Nayara menghela napas kesal ketika tidurnya terusik. Dengan malas, ia membuka mata dan mendapati Kaelith tengah menatapnya sambil tersenyum samar. Sebelum sempat berkata apa-apa, pria itu kembali menunduk dan mencium bibirnya. Kali ini tak sekadar mencium Kaelith melumatnya dengan paksa, seolah Nayara adalah miliknya dan tak punya hak untuk menolak.
"Kaelith, lepaskan," desis Nayara kesal, mencoba menarik wajahnya menjauh.
Pria bermata biru itu akhirnya menghentikan ciumannya namun bukan tanpa meninggalkan jejak. Ia menggigit lembut bibir Nayara yang sudah terlihat membengkak, seolah menjadikannya milik yang ditandai.
"Akh…" Nayara meringis, rasa perih menyelip di antara helaan napasnya.
"Good morning, baby," bisik Kaelith seraya mengecup kembali bibirnya yang baru saja ia sakiti manis sekaligus menyebalkan.
Nayara segera memalingkan wajah begitu tatapannya bertemu dengan mata biru dingin milik pria itu.
"Ayo bangun. Aku bawa oleh-oleh untukmu," ujar Kaelith, kini berdiri santai di ambang pintu kamar dengan senyum tipis di wajahnya.
Pria itu baru saja kembali dari sesi latihan bersama klub sepak bola tempatnya bernaung saat ini Nexora FC, tim elit yang tak hanya membanggakan namanya, tapi juga memperkuat kuasa yang ia miliki.
"Tidak, aku masih ngantuk. Taruh saja di kulkas, nanti aku makan," ucap Nayara, menolak tanpa menoleh, suaranya terdengar lelah dan dingin.
Kaelith tak pernah suka jika Nayara membantah. Tanpa sepatah kata, ia melangkah mendekat, lalu menyibak selimut yang menutupi tubuh gadis itu.
"Mau lihat oleh-oleh dariku, atau... kita bersenang-senang dulu di ranjang, hm, sayang?" bisiknya di dekat telinga Nayara, nada suaranya licin dan menggoda.
Nayara menghela napas pelan, jelas kesal, namun tak cukup berani untuk melawan. Ia tahu, menolak hanya akan memperpanjang permainan pria itu.
Dengan mata masih setengah tertutup karena kantuk, ia akhirnya bangkit dari tempat tidur dan berjalan melewati Kaelith yang hanya tersenyum puas, seperti baru saja memenangkan sesuatu.
Nayara duduk di depan meja makan, matanya menatap kosong pada deretan oleh-oleh khas Prancis yang tertata rapi di atas meja buah tangan dari perjalanan Kaelith saat menjalani training di salah satu kota di sana.
Tanpa berkata apa-apa, Kaelith mengambil sebotol air minum dari kulkas, menuangkannya ke dalam gelas, lalu menyerahkannya pada Nayara.
Begitu tangannya terulur, bibir pria itu kembali menempel di bibir Nayara. Singkat, namun cukup untuk menunjukkan bahwa ciuman itu telah menjadi candu baginya sekaligus pengingat bahwa Nayara masih miliknya, seutuhnya.
Nayara tak menanggapi ciuman itu. Ia hanya menerima gelas dari tangan Kaelith, lalu menyesap airnya perlahan berharap kesunyian pagi bisa meredam kekacauan yang selalu datang bersamaan dengan pria itu.
"Yang ini dari Lyon," ujar Kaelith santai, menunjuk sekotak kue kering di meja. "Yang itu..." ia mengangkat selembar syal sutra tipis berwarna merah anggur, "Kupilih sendiri untukmu. Katanya perempuan suka yang lembut dan mahal."
Nayara hanya melirik sekilas. Hatinya tak tertarik pada benda-benda mewah itu. Ia lebih sibuk menahan detak jantungnya yang selalu kacau setiap kali Kaelith terlalu dekat bukan karena cinta, tapi karena rasa terjebak yang tak pernah bisa ia lepaskan.
"Kau diam saja. Tak senang aku pulang?" tanya Kaelith, kini berdiri di belakangnya, kedua tangannya bertumpu di sandaran kursi Nayara, membungkus tubuh gadis itu dalam bayangan tubuhnya yang tinggi dan berkuasa.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan," jawab Nayara lirih, jujur namun tetap berhati-hati.
Kaelith terkekeh pelan, lalu menunduk, membisikkan kata-kata di telinganya dengan nada yang membuat bulu kuduk Nayara berdiri.
"Maka biar aku bantu kau merasakannya lagi."
"Aku menginginkanmu," bisik Kaelith, suaranya dalam dan mengunci.
Nayara menghela napas, kepalanya sedikit menunduk. "Aku sedang lelah, Kaelith. Semalam aku begadang mengurus tugas kuliah," ucapnya pelan, menolak tanpa berani menatap langsung ke arahnya.
Kaelith hanya terkekeh rendah, tawa yang terdengar lebih seperti ancaman daripada hiburan. Ia menunduk hingga wajahnya nyaris sejajar dengan Nayara.
"Memangnya kau siapa, bisa menolak aku, Nayara?" bisiknya dingin, matanya menatap tajam, menusuk seperti belati. "Apa kau lupa… aku siapa untukmu?"
Suasana mendadak membeku. Nafas Nayara tercekat. Jari-jarinya menggenggam gelas di tangannya lebih erat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai tak beraturan. Ia tahu, menolak Kaelith bukan perkara sederhana karena sejak dulu, pria itu tak pernah tahu cara menerima kata tidak.
Kaelith membalik tubuh Nayara dengan gerakan tegas, tanpa banyak kata. Sentuhan itu bukan lembut namun juga bukan sekadar paksaan. Ada sesuatu yang mengendap di dalam tatapannya: rindu, obsesi, dan kemarahan yang tak terucap.
"Aku sudah terlalu lama menahan diri," gumamnya, nyaris seperti keluhan yang berat.
Nayara menggigit bibirnya, tubuhnya kaku di tempat. Ia tahu benar ke mana arah semua ini, dan meski tubuhnya terbiasa dengan sentuhan pria itu, hatinya selalu dihantui perasaan yang sama ketakberdayaan yang dibungkus dalam hubungan yang tak pernah bisa ia kendalikan.
Di antara tarikan napas yang memburu, hanya satu hal yang tak berubah Kaelith selalu memperlakukannya seolah Nayara adalah miliknya. Dan Nayara... tak pernah benar-benar punya pilihan.
Peluh membasahi kulit keduanya, memenuhi udara dengan aroma kelelahan dan keintiman yang tak terucap. Napas Nayara terengah, tubuhnya sudah lemas dan tak lagi mampu melawan ritme yang dipaksakan padanya.
Namun Kaelith belum juga berhenti. Tatapannya masih menyala, seolah dahaga dalam dirinya belum benar-benar terpenuhi.
"Aku lelah, Kaelith…" ucap Nayara lirih, nyaris seperti sebuah bisikan penuh rintihan dan luka. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, tapi karena letih yang tak hanya datang dari fisik melainkan dari hati yang terus terjepit dalam ikatan tak seimbang.
Kaelith akhirnya mencapai puncaknya, tubuhnya menegang sesaat sebelum tenggelam dalam desahan panjang. Ia memeluk Nayara dari belakang, napasnya masih berat, namun bibirnya tetap sempat membisikkan sesuatu kalimat yang menyisakan luka samar di udara.
“Kau selalu jadi canduku…,” ucapnya lirih, kemudian mengecup rambut panjang Nayara, lembut namun sarat dengan kepemilikan yang tak sehat.
Nayara memejamkan mata. Kata-kata itu bukan pujian. Bukan pula ungkapan cinta. Lebih seperti belenggu yang tak terlihat mengikatnya, melemahkannya, menjadikannya bagian dari obsesi pria yang tak pernah benar-benar ia pahami.
Kaelith meninggalkan Nayara begitu saja di ruang tengah apartemen. Tanpa menoleh, pria itu melangkah masuk ke kamarnya sendiri meninggalkan keheningan yang terasa jauh lebih berat daripada keramaian mana pun.
Nayara terduduk lemas di sofa, tubuhnya masih gemetar oleh sisa kejadian tadi. Matanya menatap kosong ke arah pintu yang tertutup, seolah berharap semuanya hanyalah mimpi buruk yang bisa ia bangunkan.
"Aku membencimu, Kaelith…" bisiknya pelan, nyaris tak terdengar, tapi penuh dengan getir yang menyesakkan.
Lalu, senyap. Yang tersisa hanya suara napasnya sendiri dan rasa sesak di dadanya.
Ia menggigit bibir, menahan air mata yang nyaris tumpah. Entah pada Kaelith, atau pada dirinya sendiri. Ia merutuki betapa lemahnya ia betapa tak berdayanya ia menolak semua yang pria itu inginkan. Kaelith Arvendor Vemund. Nama yang telah mengikatnya sejak SMA. Lelaki yang tak hanya merenggut tubuhnya, tapi perlahan menggerus dirinya.
Dan ia masih di sini. Masih diam. Masih... menyerah.
Kaelith memberhentikan mobil hitam mewahnya di tepi lapangan kampus tempat Nayara kuliah. Tanpa membuang waktu, Nayara buru-buru membuka pintu, hendak melangkah keluar namun tangan rampingnya lebih dulu dicekal oleh Kaelith, yang duduk santai dengan kacamata hitam masih bertengger di wajahnya.
"Aku akan menjemputmu nanti. Jangan pulang duluan," ucapnya tegas, nada suaranya dingin tapi tak memberi ruang untuk bantahan. "Kau paham?"
Nayara menghela napas berat, mencoba menahan emosi yang mengaduk di dada. Lalu ia hanya bisa mengangguk pasrah.
"Good baby," gumam Kaelith, suara itu mengalir seperti pujian… tapi terasa seperti rantai.
Sebelum akhirnya melepaskan genggamannya, Kaelith menarik Nayara mendekat dan, seperti biasa, melumat bibir gadis itu tanpa izin, seperti itu hak mutlaknya.
"Kaelith, aku telat," ucap Nayara terburu-buru di sela napasnya.
Ciuman itu pun berhenti. Kaelith menarik diri dengan senyum tipis, puas. Sementara Nayara dengan cepat membenahi penampilannya merapikan rambut, menarik napas dalam, dan berusaha menenangkan wajahnya yang memerah.
Tanpa menoleh lagi, ia keluar dari mobil dan melangkah cepat meninggalkan pria yang ia benci… tapi tak juga bisa lepaskan.
Langkah Nayara menyusuri koridor kampus terasa tenang di luar, namun penuh beban di dalam. Ia menuju gedung Fakultas Ekonomi dengan ransel sederhana di punggung dan pikiran yang tak pernah sepenuhnya damai.
Kini ia berada di semester empat, masa yang tidak mudah, tapi ia jalani dengan tekun. Baginya, ilmu adalah satu-satunya harapan. Satu-satunya pegangan saat kelak Kaelith, seperti yang ia yakini, akan membuangnya begitu saja. Ketika saat itu tiba, Nayara ingin sudah cukup kuat untuk berdiri sendiri… meski mungkin dengan hati yang compang-camping.
“Nayara!” suara ceria menyapa dari arah belakang.
Nayara menoleh dan mendapati Caelisya Morwen teman satu angkatan yang selalu punya energi seperti matahari pagi.
“Hai, Cae,” sahut Nayara sambil tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan sisa luka yang masih belum sepenuhnya mengering.
"Kau sudah mengerjakan tugas Prof. Liora?" tanya Caelisya, menyamakan langkah di sisi Nayara.
"Sudah. Jangan bilang kau ingin menyontek?" sahut Nayara dengan nada datar namun mengandung godaan halus.
"Jelas. Itu niatku dari awal," jawab Caelisya sambil tertawa lepas, menepuk lengan Nayara ringan. "Kalau bukan temen sendiri, siapa lagi yang bisa diandalkan?"
Nayara tersenyum kecil, tulus namun singkat. Momen ringan seperti ini adalah satu-satunya celah dari hidupnya yang terus-menerus dipenuhi tekanan.
Sementara itu, di sudut lain kota, Kaelith sedang berada di pusat kebugaran klub Nexora FC. Tubuhnya dibasahi peluh, otot-ototnya mengencang setiap kali ia mengangkat barbel. Di sekelilingnya, tiga rekan setim sekaligus sahabat terdekatnya Rayneth Solvarr, Draven Caelis, dan Thalion Drevaris juga sedang sibuk berlatih kebugaran.
"Siap untuk pertandingan akhir pekan ini?" tanya Rayneth, sang penjaga gawang yang dikenal disiplin dan sulit ditaklukkan, bahkan di sesi latihan.
Kaelith meletakkan barbel dengan satu gerakan ringan, lalu terkekeh. "Aku selalu siap, bung. Pertandingan hanyalah panggung lain untuk menunjukkan siapa raja di lapangan."
"Hah, bagus. Karena sebagai striker utama, kau harus jadi top skor musim ini. Cetak gol sebanyak mungkin, atau aku yang ambil alih posisimu," gurau Thalion Drevaris dengan tawa yang nyaring.
Draven Caelis, yang sejak tadi lebih banyak diam, hanya mengangguk kecil sambil tersenyum, lalu ikut tertawa bersama yang lainnya.
Suasana pun mencair. Tawa mereka berpadu dengan derit alat gym dan alunan musik instrumental yang bergema di ruangan. Meski berbeda latar belakang, keempatnya memiliki satu kesamaan yaitu ambisi yang membara dan ikatan yang terbentuk dari medan latihan dan keringat bersama.
Sesuai perjanjian, Nayara berdiri di depan gerbang kampus, menunggu Kaelith. Matahari mulai condong ke barat, dan bayangan di sekitarnya makin memanjang namun sosok pria itu tak juga muncul.
Wajah Nayara sudah masam. Kesabarannya menipis.
"Di mana sih dia?" gumamnya kesal, matanya terus menyapu sekitar seolah berharap mobil hitam itu muncul kapan saja.
Ia menghela napas panjang, lalu merogoh tas, mengeluarkan ponsel, dan mencoba menghubungi Kaelith. Namun panggilannya hanya masuk tanpa jawaban. Tidak ada pesan, tidak ada balasan.
"Aku pulang saja duluan. Aku lelah menunggunya," gerutunya, jengkel dan kecewa.
Tanpa menoleh lagi ke belakang, Nayara pun berjalan menuju stasiun terdekat, memilih naik kereta seperti biasanya cara yang paling realistis untuk seseorang yang tak ingin terus merasa digantung.
"Persetan dengannya," batinnya, langkahnya semakin cepat, seolah ingin meninggalkan segalanya termasuk rasa yang terus menekannya diam-diam.
Kereta melaju pelan, menembus senja yang mulai menua. Di dalam gerbong yang setengah kosong, Nayara duduk diam di dekat jendela, menatap keluar tanpa benar-benar melihat. Bayangan pepohonan dan gedung-gedung yang berlalu seperti potongan ingatan yang terus menghantuinya.
Tanpa sadar, pikirannya kembali melayang menuju malam itu. Malam yang mengubah segalanya.
Saat ia masih menjadi siswi SMA yang bekerja diam-diam di sebuah klub malam demi menyambung hidup. Saat ia hanya ingin bertahan… sebelum Kaelith Arvendor Vemund muncul dalam hidupnya, seperti badai yang tak bisa dihindari.
Malam itu, ia hanya melayani meja seperti biasa. Tapi Kaelith dengan pesona dinginnya, tatapan menusuk, dan senyum setengah mengejek sudah mengincarnya sejak awal. Ia tidak menyangka bahwa dari semua pria di klub itu, justru teman seangkatannya sendiri yang akan menjebaknya. Yang diam-diam merekamnya, lalu mengirimkan video itu beberapa hari kemudian… tanpa sepatah pun penjelasan.
Sejak saat itu, hidup Nayara tak lagi menjadi miliknya.
Ia menjadi "milik" Kaelith. Dengan video itu sebagai senjata, dengan tatapan itu sebagai pengingat, dengan hubungan tanpa nama yang semakin hari semakin mencengkeram.
Nayara memejamkan mata, menahan sesak yang tiba-tiba datang.
Jika waktu bisa diulang…
Andai malam itu tak pernah terjadi…
Tapi semuanya sudah terlanjur. Dan kini, ia duduk di kereta menuju apartemen yang bahkan tak lagi terasa seperti rumah.
Sebelum naik ke unitnya, Nayara berhenti sejenak di lobi apartemen. Ia melangkah menuju deretan kotak surat dan menemukan satu amplop putih tanpa nama pengirim, terselip rapi di kotaknya. Alisnya sedikit mengernyit, namun tanpa banyak pikir, ia mengambilnya lalu memasukkannya ke dalam tas.
Langkahnya kemudian membawanya menuju lift, naik menuju lantai sepuluh lantai tempat ia tinggal, jauh dari siapapun, namun juga jauh dari rasa aman.
Setelah pintu apartemen terbuka, Nayara menyalakan lampu ruang utama. Sinar kekuningan menghangatkan ruangan kecil namun rapi itu. Ia menjatuhkan tasnya di atas sofa dengan gerakan lelah, lalu berjalan ke dapur kecil di sudut ruangan.
Ia membuka pintu lemari es, mengambil sebotol susu, dan meneguknya langsung tanpa gelas. Rutinitas kecil yang selalu ia lakukan seolah dengan cara itu, ia bisa sedikit menenangkan gemuruh dalam dirinya.
Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Amplop putih di dalam tasnya terasa seperti gangguan dalam keheningan. Dan Nayara tahu, hidupnya jarang sekali memberikan kejutan yang menyenangkan.
Rasa penasaran perlahan mengikis keengganannya. Nayara mengambil amplop putih dari dalam tas, menimbangnya sejenak di tangan, lalu merobek sisi atasnya dengan hati-hati.
Di dalamnya, selembar kertas terlipat rapi. Ia membukanya perlahan, dan segera mengenali tulisan tangan yang tak asing tulisan milik Bibi Elaria.
Pesan itu singkat, namun berat:
"Kakekmu telah tiada. Pemakamannya akan diadakan hari Jumat ini. Jika kau masih menganggap dirimu bagian dari keluarga, datanglah."
Tangan Nayara mengepal. Hatinya mendadak terasa sesak, tapi bukan karena duka melainkan karena luka lama yang kembali menganga.
Tanpa berpikir panjang, ia meremas surat itu dan melemparkannya ke tong sampah di sudut ruangan. Matanya menatap lurus ke arah jendela, kosong, dingin.
Ia tak pernah ingin tahu lagi tentang keluarga yang dulu membuangnya. Ia tak peduli pada kakek yang tak pernah membelanya. Tak peduli pada darah yang sama sekali tak pernah membuatnya merasa dimiliki.
“Aku bukan bagian dari mereka,” bisiknya lirih, seperti mantra yang sudah terlalu sering ia ulang dalam hati.
Dan malam itu, seperti malam-malam lainnya, Nayara kembali sendirian bukan karena tak ada yang bisa ditemui, tapi karena ia sendiri sudah memilih untuk memutuskan segalanya.
Nayara berdiri di balkon, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Pandangannya terpaku pada langit yang penuh bintang, mencari ketenangan yang sulit ia temukan di mana pun. Hingga suara pintu terbuka dengan kasar memecah keheningan.
Ia tidak menoleh. Tak perlu. Ia tahu siapa yang datang.
Langkah berat menghampirinya, penuh amarah yang sudah terbaca dari cara Kaelith membanting pintu.
"Kenapa kau pulang duluan, tanpa memberitahuku?" suara Kaelith terdengar tajam, marah, seperti biasa seolah dunia harus selalu berjalan sesuai keinginannya.
Pelan, Nayara berbalik menatapnya. Tatapannya tenang, namun lelah.
"Aku sudah menghubungimu puluhan kali," ucapnya datar. "Tapi kau tidak menjawab satu pun."
Hening sejenak menyelimuti mereka. Tapi tidak ada permintaan maaf dari Kaelith. Hanya tatapan tajam, seolah Nayara yang bersalah karena berani mengambil keputusan sendiri.
Kaelith maju mendekat dan mencengkeram lengan Nayara dengan kasar. Sorot matanya tajam, penuh kemarahan yang mendidih.
"Apa kau lupa siapa dirimu, Nayara? Lupa siapa aku?" desisnya dingin, nyaris seperti ancaman.
Nayara terdiam sejenak. Tapi kali ini, bukan karena takut. Melainkan karena amarah dalam dirinya akhirnya menumpuk terlalu lama.
Ia menepis tangan Kaelith dengan keras. "Berhenti mengendalikan hidupku!" serunya dengan suara bergetar. "Kau selalu menyalahkanku, padahal kaulah yang mengabaikanku, memperlakukan aku seperti milikmu dan bukan manusia!"
Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Tapi kali ini bukan karena lemah. Ia menangis karena berani melawan.
Tanpa menunggu reaksi Kaelith, Nayara berbalik dan masuk ke dalam kamar. Ia membanting pintu, lalu menguncinya dari dalam.
Di luar, suara tendangan Kaelith menghantam pintu keras-keras. "Nayara! Buka pintunya!" bentaknya geram.
Tapi Nayara hanya duduk bersandar pada pintu, tubuhnya gemetar. Tangisnya pecah, membasahi pipi, namun ada sesuatu yang berbeda untuk pertama kalinya, ia tak lari dari luka. Ia menahannya, memeluknya, dan mulai memikirkan jalan keluar.
Sudah berhari-hari sejak pertengkaran hebat itu, dan Kaelith belum juga muncul di apartemen. Tak ada pesan. Tak ada telepon. Hanya keheningan. Tapi bagi Nayara, itu bukanlah hal yang buruk.
Ia bisa tidur tanpa takut pintunya digedor tengah malam. Bisa bangun tanpa bibirnya direbut paksa. Bisa berpikir tanpa bayang-bayang pria itu.
Meski begitu, bayangan Kaelith tetap tertanam dalam pikirannya mengontrolnya bahkan saat tubuhnya tidak hadir.
Di depan cermin, Nayara berdiri mematut dirinya. Rambutnya dikepang dua, seperti yang selalu diminta Kaelith. “Terlihat manis dan jinak,” katanya dulu. Kacamata bening yang menurut Kaelith membuatnya tampak “lebih pintar dan patuh” bertengger rapi di batang hidungnya. Riasan tipis natural, tak lebih, tak kurang. Ia tahu batas yang diperbolehkan Kaelith membencinya jika tampil mencolok.
Tangannya sempat ragu mengambil lipstik nude ia bahkan menimbang apakah warna itu terlalu terang. Tapi akhirnya ia mengurungkan niat. Ia menarik napas, lalu mengangguk pada bayangannya di cermin. Wajah yang cantik, tenang... tapi tak sepenuhnya miliknya.
Hari ini ia akan pergi bersama Caelisya dan Nazerin. Mereka satu angkatan, meski berbeda fakultas. Nazerin yang ceria dari Fakultas Hukum, dan Caelisya yang hangat dari fakultas yang sama dengannya. Setidaknya, saat bersama mereka, Nayara bisa berpura-pura menjadi gadis biasa meski hanya sebentar.
Di balik senyumnya yang samar, Nayara tahu satu hal bahkan ketika Kaelith tidak hadir, jejaknya tetap melekat. Ia masih hidup dalam aturan yang dibuat pria itu.
Mereka bertiga berjalan menyusuri jalanan kota, membiarkan waktu mengalir begitu saja tanpa beban. Tawa Caelisya yang renyah, cerita-cerita konyol dari Nazerin, dan senyuman tipis Nayara menyatu dalam suasana yang jarang bisa ia nikmati. Ini adalah kebebasan kecil yang mahal.
Saat matahari mulai condong ke barat, Nazerin menghentikan langkah dan menunjuk ke sebuah kafe mungil di sudut jalan utama. Arsitekturnya khas Eropa lama, dengan papan kayu bertuliskan nama dalam bahasa Prancis dan aroma mentega hangat yang menggoda dari balik kaca.
"Aku mau ajak kalian ke sini!" serunya penuh semangat. "Aku akan memperkenalkan kalian pada makanan khas dari negara mama ku."
Nazerin, gadis berdarah campuran Spanyol–Prancis, selalu bangga dengan warisan budayanya. Ada binar di matanya saat bicara tentang masakan, seolah kenangan masa kecilnya ikut hadir bersama setiap aroma yang ia sebutkan.
Caelisya bersorak kecil, "Oui, chef!" menggoda sambil tertawa.
Nayara hanya tersenyum tipis, berusaha santai meski pikirannya sempat melirik ke ponselnya refleks, memeriksa apakah Kaelith sudah mengirim pesan.
Tidak ada.
Untuk saat ini, ia membiarkan dirinya duduk di sudut kafe itu. Menikmati udara luar. Menjadi gadis biasa yang hanya ingin makan croissant hangat bersama teman-teman.
Saat mereka sedang menikmati hidangan khas Prancis dan berbincang ringan tentang kuliah serta dosen killer yang membuat tugas tak ada habisnya, suara dari televisi besar di sudut kafe tiba-tiba membuyarkan tawa mereka.
Layar menampilkan siaran langsung pertandingan sepak bola. Klub Nexora FC klub tempat Kaelith bermain sedang bertanding melawan salah satu rival bebuyutannya.
"Ah, jadi hari ini match day," gumam Caelisya sambil menoleh ke layar.
Riuh mulai terdengar dari pengunjung kafe lain, terutama saat suara komentator meninggi, diiringi sorak-sorai ramai.
Dan di layar, tepat di menit akhir pertandingan, Kaelith Arvendor Vemund muncul. Dengan aksi cepat dan tendangan tajam, ia mencetak gol penentu kemenangan. Sorak-sorai makin menggema. Beberapa orang menyebut namanya. Ada yang bersiul bangga. Nama Kaelith kembali bergema seperti biasa, penuh kebanggaan dan pujian.
"Wah, gol terakhirnya gila sih. Nggak heran dia disebut anak emas Nexora," komentar seorang pengunjung di belakang mereka.
Nayara membeku sesaat. Tangan kirinya mengepal di pangkuan, tak terlihat dari luar. Di balik senyum tipis yang ia pertahankan, ada sesuatu yang menggeliat di dadanya. Bukan kekaguman. Bukan rasa cinta. Tapi perasaan terjebak... seperti bayangan yang tak bisa ia lepaskan.
Caelisya menoleh, menyadari perubahan ekspresi Nayara. “Kau baik-baik saja?”
Nayara cepat-cepat mengangguk, pura-pura fokus pada potongan éclair di piringnya. “Hanya sedikit pusing. Kurang tidur mungkin.”
Nazerin mengangkat alis, tapi tak bertanya lebih jauh.
Layar kembali menampilkan Kaelith, wajah tampannya, tatapan dinginnya, senyuman tipisnya yang angkuh saat melemparkan cium ke arah kamera.
Senyuman itu… adalah senyuman yang sama saat ia menyeret Nayara kembali ke dunia yang selalu ia kuasai.
Pukul sembilan malam, Nayara akhirnya tiba di apartemen. Sepanjang perjalanan pulang, ia berusaha membuang bayang-bayang wajah Kaelith yang muncul berulang kali di layar televisi tadi, usaha yang sia-sia.
Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu unitnya. Suara televisi langsung menyambutnya, mengalun lembut dari ruang tengah.
Jantung Nayara berdegup cepat.
Dan benar saja.
Di sana, duduk bersandar santai di sofa abu-abu kesayangan mereka, Kaelith Arvendor Vemund pria yang beberapa hari ini ia hindari mati-matian menatap layar televisi sambil memegang sekaleng bir dingin. Matanya tak berpaling dari pertandingan baseball yang sedang berlangsung, seolah kehadiran Nayara tak mengganggunya sama sekali.
Kaelith masih mengenakan kaus latihan Nexora FC yang melekat sempurna di tubuhnya, rambutnya masih basah seperti baru selesai mandi. Ia menatap layar datar dengan wajah santai, tenang… terlalu tenang.
Nayara berdiri di ambang pintu, tidak bergerak.
Kaelith menoleh, hanya sekilas, lalu kembali menonton.
“Senang jalan-jalan bersama temanmu, baby?” tanyanya dengan nada datar namun sarat makna, seolah mengetahui persis apa yang telah Nayara lakukan seharian ini.
Nayara menelan ludah. Ia ingin melawan. Ingin menjawab dengan tegas. Tapi tatapan dingin itu, nada suara familiar yang mengandung ancaman halus… membuatnya membeku.
Ia menggenggam tali tasnya erat-erat dan melangkah masuk tanpa berkata apa-apa.
“Jam sembilan malam,” ucap Kaelith lagi, kali ini lebih pelan namun tajam. “Kau tahu aku tidak suka menunggu.”
Nayara menahan napas, menunduk, dan melewati ruang tengah menuju kamarnya.
"Mandilah dulu," suara Kaelith terdengar lagi dari belakangnya. “Kau mencium bau luar. Aku tak suka.”
Tangannya yang menggenggam gagang pintu kamar sedikit gemetar, tapi ia tetap membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir gemuruh di dadanya.
Hari yang tadi terasa damai… kini kembali menjadi penjara.
Usai mandi, rambut Nayara masih basah ketika ia membuka pintu kamar. Udara dingin langsung menyergap kulitnya, namun yang benar-benar membuatnya gemetar bukan udara malam melainkan sosok yang kini tengah bersantai di atas ranjang.
Kaelith.
Pria itu sudah berbaring santai di sana, hanya mengenakan celana pendek hitam, menampilkan kedua lengannya yang penuh dengan tato tinta hitam yang meliuk indah namun mengintimidasi. Di balik punggungnya yang kokoh, Nayara tahu ada gambar tato besar yang menutupi seluruh permukaan sebuah mahakarya gelap yang sering membuatnya merasa seperti hidup bersama bayangan.
Salah satu tangannya menyanggah kepala, sedang tangan lain memainkan ponselnya sejenak sebelum ia menoleh, menyambut Nayara dengan senyum miring yang familiar senyum milik pria yang tahu ia selalu menang.
“Aku lelah, Kaelith. Aku hanya ingin tidur malam ini,” ucap Nayara pelan, berdiri di ambang pintu dengan tubuh dibalut handuk. Suaranya terdengar seperti bisikan putus asa.
Kaelith memutar tubuhnya menghadap Nayara sepenuhnya. Tatapannya menyapu gadis itu dari ujung kepala hingga kaki, seolah menilai barang miliknya sendiri. Lalu ia bangkit perlahan dari tempat tidur, melangkah mendekati Nayara tanpa tergesa, dengan aura mendominasi yang tak pernah benar-benar hilang dari dirinya.
Tato di lengannya tampak semakin jelas ketika ia menghentikan langkah tepat di depan Nayara. Satu tangannya menyentuh dagu gadis itu dengan lembut, sangat lembut… kontras dengan sikapnya yang mengandung kekuasaan mutlak.
“Kemenangan harus dirayakan,” gumamnya, menatap mata Nayara dalam-dalam. “Dan kau tahu, baby… aku ingin merayakannya denganmu. Sekarang.”
Nayara ingin menolak, ingin berkata tidak. Tapi ia tahu, di hadapan Kaelith Arvendor Vemund, kata itu tak berarti apa-apa.
Keesokan paginya, sinar matahari menyusup masuk lewat celah tirai, menyinari kamar yang porak-poranda. Bantal berserakan, selimut kusut, pakaian tak beraturan di lantai, dan televisi masih menyala dari semalam, memutar siaran ulang pertandingan yang sudah berakhir.
Nayara terbangun perlahan. Seluruh tubuhnya terasa berat dan nyeri. Ia hanya mampu mengerang pelan dan menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya. Kepalanya masih berdenyut, tidak hanya karena kelelahan fisik, tapi juga karena emosi yang terus terkubur.
Pintu kamar terbuka. Kaelith masuk dengan santai, membawa nampan sarapan. Ia hanya mengenakan celana pendek, sementara tubuh atletisnya yang penuh tato terlihat jelas. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruangan.
"Good morning, baby," ucap Kaelith, lalu mengecup bibir Nayara yang tampak membengkak. Gerakannya ringan, seolah malam sebelumnya tidak berarti apa-apa baginya.
Nayara tak menjawab. Ia hanya membuang muka dan merapatkan selimutnya. Dadanya sesak, bukan hanya karena lelah, tapi karena perlahan-lahan... ia mulai membenci dirinya sendiri atas semua yang ia biarkan terjadi.
Kaelith menarik tubuh Nayara perlahan, membenarkan posisi duduknya hingga kini gadis itu bersandar lemah di pangkuannya. Dada bidang pria itu menjadi tempat bersandarnya kepala Nayara yang berat karena kelelahan, bukan hanya fisik, tapi juga emosional.
Nayara tidak berkata apa pun. Matanya setengah tertutup, pikirannya kosong. Ia terlalu letih untuk membantah, terlalu mati rasa untuk menolak.
"Hari ini... adalah hari kita," ucap Kaelith pelan di dekat telinganya, jemarinya menggenggam remote televisi. "Kau tidak boleh kemana-mana."
Tanpa menunggu reaksi, ia mulai mengganti saluran. Awalnya hanya tayangan biasa, hingga tiba-tiba layar menampilkan sesuatu yang membuat tubuh Nayara menegang.
Detik itu juga, matanya melebar.
Tidak... jangan.
Namun sudah terlambat. Gambar-gambar dari masa lalu itu muncul, kabur namun cukup jelas untuk membakar kembali luka lama.
Itu adalah video. Video yang mengubah seluruh hidup Nayara. Video dari malam gelap yang tak pernah ia inginkan. Video yang menjadi alasan mengapa Kaelith bisa mengendalikan hidupnya sepenuhnya.
Nayara menepis remote di tangan Kaelith, tubuhnya mulai gemetar, matanya berair.
"Hentikan... tolong," bisiknya.
Kaelith hanya menoleh dengan tatapan datar. Tidak marah, tidak lembut hanya penuh kuasa.
"Jangan pernah lupa, Nayara," katanya dingin. "Kau milikku. Sejak malam itu."
Nayara memejamkan mata, menahan napas. Dalam hatinya, satu suara kecil mulai memberontak. Ia tahu... ia tak bisa seperti ini selamanya.
Nayara menatap Kaelith, matanya bergetar, dan suaranya nyaris patah.
"Sampai kapan kau akan memperlakukan aku seperti ini, Kaelith?" bisiknya, menahan air mata yang mulai menggenang.
Kaelith mengangkat tangannya, menangkup lembut wajah Nayara, tapi senyum di bibirnya tidak sehangat gerakannya.
"Selamanya, Nayara. Atau... mungkin sampai aku bosan." ucapnya sambil tertawa kecil, ringan seolah itu bukan ancaman, melainkan lelucon yang hanya ia pahami.
Air mata Nayara tak terbendung lagi. "Kau jahat..." isaknya.
Kaelith menyipitkan mata, lalu menyeka air mata Nayara dengan ibu jarinya sebelum menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
"Cup... cup... jangan menangis, sayang," bisiknya. "Jangan buang air matamu untuk hal seperti ini. Karena bahkan jika kau menangis sampai kering, tidak ada yang akan berubah."
Nayara hanya diam dalam dekapan yang terasa seperti jerat. Suara detak jantungnya menggema di telinganya sendiri, bukan karena cinta melainkan karena ketakutan dan rasa kehilangan atas dirinya yang dulu.
Seharian penuh, Kaelith enggan beranjak dari kamar Nayara. Gadis itu hanya bisa duduk termenung di ujung ranjang, sementara pria itu bersikap seolah kamar itu miliknya.
Nayara melirik ke arah pintu yang tertutup rapat. Ia mencoba membukanya diam-diam, tapi tak bergerak. Terkunci.
Ia menghela napas kesal. "Kau tidak ada kerjaan lain, selain mengurung diri di sini?" tanyanya tajam, menahan jengkel yang mendesak di dadanya.
Kaelith yang tengah bersandar santai di bantal hanya menoleh sekilas, lalu memasukkan camilan ke mulutnya. "Sayangnya tidak ada," jawabnya enteng, seolah tak mengerti bahwa keberadaannya adalah beban.
"Aku butuh ruang, Kaelith. Aku butuh napas."
Pria itu tersenyum samar tanpa menatapnya. "Kau bisa bernapas kok... asal tetap di dekatku."
Nayara merasa mual dengan jawabannya. Duniaku bukan milikku lagi, batinnya lirih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!