yang ia derita, tak seperti umumnya bayi berusia 1 tahun. 

“Mama janji tak akan meninggalkanmu, Nak. Kita berjuang sama-sama, ya. Sampai akhir, jangan pernah menyerah.” 

Rupanya sesak nafas Eve semakin bertambah parah, sepanjang perjalanan Elma tak henti melantunkan do'a agar Tuhan berbaik hati memberi kesempatan padanya untuk membesarkan Eve. 

Tiba di rumah sakit, Elma segera berlari menyusul suster Nia yang sudah lebih dulu masuk ke IGD. “Dok! Tolong bayiku, Dok!” mohon Elma ketika tiba di bilik pemeriksaan  Eve. 

“Iya, Bu. Kami akan berusaha maksimal. Tolong tunggu di luar.” 

•••

Elma duduk menunduk di ruang tunggu, kondisi Eve belum juga membaik kendati sudah ditangani, kini Eve terpaksa tinggal di ICU khusus bayi dan balita. Agar dokter bisa terus memantau kondisinya. 

“Bu, Sholat dulu, biar saya yang menunggu di sini.” Suster Nia mengingatkan. 

Elma hanya bisa mengangguk, kemudian berjalan dengan langkah gontai menuju musholla, kesempatan ini tak akan ia sia-siakan untuk memohon dan mengadu pada sang Khaliq. 

“Code blue! Code blue!” 

Panggilan darurat tersebut berasal dari ruang ICU yang berarti ada pasien yang kondisinya di ambang batas. Elma kembali berlari ke ruang tunggu, dan benar saja Suster Nia terlihat tengah berusaha menghubunginya. “Suster, ada apa?!” 

“E-Eve … “ Suster Nia tak mampu melanjutkan kalimatnya.

Elma menatap panik dari balik dinding kaca, “Dok! Tolong anakku, tolong selamatkan dia!” raung Elma dari balik dinding kaca. 

Sementara di dalam sana dokter yang menangani Eve tengah berusaha melakukan kompresi dada agar detak jantung Eve bisa kembali. Tapi—

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!