NovelToon NovelToon

Hingga Aku Tak Lagi Menunggu

Lagi lagi Asha

Tiiin tiiin tiiin

Suara klakson mobil sang ketua yayasan kembali terdengar di area tempat tinggal anak-anak putri. Benar, ini adalah hari pertama anak-anak tersebut menjalani pesantren kilat selama Ramadhan di rumah Qur'an Al Husna.

"Siapa lagi yang dateng?" tanya Asha pada Naira, temannya.

"Ustadz Alam," jawab Naira yang sedang memakai hijabnya.

"Lagi? Ini udah yang kelima kalinya beliau kesini," sahut Rayna yang baru saja kembali setelah mengurus anak-anak yang baru tiba disana.

"Kalian tunggu disini, biar aku yang turun," ucap Naira setelah selesai dengan hijab dan kaus kakinya.

Naira pun turun kebawah mendatangi ustadz Alam, kali ini entah apalagi yang dibawanya kemari. Dan entah alasan apalagi yang ingin ia buat agar dirinya bertemu dengan Asha. Sebelum dia memanggil nama Asha, maka Naira berinisiatif turun menghampirinya. Naira merasa kasihan pada Asha, namanya selalu tersebut oleh ustadz Alam, entah itu keperluan yang urgent ataupun tidak sekalipun.

"Assalamualaikum," ucapnya setelah bertemu dengan Naira.

"Wa'alaikumsalam ustadz," jawab Naira ramah, meskipun dalam hatinya ia tetap kesal pada orang dihadapannya.

"Ustadzah Asha nya kemana?" tanyanya begitu matanya tak melihat kehadiran Asha.

"Lagi istirahat ustadz, Asha baru selesai sama kegiatannya, nanti sore kan harus berkegiatan lagi hehe," balas Naira beralasan agar ustadz Alam tidak memanggil Asha.

"Bisa tolong dipanggilkan sebentar? Saya perlu bantuan," pintanya pada Naira.

"Antum gak liat apa didepan sini ada orang? Asha mulu! Dasar duda modus!" maki Naira pada orang didepannya ini.

"Asha lagi istirahat ustadz, nanti saya panggil Rayna aja ya, kebetulan Rayna juga lagi santai." ujar Naira.

"Yaudah panggil aja dua-duanya," keputusan akhir yang tidak bisa diganggu gugat.

Naira pun mengangguk sebagai jawaban, ia segera pergi memanggil dua temannya yang berada di kamar. Dirinya benar-benar kesal pada ustadz Alam, mengapa harus Asha? Bukankah masih banyak orang yang tinggal di kediaman akhwat ini? Ia bukan merasa iri, tapi kasihan pada Asha yang selalu harus meladeni ketua yayasan tersebut.

"Shaaa! Ashaa!" panggilnya saat ia tak melihat temannya itu.

"Ray, Asha mana?" tanya Naira pada Rayna ynag sedang merapikan lemarinya.

"Kamar mandi," jawab Rayna sambil melihat kearah kamar mandi.

Naira pun segera berjalan ke arah kamar mandi, dan mengetuk kamar mandi tersebut. Sekali dua kali tak ada jawaban dari Asha, karena memang keran didalam menyala, dipastikan Asha tidak mendengarnya. Setelah ketukan yang kesekian kalinya, akhirnya Asha dapat mendengar suara ketukan pintu.

"IYAA KENAPA?" teriaknya dari dalam kamar mandi.

"Dipanggil ustadz Alam," jawab Naira yang kemudian segera menghampiri Rayna juga.

"Aku lagi mandi Nai, suruh Rayna aja noh!" ujar Asha dengan keras.

"Buruan sha, beliau gamau kalo cuman aku sama Rayna doang," desak Naira.

"Yaudah iya bentar, aku pake baju dulu," meskipun enggan, akhirnya Asha mempercepat kegiatannya.

Beberapa menit kemudian

"Ayo," ajak Asha pada kedua temannya.

Mereka pun segera turun menuju halaman rumah, dimana ustadz Alam menunggu sejak tadi. Dapat dilihat saat mereka keluar, tatapannya langsung tertuju pada Asha. Gadis bergamis coklat dipasangkan dengan jilbab berwarna nude itu merasa tak nyaman ditatap seperti itu olehnya. Ia segera memundurkan langkah ke belakang Rayna, agar dirinya tidak terlihat dengan jelas olehnya.

"Ayo dibantu bawain ini kedalem," ucapnya pada ketiga gadis itu.

Mereka bertiga melihat kardus-kardus besar yang entah apa isi didalamnya, ketiganya kemudian saling bertatapan. Apa ini maksudnya? Mereka bertiga harus memindahkan semua kotak besar ini kedalam? Dalam keadaan sedang berpuasa? Yang benar saja.

"Ini semua ustadz?" tanya Rayna tak percaya.

"Iyaa, bisa kan?" jawabnya tanpa dosa.

Mereka mengangguk mengiyakan, entah dosa apa yang mereka perbuat sehingga ketua yayasan tersebut selalu menghukum mereka dengan tugas-tugas berat, terlebih Asha.

"Kenapa gak ajak ustadz-ustadz di sakan (asrama) Banin aja sih, kan mereka satu tempat tinggal!" kesal Rayna.

Benar juga apa yang dikatakan Rayna, mereka para ustadz kan satu tempat tinggal, terlebih disana semuanya masih berusia muda, hanya ustadz Alam saja yang tak muda lagi. Tapi apapun itu, ustadz Alam pasti tidak akan meminta bantuan para ustadz muda tersebut jika akan datang ke sakan Banat, ia pasti akan menyulitkan Asha.

"Ini apa neng?" tanya seorang ibu dapur yang baru saja tiba disakan Banat, ia hendak menyiapkan takjil untuk semua orang.

"Gatau apaan bu isinya, itu ustadz Alam yang bawa," jawab Asha tak semangat.

"Ustadz Alam? Bukannya tadi udah kesini ya?" kata ibu dapur tersebut yang juga keheranan mengapa ustadz tersebut berkali-kali datang kemari.

"Biasa, modus pengen ketemu Asha bu," timpal Rayna dengan cekikikan nya.

"Ray ngomongnya ih!" tegur Asha.

"Sorry sorry sha, lagian tiap kesini harus ketemu kamu dulu, siapa coba yang gak curiga," balas Rayna tanpa dosa.

"Udah udah, ayo cepetan angkat lagi, keburu ashar nih," sela Naira yang sudah mulai kelelahan.

Bertepatan dengan kumandang adzan Ashar yang menggema dari menara masjid pesantren, tiga gadis itu menyeka peluh di kening mereka, menandakan tugas mengangkut kardus-kardus besar berisi bahan masakan untuk keperluan Ramadhan telah rampung. Kardus-kardus itu, yang berisi beras, minyak, dan aneka bumbu dapur, kini telah tersusun rapi di dalam gudang logistik yang teduh dan sedikit berdebu.

Ustadz Alam, yang sedari tadi mengawasi sambil membantu mencatat daftar bahan, tersenyum ramah kepada mereka.

"Jazakumullah khayran," ucapnya sembari menyerahkan satu per satu bingkisan kepada masing-masing dari mereka, sebuah tanda terima kasih atas tenaga yang mereka curahkan.

Mata Asha sempat menangkap sesuatu yang janggal. Bingkisan yang diterimanya lebih kecil, warnanya pun berbeda dari milik kedua temannya. Ia memandangi benda itu sejenak, ada rasa bingung yang menggelitik benaknya. Namun, ia menahan diri untuk bertanya. Tak ingin prasangka buruk berlama-lama tinggal di hatinya, ia mencoba tersenyum.

"Mungkin isinya sama aja, cuman bungkusnya aja yang beda," batinnya, ia mencoba menenangkan diri dengan husnudzon.

Setelah ustadz Alam berpamitan dan meninggalkan area sakan Banat, ketiganya saling bertukar pandang sejenak, menghela napas ringan, lalu tersenyum. Tak butuh waktu lama, mereka segera melangkah masuk kembali ke dalam, menyadari bahwa waktu Ashar telah tiba dan anak-anak harus segera diarahkan untuk sholat berjamaah.

Hari ini adalah hari pertama mereka mengajar di program pesantren kilat Ramadhan. Maka, segala sesuatunya harus berjalan dengan sebaik mungkin.

"Ayo, kumpulin anak-anak buat Ashar. Nggak boleh telat," kata Rayna mantap, suaranya sedikit bersemangat.

"Bismillah, semoga nggak ada yang ngumpet lagi di belakang rak sepatu kayak tadi shubuh," timpal Naira dengan nada bercanda, membuat Asha terkekeh pelan.

Setelah berhasil mengumpulkan anak-anak dan sholat Ashar berjamaah bersama mereka, para santri diarahkan kembali ke kelas-kelas kecil yang sudah dibagi. Rayna dan Naira pun langsung bergerak menuju tempat mengajar. Wajah-wajah kecil para santri terlihat penuh semangat dan rasa penasaran.

"Sha, kamu nggak ikut?" tanya Naira sambil menyampirkan tas berisi modul di bahunya.

"Enggak, aku kebagian dapur hari ini," jawab Asha sambil menunjuk celemek di tangannya. "Nanti kalo selesai bikin takjil, aku nyusul bantu di kelas In Syaa Allah, itupun kalo sempet." sambungnya

"Okedeh kalo gitu, semangat yaa! Jangan kebanyakan makan gorengan," goda Naira sambil tertawa sebelum akhirnya berjalan menjauh bersama Rayna.

Di dapur belakang, aroma khas sore Ramadhan mulai memenuhi udara. Uap panas dari kolak pisang yang dimasak, wangi bawang dari gorengan, dan semerbak harum teh manis menciptakan atmosfer yang khas dan hangat. Asha segera berjalan masuk kedalam dapur, dapat ia lihat 2 ibu dapur sedang sibuk menyiapkan takjil hari ini.

"Assalamu’alaikum, Bu." ucap Asha saat masuk kedalam.

"Wa’alaikumussalam, nah ini dia bala bantuan Ibu hari ini," jawab Bu Ina, salah satu ibu dapur senior, sambil menyeka keringat di dahi. "Langsung aja ya, potong-potong semangka itu. Nanti bantu bungkus kolak juga."

"Siap, Bu," jawab Asha sambil mengambil pisau dan memasang celemek.

"Banyak banget bu hari ini takjil nya," ujar Asha saat melihat ada beberapa menu yang disiapkan oleh bu Ina.

"Iya nih, ustadz Alam yang minta harus ada beberapa jenis katanya," kata bu Ina.

"Oh iya neng, tahun ini berapa jumlah santri Banat sama Banin yang ikut?" lanjut bu Ina sembari tetap fokus mengaduk kolak diatas kompor.

Asha berpikir sejenak sambil mengingat catatan yang ia tulis di buku absen tadi pagi, kemudian setelah mengingatnya ia segera memberitahukan pada bu Ina.

"Hmm, Banin ada 42, Banat 38 orang, trus pengajarnya ada 18 bu, total 98 orang bu tahun ini," jawab Asha.

"Wah, banyak juga ya… pantesan kolaknya harus dua panci," gumam Bu Ina sambil menuangkan adonan ke wadah.

Asha tersenyum, "Iya, Bu. Tapi insya Allah cukup kok," ucapnya sembari terus memotong semangka.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara Naira dari balik pintu dapur, "Shaaa, jangan nyicipin kolaknya banyak-banyak yaa!"

"Tenang, Naii, satu sendok pun belum! Tapi gorengan yang kriuk ini, hmm... menggoda," sahut Asha sambil tertawa.

"Wuih, bahaya nih. Cepetan selesaiin, bentar lagi ada yang mau ngambil takjil nya!" ujar Naira.

"Iyaa bentar lagi selesai kok," balas Asha.

Ada apa dengan ustadz Alam?

"Akhirnya selesai juga ya bu," ucap Asha meregangkan otot-ototnya yang kaku.

"Iya neng Alhamdulillah," balas bu Ina yang baru saja mendudukkan bokongnya.

"Nanti katanya diambil kesini," ujar Rayna yang baru saja tiba di dapur dengan perlengkapan mengajarnya.

"Siapa yang ambil?" tanya Asha penasaran.

"Kamu berharapnya siapa sha? Ustadz Alam? Ustadz Nael atau ustadz Afkar?" lagi dan lagi Rayna menggodanya.

"Gak satupun dari mereka," balas Asha tertawa kecil.

"Firasat aku sih ustadz Alam lagi haha," celetuk Naira diiringi tawa jahil nya.

"Jangan sampe ya Allah," timpal Asha yang mungkin sudah mulai bosan melihat wajah ustadz Alam.

Suasana sore di rumah Qur'an begitu hangat. Di tengah tawa yang bersahutan, para santri putri sedang bercanda ringan di ruang tengah, dan ketiga gadis yang sedang mengobrol di dapur, membahas siapa yang akan bertugas mengambil takjil hari ini.

"Kayaknya ustadz Nael deh, secara beliau yang paling sering nganggur kan wkwkwk," gurau Rayna.

"Kalo kata aku sih ketua yayasan kita, beliau gak akan mungkin nyia-nyiain waktu buat ketemu Asha, yakan sha?" timpal Naira menyenggol bahu Asha.

"Diem gak kalian! Kuping aku sakit denger namanya!" Asha benar-benar kesal jika kedua temannya bercanda tentang ustadz Alam.

Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari arah pintu depan, disusul dengan salam yang dilantunkan lembut oleh seorang pria. Suasana seketika hening. Semua menoleh, saling berpandangan penasaran.

"Siapa?" bisik Rayna pada kedua temannya.

Naira dan Asha beradu pandang, kemudian menatap Rayna bersamaan, mereka pun mengangkat kedua bahu mereka sebagai jawaban bahwa mereka juga tidak tahu siapa yang datang.

Aisyah, salah satu santri kelas 4 yang memang paling dekat dengan pintu depan, segera berdiri dan membuka pintu. Di sana berdiri 3 pria, ketiganya menyapa Aisyah dengan sopan dan ramah. Salah satu dari mereka menyampaikan maksud kedatangannya,

"Assalamu'alaikum, eh ada Aisyah," salamnya pada gadis tersebut.

"Wa'alaikumsalam ustadz, mau ngambil takjil ya?" tanyanya pada pria yang dipanggil ustadz tersebut.

"Iya, udah selesai kan dimasaknya?" balas pria itu.

"Sebentar aku tanya ustadzah Asha dulu," ujar Aisyah yang kemudian berlari ke arah dapur.

"Ustadzaaaah," teriakan Aisyah menggelegar seiring tubuhnya masuk kedalam dapur.

"Udah selesai masaknya? Didepan ada ustadz Nael, ustadz Afkar sama ustadz Alam mau ambil takjilnya," jelas Aisyah saat tiba di dapur.

Sementara ketiga gadis dan juga ibu dapur saling tukar pandangan dan kemudian tertawa bersama. Tak disangka ketiga pria yang mereka sebutkan tadi akan datang secara bersamaan, sungguh moment yang sangat langka.

"Tumben banget ya," ucap bu Ina menatap Asha.

"Lagi akur bu," sahut Rayna.

"Udah sana anterin makanannya, sebentar lagi udah mau maghrib," ucap bu Sulis (ibu dapur) kepada ketiga gadis itu.

Langit sore mulai berubah warna, perlahan menyapukan jingga ke langit yang semula biru pucat. Suara adzan maghrib masih beberapa menit lagi, namun aroma takjil yang menggoda sudah memenuhi halaman sakan. Tiga gadis melangkah keluar dengan wadah-wadah berisi takjil di tangan mereka. Asha berjalan paling depan, diikuti oleh Rayna dan Naira. Wajah mereka tampak cerah, meski langkah mereka tetap terjaga tenang, sesuai adab yang diajarkan.

Di depan, tiga ustadz sudah berdiri menanti, tampak sedang berbincang ringan sambil sesekali melirik ke arah sakan. Begitu melihat ketiga gadis itu mendekat, mereka pun segera menyambut dengan senyum ramah.

Asha sedikit menundukkan kepala sebagai bentuk hormat, lalu berkata dengan nada tenang namun tegas.

"Ini takjil untuk Banin dan asatidz, jumlahnya sudah sesuai seperti yang diminta. Tapi kita tambahin 5 porsi cadangan, takutnya ada kesalahan hitung atau ada tamu yang mungkin datang belakangan." ucap Asha sambil memberikan kotak yang ada ditangannya.

Dengan cepat ustadz Alam mengambil alih kotak besar tersebut dari tangan Asha, tentu saja hal itu mengejutkan Asha. Pasalnya jarak diantaranya dan ustadz tersebut jadi sangat dekat, dan Asha belum pernah sedekat ini dengan lawan jenis. Asha segera memundurkan tubuhnya, dan hal tersebut tak luput dari pandangan ketiga ustadz dan dua temannya.

"Jazakumullah khair, Asha. Teliti seperti biasa, ya," ujarnya sambil tersenyum.

Asha hanya mengangguk pelan sambil menunduk, ia merasa bahwa ustadz Alam semakin tidak memiliki batasan terhadap para ustadzah, terlebih padanya. Entahlah ia benar-benar merasa canggung sekarang, setelah selesai Asha segera berjalan masuk kedalam membiarkan kedua temannya berbincang dengan ketiga ustadz tersebut.

"Saya izin pamit, Assalamualaikum," pamitnya kemudian masuk kedalam.

"Oh iya ustadz ini sisanya," ujar Naira dan Rayna memberikan 3 kotak lainnya kepada ustadz Nael dan ustadz Afkar.

Mereka pun menerimanya, setelah selesai ketiganya segera berpamitan karena waktu berbuka sudah hampir tiba. Naira dan Rayna segera berlari kecil menyiapkan takjil untuk Banat juga.

"Asha mana bu?" tanya Rayna pada bu Sulis.

"Asha tadi keatas, katanya perutnya tiba-tiba sakit neng," jawab bu Sulis yang sedang menata takjil untuk Banat.

"Tiba-tiba bu?" sahut Naira yang sedang mengambil es timun.

"Iya neng, coba aja ditanya takutnya kenapa-napa," timpal bu Ina.

"Oh iya bu, yaudah Ray aku keatas dulu ya liat Asha," ucap Naira yang diangguki Rayna.

Naira menaiki anak tangga dengan langkah sedikit tergesa. Ia masih memikirkan kabar dari teman sekamarnya yang tiba-tiba katanya sakit perut, padahal beberapa menit yang lalu Asha masih tampak baik-baik saja. Sesampainya di lantai atas, Naira membuka pintu kamar mereka perlahan. Sepi, tak ada siapa-siapa di dalamnya. Ranjang Asha pun rapi, tidak seperti orang yang sedang terguling menahan nyeri.

Naira berdiri sejenak di ambang pintu, pandangannya menyapu seluruh sudut kamar, berharap menemukan Asha.

"Asha?" panggilnya pelan, tak ada jawaban. Ia mendekat ke sisi ranjang, lalu memanggil sedikit lebih keras, "Shaa, dimana kamu?" panggilnya lagi.

Suara samar menyela kesunyian. Bukan dari dalam kamar, melainkan dari luar, dari arah balkon. Hembusan angin yang membawa aroma sore hari dan suara dedaunan yang bergesekan seolah menjadi saksi bahwa ada seseorang di sana.

Langkah Naira segera terarah ke pintu kaca balkon. Dan benar saja, di sana Asha berdiri menyandar pada pagar balkon, diam menatap langit yang mulai berwarna keemasan. Raut wajahnya kosong, namun tak bisa menutupi kesedihan yang samar.

"Asha?" suara Naira pelan, nyaris berbisik. Gadis itu menoleh perlahan, seperti baru tersadar dari lamunannya.

"Eh Nai, kenapa?" tanya Asha polos menatap Naira dengan nafas ynag terengah-engah.

"Katanya sakit perut, kenapa?" timpal Naira.

"Haid Nai," jawab Asha dengan kekehan kecil.

"Seriusan?" ucap Naira terkejut.

"Hmm, tadi banget pas aku mau siap-siap buka," ujar Asha dengan anggukan kecilnya.

"Pantesan galau ngelamun di balkon," sahut seseorang dibelakang mereka. "Taunya dateng tamu bulanan," sambungnya sembari berjalan kearah mereka.

Benar, datang bulan di detik-detik menjelang berbuka adalah hal yang sangat menyakitkan. Terlebih Asha yang selalu kesakitan ketika datang bulan, semakin menambah penderitaan nya.

"Yaudah ayo turun, tar lagi mau adzan maghrib," ajak Rayna pada keduanya.

"Kalian aja, aku disini aja," tolak Asha.

"Ikut aja, hari pertama harus lengkap," ajaknya lagi pada Asha.

Meskipun ustadzah disana banyak, tapi hanya Asha, Naira dan juga Rayna yang masih lajang. Sisanya sudah berumahtangga, dan tinggal cukup jauh dari sakan yang mereka tempati saat ini, jadi ustadzah yang lain mungkin hanya beberapa kali saja ikut berbuka disana, sementara sisanya mereka habiskan bersama keluarga tentunya.

Skip selesai buka puasa dan kegiatan lainnya.

Malam itu, selepas semua kegiatan Ramadhan selesai, suasana di sakan Banat terasa lebih sunyi dari biasanya. Lantunan tilawah terakhir dari musholla sudah reda, suara gelak tawa santri pun mulai mereda, berganti dengan detik jam yang berdetak pelan dari dinding. Di dalam kamar mereka, Asha, Rayna, dan Naira tengah bersiap untuk beristirahat.

Naira sudah mematikan lampu utama, menyisakan cahaya temaram dari lampu tidur kecil di pojok ruangan. Mereka bertiga sudah berada di atas kasur masing-masing, hanya terdengar helaan napas lelah. Namun saat sunyi mulai menjalar, suara Asha tiba-tiba memecah keheningan.

"Ray... Nai... Aku boleh cerita sesuatu?" ucap Asha pelan, tapi jelas terdengar penuh beban.

Rayna langsung menoleh dari posisi rebahnya. Ia segera mendudukkan posisinya, kemudian menatap fokus pada Asha. Ini kali pertamanya Asha ingin bercerita kepada mereka dalam 2 tahun ini, dan tentunya tak boleh mereka sia-siakan.

"Bolehlah, kenapa?" balas Rayna cepat

Asha duduk, menarik selimutnya ke pangkuan. Ia menunduk sejenak, seolah menyusun kata agar penyampaian nya tidak disalah fahami oleh kedua temannya itu.

"Sebelum Ramadhan kemarin, aku sempet telponan sama orangtua," Asha memulai pembicaraan nya.

"Terus?" Rayna sangat penasaran dengan apa yang akan Asha sampaikan.

"Mereka nyuruh aku berhenti ngajar," lanjut Asha menatap kedua temannya secara bergantian.

Naira yang tadinya sudah setengah mengantuk, langsung duduk. Kemudian menatap Asha dengan serius, sebelumnya ia menggelung kembali rambutnya yang sudah tergerai karena akan tidur.

"Hah? Serius? Tapi... kenapa?" tanyanya terkejut.

"Hmm, mereka bilang aku terlalu mentingin urusan disini tanpa peduli sama mereka. Udah 2 tahun aku ngajar disini katanya udah cukup. Ibu aku bilang, 'Asha udah berjuang cukup jauh, sekarang waktunya fokus di rumah, bakti sama ayah sama ibu.'" Ia menirukan suara ibunya dengan lirih, matanya mulai berkaca-kaca.

"Trus kamu respon gimana sha?" Rayna semakin penasaran dengan respon Asha.

"Trus aku bilang ke ibu... 'Bu, Asha masih punya sisa 2 tahun disini. Asha udah tandatangan kontrak waktu itu.'" sambung Asha.

Rayna menyela, "Dan pihak yayasan gak kasih kamu keluar, ya?"

"Enggak. Bahkan waktu aku coba sampaikan niat mundur, mereka langsung tolak. Ustadzah Sarah bilang, 'Asha bagian penting di sini. Banyak santri yang maju karena metode ngajarmu. Kami nggak bisa cari pengganti secepat itu.'" jelasnya.

Asha menghela napas berat, kemudian melanjutkan, "Aku bingung. Di satu sisi aku nggak mau kecewain orangtua, tapi di sisi lain aku juga gak bisa lepas tanggung jawab."

"Iya juga sih, pasti dilema banget kalo gitu," ucap Naira yang mulai mendekati Asha.

Asha hanya mengangguk. Tapi sebelum suasana kembali sunyi, ia berkata lagi.

"Sebenernya masih ada hal lain yang lebih aku khawatirin" ucap Asha.

Rayna menatapnya dengan dahi mengernyit. "Apa lagi, Sha?"

Asha diam sejenak. Kali ini lebih lama. Matanya memandangi plafon kamar dengan sorot sendu.

"Ustadz Alam."

Rayna dan Naira sama-sama langsung menoleh cepat.

"Kenapa Ustadz Alam?" tanya Naira, penuh penasaran.

Asha menunduk, suara lirihnya mulai terdengar lagi. "Akhir-akhir ini... dia makin aneh. Aku mulai risih."

Rayna menyipitkan mata. "Aneh gimana maksudnya?"

"Dia itu terang-terangan, Ray. Setiap rapat, dia selalu cari kursi yang pas di depanku. Bener-bener depan mata. Padahal kan bisa duduk di mana aja. Terus, kalau aku ngomong atau presentasi, dia selalu perhatiin. Bahkan kadang kayak lupa kalau orang lain juga ada di ruangan itu, bukannya aku narsis, tapi kalian bisa liat kan diruang rapat." jelas Asha mengeluarkan isi hatinya.

"Bener sih, rada-rada tu duda satu," geram Naira saat Asha menceritakan hal tersebut.

"Lagian dia gak sadar apa ya dia tuh seumuran sama ayahmu sha? Malah pengen ngembat anak usia 20an buat jadi bini, mending kalo dudanya spek Liu Yuning, atau minimal Milles Wei yakan? Lah ini? Spek aki-aki bau kemenyan!" imbuh Rayna dengan memutar bola matanya.

"Lagian kenapa baru ngomong sekarang sih sha? Kan kita gatau kalo kamu mendem beban kayak gini," ucap Naira yang merasa geram.

"Aku bingung, Nai. Aku bukan siapa-siapa, cuma guru. Mau ngomong juga takut disangka lebay." balas Asha yang memang kebingungan.

Asha kemudian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara berat.

"Yang paling parah itu tiap bulan Ramadhan kayak gini. Dia sering banget dateng ke sakan Banat, katanya mau antar barang dari donatur lah, anterin wakaf Al Quran lah, trus masih banyak lagi. Tapi kenapa harus dia yang anter? Kan masih banyak ustadz lain. Masa iya, ketua yayasan nganter sendiri kesini, hari ini aja kan udah 5x dia kesini dengan alasan lain-lain." jelas Asha menggebu-gebu.

Rayna mulai kesal, ia juga bisa merasakan apa yang Asha rasakan. Terlebih ustadz Alam selalu meminta Asha yang menerima barang yang dibawa beliau, atau meskipun cuman sekedar menyambut, itu harus Asha.

"Mana apa-apa harus sama kamu lagi, modus!" timpal Rayna dengan kesal.

Asha mengangguk pelan. "Yakan, selalu aku. Kadang karena udah terbiasa kayak gitu, ustadzah-ustadzah lain selalu nyuruh aku yang keluar, katanya 'Karena kamu yang paling dekat dengan beliau.'" ujar Asha menirukan perkataan yang sering ia dengar dari para ustadzah.

Ia tertawa getir, ia tiba-tiba teringat saat ustadz tersebut meminta Asha membuatkannya teh saat ia berkunjung ke tempat Banat. Padahal ia bisa minta tolong ke ibu dapur, tapi ia lebih senang merepotkan Asha.

"Dekat? Aku bahkan gak pernah ngobrol di luar urusan kerja, sekalipun urusan kerja, aku pasti bahas didepan semua orang." sambungnya.

Naira menggigit bibir. "Wah... ini udah mulai gak sehat sih." timpal Naira.

Asha mengangguk lagi, tapi kali ini air matanya menetes. Ia sudah tak bisa menahan air matanya yang sudah terbendung lama, hingga pada akhirnya jatuh juga membasahi pipinya.

"Masalahnya... wali santri mulai gosip. Mereka bilang aku ada hubungan sama Ustadz Alam, aku gak bisa jawab. Karena setiap kali beliau datang, ya memang aku yang keluar. Aku yang bantu angkat barang, aku yang antar ke dalam." Asha bahkan tak bisa membela dirinya sendiri di hadapan orang-orang, karena memang begitu kenyataannya.

"Kalo kalian inget, dulu waktu ustadzah Hamnah sama suaminya baru dateng, mereka bahkan sempet ngira aku istrinya beliau, saking apa-apa harus sama aku." lanjutnya dengan menggigit bibir bawahnya.

Rayna langsung memeluk Asha. "Sha, kamu gak salah. Kamu cuma terjebak dalam posisi yang gak adil." ia juga ikut kesal jika ustadz Alam selalu meminta Asha yang melayaninya, untuk apa ada bu Ina dan bu Sulis jika semuanya harus dilakukan oleh Asha.

"Oh iya, bingkisan yang dikasih sama beliau kalian udah liat?" tanya Rayna teringat akan bingkisan ynag diberikan ustadz Alam tadi.

Kedua temannya menggeleng, menandakan mereka belum membuka bingkisan yang diberikan oleh pria 47 tahun tersebut.

"Buka dulu yuk, aku penasaran," ajak Rayna pada kedua temannya, yang diangguki oleh mereka.

Hadiah yang tak diminta

Setelah mendengarkan curahan hati Asha, ketiganya memilih diam sejenak, membiarkan udara malam masuk melalui jendela yang terbuka. Suasana kamar mereka lengang, hanya suara angin yang menyelusup pelan di antara celah tirai dan detik jarum jam yang terus berdetak. Bingkisan dari Ustadz Alam yang tadi sempat mereka letakkan di atas meja kecil, kini menarik perhatian.

"Ayo buka bareng aja," ucap Rayna ringan, berusaha mencairkan suasana.

Dengan pelan, Rayna membuka bingkisannya. Disusul oleh Naira. Mereka saling pandang dan tertawa kecil saat melihat isi di dalamnya sepasang abaya hitam, polos namun tampak mahal dan anggun. Kainnya jatuh lemas saat disentuh, menunjukkan kualitas yang tidak main-main.

"Maa Syaa Allah... lumayan banget ini buat lebaran nanti," ujar Rayna, mencoba bersyukur dengan sederhana.

Naira ikut tersenyum, lalu menoleh ke Asha. Ia melihat Asha yang tidak semangat membuka bingkisannya, kemudian ia mendekat kearah Asha dan menatap bingkisan miliknya, kemudian berkata.

"Sha, buka punyamu juga, pasti samaan kayak kita, yakan Ray?" ucap Naira sembari memberi kode agar Rayna mengiyakan perkataannya.

"Bener Sha, coba buka," ujar Rayna.

Asha ragu sejenak, lalu menarik nafas dan meraih kotak bingkisannya. Ia baru menyadari, kotaknya sedikit lebih kecil dan berbeda warna, tidak berbungkus kain hitam seperti milik Rayna dan Naira, melainkan coklat keemasan dengan pita satin tipis. Perlahan, ia membukanya. Di dalamnya, tergolek sebuah gelang kecil berwarna perak, sederhana namun tampak mahal. Di sampingnya, sebuah jam tangan mungil, desainnya minimalis tapi elegan, seolah dipilih dengan sengaja untuk seseorang sepertinya.

Sesaat Asha hanya menatapnya, tanpa menyentuh apa pun. Udara terasa lebih dingin di kulitnya, ia benar-benar bisa menebak apa yang akan ada di pikiran orang-orang jika tahu benda tersebut diberikan oleh ustadz Alam.

Rayna dan Naira menyadari ekspresi Asha yang membeku. Mereka menukar pandang, tahu persis apa yang sedang dirasakan Asha. Ini bukan pertama kalinya Asha mendapat perlakuan berbeda. Bahkan dulu, saat dapur mereka direnovasi tiba-tiba oleh Ustadz Alam, alasannya bukan karena ingin mempercantik rumah, tapi karena lubang besar di dinding yang pernah menjadi jalan bagi seorang pria mengintip Asha dari luar.

Sejak saat itu, perhatian berlebihan Ustadz Alam terhadap Asha menjadi lebih kentara. Selalu Asha yang ditanya duluan, Asha yang disuruh mewakili bicara, Asha yang dipuji bahkan untuk hal-hal yang tidak perlu. Rayna dan Naira awalnya berpikir itu hanya bentuk kekaguman biasa, tapi lama-lama, terasa berbeda. Terlalu sering, dan terlalu personal.

Asha memandang jam tangan di dalam kotak itu dengan tatapan kosong. Benda yang seharusnya menjadi bentuk penghargaan, justru terasa seperti rantai. Hadiah yang membuatnya kembali mempertanyakan, Kenapa hanya aku?

"Gelang sama jam tangan?" gumam Naira pelan, mencoba mengisi keheningan. Namun nada suaranya terdengar seperti pertanyaan, bukan pujian.

Rayna berdeham pelan. "Sha... kalo kamu nggak nyaman, jangan dipake aja," katanya, lembut.

Asha tersenyum tipis, lebih karena tak ingin suasana semakin berat. Tapi tak ada yang bisa menutupi sorot matanya yang suram.

Namun kata-kata itu lebih terasa seperti formalitas. Tak ada kelegaan, tak ada rona bahagia. Hanya ada Asha, duduk di antara dua sahabatnya, menggenggam benda yang seharusnya menjadi bentuk apresiasi, tapi justru menambah beban pada hati yang belum sembuh.

"Udah yok, tidur aja," ajak Asha, kemudian menyimpan kembali 2 benda tersebut ke tempat semula.

Kedua temannya mengiyakan, kemudian kembali ketempat tidur masing-masing dan segera mengistirahatkan matanya. Berhubung besok mereka harus bangun lebih pagi untuk membangunkan anak-anak, dan membantu ibu dapur menyiapkan sahur.

Skip beberapa hari kemudian

Beberapa hari berlalu begitu saja, kesibukan di bulan Ramadhan mengalir dengan ritmenya sendiri, dan ketiga gadis itu bergantian membantu ibu dapur menyiapkan takjil untuk para santri dan para guru. Seringkali mereka ikut berbuka bersama di masjid, duduk dalam barisan panjang bersama para pengajar dan anak-anak yang mereka dampingi setiap hari. Suasana penuh kekeluargaan terasa hangat, meskipun di antara tawa dan obrolan ringan, ada satu hati yang masih menyimpan ganjalan.

Hingga pada suatu malam selepas shalat tarawih, suasana berubah. Saat orang-orang mulai meninggalkan masjid, Asha tiba-tiba dipanggil oleh Ustadz Alam untuk datang ke kantor pribadinya. Panggilan yang tiba-tiba itu membuat dadanya terasa sesak. Ia menimbang-nimbang untuk menolak, namun adab mencegahnya.

Saat Asha berjalan dari masjid menuju ke kantor pribadi Ustadz Alam, ia bertemu dengan Ustadz Nael dan Ustadz Fahmi yang sedang mengobrol tepat di depan pintu kantor Ustadz Alam. Ia membungkuk sedikit saat melewati keduanya, kedua mata Asha sempat bersitatap dengan Ustadz Nael, namun segera Asha palingkan.

Tok Tok Tok

Sesampainya di depan pintu kayu kantor itu, Asha mengetuk pelan. Suara dari dalam mempersilahkannya masuk. Ustadz Alam duduk di belakang mejanya, terlihat tenang namun tatapannya mengintimidasi.

"Kenapa lama banget ustadzah Asha?" pertanyaan itu seperti sedang menginterogasi dirinya.

"Afwan ustadz, tadi saya minta ustadzah Sarah pulang duluan aja, kasian anak-anak kalo harus nunggu saya dulu," jawab Asha sesopan mungkin.

Ustadz Alam menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, matanya menatap Asha secara intens, kemudian menatap kearah meja di depannya. Di atas meja, ada sebuah kotak hadiah berhias pita biru muda terlalu mencolok di antara tumpukan buku dan map dokumen.

"Kalo boleh tanya, ada keperluan apa antum , panggil saya malam-malam begini ustadz?" tanya Asha dengan nada sopan, tapi suaranya terdengar kaku.

Alih-alih menjawab langsung, Ustadz Alam mengambil kotak hadiah itu. Ia berdiri dari duduknya, kemudian berjalan kearah Asha. Reflek Asha memundurkan tubuhnya, ia khawatir akan ada gosip-gosip lagi diluaran, terlebih pintu ruangan itu tertutup.

"Ini buat ustadzah," katanya datar, tapi penuh maksud. Asha menatap kotak itu ragu, naluri di dalam dirinya berkata bahwa sesuatu tak beres. Namun, sebelum sempat ia menolak, suara Ustadz Alam kembali terdengar kali ini lebih pelan, namun menyelidik.

"Ustadzah Asha dan Ustadz Nael… ada hubungan apa kalo boleh tau?"

Pertanyaan itu menampar batin Asha. Ia terdiam, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Matanya menatap lurus ke arah kotak hadiah itu, seolah mencari jawaban, atau mungkin jalan keluar. Suasana di ruangan itu mendadak seperti kehilangan udara, hening, menekan, dan penuh tanda tanya yang tidak seharusnya ada.

Perasaan Asha kembali diaduk. Bukan hanya karena pertanyaan itu terlalu pribadi dan menyakitkan, tapi karena ia tahu, sejak awal, tidak ada maksud baik di balik semua keramahan Ustadz Alam selama ini.

"Afwan ustadz, untuk itu mungkin biar jadi privasi baik untuk saya ataupun ustadz Nael," jawab Asha ramah.

"Na'am, sebelumnya saya mau kasih tau 3 hari lalu saya sowan ke rumah orangtua ustadzah Asha," ucapnya sembari membukakan pintu untuk Asha.

Sementara Asha diam mematung, ia tak bisa berkata apapun. Kali ini dirinya benar-benar merasa bahwa semua orang harus mencampuri urusannya, bahkan orang luar sekalipun. Matanya tiba-tiba memanas, sehingga tanpa sadar pipinya sudah basah oleh airmata nya.

"Jazakumullahu khouron ustadz, saya izin pamit pulang ke sakan," ujar Asha sebelum keluar dari ruangan tersebut.

"Na'am silahkan," balas ustadz Alam, setelah Asha keluar ia segera menutup pintu ruangannya.

Saat keluar dari ruangan ustadz Alam, Asha merasa malu karena para ustadz muda sedang berkumpul mengobrol dan bersenda gurau. Terlebih mereka melihat Asha yang sedang menangis dan terburu-buru, tanpa pamit kepada mereka Asha cepat-cepat pergi dari bangunan tersebut.

"Kenapa? Apa beliau bertindak seenaknya lagi?" batin seseorang menatap kepergian Asha.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!