NovelToon NovelToon

Tergoda Pesona Istri Pengganti

Hamil Anak Laki-laki Lain

"Ibuk," panggil Linda. "Mas Rizki nakal, Buk," serunya.

"Ish mulut kamu gede banget sih. Dasar tukang ngadu," cibir sang kakak.

"Makanya jangan asal ngacak rambut orang kalau nggak mau itu telinga budek," ujar Linda, kesal.

"Ini kenapa lagi? Berantem? Inget, kalian itu udah pada dewasa. Masih aja berantem kayak anak kecil. Malu diliatin tetangga," oceh sang ibu yang baru saja keluar dari dalam rumah.

"Maafin mas Rizki ya, Dek. Dia emang suka nyebelin," sahut seorang wanita yang tampak berdiri di samping ibu mertuanya. Dia kakak ipar Linda yang tengah hamil tua, Ratna.

"Untung Mbak Ratna baik. Kalau nggak udah aku botakin rambut kamu, Mas," ujar Linda, yang kemudian melangkah pergi menuju mobil kakaknya. Linda masuk ke dalam mobil tersebut.

Sang Ibu, Lasmi, menggelengkan kepalanya heran melihat dua kakak beradik yang tampak tak akur itu, padahal keduanya saling menyayangi satu sama lain.

"Ya udah, ayo, Buk, Mas. Buruan, takutnya nanti kita keduluan sama rombongan besan. Enggak enak juga nanti kalau Bude Lastri tahu kita datengnya telat," kata Ratna, memecah suasana hening.

Setelah itu, mereka masuk ke dalam mobil, dan mulai berangkat menuju rumah Bude Lastri, kakak kembar Bu Lasmi.

* * *

"Lin, habis acara nikahannya si Rere, kamu beneran mau langsung balik ke Jakarta?" tanya Rizki seraya fokus menatap jalanan yang tampak lenggang.

"Iya," jawab Linda singkat. "Mas anterin, ya? Cuma sampai bandara aja kok," lanjutnya.

"Kok cepet banget tho, nduk? Apa kamu nggak rindu sama Ibuk, Masmu, juga Mbakmu Ratna?" kata Bu Lasmi.

"Ya rindu, Buk. Tapi masalahnya besok itu di perusahaan ada acara pelantikan beberapa orang yang naik jabatan. Dan aku salah satunya," terang Linda.

"Seneng banget ya kamu, Lin, akhirnya bisa jadi manajer," sahut sang Kakak.

"Baru juga jadi manajer, belum direktur" jawab Linda.

"Bersyukur, Nduk. Alhamdulillah, itu udah rezeki lho," nasihat Bu Lasmi.

"Dengerin tuh kata Ibuk. Bersyukur. Kamu itu udah jadi manajer, masih aja ngeluh minta jadi direktur," ujar Rizki.

"Bukannya ngeluh, Mas. Tapi keinginan," kata Linda, menanggapi.

Bu Lasmi hanya geleng-geleng kepala melihat putri bungsunya itu masih saja memiliki sifat ambisius, persis seperti dirinya dulu.

"Tapi, Lin. Nanti kalau kamu udah nikah, kamu nggak akan bisa punya keinginan seperti itu," sahut Ratna.

"Makanya itu, Mbak. Aku belum ada kepikiran mau nikah," jawab Linda.

"Ibu aja sampai waleh nyuruh dia nikah, Rat," sahut Bu Lasmi.

"Inget umur, Dek. Lima tahun lagi kepala tiga lho," kata Rizki.

"Iya, iya. Nanti kalau jodohnya udah dateng ya pasti aku nikah kok. Kalian pokoknya tenang aja," urai Linda.

"Eh, udah sampai ini," sela Ratna ketika ia melihat beberapa janur tampak melengkung di sisi kanan dan kiri jalan.

"Mas, aku turun di sini aja," kata Linda.

"Parkiran masih di depan. Turun di parkiran ajalah," suruh Rizki.

"Ish, Mas, Mas. Itu ada Mas Zaka, aku mau nemuin dia," keluh Linda sembari menunjuk-nunjuk ke arah seorang pria yang sedang asyik mengobrol dengan tamu undangan lainnya.

"Ya uwes turunin aja dia di sini, Ki. Biarin aja dia mau PDKT sama si Zaka. Siapa tau abis ini rumah kita yang bakal ada janur kuningnya," kata Bu Lasmi.

"PDKT apanya tho, Buk. Masa PDKT dari zaman SMA nggak rampung-rampung," sindir Rizki.

"Iri banget sih kamu tuh, Mas," sahut Linda.

"Bukan iri tapi geli. Makanya suka sama orang itu yang langsung das des, kayak Masmu ini yang pas suka sama orang langsung dinikahin. Ya nggak, Yang?"

"Dih, nyebelin."

"Ya udah buruan turun, itu mobil di belakang udah nungguin dari tadi," suruh Rizki setelah memberhentikan mobilnya.

"Iya, iya. Ini juga mau turun kok," balas Linda, yang kemudian membuka pintu mobil dan turun dari dalam mobil kakaknya.

Setelah turun, Linda menutup kembali pintu mobilnya. Perempuan itu berdiri di sana beberapa saat sampai mobil berwarna hitam di belakang mobil kakaknya melaju pelan melewatinya.

***

"Linda mana?" tanya Bude Lastri saat Bu Lasmi, Rizki, dan juga Ratna melangkah masuk ke dalam ruang tamu yang telah disulap menjadi tempat sakral, tempat yang nantinya akan menjadi saksi bisu dilangsungkannya akad nikah antara Rere dan sang calon suami.

"Bentar lagi keliatan kok orangnya, Bude," jawab Rizki.

"Lagi sama si Zaka di luar," timpal Bu Lasmi.

"Oalah. Ya udah, duduk dulu," kata Bude Lastri. "Ratna ayo kamu duduk, jangan banyak berdiri, lagi hamil gede 'gitu," lanjutnya sembari membantu Ratna yang tampak kesulitan untuk duduk di lantai yang telah dialasi karpet tebal.

"Makasih, Bude," ucap Ratna.

Bude Lastri tersenyum menanggapi.

Tak lama kemudian, terlihat rombongan laki-laki dipersilakan masuk ke dalam ruang tamu yang terlihat luas itu.

Bude Lastri pun sebagai sang calon mertua melangkah menuju posisinya, duduk di samping suaminya, Om Tristan.

"Buk," panggil Linda, pelan, saat ia baru saja masuk mengikuti rombongan pria.

"Kamu dari mana aja tho, Nduk? Lama banget ngobrol sama si Zaka. Ayo duduk sini," suruh sang Ibu.

Linda tak menjawab. Perempuan itu lekas duduk di samping ibunya. Dia duduk di tengah-tengah antara ibunya dan Ratna.

Beberapa saat kemudian, si mempelai laki-laki terlihat duduk di posisinya. Om Tristan selaku ayah Rere pun juga mulai menempati posisinya yang kini berpindah duduk di samping penghulu yang akan mengarahkan ijab qabul.

"Calon mempelai pria sudah siap?" tanya si penghulu melalui mikrofon.

Pria yang tampak mengenakan tuxedo berwarna putih dengan peci senada itu tampak menganggukkan kepalanya.

"Baik, silakan tangan calon mempelai pria dan wali mempelai wanita ...."

"Tunggu," seru seorang wanita yang terlihat cantik jelita dengan gaun pengantinnya yang serba putih.

"Mami, Papi," ucap Rere, air matanya mulai mengalir perlahan. "Rere nggak bisa nikah sama dia. Rere hamil anak Zaka," terangnya.

Penuturan wanita itu sontak membuat banyak pasang mata terbeliak kaget. Terutama Linda yang tampak paling syok di antara semua orang. Siapa yang menyangka kalau pria yang sejak SMA ia sukai, idamkan dan ia harapkan, ternyata telah menaburkan benihnya pada perempuan lain, dan mirisnya perempuan itu adalah sepupunya sendiri, Restiana Putri, Rere.

Mendadak Sah (Terpaksa Menjadi Istri Pengganti)

“Re .. kamu ngomong apa tho, Nduk?” tanya Bude Lastri, raut wajahnya sudah terlihat cemas.

“Aku cinta sama Mas Zaka, Mi,” ujar Rere.

“Kamu cinta sama Zaka tapi bukan berarti kamu harus bohongi kita kalau kamu hamil anak dia ‘kan, Re?” sahut Rizki, sebagai seorang kakak sepupu satu-satunya.

“Siapa yang bohong? Aku beneran hamil, ini buktinya,” jawab Rere sembari menunjukkan alat tespack ke semua orang. “Dan kalau kalian semua nggak percaya sama perkataanku, kalian bisa tanya langsung sama Mas Zaka atau Mbak Nara. Mbak Nara sebagai dokter kandungan, dia sudah periksa kehamilanku,” tandasnya.

Kini semua pasang mata berpindah pandang pada sosok wanita yang tampak elegan dengan kebaya berwarna pastelnya. Wanita itu mengulas senyum canggung, ia kemudian terlihat menghela napas pelan. Lalu berdiri dari duduknya untuk memberikan klarifikasi tentang kehamilan Rere.

“Tante Lastri, Om Tristan, saya sebagai kakaknya Zaka meminta maaf karena harus mengatakan hal ini di hari yang seharusnya membuat keluarga ini bahagia. Saya sendiri sangat kecewa dengan apa yang sudah diperbuat oleh adik laki-laki saya satu-satunya,” ucap Nara, menundukkan kepalanya, ia merasa malu. “Apa yang Rere katakan benar. Dua hari yang lalu, dia dan Zaka datang ke klinik saya, dan Rere memang benar sedang hamil,” jujurnya.

Embusan napas berat pun secara bersamaan terdengar dari para tamu undangan. Banyak dari mereka yang terlihat mengelus dada, tak menyangka dengan fakta yang mengejutkan ini.

“Terus ini pernikahannya ‘gimana, Tristan?” tanya seorang pria paruh baya yang terlihat penuh wibawa.

“Alan, kamu tenang dulu, ya. Aku yakin pasti ada kesalahpahaman di sini,” ujar Om Tristan, yang mulai panik dengan situasi saat ini.

“Kesalahpahaman bagaimana? Sudah jelas sekali kalau anak perempuan kamu itu hamil dari benih laki-laki lain. Bahkan sudah diklarifikasi sama dokternya langsung,” sahut Bunda Ratna, ibu dari mempelai pria, sekaligus istri dari Om Alan, yang merupakan sahabat karib Om Tristan.

“Kalian berdua tenang dulu, ya. Kita selesaikan baik-baik masalah ini,” ujar Bude Lastri, berusaha menenangkan.

“Maaf, Mbak Lastri. Tapi, saya tidak bisa menerima kalau calon istri anak saya sudah tidak perawan lagi, dan bahkan hamil anak laki-laki lain,” cakap Bunda Ratna.

Bude Lastri tampak syok mendapatkan tamparan keras dari kata-kata calon besannya itu. Ia bahkan sampai terlihat hampir ambruk kalau saja Bu Lasmi sebagai adiknya tidak segera menyangga tubuh kakak kembarnya itu.

“Begini saja,” ucap Om Tristan, pria paruh baya itu terlihat menghela napasnya sesaat, sebelum kemudian ia kembali berkata, “kita batalkan saja pernikahan ini,” putusnya, yang sebenarnya sangat berat mengambil keputusan tersebut.

“Enggak bisa, Tan,” kata Om Alan, sebagai ayah dari si calon mempelai pria. “Kamu tahu ‘kan kalau pernikahan ini sudah diketahui oleh seluruh keluarga besar kami dan bahkan relasi bisnis perusahaan kami? Jadi, aku dan istriku nggak akan setuju kalau pernikahan ini batal, karena itu akan sangat berpengaruh pada reputasi dan masa depan putra kami,” timpalnya.

“Tapi kamu denger sendiri ‘kan, Lan? Istri kamu bilang dia nggak mau anaknya nikah sama anakku yang udah bukan gadis lagi dan bahkan hamil anak laki-laki lain,” balas Om Tristan.

“Kita ganti saja calon mempelai wanitanya,” sahut Bunda Ratna.

“Bunda,” panggilan yang terkesan tegas itu seketika meluncur dari bibir seorang pria yang sejak tadi hanya diam menyimak.

“Ini semua demi kebaikan kamu, Dam,” ujar sang ibu.

Adam, pria itu terlihat menghela napas beratnya. Ia tahu bahwa dirinya tak dapat menolak kehendak ibunya. Adam pun akhirnya kembali bungkam dan pasrah dengan semua permainan para orang tua.

“Lasmi,” lirih Bude Lastri.

“Iya, Mbak? Mbak Lastri butuh sesuatu?” tanya Bu Lasmi.

“Linda belum punya calon, ‘kan?” tanyanya.

“Mbak ....” Bu Lasmi terlihat kaget, ia seolah tahu dengan maksud saudarinya itu.

“Oh, iya, bener, Linda. Linda mana?” Om Tristan yang juga paham dengan perkataan istrinya pun langsung mencari sosok Linda.

“Linda masih belum mau nikah, Mas Tris,” ujar Bu Lasmi.

“Lasmi, kami minta tolong sama kamu. Tolong izinkan Linda membantu kami. Aku mohon sama kamu, tolong kami, Las,” pinta Bude Lastri, yang sudah terlihat putus asa.

“Kenapa harus Linda, Mbak?” lirih Bu Lasmi, ingin sekali menangis di hadapan semua orang.

“Karena dia satu-satunya perempuan di keluarga kita yang masih gadis, Lasmi,” jawab Bude Lastri, sedih. “Kamu tahu ‘kan, Mbak cuma punya kamu. Kamu satu-satunya saudara Mbak,” lanjutnya.

Bu Lasmi mengembuskan napasnya berat. Pelan, ia menatap ke arah Linda yang terlihat diam menunggu keputusan ibunya. Rizki yang sebenarnya tidak setuju pun hanya bisa bungkam saat para orang tua itu saling berdiskusi untuk menemukan titik terang dari masalah yang terlihat rumit ini.

“Lin,” panggil Bu Lasmi.

“Iya, Buk?” jawab Linda, hatinya tiba-tiba merasa getir saat ia tahu keputusan apa yang sudah ibunya ambil untuk masa depannya.

“Sini, Nduk,” suruh Bu Lasmi.

Linda mengangguk. Perempuan itu berdiri dari duduknya setelah memandang sendu ke arah kakaknya.

“Maafin Ibuk, ya?” ucap Bu Lasmi saat Linda sudah berdiri di depannya.

Sorot mata Linda tampak bergetar. Ingin sekali ia menangis saat itu juga. Tapi, demi sang ibu, Linda menahan dirinya. Perempuan itu dengan tegas mengulas senyumnya. Sebuah senyum palsu yang sebenarnya tidak mampu menipu semua pasang mata yang menatapnya kasihan.

“Enggak pa-pa, Buk. Aku ikhlas. Asal ibu ridho dengan apa yang akan Linda jalanin, Linda nggak masalah dengan semua keputusan Ibuk. Karena aku yakin, apa yang Ibuk pilih adalah apa yang terbaik buat aku,” kata Linda, mencoba bijak.

“Makasih, Nduk,” lirih sang ibu sembari mengusap lembut wajah putri bungsunya itu.

“Makasih ya, Lin. Maafin Bude juga, ya?”

“Iya, Bude,” jawab Linda sembari mengulas senyumnya.

“Jadi, dia yang akan menjadi penggantinya?” tanya Bunda Ratna.

“Iya, Mbak,” jawab Bude Lastri, yang kini bisa kembali tersenyum, walau terlihat getir.

Bunda Ratna pun tampak mengulas senyumnya sambil menatap Linda penuh rasa syukur.

“Terima kasih, ya. Terima kasih karena kamu sudah mau menggantikan sepupu kamu untuk menjadi istri anak saya. Kamu tenang saja, setelah ini hidupmu pasti akan terjamin dan saya pastikan kamu akan bahagia bersama anak saya,” ujar Bunda Ratna.

Linda yang tidak tahu harus menjawab apa, dia hanya bisa mengukir senyumnya sebaik mungkin.

“Kalau begitu, bisakah akad nikahnya langsung saja dimulai? Soalnya saya juga harus pergi ke tempat lain untuk melangsungkan akad nikah,” sahut si penghulu.

“Oh, iya, iya. Silakan, Pak,” ujar Om Tristan.

“Rizki,” panggil Bu Lasmi, menyuruh putra sulungnya itu agar segera menempati posisi sebagai wali nikah untuk Linda, sesuai dengan apa yang pernah diwasiatkan oleh almarhum suaminya dulu.

Dan, pada akhirnya pernikahan yang tidak pernah dibayangkan oleh semua orang pun terjadi. Nama mempelai wanita yang berubah pun terdengar dilafalkan dengan sangat lancar. Adam dan Linda, kini mereka telah sah menjadi sepasang suami istri—siri.

Walau itu pernikahan siri dan baru sah di mata agama, tapi bukan berarti hal itu tidak membuat keluarga mempelai pria terlihat mengurai senyum bahagia, karena tidak lama lagi setelah pengurusan di KUA selesai, mereka benar-benar akan menjadi sepasang suami istri yang disatukan oleh desakan keadaan. Tidak ada pertemuan romantis, tidak ada rencana, dan bahkan tidak ada cinta. Namun, tiba-tiba terdengar kata ‘sah’ yang menghalalkan keduanya untuk membangun mahligai rumah tangga.

Harus Hamil

Malam itu, Linda berdiam diri—termenung—di dekat jendela kamarnya yang terbuka. Terpaan semilir angin malam yang dingin tak menyurutkan dirinya untuk tetap diam melamun di sana.

Linda, wanita itu terus berada dalam posisinya sejak sore tadi. Tubuhnya pun mungkin sudah terasa mati kaku karena telah terlalu lama berdiri di sudut itu.

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Terlihat seorang pria dengan tubuh kokohnya masuk ke dalam kamar tersebut sembari mengusap rambutnya yang basah dengan handuk kecil.

Sejenak pria itu menoleh, ia menatap sosok Linda yang masih termenung menatap malam tanpa bintang.

"Bisa kita bicara sebentar?" ujar Adam, yang seketika itu membuat lamunan Linda tersentak kembali ke alam sadarnya.

Linda pun menoleh, memandang Adam yang telah berganti pakaian dengan kaos santai milik Rizki.

"Silakan," ucap Linda. "Saya juga ingin mengatakan beberapa hal terkait pernikahan kita," imbuhnya.

"Saya juga ingin membahas tentang pernikahan ini," kata Adam, yang kini telah duduk di tepi ranjang mini size milik Linda.

Linda diam menyimak. Ia menunggu pria itu untuk memulai pembicaraan lebih dulu.

"Saya menikahi kamu—"

"Karena terpaksa oleh keadaan," sahut Linda, menyela perkataan Adam yang belum selesai.

"Bisakah kita terapkan sopan santun dalam pembicaraan kita? Jujur saja, saya sangat tidak suka perkataan saya dipotong ketika saya sedang berbicara," terang Adam.

Linda tertohok, ia merasa malu dengan sikapnya yang memang kurang sopan itu.

"Maaf," lirih Linda, pelan.

Adam diam sejenak. Pria itu mencoba kembali membangun suasana serius yang sebelumnya sempat pudar karena rasa kesalnya pada sikap Linda.

"Saya menikahi kamu bukan karena terpaksa oleh keadaan," ujar Adam, usai diam beberapa saat lamanya.

Linda yang mendengar pernyataan dari suaminya itu pun tampak berkerut kening heran. Karena, apa yang Adam katakan sangat bertolak belakang dengan fakta atas situasi yang terjadi saat ini.

"Mustahil," ucap Linda.

"Maksudnya?"

"Mustahil kamu menikahi saya tanpa ada rasa terpaksa di dalam jiwa dan raga kamu," tukas Linda, berbicara tentang kenyataan dan realitas keadaan saat ini.

"Saya tidak berbohong," tegas Adam. "Saya serius menikahi wanita manapun yang saya nikahi," imbuhnya.

Linda diam sejenak, ia mencoba mencerna perkataan Adam yang hanya berputar-putar di dalam benaknya tanpa ada celah baginya untuk paham dengan maksud perkataan pria itu.

"Maksudmu ... jika bukan saya yang dipilih untuk menggantikan Rere, kamu tetap rela menikahi wanita mana saja yang dipilih oleh orang tuamu, begitu?" terka Linda.

Adam mengembuskan napasnya sejenak. Pria itu tampak membenarkan posisi duduknya sesaat, sebelum kemudian ia memandang Linda lekat.

"Mari kita bicara soal masa depan," kata Adam. "Saya butuh keturunan untuk masa depan keluarga dan perusahaan saya," paparnya, benar-benar terlalu jujur, sampai perkataannya itu berhasil membuat hati Linda mencelos miris.

"Keturuan? Hanya karena itu?"

"Bukan hanya karena itu. Tapi, karena sebab itu saya menikahi kamu. Dan saya serius menjalani pernikahan ini. Artinya, saya serius dengan hak dan kewajiban di antara kita," urainya.

Linda mendecih, wanita itu sungguh tidak menyangka kalau dirinya akan menikah dengan pria yang memiliki pemikiran di luar akal manusia pada umumnya.

"Kamu pikir saya ini pabrik reproduksi keturunanmu?" tukas Linda, menatap Adam tak suka.

“Terserah kamu mau mendeskripsikan diri kamu seperti apa, yang pasti, bagi saya kamu itu istri saya. Kamu punya kewajiban atas saya dan saya juga punya kewajiban atas kamu,” terang Adam.

“Kewajiban?” Linda tampak tersenyum miris mendengar kata itu terlontar dari bibir Adam. “Bagaimana bisa kamu membahas tentang kewajiban suami istri, sedangkan pernikahan kita ini berlandaskan atas dasar keterpaksaan,” urainya.

“Bukankah sudah saya katakan sejak awal? saya tidak pernah terpaksa dengan pernikahan ini,” balas Adam.

“Ya, karena kamu menjadikan pernikahan ini sebagai jembatan untuk mendapatkan keturunan. Kamu menganggap istrimu itu sebagai tempat reproduksi yang bisa kamu gunakan kapan pun kamu mau,” kata Linda. “Apa kamu sadar kalau semua itu terdengar sangat menjijikkan? Pantas saja Rere rela dihamili oleh laki-laki lain daripada menikah denganmu,” imbuhnya, benar-benar terdengar seperti hinaan tajam untuk pria itu.

“Kamu ....” Adam menghela napasnya sejenak. Ia hampir marah kalau saja dirinya tak pandai mengendalikan emosinya. “Bisakah kamu berbicara sopan pada suamimu ini?” tegasnya.

“Sekarang begini, saya tanya sama kamu. Kalau kamu anggap pernikahan ini sebuah lelucon, kenapa kamu mau menikah denganku? Padahal sudah jelas sekali kamu punya pilihan untuk menolak pernikahan ini,” timpal Adam.

“Tentu saja karena saya terpaksa,” jelas Linda.

“Kalau begitu, kamu ingin pernikahan kita hanya sekedar sah, lalu setelah itu berpisah, begitu?”

Linda terdiam. Ia tidak punya pemikiran tentang hal itu.

“Kamu bahkan tidak memikirkan apa yang akan terjadi antara kamu dan saya kalau sampai kita mempermainkan pernikahan ini,” kata Adam.

“Coba kamu bayangkan bagaimana perasaan orang tua kamu dan orang tua saya kalau sampai apa yang kamu inginkan itu benar-benar terjadi. Bukan hanya malu yang mereka dapat, tapi juga luka, luka yang mungkin sulit untuk sembuh,” nasihatnya.

“Sekarang, mari kita bersikap bijak sebagai orang dewasa. Kamu dan saya, kita adalah suami istri, ada hak dan kewajiban di antara kita,” tambah Adam.

Linda menghela napasnya berat. “Oke. Tapi, there's no love and no s*x. Kalau kamu yes, saya juga yes dan serius menjalani pernikahan ini,” tawar Linda, yang sontak membuat Adam menyeringai.

“There’s no love? Oke. Saya tidak akan memaksa kamu untuk mencintai saya. Karena saya juga tidak mungkin bisa jatuh cinta padamu secepat itu. Tapi, no s*x? Saya sangat tidak setuju. Karena saya butuh itu,” papar Adam. “Kita butuh itu untuk mempunyai bayi,” imbuhnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!