NovelToon NovelToon

Istri Yang Tak Di Inginkan Pengacara Terkenal

Prolog

Seorang gadis berusia 19 tahun duduk termenung di sudut ruang tamu rumah kecil itu. Matanya menatap lekat-lekat sebuah foto lama.

Di dalam bingkai kayu yang sudah mulai kusam, tampak seorang wanita anggun bergaun merah muda, wajahnya cantik seperti perempuan Filipina.

Dalam foto itu, wanita tersebut menggendong seorang bayi merah, sementara di sampingnya berdiri seorang bocah perempuan berusia delapan tahun — itu Maya kecil.

Hening.

Maya menghela napas panjang. Ia tak pernah mengenal sosok perempuan itu secara nyata, hanya dari foto dan cerita yang berulang-ulang diceritakan ayahnya.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki pelan terdengar. Ahmad, ayahnya, yang kini mulai menua, menghampiri Maya.

Lelaki itu menepuk pundak putrinya dengan lembut, senyum lelah terpahat di wajahnya.

“Ibu kamu akan pulang, Nak,” ucap Ahmad dengan suara pelan, seperti menenangkan diri sendiri.

Maya menoleh, menahan rasa jengkel yang menumpuk bertahun-tahun.

“Sampai kapan, Pak? Sampai aku lulus kuliah, atau sampai aku di akhirat nanti?” jawabnya ketus. Suaranya pelan, tapi penuh getir.

Ahmad terdiam. Nafasnya menghela panjang, berat, seperti tak tahu harus menjawab apa.

“Hush… jangan ngomong gitu, Maya. Dosa,” tegur Ahmad pelan.

Air mata Maya mengalir tanpa suara. Tangannya mengepal di atas lutut.

“Tapi gimana, Pak? Aku ini anak perempuan… aku juga butuh kasih sayang seorang ibu. Aku juga pengen ngerasain pulang ke rumah ada yang masakin, ada yang peluk, ada yang nasehatin kayak temen-temen aku. Tapi aku gak pernah dapet itu.”

Ahmad tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap televisi yang baru saja dinyalakannya.

Di layar kaca, berita hukum sedang tayang. Tentang seorang wanita yang sedang memperjuangkan hak asuh anaknya, dibela oleh seorang pengacara muda yang terkenal karena keberaniannya melawan orang berkuasa. Namanya terpampang jelas: Adrian Martadinata.

Ahmad terkekeh kecil, seolah ingin mengalihkan suasana.

“Coba ya, seandainya kamu nikah sama dia. Hidup kamu aman, Maya.”

Maya mendengus sebal, meski dalam hatinya geli sendiri mendengar ide aneh Ayahnya.

“Apaan sih, Pak. Aku masih kuliah juga baru mau semester tiga. Udah mikirin nikah aja.”

Ahmad tersenyum tipis, menepuk kepala putrinya lembut.

“Namanya juga bapak- bapak. Bercanda, biar kamu gak sedih terus.”

Maya ikut tersenyum kecil, walau matanya masih basah.

Dalam hatinya, ia tahu... mungkin ibunya takkan pernah pulang. Tapi hidup harus tetap berjalan.

*

*

*

*

DI TEMPAT LAIN

Sementara itu, di sudut lain Jakarta, Adrian Martadinata baru saja keluar dari gedung pengadilan setelah memenangkan persidangan besar.

Wajahnya tetap dingin seperti biasa, tetapi layar ponselnya yang tiba-tiba menyala membuat langkahnya terhenti. Nama di layar itu cukup familiar: Lily Berliana.

Adrian mengangkat panggilan itu, menempelkan ponsel ke telinga sambil berjalan santai ke arah mobilnya.

"Halo, sayang. Kamu di mana?" suara lembut Lily terdengar manja dari seberang sana.

"Baru selesai sidang." Adrian menjawab singkat, seperti biasa.

"Aku lagi di tempat biasa, sayang. Kesini, ya. Aku punya kejutan buat kamu."

Nada suara Lily terdengar antusias, seolah sudah menyiapkan sesuatu dengan hati-hati.

Adrian hanya mengangkat alis malas. Tapi karena sudah terbiasa dengan gaya pacarnya yang kekanak-kanakan, dia menyalakan mesin mobil sport mewahnya tanpa banyak protes.

Dalam hitungan menit, mobil keluaran terbaru itu melaju mulus menuju sebuah apartemen elit di pusat kota Jakarta. Gedung tinggi dengan lobi marmer dan penjaga berseragam rapi menyambutnya seperti biasa.

Sesampainya di depan pintu unit apartemen milik Lily, Adrian menekan bel.

Ding-dong.

Tak lama kemudian, pintu terbuka. Lily Berliana, wanita cantik dengan dandanan sempurna dan pakaian mewah, menyambutnya dengan senyum lebar. Di tangannya, ada sebuah kue kecil berbentuk... wajah Adrian sendiri.

"Selamat, honey! Karena kamu udah menangin kasus besar lagi hari ini!" ujar Lily riang sambil menunjukkan kue itu dengan bangga.

Adrian menatap kue aneh itu tanpa ekspresi. Bibirnya hanya bergerak tipis.

"Ini ide siapa?"

"Aku dong, siapa lagi? Lucu, kan?" Lily tertawa kecil.

Adrian hanya masuk tanpa bicara banyak. Di dalam, apartemen mewah itu sudah dipenuhi bunga, hadiah kecil, dan aroma parfum mahal yang menyengat.

Bagi Lily, ini kejutan romantis.

Bagi Adrian, ini cuma rutinitas basi yang ia jalani... sampai waktunya tiba, ia benar-benar harus memilih masa depan.

Adrian memasuki apartemen mewah itu tanpa banyak bicara. Ia langsung duduk di sofa, melepaskan jasnya, lalu mengendurkan dasi yang sejak tadi mencekik lehernya.

Lily mengikuti dari belakang dengan senyum genit. Ia meletakkan kue kecil di meja, memotongnya perlahan, lalu menyuapi Adrian dengan gaya manja khasnya.

Gaun ketat berwarna pastel membalut tubuhnya, rambut panjangnya di-blow rapi dengan ikal lembut di ujungnya, semakin menonjolkan kesan wanita sosialita yang penuh percaya diri.

Tanpa malu, Lily duduk di pangkuan Adrian, tangannya melingkar manja di leher pria itu.

"Cuma aku yang bisa rayain kemenangan kamu kayak gini, kan, sayang?" bisiknya genit.

Adrian menatap wajah cantik Lily, tersenyum tipis. Bagi orang lain, mungkin ini momen romantis. Bagi Adrian? Entah sejak kapan semua ini terasa hambar. Tapi karena ini sudah menjadi rutinitas mereka, ia membalas dengan cara yang biasa.

Tangan Adrian memegang dagu Lily, membawanya lebih dekat. Tanpa kata, bibirnya menempel rakus, menuntut lebih.

Ciuman yang awalnya lembut, berubah semakin dalam, semakin panas, sampai tangan Adrian memegang bokong Lily yang melekuk indah.

Namun tiba-tiba—

BRRR… BRRR…

Suara getaran ponsel memecah suasana. Adrian mengerling ke arah meja. Ponselnya menyala, nama yang tertera di sana cukup membuatnya tersadar seketika: Ibu.

Adrian mendesah pelan, melepaskan ciuman itu dengan malas.

"Untung ibu kamu nelpon. Coba kalau enggak, kita udah… you know," ucap Lily sambil terkikik, memainkan jemarinya di dada Adrian.

Adrian hanya diam, meraih ponselnya. Tatapannya sempat kosong sejenak.

Entah kenapa, di balik segala dosa yang sering mereka ulang, telepon dari sang ibu malam ini seperti teguran kecil yang menampar kesadarannya.

Tuhan memang punya banyak cara untuk menegur manusia. Kadang lewat hal sederhana, seperti dering telepon di tengah ciuman yang hampir kehilangan kendali.

Adrian menekan tombol hijau.

"Halo, Mah? Ada apa?" suaranya terdengar santai, tapi agak malas.

Dari seberang telepon, suara ibunya langsung terdengar tanpa basa-basi.

"Ibu mau ngomong sama kamu, cari perempuan baik-baik buat kamu nikahi. Jangan Lily. Ibu gak suka dia."

Adrian memejamkan mata sejenak, menahan napas. Dia sudah hafal arah pembicaraan ini.

"Mah, aku cinta sama Lily. Lagian… urusan pasangan masa mama ikut campur?" sahut Adrian datar.

Tapi ibunya langsung membalas dengan suara keras, penuh ancaman yang tak main-main.

"Kalau kamu masih kekeh sama Lily, Mama mendingan mati aja!"

Adrian terdiam. Suasana ruang tamu apartemen mewah itu mendadak hampa. Lily yang masih duduk di pangkuannya hanya menatap tanpa tahu isi percakapan.

"Mah... jangan ngomong yang enggak-enggak."

"Mama serius, Adrian. Denger ya… perempuan seperti Lily enggak akan pernah bawa kamu ke arah yang benar. Mama enggak minta banyak. Cari istri yang baik, bukan perempuan murahan."

Adrian mendesah panjang.

"Nanti kita bicarain lagi. Aku sibuk."

Telepon dimatikan. Lily menatap Adrian dengan wajah manja.

"Kenapa? Ibu kamu marah lagi, ya?" tanya Lily.

"Iya sayang," jawab Adrian sambil membelai rambut Lily dan wanita itu menyandar di dada bidang milih Adrian.

Adrian tak menjawab. Ia bersandar di sofa, menatap langit-langit apartemen yang begitu mewah… tapi rasanya hampa.

Maya dan Jalan Panjang Menuju Mimpinya

Pagi ini, seperti biasa, Ahmad sudah sibuk sejak matahari belum sepenuhnya naik. Ia merapikan dagangan di rumah makan kecil miliknya yang terletak tak jauh dari jalan utama.

Warung makan sederhana itulah yang selama ini menopang hidup mereka, cukup untuk membiayai kuliah anak semata wayangnya, Maya Amelia.

Ahmad tak pernah mengeluh, meski hidupnya jauh dari kata mudah. Ia pernah memiliki dua anak perempuan, namun satu di antaranya — kakak Maya — sudah lama pergi bersama ibunya entah ke mana. Sejak istrinya meninggalkan mereka bertahun-tahun silam, Ahmad hanya hidup berdua dengan Maya.

Kini, melihat Maya tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan berpendidikan, Ahmad merasa usahanya tidak sia-sia.

Pagi itu, karena rumah makan sedang ramai pembeli, Ahmad tak sempat mengantar Maya ke kampus seperti biasanya.

"Naik Grab aja ya, Nak. Ayah gak enak ninggalin warung, rame dari pagi," ucap Ahmad sambil mengelap meja dengan handuk kecil.

Maya tersenyum, mengerti.

"Iya, Pak. Lagian aku juga udah telat, kelas Pengantar Ilmu Hukum mulai jam delapan."

Dengan seragam kampus rapi, tas ransel di pundak, Maya memesan ojek online lewat ponselnya. Tak lama, motornya tiba di depan rumah makan kecil itu.

"Assalamualaikum, Pak. Aku berangkat dulu."

"Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Maya."

Ahmad menatap punggung putrinya yang perlahan menghilang di balik keramaian pagi. Di balik hatinya yang lelah, terselip doa dalam diam.

Semoga Maya kelak mendapatkan kehidupan yang lebih baik, lebih terhormat, dan tentu… bukan seperti ibunya dulu.

Tak berapa lama motor ojek online berhenti tepat di depan gedung megah bertuliskan FAKULTAS HUKUM. Maya turun, membayar, lalu berjalan cepat sambil sesekali melirik jam tangan.

07.53.

Untung belum terlambat.

Begitu memasuki ruangan, Maya langsung disambut wajah-wajah yang sudah akrab. Teman-teman sekelasnya sebagian besar anak orang berada, rapi, wangi, dan terlihat seperti tak pernah pusing memikirkan biaya kuliah atau uang makan.

"Maya, sini duduk bareng kita."

Itu suara Tiara, teman dekatnya, yang selalu ceria dan gampang akrab. Maya tersenyum kecil, duduk di bangku kosong samping Tiara.

"Dari rumah makan lagi?" tanya Tiara sambil membuka laptop.

"Iya, tadi rame banget. Jadi Ayah nyuruh aku naik Grab aja." Maya Bicara kepada Tiara sahabat dekatnya.

"Kamu tuh hebat ya, kuliah sambil bantuin orang tua. Aku aja di rumah tinggal makan tidur."

Maya hanya menanggapi dengan senyum. Baginya, hidup seperti ini sudah biasa.

Tak lama kemudian, dosen Pengantar Ilmu Hukum masuk. Seorang pria berkemeja rapi, usia sekitar akhir 30-an, dengan pembawaan tenang tapi tegas.

"Selamat pagi, semuanya. Sebelum kita mulai, saya ingin ingatkan… di dunia hukum, kita bukan sekadar bicara pasal dan aturan, tapi juga soal logika berpikir. Jangan sampai kalian lulus cuma hafal teori, tapi gak ngerti praktik."

Beberapa mahasiswa mencatat, sebagian lainnya sibuk memperhatikan gaya bicara sang dosen. Maya, meski duduk di barisan tengah, mencatat dengan serius. Baginya, setiap kata yang keluar dari mulut dosen adalah ilmu yang suatu hari akan berguna.

Tiara menoleh sambil berbisik,

"Eh, denger-denger dosen kita kenal deket sama Adrian Martadinata loh."

"Pengacara terkenal itu?" bisik Maya balik, setengah tak percaya.

"Iya, katanya temen lama. Makanya jangan heran kalo nanti kita banyak dikasih cerita soal dunia pengacara beneran."

Maya hanya mengangguk pelan. Nama Adrian Martadinata memang sering dia dengar. Tapi bagi Maya, dia cuma publik figur seperti banyak pengacara terkenal atau tokoh masyarakat, bukan seseorang yang akan benar-benar bersinggungan langsung dengan hidupnya.

Atau… itulah yang selama ini ia pikirkan.

Maya masih sibuk mencatat penjelasan dosen. Di halaman bukunya sudah penuh coretan tentang pasal, definisi, dan teori dasar ilmu hukum.

Dosen mereka hari ini banyak bercerita soal peminatan hukum, mulai dari jalur pengacara, kejaksaan, notaris, hingga konsultan hukum.

"Bagi kalian yang nanti ingin jadi pengacara, mental dan keberanian itu kunci. Jangan cuma mikir soal honor, tapi pikirkan tanggung jawab besar di balik setiap kasus yang kalian pegang," ujar sang dosen sambil berjalan pelan di depan kelas.

Maya mencatat serius, sesekali mengangguk kecil.

Di sampingnya, Tiara berbisik, "Nanti kita ambil peminatan pengacara aja yuk. Biar magangnya bareng."

Maya tersenyum kecil. "Boleh, gua setuju. Lagian bokap gua juga dukung kok. Dia pengennya aku kerja di firma hukum, bukan jadi PNS."

Tiara mengangguk puas, lalu kembali fokus ke layar laptopnya.

Di antara deretan mahasiswa lain, di sudut belakang kelas, seorang pria memperhatikan Maya dalam diam. Namanya Reza Ardiansyah.

Sejak awal OSPEK, dia sudah menaruh hati pada Maya Amelia. Namun, keberaniannya tak pernah cukup kuat untuk sekadar menyapa.

Reza tahu betul, Maya bukan tipe gadis yang mudah dia dekati. Bukan karena Maya tinggi hati, tapi karena Maya terlihat terlalu realistis soal cinta.

Maya tak pernah suka pria yang terlalu jauh statusnya, entah lebih kaya, lebih pintar, atau sebaliknya. Dia takut ketimpangan itu akan membawa masalah ke depannya.

Jadi, Reza memilih diam, memandang dari jauh, memendam rasa yang bahkan belum sempat ditunjukkan.

"Baik, untuk tugas hari ini," suara dosen kembali terdengar, memecah lamunan Reza.

"Kalian saya tugaskan membuat makalah sederhana tentang peran pengacara dalam penegakan hukum. Deadline satu minggu. Kumpulkan via email."

Suara gemuruh pelan terdengar dari mahasiswa lain. Sebagian mengeluh, sebagian menerima. Bagi Maya, tugas seperti ini sudah biasa. Ia mengangguk pelan sambil mencatat: Deadline, 1 minggu.

Bel tanda akhir kelas berbunyi. Mahasiswa beranjak, sebagian segera keluar, sebagian masih asyik ngobrol di dalam kelas. Maya dan Tiara pun berkemas.

"Mau langsung ke kantin, May?"

"Boleh, laper juga. Gue gak sempet sarapan."

Mereka tertawa kecil, melangkah keluar kelas… tak sadar, dari belakang, Reza masih menatap punggung Maya yang perlahan menjauh. Lagi-lagi, dalam diam.

Siang itu kantin kampus sudah mulai ramai. Deretan meja penuh mahasiswa yang makan sambil bercanda, mengeluhkan tugas, atau sekadar mengobrol ringan soal kuliah.

Maya duduk di salah satu sudut kantin bersama Tiara. Di hadapannya sudah tersaji semangkuk bakso hangat dan sebotol air putih.

Sementara Tiara memilih bakso juga, tapi ditemani es teh manis dingin yang tampak menyegarkan.

"Duh, gue tuh paling males kalau udah denger nama Bu Diah. Dosen killer abis Zuhur nanti," keluh Tiara sambil meniup kuah baksonya.

"Iya, padahal udah kenyang, malah diceramahin soal hukum administrasi negara," sahut Maya sambil tertawa kecil.

Mereka makan dengan lahap, sesekali membahas soal kuliah, tugas, dan dosen-dosen yang menurut mereka terlalu idealis.

Obrolan mereka sederhana, khas mahasiswa tahun kedua yang belum terlalu dekat dengan dunia kerja tapi sudah lelah dengan teori hukum.

Di sudut lain kantin, Reza Ardiansyah duduk sendirian. Di hadapannya semangkuk soto Bogor masih mengepul hangat. Namun, perhatiannya bukan pada makanan, melainkan pada satu sosok yang sejak tadi diam-diam ia perhatikan: Maya Amelia.

Dari kejauhan, Reza tersenyum kecil.

"Dia pintar, cerdas, cantik… tapi sayangnya susah dideketin," gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Tatapannya lembut, bukan penuh nafsu atau keinginan sesaat. Lebih kepada kekaguman yang diam-diam dipendam sejak lama.

Melihat Maya tertawa kecil bersama Tiara, menikmati makan siangnya dengan sederhana, entah kenapa membuat hati Reza merasa hangat.

Tapi, keberanian untuk mendekat? Itu masih terlalu jauh untuk dia bayangkan. Untuk saat ini… cukup melihat dari jauh. Itu saja sudah cukup membuat Reza bahagia.

Langkah Kecil Reza

Usai makan siang, Maya dan Tiara memutuskan untuk langsung ke perpustakaan. Mereka memilih tempat duduk di pojok yang agak sepi, agar lebih fokus mengerjakan tugas Pengantar Ilmu Hukum yang diberikan dosen tadi pagi.

Laptop terbuka, buku-buku hukum berserakan di meja, dan layar ponsel bergantian mereka buka. Suasana sunyi, hanya suara ketikan keyboard dan desah nafas mahasiswa lain yang juga sibuk dengan tugasnya.

Dari kejauhan, Reza Ardiansyah kembali memperhatikan Maya. Kali ini dari balik rak buku yang sengaja ia hampiri meski tak benar-benar berniat meminjam buku apa pun.

Tatapannya jatuh pada senyum kecil Maya yang muncul sesekali saat bercanda dengan Tiara.

Bagi Reza, melihat Maya tersenyum saja sudah cukup membuat harinya lebih ringan. Ia tahu dirinya terlalu pengecut untuk mendekat, tapi melihat dari jauh? Itu cara sederhana untuk menjaga hati tetap bahagia.

Sementara itu, di meja mereka, Tiara mulai mengeluh.

"May, sumpah… ini pasalnya apaan dah? Bingung gue, dari tadi muter-muter gini aja."

Maya tersenyum, tetap tenang.

"Sini, cari di Google dulu. Atau lebih gampang, manfaatin AI aja. Tuh, sekarang udah banyak tools yang bisa bantu, asal jangan asal copas."

Tiara mengangguk cepat. "Iya juga ya, kenapa gue gak kepikiran."

Tak butuh waktu lama, Tiara akhirnya menemukan jawaban yang dicari lewat AI.

"Nah, gitu kan lebih cepet. Kadang teknologi lebih sabar dari dosen." ujar Maya santai, membuat Tiara tertawa pelan.

Mereka terus melanjutkan tugas hingga hampir selesai. Rencananya nanti malam, Maya dan Tiara akan video call lagi untuk memastikan semua beres sebelum tugas dikumpulkan melalui website kampus yang sudah disediakan khusus untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum.

Reza menatap mereka untuk terakhir kalinya hari itu.

Dalam hatinya ia bergumam,

"Sampai kapan gue cuma berani liat dia dari jauh, ya?"

Tapi untuk saat ini, melihat Maya tersenyum… itu sudah cukup.

Setelah cukup lama hanya memandang dari jauh, akhirnya Reza memberanikan diri melangkah mendekati dua gadis yang sedang sibuk mengetik tugas di pojokan perpustakaan itu. Jantungnya berdegup agak cepat, tapi dia berusaha tetap santai.

Dengan senyum ramah, Reza berdiri di dekat meja mereka.

"Maya Amelia, ya?" sapanya pelan.

Maya mendongak, sedikit kaget karena tiba-tiba ada pria yang menyapanya langsung.

"I-iya, bener. Aku Maya," jawabnya agak gugup.

"Gue Reza. Tadi kita satu kelas. Gue sebenernya mau nanya soal tugas tadi. Bingung aja, bagian pasal sama penjelasannya rada susah dimengerti." Reza berusaha terdengar santai, meski sebenarnya ini cuma alasan agar bisa lebih dekat dengan Maya.

Tiara yang dari tadi ikut memperhatikan langsung nyengir jahil.

"Reza, duduk aja. Jangan berdiri terus, nanti kram loh," candanya diselingi tawa kecil.

Reza ikut tertawa, lalu duduk di kursi kosong di samping mereka.

Tiara sendiri tak pernah punya perasaan khusus pada Reza, baginya ini cuma teman baru yang kebetulan sekelas. Begitu pula Maya, dia hanya menanggapi dengan sopan, tanpa ada pikiran aneh-aneh.

Akhirnya mereka bertiga larut dalam obrolan ringan seputar tugas. Maya dengan sabar menjelaskan apa yang ia pahami, sementara Tiara kadang menyelutuk bercanda agar suasana tak kaku.

"Oh, gitu toh… pantes gue bingung, gue bacanya setengah tidur tadi pagi," celetuk Reza membuat Maya dan Tiara tertawa kecil.

Tanpa terasa, mereka mengerjakan tugas hingga hampir jam 12 siang.

"Udah yuk, kita istirahat. Zuhur dulu biar adem hati," ajak Tiara sambil menutup laptopnya.

Maya mengangguk setuju, begitu juga Reza. Mereka pun beranjak meninggalkan perpustakaan bersama, menuju mushola kampus.

Entah bagi Reza, pertemuan kecil ini mungkin sepele. Tapi bagi hatinya, ini langkah kecil pertama yang berarti.

Setelah salat Zuhur, Maya berjalan pelan menuju gedung perkuliahan. Tangannya baru saja meraih gagang pintu ketika tiba-tiba Reza menarik pergelangan tangannya dari belakang.

"Maya..." panggil Reza buru-buru.

Maya spontan menarik tangannya kembali, sedikit terkejut.

"Reza! Jangan narik tangan orang gitu, ya." ucap Maya, agak kesal.

Reza langsung mengangkat kedua tangannya, memberi isyarat bahwa ia tidak berniat macam-macam.

"Sorry, May. Gua gak maksud. Maksud gue, lu bisa nungguin gua bentar? Gua gak ada barengan. Temen gue si Rian sakit, biasanya kan gue bareng dia."

Maya menghela napas kecil. Dia bukan tipe orang yang suka drama, apalagi marah lama-lama soal hal sepele.

"Yaudah, tapi jangan asal narik lagi ya." jawabnya datar.

Reza tersenyum lega. "Siap, gak bakal gue ulang."

Tak lama, Tiara datang dari arah mushola, langsung bergabung di samping Maya.

"Udah yuk, ke kelas. Jam segini biasanya udah mulai penuh atas." ujar Tiara.

Mereka bertiga pun naik ke lantai dua bersama. Sepanjang jalan menuju kelas, mereka berbincang santai soal tugas tadi, dosen yang killer, dan obrolan ringan khas anak kuliah.

Reza duduk di sebelah Maya, sementara Tiara di sebelah Maya yang satunya lagi. Suasana yang tadinya canggung perlahan jadi lebih cair.

Reza mulai merasa lebih nyaman berbicara dengan Maya. Meski Maya belum menunjukkan tanda apa-apa, setidaknya… dia sudah lebih dekat dibandingkan kemarin.

Ruangan kelas Hukum Administrasi Negara di lantai dua sudah mulai terisi. Beberapa mahasiswa duduk sambil membuka laptop, ada yang masih sibuk dengan ponselnya, dan sebagian mengobrol santai sebelum dosen datang.

Maya duduk di kursi tengah bersama Tiara di sampingnya, sementara Reza duduk di sisi lain Maya, tampak lebih santai sekarang setelah tadi sempat salah tingkah.

"Eh May, ini dosennya katanya lebih kalem daripada yang pagi tadi ya?" bisik Tiara sambil membuka laptopnya.

"Iya, Pak Hari. Katanya sih sabar orangnya, tapi jangan diremehkan. Tugasnya suka tiba-tiba banyak." jawab Maya santai, sembari mempersiapkan buku catatan.

Reza ikut menimpali sambil tersenyum,

"Wah, berarti aman ya buat mahasiswa tukang ngeluh kayak gue."

Maya hanya menoleh sekilas, tersenyum kecil tanpa menanggapi lebih jauh. Tiara malah tertawa pelan mendengar komentar Reza.

Beberapa menit kemudian, seorang pria paruh baya dengan kemeja rapi masuk ke kelas. Sosoknya tenang, tidak banyak bicara, hanya menaruh tas kerja di atas meja dosen lalu langsung menyalakan laptop.

"Selamat siang, mahasiswa. Hari ini kita akan masuk materi Hukum Administrasi Negara. Saya Pak Hari Santoso," ucapnya singkat tapi jelas.

"Saya ingin kalian tahu, hukum administrasi ini penting karena berkaitan langsung dengan bagaimana negara bekerja, mulai dari urusan kecil seperti izin usaha sampai soal kebijakan besar."

Mahasiswa mulai membuka buku catatan. Maya fokus mendengarkan, tangannya cekatan mencatat tiap poin yang dianggap penting.

Sementara Reza, meski duduk di sebelah Maya, diam-diam lebih sibuk melirik ke arah Maya daripada ke papan tulis.

Dalam hatinya ia bergumam,

"Cewek ini serius banget ya. Pantes susah dideketin, pikirannya kuliah terus."

Pak Hari melanjutkan penjelasannya dengan sabar, menjelaskan materi hari itu soal fungsi dan kewenangan lembaga administrasi negara, serta kaitannya dengan perlindungan hukum bagi warga negara.

Sebelum kelas selesai, Pak Hari memberi tugas kelompok kecil yang harus dikumpulkan minggu depan.

"Silakan bentuk kelompok masing-masing, maksimal tiga orang." ucap Pak Hari.

Tanpa banyak bicara, Tiara langsung menoleh ke Maya.

"Kita bareng ya, May. Sama Reza juga gak apa-apa kan?"

Maya mengangguk. "Yaudah, biar gampang."

Reza langsung mengangguk setuju. "Thanks, gue nebeng sama kalian ya."

Mereka bertiga resmi jadi kelompok kecil. Setelah itu, kelas pun ditutup dengan pengingat tugas dari Pak Hari.

Saat keluar kelas, Reza sempat tersenyum lega dalam hati. Setidaknya, sekarang ada alasan jelas buat sering ngobrol sama Maya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!