Senyum terbit di bibir cantik milik Jani saat memandangi foto pernikahan Kakak laki-lakinya. Satu-satunya keluarga yang Jani miliki setelah kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan lima tahun silam. Saat dirinya masih duduk di bangku SMA dan masih sangat membutuhkan kasih sayang keduanya.
“Kamu bahagia ya Mas? Senyumnya sampai lebar begini.” Gumam Jani yang memang tidak pernah melihat senyum seindah ini dari bibir Kakak nya. Dia dingin dan jarang bicara pada Jani. Hanya seperlunya saja layaknya musuh bebuyutan padahal mereka saudara kandung.
Namanya Anggabaya Bagus Ganendra, Jani biasa memanggilnya Mas Angga. Jani tahu sekali dirinya penyebab sikap dingin Kakak nya, dia jadi beban berat untuknya semenjak kepergian kedua orangtuanya.
Hmmmmm….
Helaan nafas berat terdengar begitu pelik di telinga Jani. Dirinya harus kuat, Mas Angga sudah berusaha sebaik mungkin menjaga dirinya tanpa mengeluh sedikitpun.
Dia sayang padaku meski Mas Angga tidak pernah mengutarakannya.
Begitu yang Jani yakini selama ini.
Kaki nya melangkah perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Jani sedang menunggu Mas Angga dan Mbak Gina yang dalam perjalanan pulang dari liburan panjangnya ke Surabaya. Ke kota kelahiran Mbak Gina.
Kali ini Jani memberanikan diri untuk tidak ikut mereka, Jani sudah cukup tua untuk takut tinggal di rumah sendirian. Dia harus membiasakan diri, Mbak Gina mulai merasa tidak nyaman karena dirnya terus saja ikut kemanapun mereka pergi.
Jani harus membantu Mas Angga, apapun meski remeh Jani coba melakukanya agar Mbak Gina tidak merasa di abaikan dan membuat Mas Angga harus bertengkar dengan wanita yang sangat dirinya sayangi. Jani ingin menjadi adik yang Mas Angga nya sayangi.
Deru suara mobil travel yang sampai di depan rumah membuat senyum kembali terbit di bibir Jani, langkahnya buru-buru menuju pintu pagar menyambut kedua Kakak nya yang akhrinya sampai.
“Assalamualaikum….ko di luar Dek? Kenapa tidak tunggu di dalam saja?” Jani menyalami tangan Mbak Gina dan Mas Angga bergantian.
“Wa’alaikum salam, Jani sengaja tunggu di luar takut ketiduran Mbak.” Jawabnya dengan sopan. Gina mengusap kepala Adik nya dengan sayang.
“Bantu Mbak angkat Quin yah, dia tidur. Tangan Mbak sakit soalnya Dek.” Jani segera melangkah mengambil Quin yang masih terlelap di kursi penumpang yang sudah kosong.
Sepertinya mereka penumpang terakhir yang di antarkan.
Husshhhh….husshhh….
Jani mencoba membuat keponakannya terlelap kembali di gendongannya. Dengan cepat Jani membawanya masuk dan menidurkannya di kasur kamar Jani.
Membiarkan kedua Kakak nya istirahat setelah perjalanan panjang yang telah mereka tempuh.
“Quin capek ya sayang….Tante Jani rindu sekali di tinggal Quin beberapa hari ini sayang….” Bicara dengan anak dua tahun yang sedang terlelap dengan nyaman.
Jani keluar dari kamarnya setelah membatasi sisi kasur dengan bantal untuk menjaga Quin tetap aman. Samar-samar telinganya mendengar keributan dari kamar Mas Angga. Tangan Jani gemetar jika mendengar keributan seperti ini.
“Itulah kamu Mas, aku minta tolong jaga satu tas kecil saja kamu teledor. Sekarang gimana nasib kita? Itu sisa uang yang seharusnya bisa aku gunakan untuk belanja kebutuhan kita selama beberapa hari ke depan Mas!.”
Terdengar bantingan benda keras yang membuat Jani ingin cepat-cepat kabur ke dalam kamarnya.
Dorrr...dorrr..dorrr....
“Ya Allah…..”Jani melompat memegangi dadanya semakin kaget mendengar ketukan pintu yang cukup keras tiba-tiba.
“Siapa?” Tanya Jani sambil membuka sedikit goden jendelanya.
“Mbak…ini saya mau kembalikan dompet punya laki-laki yang masuk rumah ini.” Jani buru-buru membuka pintu merasa bahagia karena dompet yang Mbak Gina cari kembali.
Krekkkkk….
Pintu terbuka lebar. Tampak laki-laki paruh baya dengan seragam serba hitam berdiri di depan pintu.
“Iya Pak…. Saya cek dulu sebentar ya Pak.” Benar saja, di dalam nya ada KTP Mbak Gina. “Bener Pak, ini punya Kakak saya.”
“Alhamdulillah, tadi Tuan saya yang menemukan Dek. Ya sudah Bapak pamit ya Dek.” Jani mengangguk, dia bahkan lupa tidak menawarkan tamunya yang berharga untuk singgah meski sebentar.
Hatinya begitu bahagia melihat dompet yang menjadi biang keributan kembali.
Tok….tok….tokkk….
"Mbak….Mas…ini ada yang anterin dompet punya Mbak Gina.” Gina dengan cepat membuka pintu kamarnya.
“Looooh iya…bener ini dompet Mbak. Siapa yang anterin Dek?” Jani menggaruk tengkuknya lupa tidak bertanya siapa gerangan orang baik yang sudah menemukan dompet Kakak nya.
“Jani lupa tanya Mbak.” Mbak Gina mengerucutkan bibirnya sedikit kecewa. “Orang nya juga kelihatannya buru-buru Mbak.” Mencoba mencari alasan.
“Yang penting udah balik. Udah istirahat kamu juga, udah malem.” Timpal Mas Angga meminta Istrinya tidak berdebat lagi dengan Jani.
“Kan pengen ucapin terimakasih Mas. Coba kalau dia gak balikin, kita bisa kelaperan karena tidak punya uang sama sekali.” Angga menarik tangan istrinya memasuki kamar.
Jani juga sudah kembali ke kamarnya dengan perasaan lega.
Angga menerima panggilan dari nomor yang tidak dirinya kenal. Merasa penasaran Angga keluar dari kamar dan menerima panggilan telponnya.
Angga : Siapa?
Langit : Masa gak kenal suara ku Ga?
Angga : Langit yah?
Terdengar suara langit yang sedang tertawa di sebrang telpon.
Angga : Apa kabar? Tumben sekali menelpon ku Lang?
Langit : Aku tiba-tiba saja teringat dengan mu Ga. Ada hal penting yang tidak mungkin aku bicarakan di telpon seperti ini. Kapan ada waktu?
Angga : Aku harus buka toko kelontong Lang. Kau saja main ke rumah ku, alamatnya masih sama dengan yang dulu.
Langit : Besok aku kabari ya Ga. Bagaimana kabar mu dan Gina?
Angga : Kami baik Lang, kapan kau mengirimkan undangan ke rumah kami? Masih betah saja jomblo kau ini Lang.
Hahahaha…..
Keduanya tertawa karena Langit memang terkenal laki-laki buaya darat yang enggan menikah.
Langit : Kau bisa saja. Aku masih belum menemukan wanita yang tepat Ga. Aku terlalu sibuk untuk menciptakan nuansa romansa di hidup ku ini Ga.
Angga : Gak papa Lang, hidup berkeluarga juga harus banyak yang di pikirkan. Kalau belum siap nanti anak istrimu bisa menderita seperti keluarga ku ini. Serba susah dan kekurangan.
Langit : Besok aku datang, ayo kita bicarakan hal penting yang pasti akan menguntungkan mu Ga.
Angga : Benarkah? Apa ini semacam kerja sama atau penawaran mitra kerja?
Langit : Besok kau akan tahu. Aku harap kau tidak keberatan dengan permintaan ku.
Angga : Kenapa sepertinya permintaan mu terdengar sulit Lang?
Langit : Kita bicarakan besok yah. Aku tidak bisa menjelaskannya lewat telpon seperti ini.
Angga menutup panggilan telponnya, jantungnya sedikit berdegub cepat merasakan gugup dengan permintaan apa yang akan sahabatnya minta besok. Memikirkannya saja membuat Angga merasa sedikit ngeri. Angga tahu jika selama ini Langit kerap kali melakukan kejahatan demi kehidupannya agar bergelimang harta.
“Mas….sedang apa?” Angga tersadar mendengar suara Adik nya.
“Tidak ada, Mas ke kamar.” Jani menyipitkan matanya melihat wajah Mas nya seperti orang ketakutan.
“Ada yang Namanya Anjani?” Tanya seorang mahasiswa yang baru saja kembali dari ruang dosen.
Anjani mengangkat tangannya malu-malu.
“Di panggil sama Pak Kardi, suruh ke ruanganya katanya.” Jani mengangguk dengan sopan.
“Terimakasih Kak.” Ucapnya padahal Jani lebih tua.
Jani tahu jika dirinya belum membayar uang kuliah untuk bulan ini, Mas Angga bilang akhir-akhir ini toko sangat sepi. Hasil kerja serabutan yang Jani lakukan juga tidak seberapa hasilnya.
Jani berjalan dengan lemas menuju ruang administrasi yang di maksudkan.
Dengan berani mencoba menghadapi kenyataan yang harus dirinya lalui.
Mungkin sebentar lagi Jani, kau harus sabar menghadapi setiap lika likunya. Kau harus sabar.
Ucapnya pada diri sendiri untuk menguatkan.
Tok…tok…tok….
"Permisi…” Jani segera menghampiri Pak Kardi yang terlihat sangat sibuk dengan berkas-berkas kwitansi di atas mejanya.
“Jani….masuk Jani, Bapak menunggu mu dari tanggal satu sampai tanggal dua puluh lima ini Nak.” Sindirnya dengan lembut.
Jani hanya menunduk, apa yang bisa dirinya ucapkan jika sambutannya sudah seperti ini.
“Maaf Pak, Jani belum ada dana sampai saat ini. Jani usahakan akhir bulan ya Pak.”
Pak Kardi menaruh kwitansinya dengan keras sambil menatap Jani sinis. Tapi Pak Kardi bisa apa jika nasib mahasiswanya yang satu ini memang kurang beruntung.
“Jangan meleset lagi ya Jani, kamu tahu kan gaji Bapak tidak seberapa? Tidak mungkin Bapak terus-terusan menutupi iuran mu terus setiap bulan. Anak Istri Bapak juga butuh uang itu Jani.”
Jani hanya menunduk, dirinya sudah tidak bisa berkata-kata lagi karena merasa malu.
“Maa Pak.” Ucap Jani lirih.
“Ya sudah, Bapak tunggu akhir bulan yah.” Ucap Pak Kardi merasa iba melihat kondisi Jani yang memang tidak bisa memenuhi semua tuntutannya.
Dengan lemas Jani berjalan menuju kelasnya.
“Jani….hay….” Sapa Aruni sahabat Jani satu-satunya. Anjani mencoba tersenyum melihat sahabat baiknya menyapa. Aruni seperti biasa memeluknya dengan erat. “Kenapa wajahnya sedih begitu?”
“Tidak Run, aku baik-baik saja.” Jani tidak mungkin berbagi kepahitannya ini pada Aruni.
“Yaacchhh…. Ambil tas mu.” Aruni segera meraih tas yang Sam sodorkan padanya. “Jaga adik ku ya Jani sayang.” Ucapnya dengan ramah sebelum berlalu pergi, Jani mengangguk dengan sopan seperti biasa. Tidak lupa senyum terpancar dari bibir tipisnya yang seksi.
Andai saja Mas Angga sehangat Kak Sam, sayang dia cuek dan jarang sekali bersikap lembut seperti Kak Sam. Bicara dalam hati merasa sedikit iri.
“Ayo ke kelas, sebentar lagi jam pertama di mulai.” Ajak Aruni menggandeng Jani ke dalam kelas. Jani berjalan mendahului Aruni duduk di bangkunya.
Semua murid menyapa Aruni yang baru sampai, beda dengan Jani yang tidak terlihat di mata teman-teman sekelasnya.
Aruni terlihat asik berbincang dengan para mahasiswa/i lain yang memang mengagumi nya. Dia beruntung, semua sempurna dalam hidupnya. Jani hanya bisa tersenyum meratapi nasibnya sendiri yang memang tidak beruntung dalam hal apapun yang dirinya lalui.
Semua yang dirinya jalani terasa begitu menyakitkan, tapi Jani mencoba kuat demi Mas Angga. Kakak laki-laki yang sudah merawatnya.
***
“Kenapa melamun?” Tanya Mbak Gina yang melihat Jani duduk termenung di ruang tamu. Jani yang tersadar mencoba melenturkan otot-otot tegang di wajahnya. “Banyak pikiran?”
“Gak kok Mbak, Jani baik-baik saja.” Jani meraih plastic kresek hitam yang Mbak Ginaa bawa.
“Tolong di tata di piring ya Dek, teman Mas katanya mampir. Sebentar lagi sampai katanya.” Jani dengan sigap menata kue-kue basah yang Mbak nya bawa.
“Tumben Mbak, teman Mas yang mana?” Gina menggeleng.
“Katanya orang penting. Jadi jangan buat dia kecewa katanya, ini Mbak bela-belain belanja kue padahal uang Mbak di dompet tinggal beberapa lembar untuk kita bertahan hidup beberapa hari ke depan.”
“Iya Mbak.” Lagi-lagi Jani hanya bisa menunduk kan kepalanya dalam-dalam.
Permasalahan ekonomi mereka membuat Mbak Gina nya yang lembut dan baik hati sering naik pitam dan marah tidak jelas. Jani harus banyak mengalah dan memaklumi kondisi emosi Kakak Ipar nya yang suka tidak menentu karena keadaan mereka.
Tidak lama pintu rumah mereka di ketuk dengan pelan, Mbak Gina yang memang sudah menunggu tamunya buru-buru lari ke depan untuk membukakan pintu.
“Sore….silahkan masuk.”
“Masuk yah aku.” Langit pelan-pelan melangkahkan kakinya memasuki rumah sederhana yang dulu sering dirinya datangi. Ada wajah tidak asing yang Langit tatap dengan senyum hangat.
“Ingat aku tidak Jan?” Tunjuknya pada dirinya sendiri.
Jani mencoba berfikit. Tapi tidak menemukan jawaban.
“Aku Kak Langit, kau suka memanggilku Kak Awan….ingat?” Jani mengangguk malu-malu. “Kau sudah besar Jani.” Janji mendekat menyalami Langit dengan sopan.
“Bagaimana kabar mu Jan? Kuliah mu lancar?” Jani mengangguk. Langit mengusap kepala Jani dengan lembut.
Gina senang orang yang datang ternyata cukup dekat dengan keluarganya. Dia mungkin sahabat lama yang semasa muda dulu.
“Kau pasti Gina kan? Istri Angga?” Gina mengangguk sambil menyodorkan tangannya. “Aku langit, maaf aku bertamu sore-sore begini merepotkan. Kalian pasti ingin istirahat yah.”
“Santai saja Kak, tidak repot kok. Jani cepat bawa kue dan teh nya ke sini.” Pinta Gina merasa masih canggung dengan keramahan tamunya. “Maaf yah Kak Cuma teh hangat dan beberapa kue saja.”
“Itu makanan yang paling aku suka, sederhana tapi penuh makna.” Gina dan Langit sama-sama bertukar tatapan dan tertawa.
“Garing yah… aku memang suka bercanda, jangan di anggap serius yah.” Gina senang tamunya asik di ajak bicara.
Tidak lama Angga datang, dia sedikit basah karena di luar gerimis. “Maaf lama menuggu ya Lang, hujan di pasar cukup deras.”
“Santai Bro, aku juga di temani bidadari-bidadari cantik jadi tidak bosan.”
Gina segera masuk menyusul Jani yang sudah lebih dulu masuk ke kamarnya saat mendengar suara Quin yang menangis terbangun dari tidur sore nya.
“Ganti bajumu dulu Ga, kau bisa masuk angin jika tidak bersih-bersih dulu.” Angga yang awalnya ingin duduk segera beranjak ke kamar nya. Yang langit katakan benar, dirinya bisa sakit jika pakai baju basah lama-lama.
“Nahh….begini kan enak. Bagaimana toko? Rame Ga?”
“Sepi, Jani saja sampai nunggak uang kuliah belum bisa aku bayar. Akhir-akhir ini orang-orang malas ke pasar, mereka belanja online yang lebih praktis.”
“Kau benar, pasar memang sudah bergeser sekarang.” Mereka saling bertukar tatapan. Tatapan mata Langit sudah berbeda.
“Jadi apa ini gerangan yang membawamu jauh-jauh mengunjungi gubuk kecil ku ini.” Ada senyum canggung yang Angga lihat.
“Sahabat ku sedang mencari jodoh.” Angga mengeryitkan dahinya menatap tajam pada Langit.
“Kau masih menjalankan usaha biro jodoh sialan itu!” Angga hampir saja kena tipuan Langit yang memintanya menikah kontrak dengan janda kaya raya.
“Sudah tidak lagi Ga, ini permintaan benar-benar tulus dari sahabat ku yang bukan orang biasa. Dia bahkan menuliskan semua detail isi perjanjian pernikahan jika kau setuju dengan permintaanya.”
“Kau gila! Aku sudah punya istri dan anak ku masih dua tahun kurang. Jani juga bagaimana nasibnya jika aku menikah kontrak begitu!” Bicara dengan nada keras penuh kemarahan.
“Menikah sungguhan, bukan menikah kontrak. Tawaran ini juga bukan untuk mu Ga.” Ucapannya terjeda. “Untuk Jani.” Ucap Langit dengan lemas.
Angga membisu, bagaimana nasib buruk selalu saja menyertai adik kecilnya yang kini sudah beranjak dewasa. Langit yang melihat tatapan tajam mata Angga tidak melanjutkan kata-katanya.
Hari berlalu seperti biasanya, tidak ada yang berubah karena Angga tidak mau menerima tawaran Langit yang sungguh di luar nalarnya. Bagaiamana mungkin dirinya menjual adik kandungnya sendiri pada laki-laki yang sama sekali tidak dirinya kenal.
Meski tawaran sangat menggiurkan mengingat kondisi ekonominya yang sedang morat marit tidak karuan. Angga tetap pada pendiriannya untuk terus menjaga Jani sepertinya janjinya.
Dia hanya akan melepaskan Jani pada laki-laki yang Jani sayangi dan yang menyayangi Jani.
Kedua orang tuanya sangat menyayangi Jani dan sering meminta dirinya saling menjaga dan saling menyayangi dulu. Angga tidak akan pernah lupa janjinya. Dia akan terus berada di sisi Jani sampai kapan pun.
Dia akan jadi laki-laki pertama yang menolak dan menjaga Jani dari siapapun yang ingin menyakitinya. Dia akan selalu ada meski sikapnya kian dingin pada Jani.
Angga tidak pandai mengungkapkan rasa sayangnya. Dia tidak mudah memamerkan kebanggannya memiliki adik sebaik dan secantik Jani.
“Mas….Mas…” Jani menepuk pelan punggung Mas Angga yang tengah melamun di teras rumah. “Ini kopi nya ya Mas.” Angga terkesiap sedikit terkejut.
“Makasih Jan.”
“Sama-sama Mas, kenapa Mas?” Tanya Jani pelan, dia beberapa hari ini melihat wajah Mas nya selalu saja masam.
“Tidak ada Jan, kau masuk sana.” Jani segera masuk. Mas Angga seperti biasanya tidak mau berbagi keluh kesahnya dengan Jani.
“Nglamun terus tau Jan, Mbak takut kalau Mas mu tiba-tiba kesurupan. Di tanya gak ada gak ada saja jawabannya, tapi mukanya begitu terus.” Oceh Mbak Gina yang juga khawatir dengan kondisi suaminya.
“Jani juga bingung gak bisa bantu Mbak. Apa karena uang kuliah Jani ya Mbak? Jani jadi merasa bersalah.”
“Banyak sih mungin yang di pikirin mas mu Jan, tapi Mas mu begini setelah kepulangan temen nya kemarin Jan. dia jadi murung, di ajak ngobrol suka gak denger. Apa ya Jan yang mereka bicarakan sebenarnya?”
“Jani nanti coba cari tau ke Kak Lagit ya Mbak. Mudah-mudahan saja Jani bisa bantu Mas Angga.” Takut sekali jika Mas nya ternyata punya hutang yang harus segera dia bereskan sampai kepikiran begitu.
“Iya Jan, Mbak udah gak tahan banget lihat Mas mu itu diem terus begitu. Ngomong kalau ada maunya doang, di ajak ngobrol gak ada respon.”
“Iya Mbak.” Jawab Jani tidak mau berkomentar lebih lanjut.
Hari ini Jani ada pekerjaan paruh waktu selesai kuliah, dia segera mampir ke warung sembako milik Pak Restu yang dengan baik hati memberikan Jani pekerjaan.
“Sore Pak.” Sapa Jani yang baru saja sampai.
Pak Restu langsung menarik Jani ke dalam warung. Wajahnya terlihat sangat serius.
“Ada yang menunggu mu sejak tadi.” Tunjuknya dengan gerakan kepalanya ke depan kedai yang berada di bawah pohon di depan warung milik Pak Restu.
“Jangan aneh-aneh Jani, jangan sampai kau berbuat macam-macam di sini. Saya susah payah membangun warung sembako ini Jan.”
"Baik Pak."
“Kak Langit.” Panggil Jani menyadarkan Langit dari lamunanya.
Tentu saja Langit tersenyum, saat ini Jani yang bisa membantu dirinya keluar dari masalah pelik yang dirinya alami dengan atasannya karena kecerobohan.
“Hay….maaf aku mengganggu mu sampai ke sini.” Jani menggelengkan kepalanya, wajahnya tetap ramah sekali seperti yang Langit ingat dulu tentang senyum menawan Jani.
“Santai saja Kak, apa ada yang ingin Kak Langit sampaikan pada Jani?” Jantung Jani berdegub cepat, siap tidak siap dirinya harus tahu apa tujuan Kak Langit yang sudah cukup lama tidak datang muncul.
“Apa keadaan Mas Angga masih sama Jan?” Jani mengangguk ragu. “Aku datang menawarkan bantuan, hanya saja Angga harus menyetujui permintaan atasan ku Jan.” Jani semakin bingung.
“Maaf Kak, aku tidak paham.”
“Atasan ku sedang mencari pasangan untuk di jadikan Istrinya, hanya saja dia bukan orang biasa karena pekerjaannya begitu hebat.”
Jani memiringkan kepalanya semakin tidak paham, apa sebenarnya hubungannya dengan dirinya.
Langit menatap Jani penuh harap, Jani tahu sekali arti tatapan mata Kak Langit meminta dirinya untuk mencoba memahami.
“Apa Jani yang Kak Langit minta?”
Langit mengangguk.
“Hanya kau yang Kak Langit anggap paling cocok Jan. Kau wanita yang baik, kau pintar dan kau sangat sabar menghadapi kehidupan yang jahat ini.”
Jani tersenyum miris, ini bukan pujian. Dia hanya sedang mencoba membawa Jani larut ke dalam cerita yang Kak Langit sampaikan.
“Jani hanya bisa mengikuti apa yang Mas Angga anggap baik untuk Jani Kak.” Langit meraih tangan Jani, menggenggam nya dengan erat.
“Mas Angga tidak akan mungkin mau menyetujui permintaan ku ini Jan. Hanya Jani yang bisa menyetujui ini semua dan membujuk Mas Angga.” Jani melepaskan tanganya pelan-pelan.
“Jani tidak berani Kak, Mas Angga selama ini menjaga Jani dengan baik. Jani tidak mau menyakiti Mas Angga. Jani akan ikuti yang Mas Angga mau.” Jani berdiri dari duduknya.
“Dia bersedia membayar dua Miliar untuk pernikahan ini.” Langkah Jani terhenti. “Kau bisa membantu kondisi keuangan Mas Angga dengan menyetujui permintaan Atasan ku ini Jan.” Jani tidak menanggapi.
Entah apa yang harus dirinya katakan, sedih karena dirinya di hargai dua miliar untuk sebuah pernikahan. Tapi itu uang yang cukup besar mengingat siapa dirinya saat ini.
Jani memukul mukul pelan dadanya yang terasa sesak.
Mas Angga tidak mungkin mau menyerahkan dirinya, terlebih pada laki-laki yang tidak Jani kenal. Mas Angga tidak mungkin mau mengorbankan Jani untuk menyelamatkan hidupnya. Jani yakin, Mas Angga tidak mungkin mau merelakan kebahagiaan dirinya untuk uang.
Jani mengusap air mata yang mengalir deras membasahi pipinya. Entah kenapa dirinya mudah sekali larut dalam kesedihan seperti ini. Mudah sekali matanya basah karena memikirkan kemalangan yang terus saja terjadi dalam hidupnya.
“Kenapa Jan?” Tanya Laras yang melihat Jani menunduk sedih sejak tadi. Jani malu sekali tertangkap basah sedang bersedih seperti ini. “Gak papa Jan, Namanya orang kalau sedih ya nangis. Kamu gak perlu malu.” Jani menunduk sungkan, dia memang anak yang pendiam.
Hanya menepuk punggung Jani dengan lembut yang bisa Laras lakukan.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua puluh satu malam, Jani sudah selesai berkemas dan siap untuk pulang.
Prankkkk……
Suara botol pecah yang tidak sengaja Jani senggol sampai pecah.
“Apa itu!” Teriak Pak Restu spontan. “Hati-hati… awas kena kaki belingnya.
“Iya Pak, Jani segera bereskan.”
Padahal Cuma kesenggol dikit aja kok bisa pecah sih. Ucap Jani bergumam sendiri.
Untung saja hanya botol bekas yang tidak terpakai. Selesai membereskannya Jani segera pamit pulang. Berjalan pelan menikmati udara malam yang cukup dingin.
Tidak butuh waktu lama Jani sudah sampai di depan rumahnya. “Kok tumben sih gelap banget, apa Mas dan Mbak Gina pergi yah.”
“Neng….Jani….” Panggil lelaki paruh baya tetangga Jani yang tinggal di sebelah. “Tadi Nak Quin di bawa ke rumah sakit. Dia kejang tadi, cepat kau susul mereka ke sana.”
Jani langsung lari menuju jalan raya mencoba mencari kendaraan umum yang masih lewat. Sambil gemetar Jani mencoba memesan ojek online karena angkutan umum sudah tidak ada lagi.
Menghubungi Mas Angga dan Mbak Gina juga tidak ada jawaban.
“Jani….Anjani kan?” Jani mendongak melihat pengendara motor dengan helm full face berhenti di depannya. “Aku….” Jani membuat laki-laki yang baru saja ingin menyebutkan Namanya terkejut.
“Tolong aku Kak, tolong antar Jani ke rumah sakit Ibu dan Anak Kak. Tolong.” Dia mengangguk, tanpa ragu Jani segera naik ke motor teman yang Jani tahu dia adalah teman sekelasnya di kampus bernama Axel.
Laki-laki berparas tampan yang di gandrungi banyak mahasiswi di kampusnya.
Sepanjang jalan Axel memperhatikan wajah Jani yang berkerut penuh rasa khawatir, sesekali tangannya mengusap sudut matanya yang basah.
Axel tidak bisa berkata-kata, mereka tidak cukup dekat untuk menghibur satu sama lain.
Jani langsung lari saat sampai di depan rumah sakit, Axel mencoba bersikap tenang karena Jani tidak mungkin dalam keadaan baik-baik saja saat ini. Dia mengikuti Jani setelah memarkirkan motornya dengan aman.
"Jangan banyak berfikir Mas, anak kita butuh banyak uang! Dia bisa kehilangan nyawanya kalau tidak segera di tolong!” Teriak Mbak Gina yang berhasil menghentikan langkah Jani bersandar di dinging yang menutupi tubuhnya.
“Kau baik-baik saja?” Tanya Axel yang melihat Jani begitu terpukul.
Jani sampai berpegangan erat pada jaket Axel yang berdiri di hadapannya. Cengkeraman tangannya bisa Axel rasakan begitu kuat.
Axel hanya bisa diam, Jani benar-benar sulit sekali dirinya pahami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!