“Anggap saja ini… hadiah ulang tahun kita yang tertunda.”
Leo tersenyum dari balik kemudi. Jalanan berliku penuh batu kecil dan tanah merah membuat mobil sedikit berguncang, namun tangannya tetap mantap di setir. Tangan satunya bergerak pelan, menyentuh punggung tangan Keira—sentuhan yang terlalu lembut untuk ukuran lelaki sepertinya, terlalu rapih seperti adegan pasangan bahagia dalam film.
Padahal kenyataannya… jauh dari itu.
Keira memalingkan wajah, membiarkan pandangannya tersapu keluar jendela. Sawah terbentang luas, pepohonan liar berdiri tak beraturan, dan langit kelabu menggantung rendah seakan ikut menekan dadanya.
“Hadiah?” Keira mengulang datar, bibirnya nyaris tidak bergerak. “Biasanya hadiah itu bunga… atau liburan ke Bali. Bukan ke desa dengan tanah becek dan udara pengap seperti ini.”
Leo terkekeh pelan. Tawa itu ringan di telinga, namun di mata Keira—ada jarak dingin yang tak bisa dihapuskan.
“Kalau begitu justru bagus. Anggap saja ini pengalaman berharga buat kamu.”
Ia sempat meliriknya sekilas, lalu menambahkan dengan nada penuh rahasia, “Aku bahkan sudah menyiapkan kejutan untukmu.”
Kata itu—kejutan—membuat perut Keira mengeras. Ingatan-ingatan buruk berkelebat, mengingatkannya bahwa kejutan dari Leo jarang berarti sesuatu yang benar-benar ia harapkan.
Keira memilih diam. Matanya menatap jalan kosong di depan, namun pikirannya melayang-layang, terombang-ambing antara rasa ingin tahu dan dorongan kuat untuk memutar balik saat itu juga.
“Dengar, aku tahu… aku salah.”
Nada Leo menurun, lebih berat. Setiap kata keluar seperti beban yang ia pilih untuk ditunjukkan.
“Aku emosi waktu itu. Aku menyakiti kamu. Tapi aku janji, aku mau berubah. Ini… bentuk tanggung jawabku.”
Luka di pipi Keira memang telah memudar. Tapi rasa perih yang ia tanam? Masih berdiam di sana—terkubur di bawah lapisan kulit, seperti duri yang tak pernah bisa ia cabut tanpa berdarah lagi.
Berapa kali Leo mengucapkan permintaan maaf seperti ini?
Dan berapa kali Keira membalasnya dengan anggukan palsu—pura-pura kuat, pura-pura baik-baik saja—sementara hatinya memar di tempat yang tak terlihat?
Keira menarik napas panjang, berusaha menjaga suara hatinya tetap terkunci rapat.
“Kalau berubah itu gampang, Leo… mungkin kita nggak akan ada di jalan ini sekarang.”
Leo menoleh sekilas. Senyum tipis menghiasi bibirnya, namun di balik tatapan itu ada kilatan yang membuat Keira merapatkan kedua tangannya ke tubuh—dingin, nyaris tanpa rasa.
$$$$$
Penginapan itu berdiri di tengah lahan yang sunyi. Bangunan kayu besar itu tampak tua, tapi kokoh, seolah sudah menyaksikan ratusan musim lewat di depannya. Dindingnya dipeluk rapat oleh sulur tanaman rambat, sementara suara jangkrik menjadi musik latar yang mengisi udara malam.
Keira melangkah turun dari mobil, menatap bangunan itu lekat-lekat.
Tempat ini terasa seperti dunia yang terpisah—jauh dari sorotan lampu kota, jauh dari gedung pencakar langit, dan... jauh dari rasa aman yang selama ini ia kenal.
Leo menggandeng tangannya, hangat tapi mengekang. Ia menyalami resepsionis, bicara sebentar dengan nada ramah yang terasa dibuat-buat, lalu membawanya menuju kamar. Di tangannya hanya ada satu koper besar, dan di bibirnya tergantung senyum misterius yang membuat Keira ingin mundur beberapa langkah.
Di dalam kamar, Keira duduk di tepi ranjang. Matanya mengikuti Leo yang berdiri di depan koper, membuka resletingnya perlahan seperti sedang memamerkan rahasia.
Dari dalam, ia mengeluarkan sepotong gaun panjang yang masih terbungkus plastik mewah.
“Aku membelikan ini untukmu,” ucapnya, meletakkan gaun itu di atas ranjang. “Kamu bakal terlihat luar biasa malam ini.”
Keira menatapnya. Gaun merah marun, panjang, ketat, dengan belahan paha tinggi. Modelnya terlalu berani untuk seleranya—dan entah kenapa, terasa... salah.
Leo melangkah mendekat, pelan tapi pasti, seperti predator yang tahu mangsanya tidak akan kabur. Ia berdiri tepat di hadapan Keira, menunduk sedikit untuk menatapnya dari atas ke bawah, matanya seolah menilai setiap detail.
“Atau mungkin... kita akan bersenang-senang malam ini?” bisiknya, jemarinya menyibak helai rambut Keira yang tergerai di bahunya.
“Setelah makan malam selesai, kita anggap saja ini bulan madu kita yang tertunda. Gimana?”
Bulan madu. Kata itu berputar di kepala Keira.
Dua tahun menikah, tapi Leo belum pernah menyentuhnya lebih dari pelukan ringan atau ciuman singkat di kening. Katanya ingin membuat Keira nyaman dulu. Katanya mau sabar. Tapi semakin lama, semua itu terdengar seperti alasan yang disusun rapi.Setiap hari di dalam pernikahannya hanya ada bentakan, teriakan, tamparan, siksaan dan juga tangisan.
“Aku yakin kamu akan disukai malam ini,” lanjut Leo, tangannya memutar pinggang Keira dengan tekanan yang nyaris tak terasa, namun cukup untuk membuatnya tak bisa mundur. “Kalau dia suka... urusan bisnis bisa lebih cepat selesai.”
Keira menatapnya, matanya membeku. “Jadi kamu mau aku... menyenangkan dia?”
Leo tersenyum, mengecup kening Keira seperti itu hal yang paling wajar di dunia. “Tidak perlu berpikir sejauh itu ,sayang .Kamu hanya perlu menjadi Keira yang penurut,cantik ,sopan dan...fleksibel.”
“Fleksibel?” Keira mundur setapak, punggungnya hampir menyentuh dinding. “Jangan bilang ...kamu akan menjual ku leo untuk kelancaran bisnismu?.”
Leo terdiam sejenak. Rahangnya mengeras. Lalu ia tertawa kecil, tapi tawanya dingin. “Kau terlalu drama.”Di balik tawanya, pikiran Leo berjalan cepat.
Dua tahun pernikahan hanya diisi dengan tamparan, amarah, dan dinginnya ranjang membuatnya bosan. Keira—istri yang dijadikan jaminan hutang—tak lagi menantang, tak lagi menarik.
Bagi Leo, permainan ini sudah basi. Ia butuh sesuatu yang baru.
Kalau cuma jadi pajangan di rumah, apa gunanya? pikirnya.
Perusahaan sedang butuh suntikan dana besar. Mengapa tidak memanfaatkan “aset” yang pernah dibeli oleh orang tuanya sendiri?
Lagipula, sejak awal pernikahan ini hanyalah kesepakatan. Orang tua Keira sudah menjual anaknya lewat cincin, sama seperti mereka menjual tanah atau saham. Leo hanya melanjutkan permainan itu dengan cara yang lebih... efisien.
Leo menatap Keira lagi, kali ini tatapannya seperti menilai barang dagangan.
“Sayang, ini hanya makan malam bisnis. Tapi jika kamu bisa menyenangkan dia dan membuatnya terhibur.... kenapa tidak?.” ia mencondongkan tubuh, suaranya turun menjadi bisikan yang menusuk, “…kita bisa selamat. Aku, kamu… semuanya.”
Keira berdiri, suaranya datar namun bergetar di ujungnya. “Kamu tidak serius dengan kata-katamu bukan? .”Keira begitu gemetar.
Leo meraih tangan Keira, genggamannya begitu erat hingga jemari Keira terasa nyeri. Ada desakan, ada nada tak terbantahkan dalam suaranya.
“Aku sangat serius. Ganti bajumu sekarang. Tamu kita tidak suka menunggu lama.”
Suara itu dingin, datar, tapi penuh tekanan, membuat Keira menelan ludah. Ia menunduk, tak sanggup menatap mata Leo yang terasa seperti menancap ke wajahnya.
Keira melangkah menuju toilet, namun baru saja jemarinya menyentuh gagang pintu, Leo menahan gerakannya. Genggaman di lengannya kembali terasa, membuat Keira berhenti seolah tali tak kasat mata menjeratnya.
“Tunggu sebentar… ada yang perlu aku ambil,” ucap Leo pelan, tetapi tatapannya menyimpan sesuatu yang tak bisa Keira baca.
Leo masuk ke dalam toilet dengan langkah yang terukur. Cahaya lampu kuning pucat memantul di dinding, membentuk bayangan wajahnya yang tampak seperti menyimpan rahasia. Matanya bergerak mencari sudut, lalu berhenti pada satu titik.
Senyum tipis—lebih mirip garis licik—muncul di bibirnya.
Di sini. Sudut ini akan sempurna.
Tangannya bekerja cepat, meletakkan kamera kecil di balik benda yang tak akan mencurigakan siapa pun. Di kepalanya, rencana yang awalnya hanya sekadar ingin menjual Keira kini berkembang menjadi sesuatu yang lebih jahat.
“Aku bisa menjadikan video ini sebagai pancingan…” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, suaranya begitu pelan namun sarat kepuasan.
Begitu selesai, Leo keluar dari toilet. Tatapannya jatuh pada Keira—tatapan yang bukan hanya sekadar memandang, tapi menelanjangi, penuh perhitungan, penuh rencana yang Keira tak tahu.
Keira melangkah masuk tanpa curiga. Aroma sabun yang lembut menyambutnya, bertolak belakang dengan bahaya yang mengintai. Pintu menutup pelan di belakangnya, sementara di luar, Leo menyandarkan punggungnya ke dinding, tersenyum lepas—senyum seorang pria yang yakin rencananya akan berjalan mulus.
$$$$$$
Pukul delapan malam.
Keira berdiri di depan cermin. Gaun itu melekat sempurna di tubuhnya, mengikuti setiap lekuk seperti kulit kedua—dan membuatnya merasa telanjang.
Pintu kamar terbuka. Leo muncul dengan setelan gelap yang rapi, parfum khasnya memenuhi ruangan, aroma yang selalu ia pakai saat rapat penting.
Tatapannya menyapu Keira dari ujung kaki hingga kepala, perlahan, seolah sedang memeriksa barang sebelum dipamerkan.
“Bagus banget,” gumamnya. “Akhirnya kamu pake juga baju dari aku.”
Keira hanya menunduk. Matanya menghindar dari pantulan dirinya di cermin. Dalam hati, keinginan untuk melarikan diri membuncah—tapi langkah kakinya seperti terikat di lantai.
$$$$$
Meja makan disiapkan di teras penginapan. Lampu gantung temaram menggantung rendah, menciptakan lingkar cahaya keemasan yang bergoyang pelan diterpa angin malam. Seandainya bukan karena siapa yang duduk di sana, suasana itu mungkin akan terasa romantis.
Dua pria paruh baya menunggu. Satu bertubuh gemuk, perutnya menonjol di balik kemeja yang terlalu ketat, kacamata hitam menutupi matanya meski malam sudah jatuh. Satunya lagi kurus tinggi, jari-jarinya penuh cincin yang berkilat tiap kali ia mengangkat gelas.
“Ini dia istri cantik Leo,” pria gemuk itu berdiri, menyambut Keira. Tangannya yang besar meraih tangan Keira dan mencium punggungnya—hangat tapi licin, seperti daging mentah yang basah.
“Cantik sekali. Nggak heran saham kalian bisa naik, ya... modalnya begini.”
Leo tertawa, nada tawanya dibuat-buat, sementara Keira hanya tersenyum tipis. Senyum yang lebih mirip garis luka yang ditutup plester.
Sepanjang makan, pembicaraan mengalir tentang proyek, lahan, investor luar negeri, dan angka-angka yang terasa seperti bahasa asing bagi Keira. Ia hanya duduk diam, sesekali meneguk air, kadang ikut tersenyum saat semua tertawa, dan kadang melirik Leo—yang malam itu seakan menjual bukan hanya proyeknya, tapi juga sesuatu yang lebih pribadi.
Lalu kalimat itu meluncur, mengiris udara seperti pisau tumpul.
“Aku bisa bantu proyek itu,” kata si pria gemuk sambil menyeringai, matanya menatap Keira seperti barang lelang. “Tapi tentu saja, aku butuh alasan lebih dari sekadar angka dan kertas.”
Leo menyandarkan tubuh ke kursi, jari-jarinya mengetuk meja pelan, lalu menoleh ke arah Keira. Senyum kecil muncul—senyum dingin yang hanya menyentuh bibir, tidak matanya.
“Keira sangat ahli dalam... menghibur kekosongan, Om,” katanya ringan, seperti memuji masakan. “Dia bisa gaya apa aja. Lembut, liar, malu-malu—apa pun yang Om mau, dia bisa.”
Keira membeku. Matanya melebar, napasnya tercekat. “Leo...” suaranya nyaris tak terdengar.
Di bawah meja, genggaman tangan Leo mencekam tangannya erat—terlalu erat. Cengkeraman itu seperti belenggu yang memaku Keira di kursinya.
“Dia istri yang sangat... fleksibel,” lanjut Leo tanpa mengalihkan pandangan dari pria gemuk itu. “Saya bisa jamin malam ini bakal jadi malam yang Om tunggu-tunggu buat melepas hasrat terpendam. Setelah Om tanda tangan kontrak, kamar sudah saya siapin. Anggap aja bonus awal.”
“LEO! Kamu gila!” bisik Keira tajam, berusaha menarik tangannya, tapi genggamannya semakin kuat.
“Jangan bikin malu,” balas Leo dingin, nadanya seperti cambuk. “Ini demi semuanya.”
---
Tangannya masih gemetar saat Keira berjalan bersama pria itu menuju kamar yang sudah disiapkan Leo. Langkahnya berat, tapi pikirannya terasa kosong. Syok membuat tubuhnya seperti boneka yang ditarik tali.
Pintu kamar tertutup. Kunci diputar. Bunyi “klik” terdengar lebih keras dari detak jantungnya.
Pria itu melempar jasnya ke sofa dan duduk dengan posisi santai, kakinya disilangkan, jemari mengetuk-ngetuk sandaran kursi seolah menunggu sesuatu yang menyenangkan. “Ayo, Sayang… tuangkan minuman untuk Om.”
Suara itu membuat bulu kuduk Keira berdiri. Tenggorokannya tercekat, tapi ia tetap melangkah pelan ke meja. Botol anggur terasa berat di tangannya. Cairan merah tua mengalir ke gelas dengan suara pelan, namun jemarinya bergetar hebat hingga hampir menumpahkannya.
“Ayo duduk sini, deket Om…” Suaranya seperti rayapan dingin di telinga.
Keira menoleh ragu, lalu pelan-pelan menaruh botol di meja. Napasnya tersengal. Pria itu menatapnya lekat-lekat, seolah membongkar setiap lapisan kulitnya hanya dengan mata.
Pandangannya memandangi tubuh Keira sambil tersenyum samar, terbayang oleh video yang dikirimkan Leo kepadanya—video yang membuatnya setuju untuk menjalin bisnis dengan Leo.
“Tubuhmu memang begitu bagus… tidak sia-sia Leo merekam mu. Kau begitu sempurna,” ucapnya sambil memiringkan kepala, matanya menyapu Keira dari atas hingga bawah.
Keira terbelalak. Jari-jarinya otomatis meremas ujung bajunya, tubuhnya sedikit mundur. Apa maksud Om? Video apa…? batinnya berputar cepat.
“Tidak perlu begitu terkejut. Lagi pula kau juga akan melakukannya di sini,” ucapnya enteng, seolah itu bukan masalah besar.
Keira menggigit bibir bawahnya, wajahnya memucat. “Katakan dulu, Om… video apa?” suaranya pecah, tapi tetap berusaha tegas.
“Video kau sedang berganti pakaian. Tubuhmu begitu seksi…” suaranya berat, penuh penekanan, bibirnya melengkung tipis.
Keira begitu terkejut, ia tidak mampu mengatakan apapun, tubuhnya begitu gemetar namun ia berusaha untuk menyembunyikannya dan menahan air mata yang akan tumpah.
Pria tua tersebut menarik tangan keira untuk segera duduk di dekatnya.
Keira duduk, jarak mereka begitu dekat hingga napas pria itu terasa di kulitnya. Bau alkohol bercampur parfum murahan menusuk hidungnya.
Tiba-tiba, tangan kasar itu meraih pinggangnya, menariknya lebih dekat. Jemarinya merayap naik ke pundak Keira.
Keira menepisnya. “Jangan sentuh aku.”
Pria itu tertawa, suara tawanya berat dan kotor. “Masih malu? Tapi suamimu bilang kamu jago main peran...”
Tangannya turun, menelusuri lengan Keira, lalu meremas bagian dadanya.
Tubuh Keira membeku. Napasnya tercekat. Suaranya tertahan di tenggorokan.
BRAK!
Kancing gaun terlepas, bahunya terbuka paksa. Pria itu mendorongnya ke sofa. Keira menjerit, panik, meronta sekuat tenaga.
“LEPASKAN! JANGAN SENTUH AKU!”
Dia menindih, berat tubuhnya menghimpit. Air mata Keira pecah, jatuh membasahi pipi. Tangannya meraba-raba mencari sesuatu, apa pun, sementara kakinya menendang udara kosong.
Saat pria itu mulai membuka ikat pinggangnya, Keira melihat botol anggur di meja. Dengan sisa tenaga, ia meraihnya dan memukul kepala pria itu.
“ARRGH!”
Tubuh itu terhuyung dan terjatuh.
Keira bangkit, membuka jendela, dan tanpa pikir panjang—melompat.
Tubuhnya menghantam rerumputan. Lututnya perih, darah mengalir. Nafasnya tersengal. Tapi ia berlari, menembus pekat malam. Air mata tak lagi diam, tapi tumpah bersama isak keras yang memukul dada.
Ia sampai di jembatan. Kayu basah di bawah kakinya licin. Di bawah sana, air hitam berkilat seperti kaca pecah.
Tangannya menggenggam pembatas.
Air itu... dingin, tapi menjanjikan akhir dari segalanya.
“Keira... sampai kapan kamu mau begini?”
Suaranya datang dari arah lain. Keira menoleh.
Seorang gadis berdiri di ujung jembatan.
Wajahnya... wajah Keira sendiri.
Mereka saling menatap. Diam.
Gadis itu mulai berlari ke arahnya. Keira mundur—licin—dan jatuh. Gadis itu ikut melompat.
Air sungai memeluk mereka dingin, menelan semua suara, semua cahaya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Keira merasa... mungkin ia tidak sepenuhnya sendirian.
Ia menutup mata. Membiarkan air menyeretnya jauh, lebih dalam, menjauh dari dunia yang menyesakkan.
Tidak ada suara. Tidak ada cahaya. Hanya gelap.
Dan untuk sesaat—ia benar-benar berharap, segalanya berakhir di sana.
.
.
.
Bersambung
Keira Alisya Suryaatmaja🌼
Leonard Hadiwijaya🦁
BRAK!
Suara pintu rumah sakit terbanting, memantul di dinding putih dan membuat jantung Kayla melompat.
Kepalanya masih berat, denyut di pelipis makin tajam. Ia belum sepenuhnya sadar ketika seorang pria tinggi bersetelan mahal menerobos masuk, langkahnya cepat dan berat seperti badai. Jas hitamnya mengepak, matanya menyala—tatapan yang membuat udara di ruangan ikut mengeras.
“Kau pikir kau bisa kabur dariku, Keira?!”
Nama itu menusuk telinganya, tapi tidak membangkitkan satu pun kenangan. Bibirnya bergerak, hanya udara yang keluar.
Pria itu—Leo—berdiri di sisi ranjang, napas memburu. “Kau sadar berapa miliar yang kau lenyapkan?! Investor itu menuntut! Rencana besar hancur… gara-gara ulah gila mu!”
Tangannya menghantam meja—PRANG! Gelas air pecah di lantai, serpihan kaca memantulkan cahaya lampu. Kayla mengejang, jemarinya mencengkeram selimut hingga buku-bukunya memutih.
“A aku… siapa lo?” suaranya serak.
Leo terdiam sepersekian detik, lalu menjepit dagu Kayla dengan jari-jarinya. Sentuhannya dingin, genggamannya keras. “Berhenti drama. Pura-pura amnesia tidak akan menyelamatkanmu. Bahkan kalau kau mati melompat dari jembatan itu… aku tetap suamimu. Dunia ini atau neraka—aku akan menemukanmu.”
Nada suaranya tajam, tapi di sela ancaman itu ada getar halus—bukan sekadar amarah, tapi kehilangan kendali.
Kayla menelan ludah. Refleks, kedua tangannya mendorong dada pria itu.
Brak
Leo terdorong dua langkah, rahangnya mengeras, sorot matanya gelap.
Kayla mengangkat dagu, napasnya terengah. “Hello?! Gue aja nggak tahu gue siapa! Bangun-bangun, lo langsung masuk kayak penjahat sinetron—pecahin gelas, teriak-teriak, nyebut nama random! Lo cowok gila atau satpam ngamuk, sih?”
Leo menatapnya tajam, tapi kilatan ragu sempat melintas di matanya.
“Suami?” Kayla menekankan kata itu sambil menunjuk ke dada pria itu. “Masa suami datang bawa ancaman sama dendam bisnis, bukannya bunga atau cokelat? Ini rumah sakit, Bos. Bukan ruang rapat!”
Leo menarik napas dalam, menahan diri. “Keira ini tidak lucu,kau sudah keter—”ucapan Leo terpotong karna kayla .
“Keira lagi?! Serius nih, lo yakin nggak salah orang? Atau tiap marah lo asal cari cewek buat dimarahin terus ngaku-ngaku suami?”
Leo memijat pelipisnya, wajahnya memerah, matanya berkilat marah namun nyaris… terluka.
Pintu terbuka. Seorang dokter masuk bersama perawat.
“Maaf Pak, kami harus memeriksa kondisi pasien.”
“Aku suaminya!” suara Leo meninggi.
“Justru karena itu, mohon keluar sebentar. Kami khawatir emosinya terganggu,” ucap dokter tenang.
Tatapan Leo menancap pada Kayla, seolah berusaha menggores memorinya. Kayla membalas dengan senyum manis yang membuat darahnya makin mendidih. “Tuh kan, kata dokter gue nggak boleh stres. Lo datang malah bikin tambah stres.” Lalu, pada dokter, ia berbisik dramatis, “Tolong, dok, pria ini kayaknya butuh obat penenang.”
Leo mengepalkan tangan, menahan kata-kata, lalu berbalik dan melangkah keluar. Pintu menutup rapat, menyisakan dentum langkahnya yang berat di koridor.
Kayla menatap pintu itu beberapa detik sebelum menarik napas panjang.
Lalu menoleh pada dokter dengan tatapan bingung. “Sumpah, saya nggak ngerti barusan itu apa. Saya… bener-bener nggak ingat apa-apa. Saya siapa, dok?”
Dokter duduk di tepi ranjang, suaranya lembut. “Kamu mengalami trauma. Luka fisik dan tekanan emosi bisa menyebabkan amnesia sementara. Untuk saat ini, kamu aman di sini.”
Kayla menunduk. Jemarinya yang masih gemetar ia sembunyikan di bawah selimut. Tapi di balik kata-kata menenangkan itu, hatinya tetap berdegup tak karuan.
$$$$$$
Di sisi lain…
Suara daun jati yang jatuh di atap terdengar seperti ketukan jari yang sabar. Setiap tetes embun yang meluncur dari ujung genting bambu jatuh ke tanah dengan bunyi rintik pelan, berpadu dengan aroma kayu basah yang meresap ke udara. Sinar pagi yang pucat menerobos celah dinding bambu, memecah jadi garis-garis tipis yang menari di atas lantai tanah liat.
Kelopak mata Keira bergetar sebelum terbuka. Pandangannya pertama kali bertemu dengan langit-langit kayu yang tua dan sedikit retak, seakan menyimpan ribuan cerita. Di sudut ruangan, tirai putih tipis bergoyang pelan karena hembusan angin, membawa kabut tipis yang menyelinap dari jendela terbuka.
Tubuhnya terasa ringan… tapi jiwanya seperti masih tenggelam di dasar sungai.
Ia bangkit perlahan, merapatkan selimut tipis yang hangatnya mulai merembes pergi. Ujung kakinya menyentuh lantai bambu yang dingin, membuatnya sedikit bergidik. Udara desa merayap di kulitnya—hangat di dada, dingin di jemari—sapaan yang asing namun anehnya menenangkan.
Dari arah dapur, terdengar langkah kaki yang berat namun teratur.
Seorang pria tua muncul, bahunya sedikit bungkuk, rambutnya putih tipis seperti benang kapas yang rapuh. Keriput di wajahnya dalam, tapi matanya… menyimpan cahaya teduh yang menembus dinginnya pagi. Di tangannya, sebuah mangkuk bubur beruap; aroma beras yang dimasak lama bercampur gurih kaldu tulang memenuhi ruangan.
“Kayla… Alhamdulillah kamu bangun juga, Nak,” suaranya lirih, nyaris patah karena emosi yang ia tahan.
Keira menatapnya lama. Ada getar hangat yang ia rasakan dari cara pria itu mengucapkan nama itu—nama yang bukan miliknya. Namun di mata lelaki itu, Keira membaca sesuatu yang belum pernah ia dapat bahkan dari ayah kandungnya: kasih yang tidak meminta imbalan.
“Bapak siapa? Ini… rumah siapa?” suaranya terdengar seperti bisikan di tengah kabut.
“Rumah kita, Nduk,” jawabnya pelan, nyaris berbisik kembali. “Bapak yang nemuin kamu kemarin. Kamu hanyut di sungai. Waktu Bapak lihat kamu kebawa arus, Bapak langsung nyebur, bawa kamu pulang.”
Keira menunduk. Napasnya tercekat.
Air sungai itu dingin… menusuk tulang.
Gambaran semalam menyeruak begitu jelas—bukan sekadar ingatan, tapi seperti layar tipis yang terbuka di kepalanya. Arus menderu di telinganya, tubuhnya terombang-ambing bersama seorang gadis yang wajahnya… persis dirinya. Gadis yang melompat mengejarnya. Gadis yang juga memilki wajah yang sama dengannya.
Panik membelit dada. Ia menggenggam tangan gadis itu, mencoba melawan pusaran yang menarik mereka. Batu-batu tajam menampar sisi tubuh, perihnya seperti bara di bawah kulit.
Tiba-tiba, seberkas cahaya menusuk dari atas permukaan air. Lalu suara—berat, keras, dan penuh ancaman.
“Itu dia! Tangkap dia!”
Bukan suara penyelamat. Itu suara orang-orang Leo.
Naluri mengambil alih. Keira menahan napas, menggenggam tangan sang gadis erat-erat sebelum menepikannya ke arus yang lebih tenang. Tubuh gadis itu terhanyut ke tepian dangkal—selamat.
Tapi sebelum Keira sempat berenang menjauh, sesuatu dari bawah meraih kakinya—dahan patah, tajam, menahan kuat. Sebuah benturan keras di pelipisnya membuat dunia terbalik… lalu hitam pekat.
—
Suara lembut pria tua itu menariknya kembali ke cahaya.
“Namamu Kayla… anak Bapak,” katanya dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. “Kamu sempat hilang waktu pulang dari perkebunan. Bapak cari ke mana-mana. Mungkin ini takdir… kamu kembali.”
Jantung Keira berdegup tak beraturan. Di tengah luka dan sisa keinginan untuk menghilang, kini terhampar sebuah peluang: kehidupan baru.
Senyum tipis merayap di bibirnya—untuk pertama kalinya, senyum itu tidak terasa seperti topeng.
“Maaf, Pak… aku nggak ingat apa-apa,” suaranya pelan, nyaris tenggelam di udara pagi.
Pria itu terdiam sebentar. Lalu, dengan kelembutan yang nyaris asing bagi Keira, ia mengelus rambutnya.
“Gak apa-apa, Nduk. Yang penting kamu hidup. Ingatan bisa dicari nanti. Yang terpenting kamu selamat… itu yang utama. Di sini, kamu aman. Bapak nggak akan biarkan siapa pun nyakitin kamu lagi.”
Pelukan hangat itu menutup segala kegaduhan di kepalanya. Dalam dekapan itu, ketakutan yang menghantuinya semalam seakan larut dalam udara pagi.
Keira memejamkan mata. Jika berpura-pura menjadi orang lain adalah satu-satunya jalan keluar dari jeratan Leo, maka ia akan melakukannya… meski itu berarti merenggut sepenuhnya kehidupan Kayla.
.
.
.
Bersambung...
Kayla Alisya Mahendra🔥
Suara detik jam dinding menggema pelan di ruangan putih yang dingin.
Namun di kepala Kayla, setiap tik-tok terdengar seperti palu godam yang menghantam kesadarannya.
Ia duduk bersandar di ranjang, mengenakan seragam pasien warna mint pucat. Selimut tipis membalut tubuh yang terasa… asing. Seperti ia sedang meminjam tubuh orang lain.
Dua hari sudah sejak ia ditemukan di sungai.
Dua hari tanpa jawaban.
Dua hari di mana satu nama terus menempel di telinganya seperti perekat:
Keira.
__
Pintu terbuka. Seorang perawat masuk, langkahnya cepat tapi hati-hati, membawa nampan berisi bubur hangat dan segelas air putih.
“Keira, makan dulu, ya. Badanmu masih lemah.”
Kayla menatap perawat itu lama—lama sekali—hingga perawat itu tampak ingin mundur. Ia lalu menurunkan pandangan ke bubur, menghela napas yang lebih terdengar seperti desahan bosan.
“Kenapa semua orang manggil gue Keira?”
Perawat terdiam, matanya melirik ke arah pintu seolah mencari izin dari seseorang yang tidak ada di ruangan.
“Karena… memang itu nama Nona. Itu kata suami Nona juga.”
“Suami?” Alis Kayla terangkat. “Leo?”
“Iya… beliau bilang kamu sempat kecelakaan. Tapi sekarang sudah aman.”
Kayla mengernyit, lalu mengaduk bubur itu pelan dengan sendok, tapi tidak berniat memakannya.
“Kalau gue istri dia… kenapa gue nggak punya satu pun memori manis tentang dia?”
Tangannya meletakkan sendok lagi. Pandangannya kosong sebentar, lalu kembali tajam.
“Dia nggak pernah nyentuh gue dengan lembut. Nggak pernah ngobrol kayak pasangan normal. Bahkan matanya… lebih mirip penagih utang daripada suami.”
Matanya beralih ke bubur itu.
“Dan… gue benci bubur. gue juga benci dia.”
__
Suara berat terdengar dari arah pintu.
“Dan itu membuktikan kalau kau itu Keira.”
Suster tersentak, lalu buru-buru menunduk dan keluar.
Leo masuk. Langkahnya besar-besar, jas hitamnya rapi, tapi sorot matanya… seperti bensin yang siap disiram api.
Kayla mendongak perlahan, memiringkan kepala sedikit seperti sedang menilai seekor hewan buas di kebun binatang.
“Yang mana yang jadi bukti? Gue benci bubur, atau gue benci lo?”
Leo mendekat, wajahnya makin tajam.
“Keduanya. Kau selalu membuatku marah dari dulu. Tapi kau juga tahu… kau tidak akan pernah bisa kabur dariku.”
Kayla duduk bersila di atas ranjang. Senyumnya tipis, nadanya santai seperti pelawak yang sedang menghangatkan penonton.
“Oke, gue ini istri lo, katanya. Terus… kerjaan gue apa? Punya temen nggak? Hobi gue apa? Kenapa gue bisa nikah sama… lo? Gila aja rasanya. Apa dulu gue korban hipnotis massal?”
Leo mengepalkan tangan.
“Keira…”
“Stop panggil gue Keira! Gue nggak kenal nama itu! Dan gue nggak inget pernah mencintai pria kayak lo!”
Leo menarik napas panjang, tapi nada suaranya malah turun—lebih berbahaya daripada teriakan.
“Kita menikah bukan karena cinta.
Kayla mengerutkan dahi, tapi diam.
“Ayahmu—ayah Keira—punya perusahaan besar. Tapi di ambang kehancuran. Dia punya utang hampir 80 miliar ke perusahaan investasiku. Kalau dia bangkrut, ribuan pegawai kehilangan kerja. Termasuk keluargamu.”
Kayla menyilangkan tangan di dada.
“Terus?”
“Sebagai jaminan… dia menyerahkan kau.”
Warna di wajah Kayla perlahan memudar.
Leo tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip luka.
“Ya. Kau adalah… pelunasan. Perjanjian sah. Aku selamatkan perusahaannya, kau jadi istriku.”
Kayla tertawa sekali, pendek, pahit.
“Gila.”
Leo mencondongkan badan, napasnya terasa panas.
“Dan sekarang kau pura-pura lupa, padahal semua ini masih belum lunas.”
“LUNAS?!” Kayla berdiri di ranjang, suaranya memantul di dinding. “Lo pikir manusia bisa jadi alat bayar?! Gue bukan barang! Gue bukan cicilan yang bisa lo tagih tiap bulan—apalagi lo sentuh tanpa izin!”
Leo mencengkeram bahunya, jemarinya menekan seperti penjepit besi.
“Kau pikir kau bisa lari?! Kau masih utang padaku! Dan sebelum utang itu lunas, kau akan tunduk dan melakukan semua perintahku!”
Kayla menepis tangannya, cepat dan keras.
“Jangan sentuh gue! Sebelum gue meludahi muka lo!”
Ia memutar mata dramatis, lalu menembakkan kata-kata seperti peluru:
“Dan harusnya lo kasih tahu semua orang. Atau perlu gue yang bikin poster besar bertuliskan: ‘KEIRA, ISTRI LEO, CEO KAYA RAYA YANG DIBELI SEPERTI BARANG UNTUK JAMINAN PELUNASAN HUTANG!’ Biar semua tahu lo pria macam apa.”
Leo menggertakkan gigi.
“Kau makin kurang ajar.”
Tangan Leo melayang—plak!—pipi Kayla langsung memerah.
Kayla memegang pipinya, matanya membara.
“Gue lebih milih kurang ajar… daripada jadi boneka cantik tanpa suara.”
Pintu terbuka lebar. Suster dan dokter masuk, wajah mereka panik.
“Pak Leo, tolong keluar dulu. Kondisi pasien tidak stabil.”
“Bukan aku yang tidak stabil! Dia yang gila!” Kayla membalas cepat, suaranya tinggi.
Leo hanya mendengus.
“Kau beruntung… karena kondisimu.”
Ia menatapnya sekali lagi—tatapan yang tajam tapi penuh tanda tanya—lalu keluar sambil menghela napas berat.
Kayla memejamkan mata, menarik napas panjang. Pikirannya berputar cepat, mencoba menyusun potongan-potongan hidup yang terasa seperti milik orang lain.
Dan yang paling menakutkan dari semua itu—
Mungkin… potongan-potongan itu memang milik orang lain.
$$$$$
Keira—atau Keyla, entahlah—berdiri di tengah barisan kangkung yang basah oleh embun pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi udara sudah penuh dengan aroma tanah, dedaunan, dan… sesuatu yang jauh lebih tajam.
Ia menatap sekarung kecil pupuk organik di depannya seolah itu adalah kado kutukan dari semesta. Karungnya terbuka, menebarkan bau yang membuat perutnya berontak.
Refleks, Keira menarik kerah bajunya untuk menutup hidung, lalu bergeser mundur seperti anak kecil yang ketahuan mencuri kue.
“Mas Aldi…” suaranya lirih, nyaris seperti pengaduan murid TK ke gurunya, “ini tuh… tai… asli?”
Aldi yang sedang membungkuk memeriksa kangkung, mendongak sambil menahan tawa.
“Pupuk kandang. Tapi tenang, udah difermentasi. Aman buat tanaman, nggak bahaya.”
Keira tetap bergeming, matanya menyipit penuh curiga pada karung itu.
“Aku kayaknya… alergi. Bukan fisik, tapi mental.”
“Ya ampun…” Aldi menyipitkan mata, senyumnya terbit seperti sedang menonton komedi gratis.
Dengan gerakan super hati-hati, Keira mengambil secuil pupuk itu pakai dua jari—jarak tubuhnya dengan karung seperti orang mengambil bom aktif. Alisnya terangkat tinggi, bibirnya bergetar dramatis.
“Ih…” desisnya panjang dan nyaris seperti erangan sakaratul maut. Ia buru-buru menjentikkan pupuk itu ke tanah sambil menahan napas dalam-dalam.
Baru satu langkah ia mau kabur dari TKP, seekor cacing melintir pelan di tanah, menghalangi jalannya seperti penjaga gerbang neraka.
“HAAAAA!!”
Jeritan Keira memecah udara seperti alarm kebakaran. Ia meloncat kecil—setengah salto yang gagal total—sampai sandal jepitnya copot satu.
“ULAR! Mas, ada ular!” teriaknya histeris sambil langsung menubruk dan memeluk Aldi dari samping.
Aldi refleks ikut panik, matanya mencari arah yang dimaksud. Tapi begitu melihat “ular” itu, ia membeku setengah detik, lalu tawa meledak dari mulutnya.
“Keyla! Itu cuma cacing. Cacing! Kamu drama banget!”
Keira menatap tanah dengan wajah seperti habis melihat penampakan hantu.
“Mereka kayak… geng, Mas! Satu muncul, yang lain pasti ngumpul. Ini cacing mafia. Kalau mereka mulai rapat umum, aku tamat!”
Aldi jongkok, memungut cacing itu dengan santai, lalu melemparkannya ke semak di pinggir kebun.
“Kayla dulu malah main lumpur, nangkep cacing buat mancing, terus ngusir anak-anak kampung pakai ember berisi air. Sekarang lihat cacing aja histeris.”
Keira menarik napas panjang, menatap lututnya yang kotor, lalu entah dari mana mengeluarkan tisu. Gerakannya rapi, tapi matanya masih sesekali melirik tanah.
“Ya mungkin… otakku reset. Sekarang aku versi anti-cacing. Limited edition.”
Aldi berdiri, menatapnya dari atas sambil menyipit.
“Dan satu lagi. Dulu kamu manggil aku ‘Dodot’ karena katanya aku suka becek. Sekarang tiba-tiba ‘Mas Aldi’? Kamu abis daftar pelatihan etika, apa gimana?”
Keira langsung nyengir, lalu buru-buru menunduk dan pura-pura sibuk membetulkan lipatan karung pupuk.
“Adaptasi itu penting, Mas,” gumamnya pelan. “Kalau aku beda dikit… mungkin itu karena aku lagi belajar jadi versi lebih… kalem.”
Aldi menatapnya agak lama.
“Tapi jangan sampai jadi orang lain juga, ya."
Nada ucapannya ringan, tapi ada ujung tajam yang menyusup di balik canda. Sejenak, Keira merasakan hawa pagi yang tadinya segar jadi terasa… berat.
Matanya menatap tanah, tapi pikirannya melayang jauh—seakan kalimat Aldi tadi bukan sekadar teguran, tapi peringatan.
.
.
.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!