NovelToon NovelToon

Mengandung Benih Tuan Muda

Bab 1 _Pesta Yang Menghancurkan hidup

"Kamu harus menggantikan Rina dipesta itu, Kirana! Kamu tidak kasihan melihat Rina yang sedang sakit? Masa depan Rina dipertaruhkan jika sampai tidak datang ke pesta itu"

Kirana masih menunduk, sesekali melihat Rina yang sedang terbaring di tempat tidur.

"Tapi nyonya, saya takut. Saya tidak pernah pergi kepesta. Saya takut akan membuat kesalahan" Kata Kirana ragu.

“Hanya berdiri sebentar, makan, lalu pulang,” kata nyonya besar dengan nada tak ingin repot.

Tak ada pilihan lain, Kirana hanya bisa mengangguk tanpa membantah.

Rina, semula yang diundang ke pesta ulang tahun seorang anak konglomerat ternama, tetapi tiba-tiba ia jatuh sakit. Undangan itu tak bisa dibatalkan karena membawa nama perusahaan tempat Rina magang. Dan atas desakan majikan pemilik rumah, Kirana diminta menggantikan Rina, anak majikannya.

...----------------...

Mobil mewah yang dikirim keluarga majikannya berhenti di depan hotel bintang lima tempat pesta berlangsung.

Seumur hidup, Kirana belum pernah menginjakkan kaki ke tempat semewah ini. Langkahnya terasa canggung saat berjalan melewati karpet merah.

“Undangan?” tanya satpam elegan di pintu masuk utama.

Dengan gugup, Kirana menyodorkannya. “Atas nama Rina Hartono.” ucapnya.

Pria itu memeriksa sebentar, lalu memberi isyarat hormat. “Silakan masuk, Nona Rina.”

Jantung Kirana berdegup kencang. Nama itu bukan miliknya, tapi ia harus berpura-pura. Demi menjaga nama baik Rina, dan demi sedikit uang tambahan yang dijanjikan jika ia selesai mengikuti pesta tersebut.

Rina nampak canggung. Semua terlihat asing. Pesta itu begitu mewah, penuh lampu kristal dan gemerlap emas.

Musik lembut mengalun. Pria-pria bersetelan jas berdansa bersama wanita-wanita dengan gaun mahal. Kirana berdiri di sudut ruangan, menyentuh gelas jus jeruk yang disediakan, berusaha tidak menarik perhatian.

Namun, justru kehadirannya yang sederhana menarik tatapan sinis dari beberapa tamu.

“Siapa tuh? Gaunnya tua banget ya.”

“Aduh, kayak pembantu nyasar.”

Kirana menunduk malu. Ia tahu dirinya tidak selevel dengan orang-orang di ruangan itu, ia sangat canggung hingga untuk menatap pun ia sangat takut. Tapi ia harus bertahan hingga pesta ini selesai.

Tak begitu lama, suara riuh mendadak sunyi. Musik berhenti dan semua orang terlihat diam dengan hormat dan nampak tegang.

Kirana merasa bingung. Perasaan penasarannya membuat ia menatap kearah yang ditatap semua orang.

Pandangannya seketika ikut membeku. Seorang pria tampan, Tinggi, tegap, dan mengenakan jas hitam elegan yang dikawal oleh banyak pengawal berjalan masuk ke ruang pesta. Tatapannya tajam seperti elang, dan wajahnya terlihat asing sekaligus mengintimidasi. Pria itu mengangkat alis tipisnya, melewati Kirana, menatap nya tanpa senyum.

"Siapa dia?" gumam Kirana. Terpana sekaligus tegang, karena untuk pertama kalinya ia bertemu langsung dengan pria setapan itu di dunia nyata.

"Itu Alvaro. Pemilik pesta ini sekaligus orang yang sangat berpengaruh di kota ini" seorang pria tiba-tiba menjawab dan berada disebelahnya.

Alex, itulah namanya. ia menyodorkan minuman kepada Kirana. Sesekali Matanya menatap Kirana sangat liar. Walaupun Kirana berpenampilan begitu sederhana, namun tak ada yang dapat menandingi kecantikan Kirana di pesta itu.

"Mau minum?" Tanya Alex ramah menawarkan minuman ditangannya.

Kirana sangat canggung, "Terimakasih, saya sudah minum" Jawab Kirana, menolak dengan sopan.

"Jangan malu-malu. Ini adalah minuman terbaik di pesta ini. Kalau jus jeruk mah itu sudah biasa. Sekarang, kamu cobain minuman ini, enak, kamu pasti ketagihan jika meminumnya" Ujar Alex lagi agak memaksa.

Kirana mengambil minuman itu dengan ragu. Sedangkan Alex tersenyum penuh arti, menatap Kirana yang sedang meminum air yang dia berikan.

Kirana meneguknya. Rasanya manis dan agak pahit di ujung lidah, tapi ia tidak berpikir macam-macam. Dalam beberapa menit, kepalanya terasa berat. Pikirannya pun mulai kabur.

“Kenapa... kenapa ruangan ini... berputar?” bisiknya pelan, tubuhnya limbung.

Alex mendekat dengan senyum licik.

“Ternyata dosisnya bekerja cepat.” Tangannya menyentuh bahu Kirana yang mulai melemah.

Kirana mencoba berdiri, tapi lututnya goyah. “Apa... yang kau masukkan ke dalam minuman itu?”

“Sedikit bantuan agar kau rileks,” gumam Alex sambil mendekat, wajahnya menjijikkan saat memandang Kirana.

“Aku merasa... ada yang salah dengan minuman...”

Kirana pun mulai merasa kepalanya berputar. Tenggorokannya kering. Napasnya sesak.

“Apa... ini...?” bisiknya. Ia mulai gelisah dan tubuhnya terasa panas.

Melihat obat sudah bereaksi, Alex buru-buru membawa Kirana keluar dari pesta, membawanya ke kamar hotel dan meletakan tubuhnya disana.

"Malam ini, kau akan menjadi milikku. Akan ku buat kau menjerit puas malam ini sayang....." Ucap Alex, segera melepas pakaiannya, tak sabar ingin melahap tubuh Kirana yang sudah seperti cacing kepanasan di atas ranjang.

Kirana panik. Nafasnya memburu. Tangannya gemetar saat ia mencoba mendorong tubuh Alex yang mulai menindihnya.

Kirana yang masih memiliki kesadaran, tak ingin di nodai.

“Jangan sentuh aku!” Kirana berteriak, suaranya parau.

Tapi tubuhnya terasa berat, pikirannya melayang, dan dunia mulai buram. Obat itu membuatnya lemah, tapi tidak melumpuhkan kesadarannya sepenuhnya.

“Aku hanya ingin kau sedikit... lebih menurut, karena aku menginginkan tubuhmu” bisik Alex di telinganya, tangannya mencoba membuka resleting gaun Kirana.

Air mata Kirana mulai jatuh. Ia berusaha meraih benda apapun yang bisa digunakan untuk melawan. Disaat genting, Tangannya meraba meja kecil di samping sofa.

Dan—Cling!—ia meraih vas kaca kecil.

Dengan kekuatan terakhirnya, Kirana mengayunkannya ke kepala Alex.

Bugh!

Alex mengerang kesakitan, terhuyung ke belakang. Kepalanya berdarah hingga dia merasa hampir pingsan. Kirana segera bangkit—tertatih, tapi penuh keberanian. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Ia mendorong tubuhnya ke arah pintu.

“Dasar bajingan!” teriaknya, membuka pintu dan berlari keluar tanpa melihat ke belakang.

Lorong hotel terasa seperti labirin, tapi ia terus berlari. Napasnya berat, tubuhnya berkeringat, tapi jiwanya hanya ingin satu: bebas dari manusia bajingan itu.

"Hei....jangan kabur!" Alex beserta anak buahnya menyusul di belakang.

Kirana berlari secepat yang ia mampu. Keadaan begitu mendesaknya. Nafasnya memburu, dan jantung seakan berdegup sangat kencang hingga ia tak bisa mengatur nafasnya.

Matanya liar mencari tempat berlindung. Di ujung lorong lantai tujuh, ia melihat sebuah pintu kamar yang terbuka sedikit. Tanpa pikir panjang, Kirana masuk ke dalamnya dan segera menguncinya dari dalam. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya masih berkeringat dingin.

Beberapa saat. Alex dan beberapa rombongannya terdengar melewati kamar tersebut tanpa menyadari keberadaan Kirana di dalamnya.

Didalam hati, Kirana merasa lega. Ia pun menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya penuh kebebasan. Namun.......

Seseorang tiba-tiba mendekap tubuhnya. Memeluknya penuh kehangatan. Kirana terkejut. Sebuah ciuman mendarat di bibirnya tak terbantahkan. Kirana diam namun tak menolak ciuman itu.

Hasrat yang memuncak akibat pengaruh obat perangsang yang diberikan Alex, membuat Kirana tak bisa menahan diri untuk tidak menuntaskannya.

Ruangan dengan cahaya remang-remang, serta aroma parfum maskulin menyelimuti udara saat pria itu mendekapnya. Kirana serasa terhanyut dalam buaian hasrat yang menggelora.

Ia tidak menyadari bahwa kamar itu bukan kosong, dan penghuninya sedang dalam kondisi kacau akibat pengaruh obat yang serupa—Alvaro. Itulah namanya.

Dan dalam kabut kesadaran yang terganggu, mereka saling mendekap. Bukan karena nafsu, tapi karena keputusasaan. Karena kesendirian. Karena tubuh dan emosi mereka yang sama-sama tidak stabil.

Sentuhan yang dimulai dari pelukan—untuk mencari rasa aman—perlahan berubah menjadi pelampiasan tanpa logika. Mereka hanyut dalam malam yang tak bertuan, tanpa tahu siapa yang ada di depan mereka. Tak ada nama. Tak ada identitas. Hanya dua jiwa yang rusak, saling menyatu dalam gelap. Dan malam itu, menjadi awal kehidupan baru bagi Kirana.

.

.

.

Bersambung.

Bab 2 – Malam Tanpa Ingatan

Cahaya matahari pagi menyelinap masuk dari celah tirai kamar yang tidak dikenalnya.

Kirana mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat. Kepalanya pusing, tubuhnya terasa lemas, seperti habis berlari jauh atau… sesuatu yang lebih buruk.

Ia menoleh ke kanan, lalu ke kiri, mencoba mengenali ruangan yang ia tempati—namun semuanya terlihat sangat asing.

Seprai putih yang berantakan, bantal berserakan di lantai, dan aroma samar parfum maskulin menyengat hidungnya. Ia meraih selimut, menariknya menutupi tubuh yang hanya terbungkus gaun tipis yang sudah kusut. Hatinya mulai dilanda panik.

"Apa yang terjadi semalam…?"

Ia mencoba duduk, namun rasa nyeri di tubuh bagian bawah membuatnya mengerang pelan. Pandangannya menurun, dan saat itulah ia melihat—noda darah di seprai. Dadanya seketika terasa sesak, dan hawa panas menjalar ke wajahnya.

"Aku... aku tidak mungkin...," gumamnya, panik.

Kirana memejamkan mata, memaksa mengingat tentang apa yang terjadi. Potongan-potongan ingatan kabur muncul— Dirinya yang diberikan minuman oleh pria asing, Dirinya yang ingin dinodai, lari di lorong hotel... lalu gelap. Tidak ada wajah, tidak ada suara, hanya rasa takut dan dorongan untuk menyelamatkan diri. Dan.... satu yang ia tidak tau siapa pria yang bersamanya malam itu?

Tubuhnya gemetar. Wajahnya sangat panik. Kirana merasa sangat kacau, "Apa aku melakukannya?" Gumamnya, ragu.

Ditengah kepanikan dan rasa taku, Tangannya tanpa sengaja menyentuh sesuatu di ranjang—sebuah jam tangan pria yang terlihat sangat mahal. Tali kulit asli dan rangka emas mewah dengan inisial "A.W." terukir di bagian belakang.

Kirana menatap jam tangan itu seperti sedang memegang bom waktu. Pikirannya kacau. Siapa pemiliknya? Apakah dia... yang bersamanya semalam?

Kirana bangun dari ranjang asing itu, tubuhnya lemas, dan tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Sebuah jam tangan mahal dan noda darah menjadi satu-satunya petunjuknya.

...----------------...

Jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Kirana buru-buru pergi dari tempat itu, sebelum seseorang datang dan membuat keadaan semakin kacau.

Selain itu, Kirana panik karena harus memikirkan cara untuk menjelaskan kepada majikannya kenapa ia pulang terlambat dari pesta itu.

"Kirana!" Seru seseorang setelah dirinya masuk ke dalam rumah.

Sesuai dugaannya. Ny. Arita menunggunya datang dan kini sedang menatapnya tajam meminta penjelasan.

"Kata supir, setelah masuk ke pesta, kamu tidak kembali lagi. Sekarang kamu baru pulang jam segini, darimana saja kamu?" ucapnya tajam.

Kirana diam, bingung harus menjelaskannya dari mana?

"Jawab Kirana?" Desak Arita.

"Nyonya Arita… saya…"

"Kamu hanya saya suruh pergi ke pesta sebentar, tapi kenapa kamu baru pulang? Kamu tahu jam berapa sekarang?"

Kirana menggigit bibirnya. Jantungnya berdetak kencang, rasa takut dan malu saling bertabrakan di dada. Ia tidak mungkin bilang bahwa semalam ia terjebak di hotel bersama pria asing—tanpa tahu siapa orang itu—dan bangun dengan tubuh penuh luka serta bukti yang tak terbantahkan bahwa ia telah... dinodai.

"Anu nyonya.... saya....Maaf, Nyonya... semalam paman saya tiba-tiba sakit parah. Setelah pesta, Saya pergi karena panik dan ikut mengantar ke klinik. Lalu saya tertidur karena kecapekan," katanya akhirnya, dengan suara lirih.

Arita menyipitkan mata, seperti sedang menimbang apakah akan percaya atau tidak.

"Kenapa kamu tidak menghubungi saya? Atau paling tidak kirim pesan?"

"Ponsel saya kehabisan baterai, nyonya… saya benar-benar minta maaf. Saya tahu saya salah." Kirana menundukkan kepala.

Arita mendengus pelan, lalu memalingkan wajah.

"Kamu tahu sendiri saya ini orangnya nggak suka dibohongi. Tapi karena ini menyangkut keluarga, saya masih bisa toleransi. Lain kali, jangan seenaknya, Kirana. Kamu bukan gadis remaja yang bisa keluyuran sembarangan."

Kirana menunduk lebih dalam.

"Iya, nyonya. Saya janji."

Arita berbalik masuk ke dalam rumah, suaranya terdengar dari ruang dalam.

"Cepat ganti baju dan mulai bersih-bersih ruang tamu. Hari ini ada tamu penting dari kantor suami saya."

"Iya, Nya.... "

Kirana berdiri mematung beberapa saat sebelum akhirnya melangkah ke kamarnya. Begitu pintu kamar tertutup, air mata yang ia tahan sejak tadi pun tumpah.

Sebelah tangannya mengambil Jam tangan disakunya. Ia menatap jam tangan yang ia temukan itu dengan seribu pertanyaan.

Apa yang harus ia katakan kepada Bram, pacarnya, tentang semua ini? Apakah dia harus mengatakan bahwa dirinya sudah tidak perawan lagi? atau dia harus menyembunyikan semuanya? lalu bagaimana jika Bram mengetahui kebohongannya?

Kirana terpaksa berbohong. Jika ia mengatakan kebenarannya, maka pekerjaannya lah yang menjadi taruhannya. Dan pengobatan pamannya yang sakit akan terhenti karena terkendala keuangan. Tak hanya itu, hubungannya bersama Bram juga akan kandas setelah nya.

"Kirana? Kamu sedang apa? Aku boleh masuk?"

Kirana terkejut. Buru-buru ia menyembunyikan jam tangan itu.

Rani masuk setelah mengetuk pintu, "Apa aku mengganggu mu?" tanya Rani.

Kirana segera tersenyum, lalu mempersilahkan Rani untuk duduk.

"Ada apa, Ran?" tanya Kirana.

"Bagaimana pesta semalam? Maaf ya, karena aku harus merepotkan kamu lagi" kata Rani, merasa bersalah.

Rani adalah anak majikan yang paling baik kepadanya, sebab itulah Kirana akan melakukan apapun untuknya.

"Tidak masalah Ran. Cuma pergi ke pesta, itu tidak masalah untuk ku selagi bisa membantu mu" jawab Kirana tulus.

"Kamu sudah merasa baik sekarang?" tanya Kirana.

"Hmmm. Sudah sedikit lebih baik. Mungkin besok aku sudah akan kembali bekerja"

"Aku gak enak jika harus berlama-lama cuti. Ya, walaupun tempat aku magang itu adalah perusahaan kakakku" tambahnya.

"Kamu memang gadis yang pekerja keras. Tidak melihat status, dan tetap ingin melakukan yang terbaik. Aku yakin, suatu saat kamu akan menjadi wanita hebat" puji Kirana.

"Aku gak sehebat kamu, Kirana. Jika saja kamu bisa kuliah sepertiku, mungkin suatu saat kamu akan menjadi orang yang lebih hebat dariku" balas Rani saling melempar pujian.

"Kirana, ada yang mencarimu....... " Nyonya Arita mengejutkan keduanya.

"Siapa yang mencarimu, Kirana?" Rani bertanya-tanya. Sebab tidak seorang pun pernah datang untuk mencari Kirana.

.

.

.

Bersambung.

Bab 3 – Pewaris Tuan Muda

Kirana diam dengan wajah tegang.

"Apa orang itu yang mencariku sekarang setelah dia pergi dari kamar itu? Ahhh.... Gak mungkin..... Mana mungkin dia tau tempat tinggal ku. Kami saja tidak saling mengenal." Batinnya.

"Kirana, apa yang kamu pikirkan? Cepat temui orang itu! Tamu Papa nya Rani akan segera datang. Kamu harus segera membersihkan rumah" Ujar Arita.

Kirana tersadar dari lamunannya, "Iya.... iya... Nyonya" Kirana segera pergi untuk menemui seseorang yang datang mencarinya tersebut.

Sesampainya di depan pintu. Kirana menatap punggung seorang pria. Ia mencoba menajamkan pandangannya. Menelisik setiap inci sudut tubuh pria itu. Pria yang begitu ia kenal. Ya..... Itu Bram pacarnya.

"Bram...... " seru Kirana setelah mengenali siapa yang telah datang kerumahnya.

Bram berbalik. Tersenyum setelah saling bertemu tatap dengan Kirana.

Kirana menarik tangan Bram pergi menuju taman samping rumah. Ia membawa Bram duduk disana.

"Kenapa kamu kesini?" Tanya Kirana.

"Kuliah ku sedang libur. Aku merindukan mu, jadi aku langsung kesini" jawab Bram dengan senyuman sumringahnya.

"Tapi...... apakah orang tuamu tau?"

Bram menggeleng, membuat Kirana menganga karena terkejut.

"Apa yang kamu lakukan? Pergi dari luar negri dan datang kesini tanpa sepengetahuan orang tua mu? Bagaimana terjadi sesuatu? Jika kamu rindu, kamu bisa menelpon ku, tidak perlu sampai harus datang kesini. Apalagi kedua orang tua mu tidak tau tentang ini, Bram" omel Kirana agak kesal dengan aksi nekat pacarnya tersebut.

"Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Kirana. Aku sangat merindukan mu" jawab Bram dengan aksi wajah memelasnya.

Kirana menarik nafas dalam, "Tapi tidak harus sampai datang kesini, Bram. Bahaya untuk keselamatan mu. Jika terjadi sesuatu kepadamu, dan itu karena aku,.... aku tidak akan memaaafkn diriku sendiri, Bram"

"Maaf, Kirana. Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku janji" ucap Bram sungguh-sungguh dengan dua jari yang terangkat, bersanding sejajar, sebagai simbol bahwa ia bersungguh-sungguh.

Kirana diam. Memandang pacarnya yang begitu menyanyanginya. Terbesit rasa bersalah. Pantaskah jika dirinya menjadi pendamping hidup seorang pria sebaik Bram. Sedangkan dirinya sudah begitu hina. Dia melepaskan sesuatu yang seharusnya ia jaga untuk Bram sampai mereka menikah nanti.

"Kirana, ada apa? Apa kamu masih marah?" tanya Bram saat melihat Kirana hanya diam.

Kirana tersenyum tipis, "Tidak, Bram. Aku hanya sedang memikirkan pamanku yang sedang sakit" jawab Kirana berbohong. Sebenarnya bukan itu yang dia pikirkan.

"Apa perlu biaya?" tanya Bram serius.

Kirana menggeleng.

"Lalu?" tanya Bram lagi.

"Tidak ada Bram. Akhir-akhir ini paman sering sakit. Aku hanya khawatir dengan keadaannya. Aku takut dia meninggalkan aku. Aku tidak memiliki keluarga lagi selain dia setelah kedua orang tuaku tiada"

Bram menarik nafas, "Kita bedoa saja. Semoga pamanmu baik-baik saja dan diberikan kesembuhan lagi seperti biasa"

"Dan...... kamu jangan khawatir. Aku adalah keluarga mu. Aku menyayangimu dan kita akan menikah juga nanti. Aku janji akan menjagamu dan membahagiakan kamu, Kirana" lanjutnya.

Kirana hanya bisa tersenyum, "Entah setelah kamu mengetahui semuanya tentang diriku, apa kamu akan tetap seperti ini atau tidak Bram. Aku takut, diriku yang hina ini tidak akan pantas untuk mu." batin Kirana.

...----------------...

Sementara itu ditempat lain.

Di depan gedung pencakar langit milik Wilantara Grup. karpet merah terbentang, dan jajaran petinggi perusahaan berdiri berjajar dengan napas yang tertahan.

Para wartawan, investor, hingga pengusaha ternama telah berkumpul—semua menanti satu nama yang selama ini hanya mereka dengar melalui bisikan kabar luar negeri.

Tuan Muda Alvaro Wilantara.

Sebuah mobil hitam mewah berhenti perlahan di depan lobi utama. Pengawal pribadi buru-buru membuka pintu belakang, dan dari dalamnya keluar seorang pria tinggi dengan setelan jas hitam sempurna. Wajahnya teduh namun dingin seperti musim salju di Eropa Timur. Tatapan matanya menusuk tajam, seperti pisau yang siap menelanjangi siapa pun yang menatapnya terlalu lama.

Ia tidak tersenyum. Bahkan sekilas pun tidak.

Langkahnya mantap, terukur, dan penuh wibawa, seperti seorang raja yang kembali ke tahtanya. Orang-orang spontan memberi jalan, seakan tubuh mereka bergerak atas kehendak aura kuat yang memancar darinya.

“Selamat datang kembali, Tuan Muda,” ucap Direktur Eksekutif yang berdiri di barisan depan, sedikit menundukkan kepala memberi hormat.

Alvaro hanya menatapnya sebentar, lalu mengangguk kecil. Tidak ada basa-basi. Tidak ada pelukan hangat keluarga. Bahkan sang ayah—Tuan Herman Wilantara—yang berdiri menantinya di tangga lobi, tak mendapat sapaan.

Yang ada hanya diam.

Diam yang mencekam.

“Perkenalkan, inilah putra saya, pewaris utama Wilantara Grup,” ujar Tuan Herman kemudian, dengan suara yang berusaha terdengar tegas, padahal nadanya sarat tekanan.

“Alvaro Wilantara.”

Tepuk tangan menggema disana. Alvaro berdiri di tengah perhatian, namun seakan tidak terlibat secara emosional. Ia hanya memandang lurus ke depan, ekspresinya tetap datar tanpa celah.

_ _

“Lihat ini, Kirana! Astaga... dia tampan banget!” seru Rani, sambil nyaris melompat dari dudukannya di sofa ruang tamu.

TV di ruang tamu menayangkan siaran berita langsung dari sebuah gedung pencakar langit di pusat kota Jakarta. Tampak seorang pria muda turun dari mobil hitam mewah, mengenakan setelan jas mahal dengan postur tegap dan aura mengintimidasi.

“Pemirsa, inilah momen yang dinanti-nanti. Alvaro Wilantara, pewaris utama Wilantara Grup, akhirnya kembali ke Indonesia setelah bertahun-tahun berada di luar negeri. Hari ini, ia resmi diperkenalkan sebagai penerus tahta bisnis keluarga yang telah berdiri selama lebih dari tiga dekade…”

Rani berseru lagi, tangannya menunjuk layar, matanya berbinar seperti remaja yang melihat idola K-Pop.

“Duh, dia kayak bukan manusia, Ran. Lihat tatapannya! Gila banget!” ujarnya sambil mendekat ke layar TV, padahal gambarnya sudah cukup besar.

Di sudut ruangan itu, Kirana menyapu lantai dengan gerakan pelan. Awalnya dia tak terlalu memperhatikan. Namun saat nama itu disebut lagi—Alvaro Wilantara—telinganya bergerak sedikit, dan refleks ia menoleh.

Pandangan matanya menumbuk layar TV.

Seketika tubuhnya kaku.

Kirana berdiri mematung dengan sapu masih digenggam. Matanya menatap lurus ke wajah pria yang ditampilkan di layar.

"Wajah itu... ada sesuatu yang aneh." gumam Kiran dalam hati.

Bukan karena ketampanannya. Bukan karena jas mahal atau sorot mata tajam seperti elang yang seperti mengintai mangsa.

Tapi kanapa... Kirana merasa dia pernah melihat wajah itu. Entah di mana. Entah kapan. Samar. Kabur. Tapi anehnya, perasaan itu begitu kuat. Seolah alam bawah sadarnya sedang berteriak, mengingatkan sesuatu yang terlupakan.

“Kirana? Hey... kamu kenapa?” tanya Rani, akhirnya menyadari temannya diam tak bergerak.

Kirana tersentak sedikit. Ia tersenyum kaku, menyembunyikan kegugupannya, lalu kembali menyapu dengan gerakan terburu-buru.

“Enggak apa-apa,” jawabnya singkat.

“Eh, jangan bilang kamu juga jatuh cinta ya sama pria tampan itu? Hahaha!” goda Rani.

"Ngawur ah..... kenal aja nggak kan" jawab Kirana yang segera menepis ucapan Rani.

Kirana hanya tersenyum kecil, tapi di dalam hatinya bergemuruh memikirkan.

Ia menunduk, berpura-pura fokus pada sapu yang menyisir debu di sudut ruangan. Tapi pikirannya tak bisa lepas dari wajah di layar itu. Kirana merasa wajah itu tidak asing, namun tak tahu siapa dia.

.

.

.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!