Bab 1
Arawah Reza Sulistiyo melayang tak tentu arah, seperti layang-layang putus benang di angkasa. Langit menolaknya, bumi pun enggan menerimanya. Neraka seharusnya menjadi tempatnya, tapi bahkan neraka jijik akan kehadirannya. Surga? Itu tak lebih dari mimpi kosong. Hidupnya dihabiskan untuk mencuri, menipu, dan mempermainkan wanita. Bahkan ketika mendekati gerbang surga, ia langsung dihempaskan. Beberapa jam sebelum ajal menjemput, ia dikhianati—diracun oleh wanita yang baru saja dikencaninya. Karma datang tanpa aba-aba.
Hari sial tak pernah datang dengan tanda. Reza Sulistiyo lengah hari itu—diracun oleh perempuan yang baru saja ia rayu. Tubuhnya lemas, nyawanya melayang, dan setelah mati, arwahnya terlunta-lunta. Langit menolak, bumi enggan, neraka pun menutup pintu. Angin berembus kencang, menghempas arwah itu hingga terlempar ke sebuah rumah besar yang sunyi namun menyeramkan. Di dalamnya, terdengar jeritan tertahan. Seorang anak muda tengah disiksa—dipukuli, dipaksa berlutut, sementara mata Reza menyaksikan semua dengan ngeri dan penasaran.
“Bangsat! Kau tidak pantas menyandang nama Baskara!” teriak seorang pemuda berusia 17 tahun, Dimas Baskara, dengan sorot mata penuh amarah. Di hadapannya, tergeletak Reza Baskara—remaja ringkih, tubuhnya lebam-lebam, disiksa tanpa ampun. Ia adalah anak haram Galih Baskara, buah dari hubungan terlarang dengan seorang pembantu bernama Diah Pitaloka.
Di sudut tak kasatmata, arwah Reza Sulistiyo melayang, menyaksikan pemandangan itu dengan ngeri.
“Kenapa angin melemparku ke sini?” bisiknya. “Kenapa aku harus menyaksikan penyiksaan ini?”
Ia tertegun, menyaksikan kebiadaban tiga anak muda yang memperlakukan Reza seperti binatang, tanpa belas kasih.
Riko, 25 tahun, anak sulung Galih Baskara dari istri sah, berdiri tegap sambil menggenggam sebatang kayu. Dengan penuh dendam, ia mengayunkannya berkali-kali ke tubuh Reza Baskara—adik tirinya yang dianggap aib keluarga. Setiap kali kayu itu menghantam, suara tulang beradu terdengar jelas.
Yang aneh, Reza Sulistiyo—arwah penasaran yang hanya melayang di udara—ikut meringis. Setiap pukulan terasa menusuk ke dalam dirinya, seolah tubuh Reza Baskara adalah cermin rasa sakitnya.
“Aneh… bukankah arwah seharusnya tak merasakan sakit?” gumamnya bingung.
Tapi ya sudahlah, ini kan fiksi. Jangan protes, nikmati saja ceritanya—hahaha.
“Dasar anak haram! Kami sudah jengah melihatmu!” hardik Dimas Baskara sambil menginjak tangan Reza yang gemetar tak berdaya di lantai. Reza menggeliat, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan.
“Arghhhhh!” jeritnya parau, ketika Liza Baskara—gadis kejam berusia 19 tahun—menekan puntung rokok menyala ke pipinya. Bau daging terbakar menyengat udara.
“Bughh!”
“Dughh!”
Pukulan demi pukulan menghujani tubuh Reza. Kayu, tinju, tendangan—semua mendarat brutal. Nafasnya tersendat. Matanya mulai kabur. Tubuhnya nyaris lumpuh, hanya bisa meringkuk menahan sakit, menunggu kapan semua ini berakhir… atau kapan ajal menjemput.
Dalam kondisi sekarat, Reza Baskara mengangkat pandangannya—mata sayu itu menatap lurus ke arah Reza Sulistiyo, seolah memohon pertolongan. Tatapan yang penuh luka, penuh harap, seakan berkata: “Tolong aku...”
Namun Reza Sulistiyo hanya bisa terpaku. Ia hanyalah arwah, tak kasat mata, tak bisa menyentuh, tak bisa berteriak, tak bisa berbuat apa-apa.
Dimas mendekat, napasnya memburu penuh amarah. Tanpa ragu, ia meraih leher Reza dan mencekiknya dengan brutal. Urat-urat di tangannya menegang, mata Reza membelalak, tubuhnya menggeliat—setelah mengejang nafasnya hilang, reza tidak lagi bernafas
“Goblok!” bentak Riko, mencengkeram kerah baju Dimas dengan kasar. Wajahnya tegang, matanya melotot marah. “Kau sudah membunuhnya, bodoh!”
“Maaf, Kak… aku lepas kendali,” ucap Dimas tergagap, napasnya masih berat, dadanya naik turun diliputi amarah yang belum reda. “Aku nggak suka dia kuliah bareng aku, Kak. Dia itu aib.”
Vanaya, si bungsu yang sejak tadi hanya menonton, mengangkat bahu dan menghembuskan napas dengan malas. “Ya udah, tinggal buang aja sih. Ribet amat.”
Dimas perlahan mendekati tubuh Reza yang terbujur diam. Ia menunduk, memeriksa napas adik tirinya. Hening.
“Dia... nggak bernafas,” bisiknya lirih.
Wajah Dimas mendadak pucat. Kepanikan mulai merayap naik.
Ceklek—pintu gudang terbuka perlahan, suara engsel berderit menggema di tengah keheningan yang mencekam.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” suara Larasati terdengar dingin, tajam seperti pisau. Tatapannya langsung tertuju pada jasad Reza yang terbujur kaku di lantai, wajahnya lebam, tubuhnya penuh luka.
Dimas, Riko, dan Vanaya saling pandang. Panik. Bingung. Mulut mereka kaku, tak tahu harus berkata apa.
“Apa yang kalian lakukan pada anak sial ini?” ulang Larasati, kini suaranya lebih dingin, matanya menyipit menahan emosi.
“A-aku... aku mencekiknya, Mah...” jawab Dimas lirih, suaranya gemetar, tubuhnya bergetar.
Ketiganya terdiam, diliputi ketakutan. Mereka memang sering menyiksa Reza. Tapi kali ini… ini terlalu jauh. Ini yang paling parah. Dan mungkin reza sudah tidak bisa nafas lagi.
“Maafkan aku, Mah… aku lepas kendali,” ucap Dimas lirih, suaranya bergetar, menahan rasa bersalah yang terlambat datang.
Larasati menghela napas panjang. Tatapannya dingin, datar, seolah kejadian itu bukan hal besar. Ia menunduk menatap tubuh Reza yang tak bernyawa, lalu berkata dengan nada santai, nyaris tanpa empati, “Mati ya tinggal mati aja… repot amat.”
Di sudut ruang yang remang, arwah Reza Sulistiyo menyaksikan semua kejadian dengan mata kosong. Ia hanya bisa menggelengkan kepala perlahan. Satu keluarga ini benar-benar kompak menyiksa anak-anak tak berdaya, gumamnya getir. Rasa prihatin memenuhi dadanya, tapi apalah daya—ia hanya arwah gentayangan, tak mampu berbuat apa-apa.
“Kenapa aku nggak bisa terbang sih?” gerutunya frustrasi. “Aku ini arwah! Harusnya bisa menembus tembok… atau minimal menakut-nakuti mereka!”
Ia mencoba bergerak, tapi tubuh tak kasat matanya tetap terperangkap di ruang itu. “Kenapa aku terus di sini? Kenapa aku nggak bisa pergi?”
Pikiran Reza Sulistiyo terus berputar, namun tak ada jawaban. Ia terjebak—bukan hanya sebagai arwah, tapi sebagai saksi bisu kekejaman yang tak bisa ia hentikan, bahkan tak bisa ia tinggalkan.
“Lalu bagaimana, Mah? Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dimas, suaranya penuh kecemasan.
Larasati tetap tenang, wajahnya tanpa ekspresi, dingin seperti batu. “Ya tinggal buang saja mayatnya. Masukkan ke dalam mobil, lalu buat seolah-olah dia kecelakaan. Bereskan semuanya, jangan ribet. Anak itu memang pantas mati,” ucapnya datar, seakan yang dibicarakan hanya sampah yang harus disingkirkan.
“Ok, kalau gitu aku akan siapkan mobilnya,” sahut Riko cepat, seolah ini hanya rutinitas biasa. Tanpa penyesalan. Tanpa rasa bersalah.
Tak lama kemudian, sebuah mobil tua berhenti di depan gudang. Tanpa banyak bicara, jasad Reza Baskara—dingin, tak bernyawa, penuh luka—dimasukkan ke dalam bagasi. Dimas duduk di kursi pengemudi, sementara Riko dan Vanaya mengikuti dari belakang dengan mobil lain.
Malam kian pekat saat mereka melaju menuju sebuah bukit terpencil, jalannya sepi, gelap, dan jarang dilewati kendaraan.
Mobil berhenti di tepi jurang. Angin berdesir kencang, membawa hawa kematian yang teramat pekat. Mereka turun, menatap ke bawah—jurang curam dengan bebatuan tajam dan pohon-pohon kering.
“Sepertinya cukup curam... dan bisa bikin orang mati karena kecelakaan,” ucap Riko tenang, seolah sedang menilai lokasi pembuangan sampah
Dengan napas memburu dan wajah tegang, Dimas dan Riko mendorong mobil perlahan ke tepi jurang. Butuh tenaga dan keberanian untuk melakukannya. Roda mobil berderit, lalu meluncur bebas menuruni lereng curam. Beberapa detik kemudian—DUAARR!
Dentuman keras mengguncang malam. Api membubung tinggi, menjilat langit hitam. Kobaran merah oranye memantul di wajah ketiganya—Dimas, Riko, dan Vanaya—yang menyaksikan semuanya dari atas, dengan tatapan dingin dan kosong.
Ada rasa takut dalam dada mereka, karena ini kali pertama mereka benar-benar membunuh seseorang. Tapi bersamaan dengan itu, ada juga rasa lega. Reza—anak sial, anak haram yang mereka anggap benalu—akhirnya mati.
Dan yang membuat mereka tenang… mereka tahu ibu mereka mendukung penuh. Larasati akan mengatur semuanya. Nanti biar dia yang menjelaskan pada Galih, sang ayah, dengan cerita yang sudah disusun dengan rapih
Mobil itu meluncur sempurna ke jurang, lalu meledak hebat dengan dentuman mengguncang bumi. Namun, beberapa detik sebelum ledakan, tubuh Reza terlempar jauh, tak tersentuh api. Arwah Reza Sulistiyo menyaksikan semua itu—terdiam, iba.
“Kasihan... Aku ini bukan orang baik, tapi setidaknya aku tak pernah menyakiti keluargaku,” gumamnya lirih.
Ia menatap langit, marah.
“Tuhan, kenapa kau biarkan aku melihat ini? Untuk apa? Kenapa tidak langsung lempar aku ke neraka saja?”
“Kenapa statusku digantung? Kau bercanda denganku?”
Baru saja ia menyelesaikan keluhannya, arwahnya tersedot ke dalam lubang hitam.
Turbulensi mengoyak kesadarannya—lalu… gelap.
Jiwanya menghantam tubuh Reza Baskara.
“Uhuk—uhuk...” Reza Baskara terbatuk keras. Napasnya tersengal, matanya terbuka perlahan.
“Hah... apa ini?” gumamnya lemah.
Ia memandang kedua tangannya—kurus, penuh luka.
“Aku... masuk ke tubuh anak ini?”
Belum sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba kepalanya seperti ditusuk ribuan jarum.
“Aarrgh!” Reza memegang kepalanya erat.
Ledakan rasa sakit menyapu otaknya.
Seketika itu juga—gambar-gambar asing membanjiri pikirannya: ingatan masa kecil Reza Baskara, suara caci maki, wajah-wajah bengis keluarga, tangis dalam gelap, siksaan yang tak berkesudahan.
“Ini... ini ingatan anak ini?”
Reza terdiam.
Reza Baskara adalah anak dari Galih Baskara—buah dari aib yang selama ini dikubur dalam-dalam oleh keluarga.
Tujuh belas tahun lalu, seorang asisten rumah tangga muda dan cantik bernama Diah Pitaloka datang bekerja di rumah mewah keluarga Baskara. Saat itu, Larasati—istri sah Galih—sedang bepergian ke luar negeri.
Galih, lelaki haus kuasa dan bernafsu, telah lama mengincar Diah. Malam itu, saat rumah lengang dan sunyi, ia menodai wanita desa itu tanpa belas kasih.
Diah tak melawan—hanya menangis dalam diam, menahan aib dan luka yang tak bisa ia ucapkan.
Keesokan harinya, ia menghilang… tanpa jejak, tanpa pamit
Galih tak pernah berusaha mencari Diah Pitaloka. Baginya, gadis desa itu hanyalah bayangan yang harus dilupakan.
Ia tahu, jika kejadian malam itu terbongkar, reputasi keluarga Baskara akan hancur lebur. Maka diam adalah pilihan, dan melupakan adalah bentuk penyelamatan nama baik.
Namun setahun kemudian, seorang perempuan muda muncul—wajahnya mirip sekali dengan Diah. Ia datang bukan menemui Galih, melainkan langsung mendatangi Darman Baskara, ayah dari Galih, pendiri keluarga dan kepala besar dalam silsilah Baskara.
Perempuan itu membawa bayi lelaki mungil.
Perempuan itu berdiri gugup di hadapan Darman Baskara, membawa bayi yang terlelap dalam pelukannya. Suaranya lirih namun tegas.
“Tuan... anak ini adalah darah daging Tuan Galih, hasil dari hubungannya dengan adik saya, Diah Pitaloka.”
Ia menarik napas panjang, menahan air mata.
“Diah meninggal tak lama setelah melahirkan. Saya hanya orang miskin, Tuan. Tak sanggup membesarkan bayi ini. Saya mohon... tolonglah, biarkan anak ini tumbuh di keluarga yang seharusnya menjadi miliknya.”
Darman terdiam. Hatinya tercabik rasa bersalah.
Ia tahu siapa anak itu. Ia tahu kesalahan anaknya.
Akhirnya, dengan wajah muram, ia mengangguk.
“Berikan bayi itu padaku…”
Darman mengurus bayi itu secara diam-diam. Ia tak ingin gegabah sebelum memastikan kebenarannya.
Tanpa sepengetahuan Galih, Darman melakukan tes DNA. Sampel bayi itu dicocokkan dengan data biologis Galih.
Sebulan kemudian, hasilnya keluar: 99% cocok.
Darman terdiam lama di ruang kerjanya. Matanya memerah—bukan karena terkejut, tapi karena kecewa. Ia merasa gagal mendidik anaknya sendiri.
Amarah menyesakkan dadanya.
Dengan nada tajam, ia memanggil Galih dan memaksanya menerima anak itu sebagai bagian dari keluarga.
“Dia darah dagingmu. Terima dia... atau keluar dari silsilah ini.”
Darman kemudian memberi nama pada bayi itu—dengan tangannya sendiri:
Reza Baskara.
Keputusan Darman menerima Reza sebagai bagian dari keluarga Baskara memicu badai dalam rumah tangga itu.
Larasati, istri Galih, dan Miranda, istri Darman, sama-sama menentang keras.
Bagi mereka, anak hasil hubungan di luar nikah adalah anak haram—anak pembawa sial, aib yang tak pantas disandingkan dengan nama besar Baskara.
Namun alasan sesungguhnya bukan semata soal moral. Mereka takut warisan keluarga terpecah, takut anak dari luar itu merebut hak yang seharusnya hanya jatuh ke tangan keturunan “sah”.
Tapi apa daya.
Saat itu, Darman masih memegang kendali penuh sebagai kepala keluarga.
Dan di rumah besar keluarga Baskara, satu hal yang tak boleh dilawan adalah keputusan Darman.
Darman Baskara adalah kepala keluarga yang cerdik dan penuh wibawa. Di bawah kepemimpinannya, keluarga Baskara mencapai puncak kejayaan—kekayaan, pengaruh politik, dan kekuasaan mereka menjalar ke segala lini.
Namun di balik kejayaan itu, bara iri mulai tumbuh di dalam rumahnya sendiri.
Darman begitu menyayangi Reza, bayi yang ia anggap sebagai penebus kesalahan anaknya. Ia merawat Reza dengan penuh kasih, bahkan lebih dari cucu-cucu lainnya.
Kedekatan itu menyalakan api amarah dalam hati Larasati dan Miranda.
Bagi mereka, Reza adalah ancaman warisan—penghalang bagi masa depan anak-anak mereka.
Diam-diam, mereka menyusun konspirasi.
Dan pada suatu malam yang sunyi, terjadilah kecelakaan...
Sederhana di permukaan, tapi mematikan.
Darman Baskara meninggal dunia.
Dengan wafatnya Darman Baskara, Larasati dan Miranda merasa jalan mereka telah terbuka.
Tak ada lagi sosok tua keras kepala yang melindungi Reza. Mereka yakin, warisan keluarga kini akan sepenuhnya jatuh ke tangan mereka dan anak-anak “sah” mereka.
Namun satu hal mengejutkan mereka: wasiat Darman.
Resmi, sah secara hukum, dan mustahil dibatalkan.
Dalam surat wasiatnya, Darman menyatakan bahwa seluruh aset warisan keluarga Baskara akan dibekukan hingga Reza Baskara berusia 25 tahun.
Sampai saat itu tiba, tak satu pun anggota keluarga berhak mencairkan atau membagi harta.
Wasiat itu membuat Miranda dan Larasati murka.
Beberapa kali mereka merencanakan celaka bagi Reza—mencoba membunuhnya secara diam-diam.
Namun Galih, meski bukan ayah yang peduli sepenuhnya, selalu menghalangi dengan alasan sederhana:
“Kalau bocah itu mati, hukum bisa membekukan warisan selamanya.”
Sayangnya, Galih lebih banyak menghabiskan waktu di luar kota, bahkan luar negeri.
Rumah megah keluarga Baskara pun berubah menjadi neraka sunyi bagi Reza kecil...
Tanpa pelindung, tanpa kasih sayang
Sejak kematian Darman, hidup Reza berubah drastis.
Dulu ia adalah anak kecil yang masih bisa merasakan pelukan dan kasih sayang, tapi kini—ia hanyalah beban, duri dalam daging keluarga Baskara.
Setiap hari ia dihina, diperlakukan seperti pelayan, bahkan tak jarang disiksa secara fisik maupun mental.
Reza tumbuh dalam rumah yang mewah, tapi hatinya hampa—kesepian, tertekan, dan perlahan hancur.
Pernah, ia mencoba mengakhiri hidupnya. Baginya, kematian tampak lebih ramah daripada terus hidup sebagai anak terbuang.
Namun Galih, meski tak pernah memberinya cinta, tak pernah membiarkan Reza mati.
Reza dikawal ketat oleh bodyguard pribadi—bukan untuk melindungi, tapi untuk mengawasi.
Agar bocah itu tetap hidup… cukup lama hingga warisan bisa mereka rebut.
Riko, Dimas, dan Vanaya—tiga kakak tiri Reza—membencinya dengan kebencian yang tak beralasan.
Bagi mereka, Reza adalah noda, pengganggu warisan, anak haram yang tak seharusnya hidup di bawah atap yang sama.
Suatu hari, saat Galih pergi ke luar negeri, ketiganya merencanakan sesuatu.
Mereka membuat para bodyguard Reza mabuk dan tertidur di klub malam.
Reza yang baru pulang kuliah dicegat di depan gerbang rumah.
Tanpa peringatan, ia dipukuli habis-habisan.
Alasannya sederhana: Vanaya dan Dimas tak mau satu kampus dengan “sampah” sepertinya.
Padahal Reza sudah pernah memohon agar tak perlu kuliah. Tapi ketika ia menolak, Galih-lah yang menyiksanya karena dianggap tidak tahu diri.
Menerima kuliah, ia disiksa kakaknya.
Menolak kuliah, ia disiksa ayahnya.
Hidup Reza serba salah. Bahkan untuk mati pun ia tak diberi izin.
Malam itu, siksaan mencapai puncaknya.
Riko, Dimas, dan Vanaya menghajar Reza tanpa ampun—hingga tubuhnya terkapar.
Sunyi menyelimuti rumah Baskara saat Reza meregang nyawa...
Tubuh Reza Baskara kini tak lagi kosong.
Jiwanya telah digantikan oleh sosok lain—Reza Sulistiyo, pria licik dan berbahaya yang pernah hidup sebagai penipu ulung.
Begitu seluruh ingatan Reza Baskara mengalir ke benaknya, Reza Sulistiyo terdiam.
Matanya kosong, hatinya tercabik.
“Gila... penderitaanmu sadis banget, Nak,” gumamnya lirih.
Ia menarik napas panjang.
“Baiklah... mulai sekarang, aku adalah Reza Baskara.”
Tubuhnya penuh luka, nyeri di sekujur sendi, memar dan lebam seperti habis dilempar dari neraka.
Dengan perlahan, ia duduk bersila dan mulai mengatur napas.
Sebagai mantan ahli bela diri, pencuri, dan penipu kelas atas, rasa sakit bukanlah hal yang asing baginya.
“Tubuh ini terlalu lemah,” bisiknya pelan.
Setelah setengah jam bermeditasi, Reza menghembuskan napas panjang dan kasar.
Tubuhnya gemetar, peluh dingin mengalir di pelipis.
Rasa nyeri masih bersarang di sekujur tubuh, tulang-tulangnya terasa rapuh, dan ototnya seperti baru bangkit dari kematian.
Ia membuka mata perlahan, menatap sekeliling kamar yang asing namun familiar.
“Tubuh ini... terlalu lemah,” desisnya dengan nada kecewa.
“Bagaimana aku bisa membalas dendam... dengan wadah selemah ini?”
Reza menunduk, menahan amarah yang membara dalam dada.
Andai saja kekuatannya dulu masih utuh—refleks, kelincahan, tenaga, dan keberanian tanpa batas—ia bisa langsung menghancurkan keluarga Baskara malam itu juga.
Tapi kenyataannya berbeda.
Tubuh ini rusak, nyaris hancur.
Dan ia harus membangunnya dari awal...
Dengan tubuh yang masih remuk dan langkah terseok, Reza menggenggam erat tongkat kayu penyangga tubuhnya.
Ia meninggalkan lembah dan mobil yang terbakar.
Langkahnya lambat, namun tekadnya bulat.
Perlahan, ia merayap menapaki lereng bukit
Setiap langkah seperti menikam daging, tapi Reza terus maju—selangkah demi selangkah.
Dua jam berlalu, akhirnya ia tiba di jalan besar, peluh membasahi wajahnya, napasnya terengah.
Matanya menatap lurus ke depan, penuh tekad.
“Aku harus menemukan pengacara Kakek Darman,” gumamnya lirih.
“Namanya... Leon.”
Ia menoleh kanan kiri, mencoba mencari pertolongan.
Lalu, dari kejauhan, sebuah truk tua melambat dan berhenti di depannya.
Tanpa ragu, Reza menaikinya.
Di atas tumpukan karung beras di bak truk tua, Reza tertidur dalam kelelahan.
Tubuhnya masih dipenuhi luka, nyeri kalau orang biasa mungkin sudah tidak bisa berjalan.
Reza tak mengeluh. Di antara para kuli yang juga beristirahat di atas karung-karung itu, Reza hanya diam memandangi langit yang memudar senja.
Di benaknya, satu per satu langkah dibentuk—rencana balas dendam terhadap keluarga Baskara, dan satu hal yang tak kalah penting: mencari tahu siapa yang telah meracuninya saat ia masih menjadi Reza Sulistiyo.
Beberapa jam kemudian, truk berhenti di terminal.
Reza turun, perutnya perih dililit lapar.
Ia berdiri di tengah keramaian, menggigil.
Uang tak ia miliki. Tapi mengemis? Tidak. Itu tidak pernah ada dalam kamus hidupnya.
Yang terlintas hanya satu: mencuri.
Saat hendak melangkah, matanya menangkap sesuatu di seberang jalan.
Seorang pria botak dan gendut sedang menganiaya lelaki tua renta di depan warung kosong.
Reza mengernyit, matanya menyipit tajam.
Bukan karena iba. Tapi karena nalurinya berkata—“kamu adalah korban pertamaku”
“Aku gak mau tahu! Uangnya harus ada hari ini juga! Kalau nggak…”
Pria botak bertubuh tambun itu menatap bengis pria tua di hadapannya.
“Anak perawanmu... buat aku.”
“Tolong... jangan lakukan itu, Jak,” pinta pria tua itu dengan suara parau. Tubuhnya kurus, ringkih, seolah hidupnya sudah dikikis oleh penderitaan.
Dari kejauhan, Reza melihat kejadian itu dengan tenang.
Wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya tajam seperti silet.
Di mana ada masalah, di situ ada peluang.
Ia menatap lurus ke arah si botak—target pertamanya hari ini.
Tanpa ragu, Reza menyeberang jalan.
Langkahnya tertatih-tatih, lalu…
BRUK!
Ia pura-pura terjatuh tepat menabrak pria botak itu.
Meski tubuhnya masih lemah, momen itu cukup untuk menjatuhkan sang preman ke tanah.
Tubuh Reza menindihnya, menciptakan kekacauan kecil.
Anak buah si botak sontak menyerbu.
Salah satu dari mereka menghajar Reza dan melemparkannya hingga terpelanting ke tanah.
Darah mengalir di sudut bibirnya, tapi Reza tersenyum tipis.
“Maaf... maaf, saya belum makan... jadi saya pusing,” ucap Reza terbata, memegang perutnya seolah benar-benar lemah.
Dua anak buah pria gendut itu hendak mengejarnya, tapi dihentikan oleh si pria botak yang masih tergeletak.
“Bodoh! Bangunin aku dulu... tubuhku lemas sekali,” geramnya pelan.
Kedua anak buahnya langsung membantunya duduk.
Wajah pria gendut itu pucat. Tangannya gemetar. Entah kenapa seluruh tubuhnya seperti kehilangan tenaga.
Ia tak tahu—saat tubuh Reza menindihnya, beberapa titik saraf vital telah ditekan dengan akurat.
Kemampuan bela diri Reza Sulistiyo tidak ikut mati… hanya berpindah wadah.
Sementara itu, Reza sudah berjalan santai menuju lorong sepi.
Ia menyeringai kecil, lalu berkata lirih,
“Kemampuan mencuriku... ternyata ikut terbawa. Bahkan di tubuh ini, gerakanku terasa lebih gesit.”
Dari balik jaket sobeknya, ia mengeluarkan tiga dompet hasil tabrakan tadi.
Ia memeriksa satu per satu.
“Lumayan... buat nyambung hidup.”
Setelah dihitung, totalnya dua juta rupiah.
Bukan jumlah besar, tapi cukup untuk langkah awal
Reza mengambil dua lembar uang dari dompet—sekitar dua ratus ribu—lalu memasukkan sisanya, satu juta delapan ratus ribu rupiah, ke dalam keresek hitam.
Ia menyelipkan dompet-dompet itu ke selokan sempit, menghilangkan jejak.
Dari kejauhan, matanya mengintip ke arah kerumunan.
Sebuah ambulans baru saja tiba, membawa pria botak sialan itu ke rumah sakit.
Reza menyeringai. “Nikmati efeknya... lama-lama juga lumpuh,” gumamnya.
Ia berbalik, melangkah ke sebuah warung kecil.
Di sana, ia membeli sebatang rokok dan sepena bolpoin murahan.
Lalu, di atas selembar kertas sobekan nota, ia menuliskan dengan huruf rapi:
“Rezeki dari langit... jangan ditolak.”
Reza berjalan pelan ke warung reyot milik pria paruh baya yang tadi dianiaya.
Ia menggantungkan keresek hitam berisi uang di gagang pintu warung.
Lalu mengetuk tiga kali—cukup keras untuk terdengar, cukup cepat untuk tidak ketahuan.
Tanpa menoleh, Reza berbalik dan melanjutkan perjalanannya.
Pria paruh baya itu membuka pintu warungnya dengan ragu.
Matanya tertumbuk pada keresek hitam yang tergantung rapi di gagang pintu.
Ia membuka perlahan… dan terperangah.
Tumpukan uang di dalamnya membuat tangannya gemetar.
Air matanya langsung jatuh membasahi pipi keriputnya.
Ia memeluk keresek itu erat, seolah sedang memeluk harapan yang nyaris padam.
“Mungkin ini dari... konten kreator, Kek,” ucap anak gadisnya pelan, yang tadi hampir direnggut kehormatannya.
Mereka tak tahu—bukan influencer yang datang menolong, melainkan pencuri...
Tapi pencuri beradab.
Itulah sisi lain Reza Sulistiyo.
Seorang penipu, pencuri, sekaligus algojo kelas bawah.
Targetnya hanya orang kaya, koruptor, dan manusia pelit berhati busuk.
Setiap hasil curian, 80% ia bagi pada mereka yang tertindas…
Dan sisanya, 20%, untuk poya-poya: rokok, alkohol, dan perempuan—hiburan masa lalunya yang tak ingin ia lupakan.
Di bawah bayang-bayang temaram lorong kota, Reza berjalan sendirian.
Tangan dimasukkan ke saku, langkah mantap.
“Leon...” gumamnya pelan.
…
Sementara itu, di ruang utama rumah keluarga Baskara, kekacauan memuncak.
Suasana menegang, suara Galih membentak menggema di dinding-dinding dingin.
“Kalian sudah membuat bencana besar dengan membunuh Reza!” teriak Galih, matanya membara, wajahnya merah padam.
Larasati melipat tangan di dada, berdiri tenang tapi sinis.
“Kenapa kamu peduli sekali sama anak haram itu?” katanya tajam, seolah meludah kata-kata.
Galih tertawa pahit.
“Kamu bilang aku peduli? Kalau aku peduli, sejak dulu tak akan kubiarkan seorang pun menyiksa dan menghinanya!”
“Tapi sekarang lain. Ini bukan soal rasa kasihan.”
Laras mendekat, tak suka nada itu.
“Lalu kenapa kamu tiba-tiba perhatian?”
Galih menatap tajam.
“Jangan pura-pura bodoh, Laras. Kamu tahu sendiri soal surat wasiat itu. Kalau Reza mati sebelum umur 25, semua warisan dibekukan. Permanen. Kita tidak akan dapat sepeser pun.”
Laras tersenyum miring. “Tenang saja,” katanya dingin.
“Aku sudah punya orang dalam di pemerintahan. Mereka bisa membatalkan isi wasiat itu. Hanya butuh sedikit tekanan dan beberapa lembar cek.”
Galih menggeleng, mencibir.
“Kamu benar-benar tak tahu apa yang kamu hadapi...”
“Laras... oh, Laras…” Galih mengusap wajahnya, menahan amarah yang hampir meledak.
“Kalau semudah itu, dari dulu juga aku sudah ubah isi surat wasiat itu.”
Laras berdiri angkuh, tangan di pinggang, bibirnya tersenyum meremehkan.
“Kamu aja yang terlalu banyak mikir. Tinggal ganti aja, selesai. Anak pecundang itu juga bisa apa, hah?”
Galih menatapnya tajam. Suaranya meninggi.
“Makanya baca yang benar isi wasiat itu!”
Laras mencibir, tapi Galih melanjutkan dengan nada dingin.
“Kamu tahu nggak kalau kita gagal menjalankan wasiat itu—jika Reza mati sebelum waktunya—hartanya jatuh ke siapa?”
“Ya... paling ke pemerintah lah,” jawab Laras santai, masih tak menyadari bahayanya.
Galih mendekat. Suaranya menekan, tegas, nyaris berbisik.
“Kalau cuma ke pemerintah, aku bisa atur. Tapi ini beda. Jika kita gagal menjalankan wasiat itu maka warisan itu akan jatuh kepada seseorang yang tidak mungkin bisa kita lawan.”
“Siapa lagi tuh?” tanya Laras malas.
Galih menatap lurus ke matanya.
“Bruno.”
Laras mengerutkan kening. “Bruno? Siapa lagi itu?”
“Bruno adalah ketua mafia Naga Hitam. Dia adalah musuh bubuyutan Papah aku, Bruno bertaruh kalau reza tidak akan hidup sampai 25 tahun, kalau reza mati sebelum usia 25 tahun maka seluruh harta ayahku akan jatuh ke Bruno dan gilanya ayahku dia menyanggupi taruhan itu.”
“Kamu tahu, Laras…” suara Galih menurun, dingin dan berat.
“Bagi Bruno, mencabut nyawa itu perkara biasa.
Dan mungkin... kalau bukan harta yang dia ambil besok, maka nyawa kita yang melayang.”
Laras melengos, masih mencoba mempertahankan keangkuhannya.
“Kamu terlalu mengada-ada. Jangan lebay.”
Namun belum sempat Galih membalas, seorang pengawal datang tergesa ke dalam ruangan. Nafasnya memburu, wajahnya pucat pasi.
“Tuan... di depan rumah... ada sepuluh mobil sedan hitam,” lapornya terbata.
“Mereka mengaku sebagai utusan dari Naga Hitam.”
Seisi ruangan mendadak membeku.
Bahkan Laras yang tadi pongah, kini membisu.
Deg.
Jantung Galih berdetak keras.
Punggungnya mendadak dingin.
Tanpa sadar ia melangkah ke jendela, menyingkap tirai perlahan.
Di luar, berderet rapi mobil-mobil hitam dengan kaca gelap terparkir Rapih
Terlalu rapi untuk disebut tamu biasa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!