Aruna membuka matanya perlahan, lalu menggeliatkan badan. Ia merintih merasakan nyeri di beberapa bagian tubuhnya. Tangannya terulur meraba leher yang terasa perih. Kontan matanya terbuka lebar teringat peristiwa yang terjadi semalam.
"Astaga!" pekiknya membungkam mulut dengan kedua tangan. Ia menoleh kearah samping dengan cepat, matanya melebar mendapati pria asing terlelap di sampingnya.
Dengan perlahan ia beringsut duduk, menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu turun dari ranjang. Ia meringis, merasakan sakit di bawah sana. Ini pengalaman pertama baginya. Katakanlah ia kolot, saat masa SMA ia justru fokus pada pendidikan. Tidak seperti teman-temannya yang di sibukkan dengan urusan percintaan.
Secepat mungkin ia memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai, lalu memakainya. Sebelum benar-benar pergi, ia memperhatikan pria di atas ranjang cukup lama. Decakan kasar meluncur dari bibirnya. " Persetan!" Ia melengos kasar meninggalkan kamar itu.
Julian terbangun mengerang merasakan sakit di bagian kepala, lalu membuka mata perlahan terlihat kamar yang berantakan bercampur aroma samar parfum wanita juga bau alkohol.
"Astaga, apa yang terjadi?" Ia bertanya-tanya, lalu beringsut duduk. Tangannya terulur mengambil air mineral di atas nakas. Namun, ia di buat salah fokus dengan anting yang tergeletak di sana. Matanya menyipit, teringat seorang wanita yang bersamanya semalam. Ia memungut benda mengkilap itu dari sana, lalu mengamati dengan seksama.
"Ini miliknya, kenapa ada di sini?" gumamnya bertanya-tanya.
Beberapa menit pria itu terdiam, batinnya masih bertanya-tanya, apa yang terjadi semalam, dan mengapa wanita itu pergi begitu saja darinya? Entah kenapa perasaannya mengatakan telah terjadi sesuatu. Sayangnya ia tidak berhasil mengingat peristiwa semalam.
Tidak mau membuang-buang waktu, ia segera turun dari ranjang, memungut pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu memakainya. Setelah rapi ia segera keluar dari kamar itu menuju tempat parkir.
Julian segera masuk ke mobil mewah berwarna hitam yang terparkir di sudut ruangan. Ia meraih ponsel dari dalam sakunya, lalu menggulir layar benda pipih itu. Telunjuknya menekan salah satu nomor bernama Vincent. "Halo, Vincent. Periksa cctv di hotel Caroline, jam 12:00 malam. Cari tahu wanita yang bersamaku semalam. Jangan lupa salinan videonya kirim ke aku," ucapnya seraya menatap tajam ke depan. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Jalanan semakin ramai bahkan macet. Julian terlihat kesal, beberapa kali menekan klakson. "Sial!" Ia memukul setir mobilnya.
Setelah hampir satu jam perjalanan, Julian telah sampai di rumahnya. Tampak beberapa orang keluar masuk di rumah tiga lantai itu. Ia turun dari mobil, lalu masuk ke dalam rumah. Tampak ayah dan ibunya sedang mengobrol dengan wanita berambut panjang di sofa.
"Itu dia yang di tunggu-tunggu sudah datang," ucap Lina. Ibu tiri Julian.
Setelah kematian ibunya, Tuan Hans Maverick menikah lagi. Namun, Julian tidak suka dengan ibu tirinya itu dan memperlakukannya seperti orang lain. Ia tidak rela posisi ibunya di gantikan wanita itu.
"Celine," ucap Julian menyapa wanita itu.
Wanita itu berdiri, lalu tersenyum. Ia terlihat cantik dan anggun dengan dress warna merah jambu. Ia berjalan mendekati Julian.
Tanpa memperdulikan wanita itu Julian langsung membalikkan badan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Ia membuka pintu kamar merubuhkan begitu saja tubuhnya ke kasur, lalu memejamkan mata berharap ketenangan.
Tok... Tok... Tok...
"Julian, kau baik-baik saja, Nak? Ayo keluar, kami semua menunggumu," ucap Lina khawatir.
Julian tidak menjawab ucapan ibunya itu, ia lebih memilih menyumpal telinganya dengan earphone. Entah rasanya ia tidak ingin bertemu Celine. Walaupun pertunangan mereka akan segera di laksanakan, sampai saat ini ia belum sepenuhnya mencintai wanita itu.
Saat sedang asik mendengarkan musik, tiba-tiba ponselnya bergetar, rupanya pesan masuk dari Vincent. Orang suruhannya. Alisnya terangkat melihat video semalam. "Ternyata aku yang menggendongnya ke kamar itu," gumamnya heran.
Pintu kamar kembali terketuk beberapa kali, ia sudah bisa menebak siapa yang datang. Ia bangkit dari ranjang, lalu membuka pintu tersebut.
Celine tersipu, menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Julian, kenapa tidak gabung, aku sudah menunggumu lama," ucapnya, lalu memegangi lengan tangan pria itu.
Julian menatap Celine seraya tersenyum. Mengusap ujung kepalanya dengan lembut. "Maaf, ya. Aku lelah, habis pulang dari luar kota," ucapnya terpaksa bohong. Ia tidak mungkin mengatakan kejadian semalam.
Celine memanyunkan bibirnya. "Kenapa kau sangat sibuk, apakah pekerjaanmu itu tidak bisa di gantikan orang lain saja?" tanyanya dengan wajah memelas.
"Maafkan aku, memang pekerjaanku menyita waktu dan aku jarang menemanimu. Sebagai gantinya, hari ini kau boleh belanja sepuasnya." Julian memperlihatkan layar ponselnya setelah mentransfer sejumlah uang ke rekening Celine.
Celine tersenyum, "Terima kasih, aku pergi dulu." Sebelum melangkah pergi ia mengecup pipi kekasihnya itu.
Julian mengembuskan nafas, lalu menutup pintu. "Sampai kapan aku harus pura-pura baik di depan Celine. Kalau bukan karena hutang budi, aku tidak akan membiarkan dia masuk ke dalam hidupku," gumamnya dengan suara nyaris bergetar. Ia tidak pernah benar-benar mencintai Celine. Hanya saja keluarganya pernah jadi malaikat untuk menyelamatkan perusahaan keluarga Maverick yang sudah di ambang kebangkrutan.
Untuk membayar hutang budi itu, Julian menerima perjodohannya dengan Celine. Bahkan berusaha membuka hati untuknya. Namun, terasa sulit karena wanita itu tidak seperti yang di inginkannya.
Selama ini Celine mengandalkan uang, apapun masalahnya uang solusinya. Julian ragu kalau wanita itu mencintainya dengan tulus. Secara tidak langsung ia selalu bisa membuat pria itu mengeluarkan uang untuk dirinya.
Ponsel Julian bergetar menerima pesan masuk. Rupanya masih dari orang suruhannya. Ternyata mereka tidak berhasil menemukan dimana wanita itu tinggal. Padahal ia sudah sangat penasaran, dan ingin menanyakan banyak hal tentang kejadian semalam.
Julian membanting ponselnya di atas kasur, lalu mengusap wajahnya frustasi. "Mencari satu orang saja tidak becus!" desisnya penuh emosi. Tanpa sadar tangannya mengepal. "Kau wanita misterius, jangan harap aku akan nyerah begitu saja mencarimu. Pandai juga kau bersembunyi, tidak mungkin kau bisa menghilang dariku!" Sambungnya. Matanya menatap kosong jauh ke depan.
Julian meraih kembali ponselnya, lalu mengeluarkan anting yang ia temukan tadi dari dalam sakunya. Mungkin itu salah satu petunjuk untuk menemukan Aruna. Beberapa kali ia mengambil foto benda mengkilap itu, lalu mengirimkan ke anak buahnya.
"Kenapa kau sulit sekali di temukan?" desisnya bertanya-tanya. Apakah menemukan wanita itu sangat mustahil? Rasanya tidak mungkin, dia bukan dari kalangan orang kaya atau semacamnya. Satu-satunya petunjuk hanya perhiasan yang tertinggal itu. Apakah wanita itu sengaja memberi teka-teki kehidupan untuknya? Mengapa meninggalkan jejak yang sangat rumit. Mungkinkah pria itu akan menemukan Aruna?
"Sepertinya aku harus bertindak sendiri. Anak buah bodoh itu sangat tidak berguna!" Julian memukul nakas dengan kepalan tangannya, lalu meraih jas yang tergeletak di sana.
Ia melangkah pergi meninggalkan kamar. Namun, di ruang tamu terlihat ada orang tuanya. Tidak mungkin ia di izinkan untuk keluar rumah. Ia harus mencari alasan yang tepat agar bisa keluar dari rumah itu.
"Papa," ucap Julian menatap Hans.
Pria setengah baya itu mendongak, menatap putra semata wayangnya. "Mau ke mana?"
"Papa, aku mau keluar sebentar menemui Celine. Tadi aku belum sempat mengobrol," ucap Julian beralasan. Ia berharap Hans mengizinkannya pergi kali ini.
Hans tertawa, lalu berdiri menepuk-nepuk punggung Julian. "Dasar anak muda. Pergilah," ucapnya dengan wajah sumringah.
Julian tersenyum puas, merasa berhasil mengelabuhi ayahnya itu. Tanpa basa-basi ia langsung keluar, mengendarai mobilnya. Jalanan mulai sepi karena hari semakin gelap. Ia leluasa menyetir mobil dengan kecepatan tinggi.
Setelah hampir tiga puluh menit perjalanan ia memarkirkan mobilnya di salah satu apartemen. Yang jelas Celine tidak ada di sana. Ia turun dari mobil, menoleh ke kanan, kiri, lalu masuk ke dalam. Langkahnya begitu cepat seperti terburu-buru.
Ia menekan lift menuju lantai sepuluh. Setelah sampai ia mengetuk pintu kamar ke dua dari sebelah lift. Seorang pria membukakan pintu. Mereka masuk ke dalam.
"Vincent, kau tidak mendapat petunjuk sama sekali?" tanya Julian pada pria itu.
"Maaf, Tuan. Toko perhiasan itu hanya menginformasikan nama pembeli, tapi tidak ada alamatnya," jawab Vincent sedikit merasa bersalah. Baru kali ini ia tidak berhasil memenuhi keinginan Julian.
Julian menoleh, menatap tajam ke arah vincen. "Nama? Siapa namanya?"
"Namanya, Aruna Camelia Riston." Vincent menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap Julian yang terlihat memendam amarah.
Julian mengepalkan tangannya, lalu memukul meja kaca dengan keras hingga retak dan melukai tangannya. Cairan berwarna merah mengalir dari jari-jarinya. Namun, ia seperti mati rasa tidak merasa kesakitan.
Vincent langsung panik melihatnya, ia berlari mengambil kotak P3K. "Tuan, biar saya obati. Ayo duduk," ucapnya.
Julian duduk ke sofa, mengusap kasar rambutnya merasa frustasi. Ia semakin penasaran siapa sebenarnya Aruna. Menemukannya sungguh sulit.
Berhubung hari sudah larut, Vincent mengantar Julian pulang. Ia tidak tega melihat atasannya itu menyetir sendiri dalam kondisi yang kurang baik.
Setelah sampai di rumah pria itu langsung terlelap di kamarnya. Besok adalah hari penting di keluarganya. Tapi tidak untuk pria itu. Ia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan.
"Julian, ayo bangun!" ucap Lina agak mengeraskan suaranya.
Julian langsung beringsut duduk. Ia tidak mau mendengar terlalu panjang suara Lina. "Anda bisa keluar sekarang," ucapnya dengan wajah datar tanpa memandang wanita itu.
Lina melengos meninggalkan kamar Julian. Ia kesal tidak pernah di anggap oleh anak tirinya itu. Padahal ia sudah berusaha untuk menjadi ibu yang baik untuknya.
Hari ini semua orang bersiap menghadiri acara tunangan Julian dan Celine. Namun, pria itu masih tampak santai di rumahnya, meneguk segelas susu hangat dan mulutnya sibuk mengunyah sandwich.
"Julian, kenapa belum bersiap?" ucap Hans yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
"Ah, papa mengagetkanku saja, sebentar lagi aku bersiap setelah menghabiskan sarapanku," ucap Julian seraya terpaksa tersenyum ke arah pria setengah baya itu.
"Papa tahu kau tegang. Tapi jangan lama-lama, ya," ucap Hans. Saat hendak melangkah pergi, ia melihat tangan putranya yang di perban. "Tanganmu terluka?" sambungnya bertanya.
Seketika suasana menjadi canggung. Julian bingung harus bagaimana menjelaskannya. "Tidak apa-apa, Pa. Ini hanya luka kecil."
Hans mengembuskan nafas lega. "Syukurlah. Cepat berkemas, ya. Sebentar lagi kita berangkat," ucapnya.
"Hampir saja." Julian mengembuskan nafas panjang, lalu berdiri melangkah menuju kamar untuk bersiap.
Seluruh keluarga besar Maverick telah berkumpul di aula gedung. Sebentar lagi mereka akan menyaksikan momen yang telah lama di nantikan. selama ini Julian selalu tidak siap saat di desak untuk bertunangan. Namun, dengan berat hati ia akhirnya merelakan bertunangan dengan Celine.
Acara sudah di mulai, Celine tampak anggun dan sangat elegan dengan gaun berwarna putih menjuntai panjang di bagian bawah. Julian, pun, sudah menampakan diri dengan setelan jas yang membuatnya lebih berwibawa.
Setelah acara sambutan dan yang lainnya, kini tiba waktunya mereka saling memasangkan cincin di jari manis. Julian tampak ragu-ragu akan memasukkan cincin itu ke jari Celine. Namun, ia tidak ingin mengecewakan ayahnya. Akhirnya ia bisa melakukan itu.
Suara tepuk tangan menggema di ruangan itu. julian dan Celine saling menatap seraya tersenyum. Para tamu undangan di buat kagum dengan keserasian mereka, cantik dan tampan menjadi pasangan yang sempurna.
Akhirnya acara itu berakhir, mereka pulang dengan perasaan bahagia. Kecuali Julian, masih banyak keraguan di dalam hatinya. baginya hari ini adalah hari penuh kepalsuan.
Lima tahun sudah sejak hari itu, Julian fokus dengan pekerjaannya. Ia perlahan melupakan Aruna dan sudah tidak berusaha mencarinya lagi. Walaupun ia tak sepenuhnya melepaskan wanita itu. Mengingat dia punya tunangan makanya ia memilih untuk diam sementara waktu.
Mencari Aruna membuatnya lelah. Bahkan hampir putus asa, ia tidak fokus dalam segala hal, semenjak kejadian lima tahun yang lalu. Di setiap tidurnya pun ia tak berhenti memikirkan wanita itu.
Pagi ini dia sudah berada di kota lain, melakukan kunjungan kerja. Ia bertolak lebih pagi demi kelancaran urusan bisnisnya. Ambisinya sangat menggebu untuk mempunyai banyak bisnis di seluruh kota. Ia tidak akan berhenti berusaha sebelum semua keinginannya tercapai.
"Selamat pagi, Tuan Julian. Lama tidak berjumpa," ucap seorang pria paruh baya, seraya menyalami pria itu.
"Terima kasih sambutannya, Pak Robert." Julian membalas salam dari pria itu.
Mereka duduk memulai meeting dengan serius. Rupanya kerja sama mereka akan berjalan sukses kali ini, karena memiliki partner yang sangat berperan besar di wilayah itu.
"Terima kasih, Pak Robert sudah berkenan bekerja sama dengan perusahaan kami," ucap Julian. Ia merasa senang karena ia berhasil mengajak kolaborasi perusahaan itu.
pria paruh baya itu terkekeh. "Sama-sama, Tuan Julian. Semoga kedepannya bisnis kita ini bisa berjalan dengan lancar."
"Tentu saja, besok kita atur ulang pertemuan kita ini, Pak. Mohon maaf saya harus pulang lebih awal, karena ada sedikit masalah di kantor," ucapnya berpamitan.
"Baiklah. saya mengerti Anda juga sibuk," ucapnya, lalu tersenyum ramah.
Julian melangkah keluar dari ruangan itu, lalu naik lift menuju lantai satu. Setelah sampai ia langsung melangkah ke arah parkiran, lalu masuk ke mobilnya. Namun saat ia hendak melajukan mobil, matanya menangkap sesuatu yang sangat mengejutkannya.
Pria itu kembali turun dari mobil, bersembunyi di antara mobil-mobil. Ia mengadu ingatannya kembali ke lima tahun yang lalu. "kau, ada disini?"
Setelah kejadian kemarin, Julian memutuskan untuk tinggal di kota itu sementara waktu. Ia penasaran apakah wanita yang di lihatnya itu Aruna atau bukan. Ia sempat ragu soalnya wanita itu sedang mengantar makanan.
Julian melangkah ke arah jendela dengan kaca besar di sisi kamarnya. "Aruna, apakah itu benar-benar kau? Ternyata kau pergi sejauh ini untuk menghindari aku, tapi kenapa?" gumamnya penuh tanya.
Pintu terketuk beberapa kali, membuyarkan lamunannya. Ia segera menghampiri pintu tersebut, lalu membukanya. "Celine, ada apa kemari?"
"Aku mau makan siang denganmu hari ini, nanti sore aku pulang. Di sini sangat membosankan," cicitnya dengan nada manja seperti biasanya. Semenjak bertunangan ia selalu ikut Julian ke luar kota.
"Makan siang? Kebetulan aku sangat penasaran dengan salah satu restoran di kota ini. Kata Pak Robert makanan di sana sangat enak. Kau mau mencoba kesana saja?" tanya Julian.
Wanita itu hanya mengangguk. Ternyata restoran itu cukup jauh dari tempatnya menginap. Ia berharap Celine tidak bosan dalam perjalanan menuju ke sana.
Sejujurnya pria itu hanya ingin memastikan apakah wanita itu benar-benar Aruna atau bukan, ia sempat membaca nama restoran yang menempel di box belakang kendaraan wanita itu kemarin. Jadi hari ini sangat kebetulan ia akan ke sana.
Julian menoleh ke arah Celine, "Kenapa buru-buru pulang?" tanyanya.
"Di sini sangat membosankan. kenapa kau mau bekerja sama dengan perusahaan di kota terpencil seperti ini!" ucapnya sedikit kesal.
"Karena aku mau mengembangkan Bisnisku ke seluruh kota, bahkan tahun depan akan ku kembangkan sampai ke luar negeri," jelasnya tanpa basa basi.
Celine hanya melengos tanpa sepatah kata. Perjalanan mereka akhirnya sampai di restoran itu. Terlihat sangat ramai antreannya sangat panjang. Wanita itu semakin kesal melihatnya.
"Aku boleh menunggu di mobil saja?" tanyanya.
Julian mengerutkan wajah, lalu menoleh ke luar jendela memandangi restoran itu. Ia langsung mengerti mengapa Celine tidak ingin masuk ke sana. "Baiklah. Nanti aku pesankan sesuatu yang enak," ucapnya seraya mengusap pucuk kepala wanita itu.
Julian turun dari sana, memesan beberapa makanan. Ia duduk di salah satu kursi agak belakang. Namun, beberapa menit ia duduk di sana belum melihat Aruna. Di mana wanita itu?
Seorang anak laki-laki berlarian di antara meja pelanggan. Tidak sengaja ia menyenggol piring yang akan di sajikan ke meja. Seluruh makanan tumpah berserakan piringnya, pun, pecah berkeping-keping di lantai.
"Hei, Bocah! kalau jalan pakai mata!" bentak pelanggan yang marah karena makanannya berserakan di lantai.
"Jalan pakai kaki, Bibi. Bukan pakai mata," ucap anak itu dengan polos.
pelanggan wanita itu menggebrak meja. "Hai, Bocah kurang ajar! kau tidak di didik orang tuamu untuk sopan santun?"
Pelayan memeluk anak lelaki bertubuh agak berisi itu. "Maaf, Nyonya biar saya ganti makanannya nanti, tidak perlu marah dengan anak kecil," ucapnya membela anak itu. "Tuan Raven. jangan berlarian di sini lagi, ya," sambungnya.
Aruna muncul setelah mendengar keributan tadi. "Astaga Raven! Apa yang kamu lakukan?"
Julian yang sedang duduk dibuat salah fokus dengan keributan itu, ia menoleh ke sumber suara. "Astaga!" pekiknya, lalu menutup separuh mukanya menggunakan buku menu.
"Maaf, Mama. Aku tidak sengaja," ucapnya polos, merasa bersalah.
Julian membelalakkan matanya. "Apa! Anak itu memanggilnya mama?" tanyanya dalam hati.
"Lain kali kau harus hati-hati, ya," ucap Aruna mencoba bersabar.
"Astaga mama ini, aku sudah hati-hati. Tapi om itu tiba-tiba muncul. " Raven menunjuk pria di depannya.
"Saya minta maaf, Nyonya. Semua ini salahku tidak hati-hati," ucap pelayan yang tidak sengaja di tabrak anak itu.
"Tidak perlu membela dia, jelas anakku yang salah, harusnya saya yang minta maaf," ucapnya, lalu mengembuskan nafas menatap anak lelaki itu.
"Raven! Kenapa kau sulit sekali di nasihati!" bentak Aruna tersulit emosi.
Raven berdecak kesal "Mama, kenapa selalu marah-marah! Aku hanya anak kecil." ia melipat tangan ke dada, lalu masuk ke dalam ruangan.
"Raven!" Aruna berlari menyusul anak laki-laki itu.
Keributan masih terjadi di dalam ruangan itu, samar terdengar teriakan Aruna. "Cukup, Raven! Jangan tanyakan soal ayahmu lagi!"
Julian terkejut mendengar kata-kata Aruna. Sementara ia di ambang keraguan, anak lelaki itu begitu mirip dengannya. Caranya marah, caranya berbicara, bahkan wajahnya sangat mirip dengannya. Sebenarnya itu anak siapa?
Ia mengembuskan nafas panjang. "sebenarnya apa yang terjadi lima tahun yang lalu, mungkinkah dia anakku?" gumamnya dalam hati.
Ponsel Julian bergetar di dalam saku, ia segera mengeluarkannya. Celine mengirim pesan singkat. wanita itu sudah tidak betah menunggu terlalu lama.
Untung saja makanan yang di pesan Julian sudah datang. Ia segera menghubungi Celine untuk masuk. tidak lama wanita itu muncul dari balik pintu, berjalan semakin dekat, lalu duduk.
"Maaf aku hanya pesan menu yang sederhana," ucap Julian menyadari selera makanan wanita itu sangat berkelas. Sementara ia hanya pesan makanan lokal kota itu.
Wanita itu hanya menaikan alisnya, lalu menyuapkan salah satu makanan yang tersaji. "Lumayan, enak. Pantas ramai," ucapnya.
Julian tersenyum, lalu menyuapkan makanan ke mulutnya, ternyata memang enak. Tidak heran antreannya panjang. Namun ia penasaran apakah restoran ini milik Aruna atau dia cuma pegawai di sini.
Saat asik menguyah pria itu melihat Aruna keluar, tanpa anak lelaki itu. Julian meminta izin untuk ke toilet sebentar. Celine hanya mengangguk tanpa curiga sedikitpun.
Diam-diam Julian menyusul langkah kaki Aruna. Ia merasa bingung, mau kemana wanita itu meninggalkan anaknya sendirian. Ia sangat hati-hati membuntutinya agar tidak ketahuan.
Aruna berhenti di salah satu ruangan kosong di lantai dua. Ia menangis sesenggukan, meratapi nasibnya. Selama ini ia hidup dengan banyak tekanan dari orang-orang di sekitarnya. Bahkan di usir dari keluarganya setelah ketahuan hamil di luar nikah. Orang tuanya merasa malu, dan merasa gagal mendidik anaknya.
Julian mengerutkan keningnya. "Kenapa hatiku sakit melihatnya seperti itu?" ia mengembuskan nafas kasar. "Apa-apaan aku ini, Astaga!" desisnya nyaris tak terdengar. Ia memutuskan untuk kembali ke Celine.
"Maaf agak lama," ucapnya merasa tidak enak.
Celine memalingkan wajahnya dari Julian. "Kita pulang saja." ia berdiri melipat tangan ke dada dengan angkuh.
"Kau marah? Aku sungguh minta maaf Celine," ucap Julian.
wanita itu keluar dengan langkah panjang, ia mengabaikan Julian karena terlalu kesal, merasa tidak di hargai di sela-sela waktunya. Mereka jarang bertemu, sekalinya bersama di buat tidak nyaman.
Julian mengekorinya. Diam-diam ia menulis pesan singkat ke anak buahnya untuk menyelidiki Aruna. Setelah terpisah lama ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Kali ini rencananya pasti berhasil. Aruna sudah di temukan, sebentar lagi rasa penasarannya akan terbayar. "Aruna, kali ini aku akan membuatmu menyesal, karena berusaha menghilang dariku!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!